Saturday, June 18, 2011

Laki-Laki China [penolong 1]

Angin menerpa saya cukup keras. Hujan luruh adalah kombinasi sempurna musim dingin di China. Lumayan membuat tubuh saya tergagap-gagap, tapi tak mengapa. Toh di Indonesia saya tidak akan menemukan musim dingin. Hari itu, 13 Februari 2010, saya menuju ke Temple of Six Banyan Trees atau yang biasa disebut Liurong Temple karena terletak di Liurong Road.
Liurong temple memiliki sejarah yang cukup panjang, hampir 1.400 tahun, dan merupakan satu dari empat kuil Buddha terbaik di Guangzhou. Dinginnya hari, tak mengurangi orang untuk datang ke kuil itu. Sebagian berdoa, sebagian berwisata. Dan saya, adalah bagian dari mereka yang hanya menikmati rumah para dewa ini tanpa berdoa.
China bukanlah negara mudah bagi saya. Kendala bahasa membuat saya tersesat di mana-mana. Tidak di bandara, ujung jalan tanpa nama, tak juga di tempat wisata. China bukanlah negara yang mudah bagi saya, sejak saya datang di musim dingin, udara ini tidak hanya menusuk, tapi mencengkeram kuat tulang-tulang saya selama perjalanan. Angin tak cukup cukup membelai rambut saya, tapi juga menampar berlebih.
Maka yang membuat semuanya menjadi nyaman adalah, prasangka baik saya. Seperti di Liurong Temple, saya sudah berprasangka baik, apapun masalah saya nanti, pasti akan ada jalan keluarnya. Saat itu, problem hidup saya seperti sudah berat sekali, hidup saya seperti paling merana saja, hanya gara-gara saya bingung bagaimana saya mendapatkan tiket kereta api ke Nanning !!  Huah.
Dan prasangka baik kembali membuat saya merasa nyaman. Saya berpikir, pasti di rumah para dewa akan ada banyak kebaikan. Apakah prasangka baik saya terbukti? Iya. Di depan gerbang Liurong Temple ini saya disapa laki-laki tua ini. Dia menyebutkan namanya, dan kurang ajarnya sekarang saya lupa nama laki-laki itu.
"Dari Indonesia?" aksen aneh menyapa saya.
"Iya..."
Dan tiba-tiba kami sudah terlibat pembicaraan yang seru. Dia mengeluarkan sebungkus rokok, Gudang Garam. "Keponakan saya selalu mengirimkan rokok dari Jakarta." Laki-laki ini dulunya warga Negara Indonesia. Namun sejak situasi politik tidak berpihak pada minoritas China, dia melarikan diri ke Guangzhou dengan menumpang kapal dagang. Saat itu umurnya 17 tahun. Sejak itu, Indonesia hanyalah masa lalunya. Sama seperti beberapa batang Gudang Garam itu, dihisapnya dalam-dalam, dan mengeluarkan kembali dari lubang hidungnya, seperti tak terjadi apa-apa. Hanya bau kretek Jawa yang ada.
"Rokok?"
Oh dengan senang hati, batin saya, demi cuaca dingin sehebat ini. Tapi saya urungkan menikmati surga sesaat itu, karena saya tau, beberapa batang Gudang Garam berikutnya mungkin harus dia dapatkan dua bulan kemudian menunggu kiriman dari Jakarta. Itu juga kalau dikirim.
Bahasa Indonesianya patah-patah. Saya terkadang harus tersesat di beberapa kalimat. Saat itu, dia pasti langsung meminta maaf soal bahasa Indonesianya yang tidak bagus. "Saya mulai lupa, karena sudah lama tidak menggunakannya," tuturnya.
Saya sudah berprasangka baik saja, jangan-jangan dia ada untuk menolong saya. Dia menawarkan mencarikan tiket kereta api ke Nanning. Sebelumnya, dia menemani saya makan siang. "Tas didekap di dada saja. Banyak pencopet," sarannya.
Dari Liurong Temple, kami makan siang di rumah makan muslim. Lalu, dia mengantarkanku menuju ke Guangzhou Railway Station, untuk membeli tiket kereta api ke Nanning. Dan perkiraan saya terbukti, bahwa tanpa dia, saya akan kesulitan untuk mendapatkan tiket. Ada lebih dari 15 loket, dengan semua loket bertuliskan tulisan huruf China. Setiap loket, antreannya lebih dari 5 orang. Beberapa malam mengular hingga ke halaman depan. Tugas saya adalah, menemukan loket yang melayani perjalanan menuju Nanning. Dan saya tidak akan berhasil tanpa laki-laki itu.
Laki-laki itu mewujudkannya. Tiket Nanning saya pegang di tangan. Dan dia tersenyum, meminta saya berhati-hati di perjalanan yang akan dimulai nanti malam. Sebelumnya dia bertanya, "Kalau saya ke Jakarta, apakah kamu mau bertemu saya?" tentu saya mengangguk. Saya tuliskan alamat dan nomor hp saya. Beberapa saat kemudian dia pamitan karena harus bertemu anaknya segera. Beberapa foto sempat kami abadikan. Ditutup dengan satu pelukan terima kasih saya.

Dingin masih juga mendekap erat saya. Sedikit tidak terasa, demi melihat kebaikan laki-laki itu. Hmmm...saya selalu merasa jadi orang kurang ajar bila melihat-lihat kembali foto-foto perjalanan saya di Guangzhou, dan kemudian berhenti di laki-laki itu. Damn, saya lupa namanya!! Terkutuklah saya.

No comments: