Thursday, August 25, 2011

Jebakan Betmen Menuju Bromo

Ini pengalaman saya yang semoga tidak Anda rasakan, saat menuju ke Bromo. Pukul 14.00 WIB saya datang ke tempat mangkal mobil menuju Bromo di sebelah Terminal Probolinggo. Aturan yang disepakati para pengemudi adalah, penumpang harus naik ke mobil sesuai nomor antre mobil. Jadi, bila mobil pertama belum berangkat, kita tidak bisa naik ke mobil antrean kedua. Di depan warung tempat ngetem, sudah ada satu bule cewek asal Amerika Serikat. Saya dan dia sepakat dengan sopir, masing-masing akan membayar Rp25.000,00. Kami disuruh menunggu. Berikutnya, muncul tiga orang bule, satu dari Brazil, satu dari Belgia, dan satu lagi dari Jerman. Sekarang saya memiliki teman, yaitu Meeka, Manuela, Jonas dan Daniel.  
Harga yang disepakati sama. Beberapa saat kemudian, sopir menawarkan, masing-masing kami membayar Rp40.000,00 dan akan segera berangkat. Kami menolak dan memilih menunggu. Sopir mengatakan, akan menunggu dua penumpang lagi, hingga pukul 17.00 WIB. Saat itu baru pukul 14.30 WIB. Hahaha …. Kami tidak mempermasalahkan itu asalkan tetap membayar Rp25.000,00. Tepat pukul 17.00 WIB, kami menagih janji untuk diberangkatkan. Tapi, …si sopir menolak dan meminta bayaran Rp40.000,00. Kami berlima akhirnya marah-marah tak keruan karena sudah merasa dipermainkan. Kami sudah menunggu tiga jam dan akhirnya tetap harus membayar Rp40.000,00. Kami memutuskan meninggalkan sopir itu dan mencari mobil lain. Tapi, jangan dikata itu mudah karena hampir semua mobil tak berani memberangkatkan kami. Alasannya, takut kepada sopir yang pertama. Ougggh … rasanya pengen menghajar saja. Akhirnya, kami menemukan sopir lain dengan harga Rp35.000,00. Dengan gondok, akhirnya kami mau tidak mau membayarnya. Dan saat itu sudah pukul 18.30 WIB!
Pelajarannya adalah:
Untuk Anda yang solo traveling, Anda akan berhadapan dengan “mafia” model begini, baik berangkat maupun pulang. Ujung-ujungnya selalu berusaha mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dari Anda. Bila Anda bukan orang yang sabar menunggu atau orang yang berani melawan, lebih baik tidak memilih angkutan ini dan membayar ekstra untuk ojek. Akan lebih mudah bila Anda bepergian secara grup, Anda bisa memilih carter mobil dan sharing budget atau bergabung dengan penumpang lain.

*Tulisan ini ada di salah bab buku saya, "Travelicious Surabaya, Malang dan Madura: Jalan Hemat, Jajan Nikmat"

Pulau Sempu & The Hidden Lagoon (Tips jelajah Sempu)


Ke Malang tanpa ke Pulau Sempu sepertinya nggak afdol. Inilah pulau yang dalam beberapa tahun belakangan menjadi perbincangan traveler domestik di forum-forum dunia maya mau tuturan antarsatu komunitas traveler ke komunitas traveler lainnya. Inilah pulau yang disebut-sebut Phi Phi Island-nya Indonesia. Phi Phi Island adalah pulau indah di selatan Thailand dan menjadi setting film box office-nya Leonardo Di Caprio yaitu “The Beach”.  Dan hari kedua, seharian penuh saya akan mengeksplorasi pulau ini.
                        Di Sempu, kita akan menemukan laguna tersembunyi yang masih perawan, yang tak kalah indahnya dengan Phi Phi Island. Pulau Sempu sebenarnya adalah kawasan konservasi atau suaka alam yang melindungi kekayaan hayati dan ekosistemnya. Sehingga memang secara infrastruktur, masih belum tersedia secara baik, khususnya untuk tujuan wisata komersial. Mereka yang ingin mengunjungi Pulau Sempu harus mendapatkan izin dan mengisi surat pernyataan. Kebanyakan yang datang ke sana adalah anak muda, dengan keperluan pendidikan pecinta alam.
Bagaimana cara menuju ke Pulau Sempu:
Menuju ke Pulau Sempu menggunakan transportasi umum sangat mudah sebenarnya. Tetapi yang menjadi persoalan adalah waktu. Kita akan banyak membuang waktu bila menggunakan transportasi umum, mengingat angkutan umum selalu ngetem atau menunggu penumpang penuh tanpa batas waktu. Bahkan sampai harus menunggu 2 jam !! seriously, benar-benar wasting time.
Untuk itu, bila memang niat menggunakan transportasi umum seperti yang saya lakukan, maka Anda harus berangkat pagi-pagi sekali. Oya, hari kedua saya sudah pindah hotel, ke Hotel Emma, sebelah utara stasiun, masih di Jl Trunojoyo (baca bagian penginapan). Pagi-pagi benar setelah menitipkan barang, karena check in baru bisa dilakukan siang hari, saya mencegat Angkot tepat di seberang hotel. :
1.      Cari Angkot dengan kode yang memiliki huruf G untuk jurusan Terminal Gadang. Tarif antara Rp 2.500,00 – Rp 3.000,00
2.      Di Terminal Gadang, cari colt L-300 jurusan Turen. Mudah sekali mendapatkannya, begitu turun di Gadang akan banyak yang menawari kita angkutan menuju ke Turen. Tarif Gadang – Turen Rp 4.000,00.
3.      Di Turen, ambil Angkot jurusan ke Pantai Sendang Biru. Di sinilah biasanya titik terlama menunggu penumpang. Namun bila Anda beruntung menemukan Angkot yang sudah penuh, bisa langsung jalan. Tarifnya sekali jalan Rp 12.000,00.
4.      Begitu sampai Pantai Sendang Biru, kita segera mencari perahu menyeberang ke Pulau Sempu yang sudah tampak di depan mata. Rata-rata perahu menerapkan tarif sekali pulang pergi Rp 100.000,00. Bayar di muka, lalu kita minta nomor handphone pemilik perahu. Kita bisa janjian jam berapa akan dijemput kembali, bila terlambat kita bisa memberitahu lewat HP.

TIPS
1.      Saya sarankan bila ke Pulau Sempu datang secara berkelompok. Selain lebih menyenangkan, juga akan ramah di kantong dan tidak wasting time. Misalnya nih, untuk Angkot Turen – Sendang Biru, kita bisa langsung carter sehingga tidak direcoki penumpang lain atau ngetem terlalu lama. Pulangnya, dari Sendang Biru ke Turen, kita tinggal minta dijemput. Demikian juga untuk perahu, dengan berkelompok, kita tinggal sharing Rp 100.000,00 dibagi dengan teman lain.
2.      Pantai Sendang Biru adalah titik terakhir kita menemukan air tawar. Di Pulau Sempu, kita tidak akan menemukan air tawar, sehingga kita harus membawa bekal air minum. Tidak cukup satu botol, tetapi lebih dari itu, karena perjalanan sangat berat dan akan banyak menguras tenaga.
3.      Sarapanlah sebelum melakukan perjalanan ini. Jangan meremehkan kondisi rute di Sempu, karena ini akan benar-benar di luar dugaan Anda, apalagi bagi Anda yang awam dengan petualangan alam liar.
4.      Bila Anda tidak menginap (camping) di Pulau Sempu, dan berniat pulang sore harinya, siap-siap bawa bekal minimal lampu senter. Antisipasi bila Anda kemalaman di dalam hutan menuju kembali ke Pantai Sendang Biru.
5.      Bila dalam rombongan Anda tidak ada orang yang pernah ke Sempu sebelumnya, disarankan untuk menyewa penunjuk jalan yang biasanya ditawarkan di bagian perizinan (biasanya warga sekitar) dengan tarif sekitar Rp 100.000,00.
6.      Pakailah sandal gunung yang mengikat sempurna kaki. Sandal jepit dapat dipastikan akan mudah putus karena medan berat. Bisa juga menggunakan sepatu hiking yang kuat melindungi kaki.
                        Saya datang ke Sempu dengan menggunakan transportasi umum bersama empat orang traveler yang saya kenal dari situs traveler. Kami sepakat melakukan perjalanan ke Sempu bersama. Berangkat pagi sekitar pukul 07.00 WIB dari Terminal Gadang. Namun waktu kami habis di Turen, sehingga sekitar pukul 11.00 WIB baru berangkat menuju ke Pantai Sendang Biru.
                        Karena tak ingin kemalaman, kami langsung tancap gas begitu sampai Pantai Sendang Biru langsung saja menyeberang setelah sebelumnya mengurus surat izin di pengelola dengan membayar Rp 10.000,00. Perjalanan menyeberangi laut sekitar 10-15 menit sangat menyegarkan. Tapi jangan senang dulu, karena perjalanan sebenarnya baru akan dimulai beberapa saat lagi.
                        Di perairan dangkal ujung utara pulau itu kami turun. Air setinggi lutut, dan di depan kami banyak traveler lain yang menunggu jemputan perahu untuk pulang. Perjalanan sebenarnya pun di mulai. Batu-batu karang tajam, lumpur, air, akar pohon yang kadang terpotong tajam, menyambut saya. Perjalanan sepanjang kurang lebih 2 km ini benar-benar berat. Kami sengaja tidak menyewa penunjuk jalan karena dua orang di kelompok kami pernah datang ke sini. Tujuan kami adalah hidden lagoon, sebuah kolam besar indah yang dikelilingi batu karang yang menahan Segara Anakan masuk bebas, dan di sisi lain adalah daratan pulau ini.
                        Dan kami salah jalur. Kami yang harusnya bergerak lurus, justru ambil jalur belok kiri. Setelah berjalan satu jam lebih, kami berhenti di sebuah pantai indah dengan karang yang menghalang sebagian ombak Segara Anakan ke pantai. Tapi ini bukan tujuan kami. Lemas sudah. Tetapi bagi kami, bonus tersesat ini tak kalah indahnya. Beberapa saat kami menikmati pantai itu, sebelum akhirnya kembali ke garis awal, dan memulai perjalanan ke hidden lagoon sebenarnya. Rute yang kami lalui bukanlah jalan datar dan bisa dilalui dengan bersiul. Bukan. Ini sebuah rute berat, dengan jebakan lumpur, tajamnya karang, akar pohon yang menyandung kaki, naik turun, pohon tumbang, dan lain sebagainya. Karang akan mudah menyayat telapak kaki kita, demikian juga duri tajam dan akar-akar yang terpotong tajam. Tetapi perjalanan berat antara satu setengah hingga dua jam ini akan terbayar sempurna bila kita sampai di kolam tersembunyi itu. Luar biasa.
                        Di pasir lembut kita bisa merebahkan badan, kita juga bisa langsung berenang di perairan dangkal yang dilindungi karang melingkar. Hanya ada beberapa lubang yang membuat air laut masuk ke kolam raksasa itu. Luar biasa menakjubkan. Bila Anda ingin bermalam, pasti akan lebih menyenangkan lagi. Camping di pinggir pantai dengan kolam pribadi buatan alam yang indah ini.    Seharian itu, saya terpesona dengan keindahan Sempu dengan hidden lagoon-nya, serta bonus satu pantai perawan entah apa namanya atau mungkin bahkan belum dinamai, dan tentu saja Pantai Sendang Biru. Sekitar pukul 21.00 WIB saya sudah tiba lagi di Kota Malang. Malam itu, saya menghabiskan waktu dengan istirahat di hotel.

TIPS
Segala keperluan traveler sudah tersedia di titik Pantai Sendang Biru, mulai rumah makan, kamar mandi untuk ganti, hingga persewaan sepatu boot antiselip. Di Pulau Sempu Anda tidak bisa mendapatkan kebutuhan-kebutuhan itu, karena pulau ini adalah pulau konservasi. Untuk itu, penuhilah kebutuhan Anda sejak awal.
Resume hari kedua jalan-jalan di Malang:
Dari Malang kota Terminal Gadang Turen Pantai Sendang Biruà menuju Pulau Sempu untuk hiking dan menikmati hidden lagoon balik ke Malang kota à makan malam di lesehan depan Stasiun Kota Baru Malang.






*Tulisan ini ada di salah satu bab buku saya, "Travelicious Surabaya, Malang dan Madura: Jalan Hemat Jajan Nikmat."

Sunday, August 14, 2011

Pelajaran dari Kazakhstan- cara aman backpacking

Senin, 8 Agustus 2011 lalu, teman baik saya dari Switzerland, Sven Huber, mengirim sebuah email ke saya. Setelah basa-basi sebentar menanyakan kabar, dia baru bercerita, dia mendapatkan serangan dari sekelompok pemuda berandalan saat camping dengan travelmate-nya, Chris Roach dari Australia. Dia tidak cerita banyak, namun copy berita di koran terbitan Almaty, Kazakhstan, membuat saya ngeri juga. 

Ini nukilan berita di koran setempat yang dikirim Sven ke saya:
Almaty, Kazakhstan – World cyclists Chris Roach (Australia) and Sven Huber (Switzerland) were assaulted by a gang of teenage youths early on Monday morning while cycling in Southern Kazakhstan.
The pair were woken by local youths who approached the encampment around midnight. The youths began hurling stones from a nearby river at the tents and bicycles. When confronted, the youths fled but later returned with larger rocks, glass bottles, pieces of Iron and animal bones which became a deluge of flying objects falling around the two cyclists.

After a large rock struck Chris on the head, causing serious bleeding, the youths were chased away a second time while Sven ran to the nearby village to seek help. While alone, the youths returned for a third time bombarding the camp demanding money while blood was streaming from Chris's wound. It was only after the ambulance arrived that the youths fled.

Chris was taken to the emergency department in a nearby town where he received six stitches in the head and treatment for minor cuts and bruises. Sven comments “I have no idea what provoked the senseless attack. I was shocked that the youths continued throwing the objects even after they could see Chris was injured..

Chris comments how unfortunate the event was “... it is a real shame that it happened in Kazakhstan where the people have been so overwhelmingly hospitable. The local doctor and ambulance driver were apologising profusely on behalf of their small village.”

Earlier that same morning Chris and Sven were were invited for traditional curd, rice soup and freshly baked bread in a neighbouring village by an old lady with a family of six. Despite the incident Chris reflects, “Kazakhstan is a beautiful country with a remarkable diversity of landscapes and peoples... it really is where the east meets the west!”

Chris is now resting with friends in Almaty and after a brief stop to determine the extent of the injuries, Chris expects to continue his world cycling expedition to Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan, Turkmenistan and Iran before arriving in Europe by the end of the year.

With a miniscule budget of $5 USD/day Chris relies on the generosity of others to help him on his way. Chris remarks “The world is a beautiful place full of warm and generous people - something we so easily forget.” ...overwhelmingly there are more positive experiences than negative.” Throughout the Expedition Chris is raising money for Oxfam Australia, an international organisation, working to reduce poverty and injustice. 

Bagaimana bila itu terjadi dengan kita? saat kita backpacking di negeri entah di mana dan diserang gerombolan (bukan lagi seseorang?

Kesalahan/kelengahan teman saya adalah, mereka berada di wilayah yang jauh dari lingkungan penduduk dan tidak memperkirakan akan terjadi serangan tersebut. Berikut ada sedikit tips saya soal bagaimana supaya backpacking kita aman:

  •  Jangan lengah, meskipun di depan Anda terbentang pemandangan super indah dan Anda terpesona, sibuk dengan menikmati keindahan itu. Waspada orang sekitar Anda, tetap pasang mata di barang-barang bawaan Anda.
  •  Bila Anda backpacking di luar negeri, jangan pernah lepaskan paspor dari tangan, jangan ditinggal di hotel. Simpan barang berharga di tempat yg melekat di tubuh.
  •  Simpan uang di wallet belt. Bentuknya seperti dompet, tipis, tetapi cara menggunakannya seperti menggunakan ikat pinggang. Melekat di perut dan anticopet. Bisa di beli di kompleks pertokoan bandara.
  • Jangan menyimpan uang di satu tempat, pisah beberapa bagian. Satu hilang, masih akan memiliki backup.
  • Waspadai orang-orang baru yang tiba-tiba baik dengan Anda. Do not trust strangers too easily !
  • Yang cewek utamanya, inget pesan Ibu hehehe. Jangan keluyuran malam sendirian. Ini sebenarnya juga disarankan buat cowok juga, tetapi memang risikonya lebih besar cewek.
  • Buat cewek, disarankan membawa Pepper Spray, atau semprotan merica, yang efeknya bisa membuat pandangan terganggu dan sesak napas bila kita semprotkan ke orang yang niatnya jahat. Ini bisa dibeli di Indonesia, toko online, harganya sekitar Rp 250.000.
  • Di wilayah-wilayah dan kasus tertentu, terlihat menonjol sebagai turis juga mengundang orang jahat. Cara mengakalinya adalah, blend in dengan lingkungan.
  •  Yang membawa perhiasan atau barang berharga, bisa di simpan di safe deposit box yang ada di hostel atau hotel sebagai bagian dari fasilitas. Biasanya gratis.
  •  Catat emergency number seperti nomor polisi, rumah sakit, ambulance, dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan.
Itu setidaknya beberapa hal yang bisa kita persiapkan dan lakukan untuk mengantisipasi kejahatan yang mungkin terjadi pada kita saat backpacking. Ingat, destinasi indah tidak akan membawa kemanfaatan apapun bila kita tidak aman. Selamat berpetualang !

Regards,
A

Thursday, August 11, 2011

Passport by Rhenald Kasali

PASSPORT

Oleh Rhenald Kasali
* [Jawapos, 8 Agustus 2011]

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki “surat ijin memasuki dunia global.”. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya passport. Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.

“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”
Saya katakan saya tidak tahu.
*Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang.
*Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin. Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju.
Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan di antaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang
yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar.
Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan passportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri. 
* The Next Convergence*
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki passport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. 
Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti
menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya passport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan
kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipassportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing. Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit.
Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka. Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki
pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari passport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara. 

*Rhenald Kasali, Guru Besar Universitas Indonesia *

Wednesday, August 10, 2011

Backpacking itu tidak asal jalan, tapi perlu skills

Saya ingat sekali saat seorang teman menyebut "backpacker" yaitu orang yang melakukan "backpacking" sebagai sesuatu yang valuenya tidak sembarangan, sehingga dalam ungkapan dia tersirat, kalau kita sudah pernah berkelana, berpetualang, maka belum bisa kita menyebut diri kita sebagai backpacker. Seakan itu tahta tertinggi pencapaian seorang traveler. Duh.

Versi saya? Saya tidak setuju dengan kalimat itu atau opini dia. Tidak ada standar seseorang bisa/boleh/berhak menyebut dirinya backpacker. Ini hanya cara kita menikmati perjalanan, jadi bukan soal mencari gelar. Jadi tidak perlu ribet memikirkan apakah kita backpacker atau bukan. Saya pribadi sering merasa risih saat orang menyapa saya dengan embel-embel bahwa saya seorang backpacker. Bukan. Kenalkan, nama saya Ari, kerjaan saya nulis buku dan menikmati hidup dengan  cara saya (termasuk traveling). Saat saya melakukan perjalanan, bolehlah orang menyebut saya backpacker, tapi saat saya melakukan kegiatan sehari-hari saya, ya saya kembali menjadi Ari, orang yang kerjaannya nulis buku dan menikmati hidup dengan cara saya (termasuk traveling). "Backpacker" itu bukan  label kayak orang naik haji, pulang dari Tanah Suci gelar haji itu melekat selamanya. Bukan begitu cara kerjanya, setidaknya menurut saya.

Nah, kok saya jadi sewot? Iya, suka sebel saja dengan orang-orang yang sirik dengan berkata seolah-olah saya dengan sengaja menyebut diri saya backpacker handal. Padahal menurut dia saya belum berhak. Oh tidaaak. Saya tidak gila gelar, julukan, etc. Lihat saja di buku saya, apakah saya mencantumkan gelar sarjana saya? Tidak. Jadi soal disebut saya backpacker atau bukan ya bodo amat. Kan yang melabeli itu bukan saya, tapi orang lain. Jadi ya whatsoever atuh !!
Keuntungan punya blog tuh gini nih. Mau nulis tips pun bisa curcol dulu tanpa orang bisa menginterupsi. Hahahaha. Baiklah, ini bagian seriusnya. Jadi, bagi Anda yang mau backpacking, ada banyak aspek yang mungkin perlu Anda persiapkan, terkait keamanan diri, harmonisasi alam-manusia, serta kenyamanan. Dalam banyak hal yang terjadi dalam backpacking saya, ada skills yang menurut saya harus dimiliki Anda yang ingin melakukan backpacking. Sangat relatif, tetapi setidaknya ini menurut saya:

1. Anda harus menjadi orang yang memiliki kontrol diri yang kuat, tidak panikan. Menurut saya ini bisa dilatih kok. Hal ini menurut saya penting, misalnya Anda kehilangan sesuatu, dompet, uang, paspor, atau yang lainnya, Anda harus bersikap tenang. Pergi ke kantor polisi terdekat dan melaporkan musibah yang menimpa Anda. Antisipasi tentu penting, tapi kadang sudah diantisipasi pun kita masih sial ya. Ketenangan adalah modal yang kuat untuk mendapatkan solusi dari setiap masalah Anda. 
Contoh yang saya alami:
  • Backpacking pertama saya yang melintas dari Singapura ke Malaysia overland dengan menggunakan Kereta Api (KA) membuat saya tertahan agak lama di imigrasi Malaysia. Saya ditanya macam-macam, masuk lewat mana? kenapa memilih naik kereta api? pulang kapan? di Kuala Lumpur tinggal di mana? plus tatapan tidak mengenakan dari petugasnya. Cukup lama saya menjalani pemeriksaan ini. Harus marah? Tidak perlu. Marah hanya akan membuat saya mengalami masalah lain. Petugas itu hanya menjalankan tugas, termasuk menjaga kemungkinan masukknya pekerja ilegal dari Indonesia, yang mungkin saja itu saya.
  • Saat naik bus dari Chiang Mai menuju ke Tachileik, Myanmar, saat berada di toilet, pintu toilet digedor-gedor dari luar. Saat saya keluar, ternyata tentara Thailand sudah berada di depan pintu. Bertanya kepada saya dengan bahasa yang tidak saya pahami. Yang bisa saya lakukan adalah menyerahkan paspor saya untuk diperiksa. Selesai, habis itu dia pergi. Terganggukah saya? pastinya. Marah? gak berani, dia bawa senjata :)
  • Di Imigrasi Bangkok, backpack saya yang segede bagong ditahan. Saya diminta (dengan dibentak-bentak) membuka semua backpack saya. Duh apalagi ini, padahal sudah rapi sekali saya packing. Baru kemudian ketahuan saya yang bego. Ada korek api gas bergambar naga yang saya beli di Nanning, China, terselip di bagian paling bawah backpack saya. Korek api gas tidak boleh masuk ke dalam pesawat. Oleh-oleh buat kakak ipar saya itupun harus lenyap masuk ke kotak imigrasi. Marah? pengen bangeeeeet. Tapi gak berani hahaha.
2. Kemampuan navigasi, mengingat arah, adalah salah satu kemampuan yang bisa kita latih supaya tidak tersesat. Membawa peta adalah penting, mempelajari calon medan juga perlu. Tetapi kadang tersesat juga. Saya pribadi tidak pernah benar menentukan arah mata angin. Peta selalu saya bawa, tetapi tersesat masih juga. Salah satu hal yang saya lakukan adalah mengingat gedung. Ini sangat berguna supaya kita tidak tersesat. Setiap intersection, blok, atau belokan tertentu, saya selalu menghapalkan gedung-gedung tertentu. 

3. Kemampuan survival adalah hal lain yang penting. Apa yang akan Anda lakukan saat tiba-tiba migrain Anda kumat di tengah jalan-jalan? Itu terjadi pada saya. Migrain saya bukan sembarang migrain, kadang bisa sampai pengen tepar, muntah-muntah, kayak mau pingsan. Untung di kantong saya ada aspirin. Atau saat mencoba makanan baru, perut gak cocok, mencret-mencret, apa yang Anda lakukan? Ahh...untung saya bawa obat sakit perut. Kok serba untung? Nah, ini untung bukan sembarang untung. Ini karena saya mempersiapkan segala sesuatunya sebagai bagian dari cara bertahan hidup. Plester antiluka, minum vitamin sebelum berangkat dan saat berangkat, adalah hal penting lainnya. Tapi saya pernah kena apesnya juga. Gara-gara nginep di bandara LCCT yang super dingin, saya masuk angin. Di Chiang Mai, Thailand, esok harinya, saya diantar teman ke klinik untuk beli obat. Oughhh...BIG NO NO !!.
Kemampuan survival tidak cuma soal keselamatan, tetapi juga makanan. Jangan pernah mengentengkan sarapan, meskipun sedikit. Saya, meskipun nggembel, tetap makan teratur tiga kali sehari. Minuman dalam kemasan juga selalu nangkring di salah satu bagian backpack saya. Selain semua hal itu, saya juga sudah siap nomor polisi, rumah sakit, nomor kontak teman-teman yang kemungkinan bisa saya hubungi saat situasi darurat.

4. Beretika. Ini salah satu hal yang tak kalah penting. Beretika terhadap alam, jangan merusak, jangan nyampah sembarangan. Beretika terhadap budaya, menghormati budaya setempat. Beretika terhadap aturan, kalau memang aturan suatu daerah/negara berbeda, ya ikuti aturan itu atau kita terkena masalah.

5. Manajemen keuangan. Kemampuan ini juga penting. Karena bila salah perhitungan, para gembel seperti saya bisa-bisa terdampar di negeri antah berantah entah di mana, tanpa minum tanpa makan. Di awal, saat duit masih penuh, banyak, jangan lapar mata. Jangan asal beli barang bagus dan murah. Ada setan di perut dan mata Anda, jangan asal mencoba makanan baru. Karena siapa tahu, Anda sedang kesetanan dan pada akhir perjalanan menjadi manusia paling menderita gara-gara duit habis hahahahah. Hati-hati benar memanage keuangan Anda.

Itu sedikit tips kecil dari saya. Semoga berguna dan selamat berpetualang.

regards,

A



Friday, August 5, 2011

Cari Travelmates Tuh Gampang-Gampang Susah

Saya beberapa kali mendapatkan pertanyaan, kalau traveling atau backpacking bareng itu idealnya berapa orang? Pertanyaan yang sederhana, namun disadari atau tidak, ini substansial banget, yang akan menentukan apakah perjalanan kita menjadi menyenangkan atau malah menjadi bencana.
Mencari travelmates, travelbuddy, travel companion, teman perjalanan atau apalah namanya memang gampang-gampang susah. Saya mau sharing pengalaman saja, saya sering melakukan solo traveling, berdua, bertiga, hingga bersebelas orang. Banyak pengalaman yang saya pelajari dari perjalanan-perjalanan saya itu, nah...saya ingin berbagi dengan Anda semoga berguna. Ini memang sangat relatif, bagi beberapa orang akan sama, tetapi bagi orang lain berbeda. Tetapi setidaknya bisa jadi antisipasi.
Sebenarnya, dalam banyak traveling, saya melakukannya sendirian. Enaknya solo traveling adalah, saya bisa melakukan apapun sesuka saya. Mau tujuan kemanapun, ganti itinerary, ketemu siapapun, makan dan tidur di manapun, itu hak prerogative saya. Tapi gak enaknya, kadang butuh tukang foto, dan sungkan untuk meminta bantuan orang lain hahahaha. Selain itu, gak bisa sharing budget, kalau di terminal, stasiun atau bandara tidak ada orang yang jagain barang-barang pas mau ke toilet. Alhasil, kadang-kadang sedikit boros juga. 
Solo traveling memang nikmat, tetapi saya sarankan, kalau Anda memiliki teman baik, yang sudah seperti sehidup semati, atau udah kenal baik wataknya, bisa deh dijadikan travelmates. Tetapi, sekarang ini, banyak juga orang yang mencoba mencari travelmates secara random di grup-grup traveler dan backpacker gitu, nah itu juga harus hati-hati. Alih-alih ingin mendapatkan travelmates, malah liburan Anda bertuah bencana.
Ini tips mini dari saya soal memiliih Travelmates:
1. Paling nikmat adalah traveling berdua. Dengan pacar disarankan. Dengan best friend juga boleh. Intinya sudah saling memahami satu sama lain, tau pahitnya dululah tentang orang itu. Kalaupun akan terjadi pertengkaran, itu mah paling benci tapi rindu :), pagi berantem, sore udah ngopi bareng.

2. Kalaupun lebih dari dua orang, saran saya sih bertiga. Apalagi kalau perjalanan Anda adalah perjalanan on budget, uang mepet mampus. Satu hal "Lapar, capek, duit mepet" adalah potensi besar amarah emosi dan darah tinggi. Nah, kalau dua orang berantem, setidaknya ada orang ketiga yang bisa menengahi. Terus kalau ribut menentukan sesuatu, setidaknya ada orang ketiga yang bisa diajak voting.

3. Jangan traveling dengan pasangan yang lagi pacaran. Ini memang relatif, tetapi kalau kebetulan dapat pasangan egois, kau akan dikacangin. Kalau berantem, kau akan dikeroyok :)

4. Kalau perjalanan on budget, dan mau ada sharing, di awal harus disepakati kepentingan masing-masing. Jangan pulang-pulang nanti masih ada yang nggerundel "Kamu kan masih bawa duitku!!"

5. Bikin perencanaan perjalanan yang jelas. Cari travelmates yang mau komitmen dengan prinsip keputusan tertinggi adalah keputusan bersama. Jadi kalau ada yang mau melanggar, siap-siap kena risiko ditinggal grup.

6. Bagi cowok, kadang traveling bareng cewek itu sudah dibayangkan akan menyenangkan. Pasti akan menyenangkan kalau ceweknya tidak manja, tidak ribet. Tetapi perhatikan benar, kalau di awal sudah sering komplain, maka siap-siap liburan akan menjadi neraka. Kalau nggak jadi tukang foto dadakan yaa paling  jadi porter alias tukang angkat-angkat barang. Tapi kalau mau (atas nama cinta...atau memujanya) ya monggo saja hahaha.

7. Bedakan antara petualang/penikmat dunia dengan turis. Ini akan menentukan sukses tidaknya traveling bareng. Petualang lebih cenderung adalah orang yang easy going. Mau makan di pinggir jalan hayooo...mau tidur di bandara hajar sajaa, mau jalan jauh mariii, mau naik bus atau kereta kelas tiga tidak masalah. Tetapi turis biasanya mereka yang menikmati sekali perjalanan, makan dan penginapan memilih, gak mau jalan kaki dan lebih suka kemana-mana naik taksi, dan sangat menikmati kunjungan ke touristy places sementara di jalan akan banyak tidur. Nah, pilih-pilih benar mana yang sesuai dengan kepribadian Anda.

8. Cari Travelmates yang positive thinking. Karena segala hal negative, termasuk soal pikiran, akan membuat liburan Anda berantakan.

Itu sedikit tips saya. Dalam perjalanan, saya pernah mengalami situasi tidak enak, berantem, kubu-kubuan, dan sebagainya. Ini pelajaran yang saya sharing buat Anda. Selamat mencari travelmates Anda ! :)

regards,
A