Sunday, December 14, 2008

happiness only true when shared

Perjalanan mencari kebahagiaan yang murni memang terlalu berisiko. McCandless telanjur salah. He's already dead. Tapi dia membuka mata banyak orang akan pilihan hidup dan risikonya, dengan bayaran kematiannya.

Begini.
Kita mulai dengan memperkenalkan McCandless. Dia adalah Christopher Johnson McCandless, lahir 12 Februari 1968, meninggal 18 Agustus 1992. Seorang muda Amerika yang bermimpi menaklukkan keliaran Alaska, tanpa bekal makanan maupun perlengkapan yang cukup. Kelaparan. Mati dalam kesendirian.

"Menaklukkan keliaran Alaska". Terdengar seperti dia adalah seorang pecinta alam. Bukan seperti itu. Dia lebih sebuah pribadi gelisah. Terlalu muak dengan kondisi masyarakat. Memiliki situasi ideal bagi dirinya sendiri. Tepat di puncak ubun-ubunnya. Dia hanya membutuhkan sedikit hal, sedikit waktu, sedikit pemantik, untuk tiba-tiba meledak. Yeah, Saat itu sudah berada di ubun-ubun, maka mungkin begitulah cara kerjanya.

Wayne Westerberg: Yeah. Why not?
Christoper McCandless: You know, about getting out of this sick society. Society!
Wayne Westerberg: Society! Society!
Christopher McCandless: Society, man! You know, society! Cause, you know what I don't understand? I don't understand why people, why every fucking person is so bad to each other so fucking often. It doesn't make sense to me. Judgment. Control. All that, the whole spectrum. Well, it just...
Wayne Westerberg: What "people" we talking about?

Christopher McCandless: You know, parents, hypocrites, politicians, pricks.

Christopher McCandless menyebut dirinya Alex Supertramp. Dia berpikir, dan sepertinya tertanam begitu dalam dan tajam di benaknya, bahwa kita tidak butuh berhubungan dengan orang lain untuk menjadi bahagia. Pun sebuah keluarga seperti tidak ada artinya. You don't need human relationships to be happy. God has placed it all around us.
Aku berasumsi. Alex adalah penggelisah. Kebahagiaan bagi dia mungkin seperti udara di luar sana. Bergerak dari satu negara bagian ke negara bagian lain dengan leluasanya. Membelah luasnya samudera, menyelusup tanpa halang di lubang kancing baju di jemuran tetangga. Tanpa ada halangan. Kebahagiaan adalah kebebasan tanpa penghakiman, tanpa kemunafikan, tanpa kebencian. Kebebasan sebenar-benarnya.

Alex naif. Dumb ass. Berpikir sebuah idealisme tanpa menggunakan otak. Alex lupa, berpikir adalah menggunakan otak, dan bukan tanpa menggunakan otak. Alex berpikir bisa mendapatkan kebahagiaan di alam bebas, dengan Tuhan sebagai penyedia perlengkapan hidup lengkap dengan sajian sarapan hingga makan malam. Tinggal di sebuah bus bekas. Makan dari alam. Tanpa bantuan, tanpa uang, tanpa perhitungan matang.
Lalu, mungkin aku harus bertanya di mana bongkahan otak itu terselip? atau mungkin direnggut Beruang yang menghampirinya pada suatu hari?
Semua terlambat saat kelaparan datang. Tanpa makanan, tanpa uang (yang kalau pun ada, pertanyaan berikutnya adalah mau beli makanan di mana di alam bebas seperti itu?). Oiya, God has placed it all arround us. Mencarilah dia makanan yang tersedia di alam. Otaknya ketemu. Otaknya ketemu. Iya, ketemu.

Hanya beberapa saat kemudian, kelaparan membuat otaknya terselip lagi entah kemana. Tak lagi bisa membedakan mana tumbuhan beracun dan tidak. Bahkan saat dia memiliki buku panduan, do and dont. Terlambat. Tubuh lemahnya sudah teracuni. Sekarat, tanpa ada siapapun. Tanpa ada siapapun. Bahkan orangtua dan adiknya. Sampai kemudian otaknya ketemu lagi. Ketemu lagi. Di hitungan terakhir. Sayangnya, itu tidak mengubah apa-apa. Penyesalan selalu datang terlambat. Sebuah racun dari tumbuhan yang dimakannya siap membunuhnya.
He's smart ass !!! Tiba-tiba dia menjadi sangat pintar di saat sakaratul mautnya. Otaknya seperti berlipat-lipat membesar, dengan volume melebihi apa yang tengkoraknya mampu wadahi. Dunia membuatnya belajar banyak hal:

Happiness only true when shared...

Setidaknya bagi aku, dia menjadikan dirinya tikus percobaan bagi banyak orang yang kebingungan bagaimana mencari kebahagiaan murni di tengah kondisi masyarakat yang sakit. Kita butuh orang lain. Setidaknya kita butuh keluarga kita hanya untuk sekadar beringinan di prosesi pemakaman kita. Alex Supertramp. Dia bodoh, dia gegabah, dia ceroboh, dia adalah idealisme, dia adalah pejuang, pemberani, pengambil risiko yang ulung, dan inspirator bagi orang lain. Dalam banyak perjalanan menuju Alaska, dia menebarkan banyak kebajikan. Paduan sempurna, kebodohan+kepintaran+kebajikan. Dia manusia komplet dengan sebuah pesan dalam kematiannya. Setidaknya dia meninggalkan pesan bagi mereka yang bingung apa sebenarnya kebahagiaan itu.

Pesanku: Cari biografi si Alex ini. Atau lihat filmnya. Film garapan Sean Penn. Buruan. Semoga mendapatkan pencerahan...

regards,

A

1 comment:

Anonymous said...

Aku..aku ..aku sudah beli DVD-nya tapi belum aku tonton karena sibuk mencari "dump Ass money" yang memang sudah menjadi habitku...nati lah di tahun baru aku mungkin cukup nonton ini saja sebagai siasat agar tidak lagi berhura hura dengan kamu di tahun baru di alun alun jogja.