Saturday, January 1, 2011

Shemale Toilet - Saat Waria Mendapatkan Ruangnya


Dulu sebelum saya jalan-jalan di Thailand, saya sudah banyak mendengar tentang banyaknya shemale, ladyboy, alias Waria di Thailand dan stigma yang melekat di diri mereka. Saya pikir, banyak dari kita sudah mendengar cerita-cerita tentang itu.
Seperti yang banyak terjadi di belahan bumi manapun, posisi Waria memang belum sepenuhnya diterima. Nah, bagaimana dengan di Thailand?

Dalam backpacking saya di Thailand, saya sempat mampir di Chiang Mai. Bertemu dengan teman saya yang asli Chiang Mai. Lalu suatu malam, saya diajak mampir ke temannya yang seorang penyanyi terkenal di Thailand. Dia memiliki sebuah restaurant yang cukup bagus, dengan arsitektur bergaya budaya Lanna. Lanna Kingdom adalah kerajaan yang memiliki pengaruh luar biasa dan pernah eksis di Thailand, khususnya wilayah utara.

Saat saya ingin ke toilet, saya kaget juga. Ternyata ada tiga ruangan toilet. Sisi kiri adalah toilet dengan tulisan male di pintu, kemudian female di sebelah kanan, dan di tengah ada pintu bertuliskan shemale. Saya tanya teman saya, apakah itu toilet khusus untuk waria? dia mengiyakan. Dan, mereka menjawab dengan kalem, seolah-olah bukan sesuatu yang aneh.

Baru kemudian saya tahu, bahwa hal semacam ini adalah hal yang biasa di Thailand. Saya memang pernah mendengar soal beberapa public school yang menyediakan toilet khusus bagi siswanya yang memiliki kecenderungan menjadi shemale. Tetapi saya belum pernah menemukannya sendiri.

Beberapa hari kemudian, saya naik bus malam dengan teman saya itu, dari Chiang Mai menuju Bangkok. Nah, di dalam bus doubledecker alias tingkat ini, mereka memiliki staf semacam pramugari yang akan bertugas melayani penumpang selama perjalanan. Nah, yang menjadi staf di bus saya ini adalah seorang perempuan yang anggun, lengkap dengan setelan seragam ala pramugari, dengan rok pendek dan sepatu hak tingginya. Ramah sekali orangnya, itu saya lihat saat saya mengamatinya. Wajahnya tidak cantik, dan mukanya berjerawat. Tetapi dia sangat ramah. Lalu kenapa saya mengamatinya? karena saya menemukan sesuatu. Suara dia ngebassss.....sekaleeeee. Hehehehe.

Bukan, saya bukan mau mengejek atau nyinyir. Saya tidak ada masalah dengan gender yang di Thailand disebut gender ketiga ini. Tetapi cuma bertanya-tanya saja. Saat saya tanyakan ke teman saya, dia menyatakan memang "perempuan" itu adalah shemale.

Lain waktu, saya dan beberapa teman makan siang di sebuah restaurant Jepang di Bangkok. Dan saat di depan kasir, teman saya bertanya ke saya, "Do you think she's pretty?" tanya dia sambil menunjuk ke kasir. Ohhh, tentu. Langsing, rambut sebahu, kulit kuning langsat, cantik. Iya dia cantik. Dan teman saya menimpali, bahwa kasir itu adalah shemale.

Masih di restaurant itu, di tengah kami makan, serombongan gadis-gadis cilik muncul dengan dandanan atraktif. Mereka adalah para shemale. Ouggh, dari banyak orang di restaurant itu, hanya mata saya yang terus jelalatan ke arah mereka. Yang lain, saya amati, tidak terlalu terusik dengan kedatangan mereka. Mereka masih sangat muda, saya bisa perkirakan, mungkin baru seusia SMP.

"Ini adalah efek buruk dari diterimanya secara luas kehadiran shemale di masyarakat. Tidak ada lagi diskusi pertentangan tentang eksistensi mereka. Kami memahami dan menerimanya. Tetapi imbasnya, dalam usia yang relatif sangat muda, mereka sudah berani menunjukkan eksistensinya."

Itu kata teman saya menanggapi keheranan saya. Apa yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah salah satu hal menarik dari sebuah negara. Dalam kasus yang mungkin di Indonesia juga ada, ada perspektif berbeda dari masyarakat lain. Bahwa, kehadiran "gender ketiga" ini bisa diterima sebagai bagian dari masyarakat. Mau dihakimi juga buat apa, toh mereka ada juga.

Nah, bedanya Thailand dan Indonesia adalah, "gender ketiga" ini di Thailand masuk dalam segala aspek pekerjaan di sana, meskipun tak menutup mata bahwa banyak (mungkin sangat banyak) yang lari ke prostitusi. Tetapi persentase penerimaan kepada mereka lebih besar, di banding di Indonesia. Kita mungkin akan sangat jarang melihat waria, dengan identitasnya, masuk ke dunia kerja dan memiliki hak sama dengan laki-laki atau perempuan. Kita akan lebih banyak menemukan mereka di pinggir jalan, menaikkan sedikit ujung rok pendek ketatnya, sembari mengacungkan jempol ke arah sorot mobil yang mendekat di area remang-remang semacam Taman Lawang, sambil berteriak "Capcusss deh" saat mobil yang coba dihentikannya menjauh ;).

regards,

A

1 comment:

Elsa said...

mungkin perbedaan budaya juga ya,
budaya kita masih lebih konservatif kali kalo dibandingkan thailand.

tapi memang shemale made in tahiland luar biasa cantik