Monday, December 3, 2007

Le Grand Voyage


Reda : Why didn't you fly to Mecca? It's a lot simpler.


The Father: When the waters of the ocean rise to the heavens, they lose their bitterness to become pure again...


Reda: What ?


The Father: The ocean waters evaporate as they rise to the clouds. And as they evaporate they become fresh. That's why it's better to go on your pilgrimage on foot than on horseback, better on horseback than by car, better by car than by boat, better by boat than by plane.


salah satu line terbaik di film Le Grand Voyage adalah film yang sederhana. Sesederhana percakapan antartetangga. Salah satu film model "road trip" yang keren yang pernah aku tonton, sejak aku terlalu kecewa dengan "road trip" -nya Riri Reza di "Tiga Hari untuk Selamanya".

Kelasnya tentu berbeda antara Riri dengan Ismael Ferroukhi, sutradara dan penulis film ini. Ini film lama sebenarnya, tahun 2004. Tetapi aku baru menemukannya sekarang. Film yang memotret hubungan antara bapak dan anak laki-lakinya yang beranjak dewasa. Film ini pernah di putar di Toronto dan Venice International Film Festivals. Dinominasikan sebagai film berbahasa asing terbaik selain bahasa Inggris di BAFTA Film Award, Film terbaik dalam Mar de Plata Film Festival, aktor terbaik untuk Mohamed Majd untuk festival yang sama, dan masih banyak lagi penghargaan lainnya.


Film bercerita tentang perjalanan Reda mengantar ayahnya naik haji dari Perancis menuju Mekah dengan menggunakan mobil. Perjalanan jauh, gejolak jiwa muda Reda, perjalanan batin ayahnya, religiusitas, modernisme, humanity, semua bercampur aduk dalam percakapan-percakapan yang kadang jatuhnya sangat emosional.


Bagi yang tidak menyukai film dengan banyak dialog, tanpa kejutan, datar, lama, maka film ini akan terasa berat untuk dicerna. Tapi bagi yang sudah menemukan "ruh" film ini sejak awal, maka durasi 108 menit terasa kurang.


Film ini menuangkan banyak nilai-nilai moralitas. "The Father" (mohamed majd) adalah karakter moralitas itu yang berseberangan dengan "Reda" - the son - (Nicolas Cazale) sebagai perwujudan jiwa muda yang rebel, kental dengan egoisme dan moderenitas yang nilai-nilai kerap tak sejalan dengan prinsip Islam yang dipegang ayahnya.

Maka akan kita temukan scene di mana saat ayahnya sibuk beribadah, Reda sibuk mencari perempuan dan menemukan seorang penari perut untuk menemaninya. Atau saat sang ayah sibuk berdzikir, Reda sibuk bersms dengan Lisa - pacarnya yang berada di Perancis-.

Dalam satu perjalanan di mana mereka hanya bisa makan roti dan telur, sementara Reda ingin daging, marahnya luar biasa saat sang ayah justru memberikan uang kepada seorang janda tua dengan anak perempuannya. Ini salah satu scene menarik karena akan terkait dengan scene terakhir yang cukup menyentuh. Sang ayah mengajarkan bagaimana berbagi dengan orang lain yang membutuhkan, sementara sang anak berpikir uang itu bisa digunakan untuk membeli daging.


Film ini ditutup dengan menyentuh, saat Reda mendapati ayahnya tak juga pulang dari Mekkah menuju tendanya. Pada akhirnya dia menemukan ayahnya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Akting Nicolas Cazale sangat kuat di scene ini.


Reda pun pulang ke Perancis setelah sebelumnya menjual mobilnya. Scene terakhir, Reda memesan taksi. Membuka pintu taksi, dan melemparkan tasnya ke jok belakang taksi, kemudian berbalik menatap seorang pengemis tua berjilbab yang tengah berjongkok di pinggir jalan, dan memberinya uang untuk kemudian dia masuk ke dalam taksi. Reda telah belajar banyak dari ayahnya. Le Grand Voyage sangat sarat pesan. Tapi sumpah ini tak menggurui.


regards,



Thursday, November 29, 2007



LINTANG - The cure for my elusive and my disturbing feeling of numbness