Friday, September 21, 2012

Berburu Ganja di Hmong Village

photo: chiangmai.org
Tidak, tidak seperti yang Anda bayangkan, Journer.

Saya tidak akan mengajari Anda berburu candu dalam arti sebenarnya. Saya akan ajak Anda jalan-jalan ke Hmong Village, di Chiang Mai, Thailand. Pertama kali ke Thailand pada tahun 2009, saya diajak teman menuju ke Pegunungan Doi Suthep. Kami menikmati perjalanan yang menyenangkan dan tidak terlalu jauh dari Chiang Mai, kota terbesar kedua di Thailand ini.
Jalur menuju pegunungan ini sangat halus jalannya. Mungkin karena di salah satu bagian pegunungan ini terdapat Bhubing Palace atau Royal Winter Palace, yang merupakan tempat tinggal keluarga kerajaan saat mereka ingin bersantai atau liburan. Siang belumlah terlalu tua, tapi saat itu sudah serupa mendung. Serunya lagi, kabut sudah mulai turun. Sedaaap. Saya suka udaranya yang bersih, jalan tidak macet bahkan cenderung lengang (beda jauh dengan Puncak). Suhunya pun tidak dingin banget, bahkan saya yang tidak kuat dingin juga tidak perlu memakai jaket.
Tujuan utama sih sebenarnya Wat Phrathat (ntar deh saya ceritakan di tulisan terpisah). Nah, kelar dari Wat Phrathat yang cantik itu, teman saya mengajak untuk naik ke bagian lebih atas. Pilihannya dua, yaitu Hmong Village dan Bhubing Palace. "Ya udah, dua-duanya saja," sambar saya cepat.
Beberapa orang mengatakan Hmong Village adalah desa biasa. Tetapi saya melihat secara berbeda. Ini desa nyaman banget. Gampang juga dicapainya. Saya langsung suka pada pandangan pertama terhadap desa ini. Sangat tenang, tidak ada hiruk pikuk turis, meskipun kita bisa bertemu dengan satu dua orang asing yang mendatangi desa ini.
Sebenarnya, Hmong Village sudah mengantisipasi datangnya turis. Ini terlihat di bagian depan desa yang seperti tanah lapang luas untuk parkir mobil dengan kanan-kirinya banyak pedagang souvenir, berupa kerajinan tangan yang dibuat sendiri penduduk desa. Penduduknya memakai pakaian adat semua. Beberapa perempuan tua duduk di depan pintu sambil membuat kerajinan tangan. Yang saya suka adalah, mereka cuek terhadap turis. Maksudnya, mereka tidak menyodor-nyodorkan kerajinan tangan kepada turis supaya mau membeli. Jadi bener-bener enak banget jalan-jalannya.
Memasuki ujung desa, kita akan dibawa ke sebuah area khusus, yang penuh dengan bunga aneka warna dan kolam yang airnya bersumber dari gunung. Kolamnya lebar, biasanya buat berenang. Di sekelilingnya banyak terdapat bungalo dari bambu dengan atap semacam sirap. Nah, yang istimewa, kita dapat dengan mudah menemukan tanaman ganja, yaitu jenis Opium Poppy. Gak cuma satu, banyak.
ngiler
Apakah Opium Poppy (Papaver Somniferum) adalah spesies tanaman opium yang menjadi sumber Narkotika, morfin, termasuk heroin dan turunannya. Nama botani Latinnya berarti "sleep-bringing poppy", mengacu pada sifat obat penenang dari Poppy. Ada beberapa kegunaan sebenarnya, selain menjadi sumber Narkotika, morfin, etc. Misalnya, benihnya bisa dijadikan sumber minyak goreng sehat. Namun, di beberapa negara, tanaman ini dilarang keras.(sumber: Wikipedia).
Seumur-umur, baru kali ini juga saya melihat langsung tanaman ganja ini. Maka tanpa ba-bi-bu lagi, foto-foto deh bareng si tanaman huehehe. Saat saya mencoba memetik satu daun untuk saya bawa pulang, kedua mata teman saya sudah melotot tajam ke arah saya. Huehehehe...baiklah.
Tidak ada pengawasan khusus masuk daerah ini. Semua serbawajar, seolah-olah tidak ada tanaman terlarang di wilayah ini. Kalau di Indonesia gak mungkin eksis kali ya desa yang menanam ganja, untuk alasan mendatangkan turis sekalipun. Masuk ke desa ini pun sebenarnya gratis. Tetapi ada orang yang juga membuka kota sumbangan sukarela juga sih, yaitu 10 Baht atau sekitar Rp 3.000. Sukarela kok ada nominal? Ya sudah nggak papa, susah lho di Indonesia bisa dapat daun ganja dengan Rp 3.000 hueheh. Saya demen banget dengan desa ini. Kalaupun ada hostel atau penginapan di rumah warga, mungkin saya mau deh tinggal semalem gitu :). 

So, Journer, kalau lagi jalan-jalan ke Chiang Mai, jangan lupa deh mampir ke desa ini. Cara ke sana gampang kok, banyak angkot merah (Rod Daeng) yang menawarkan trip ke Doi Suthep. Kalau ada barengannya, bisa lebih murah dan cepet berangkat. Sebelumnya, dari titik di mana pun kita tinggal di Chiang Mai, ambil angkot merah dulu dan minta diantar ke Chang Puak Gate, atau ke Maninopharat Road. Bisa juga bilang ke depan gerbang utama Chiang Mai University. Nah di depan gerbang ini, kita bisa melihat beberapa angkot merah ngetem, dengan memasang tanda melayani trip ke Doi Suthep. Saya dulu dapat 140 Baht atau sekitar Rp 42.000 untuk bolak balik dari lokasi tersebut ke gerbang Wat Phratat Doi Suthep. Itu sudah termasuk mereka menunggu kita satu jam untuk mengeksplorasi Wat Phratat. Nah, kalau mau ke Hmong Village, bisa nambah 40 Baht atau Rp 12.000, maka kita akan diantar ke desa itu.

Selamat mencoba,

A

9 comments:

merry go round said...

Kenapa ga icip-icip ganjanya on the spot mas #eeh :))

merry go round said...

Kenapa ga icip-icip ganjanya on the spot mas #eeh :))

Ariy said...

udah kok...gak cuma icip2, tapi doyan. Hasilnya kayak gini nih...lemottt :)

Anonymous said...

Hey! Why did you choose to come to Chiang Mai? Did you get to visit Phuket as well?

Ariy said...

Chiang Mai for me more relaxing than others cities in Thailand. Yeap, i've been in Phuket twice

Anonymous said...

I think Chiang Mai is more relaxing too. Love the cool weather there. ^_^
How many times you went to Chiang Mai already?

Ariy said...

thats what I'm talking about. Chiang Mai so relaxing. Actually, I'm a kind of tropical person, and I don't like winter. But Chiang Mai is different, it's not really cold. Been there for twice.

Anonymous said...

If you don't mind me asking..what makes Chiang Mai so relaxing for you?

bedty said...

kakka kalo ke thailand lagi aku ikutttttt :p