Saturday, October 20, 2012

Jakarta, Tanah Harapan

"Kalau kamu bisa mencari pekerjaan di daerah, ngapain harus ke Jakarta?" itu kata Ibu saya suatu hari, saat saya membicarakan kemungkinan menerima tawaran pekerjaan yang menurut saya bagus banget. Gaji cukup gede, fasilitas bagus, dan yang paling menggembirakan adalah itu sesuai dengan passion saya, yaitu traveling.

Apa yang disampaikan Ibu, bagi saya sudah terdengar seperti lampu merah. Saya menurut saja, karena bagi saya, Ibu itu nomor satu. Yang kedua? Ibu juga. Yang ketiga adalah keluarga, sejak Bapak meninggal beberapa tahun yang lalu. Jadi saya tidak punya alasan lain. Saya tidak akan pernah ke Jakarta untuk bekerja tetap di kota itu.

Jakarta adalah Tanah Harapan, bagi sementara orang. Bagi saya? Jakarta menawarkan banyak hal, kesempatan untuk memperbaiki hidup, kesempatan untuk mengembangkan diri, dan tentunya lobang duit lebih banyak di sini daripada di daerah. Kenapa saya belum pindah juga? Kata teman saya, Trinity, si Naked Traveler itu, "Kalau kau ke Jakarta, kesempatan untuk berkembang lebih bagus buat karir nulis akan terbuka lebih lebar."Waktu itu, saya hanya menjawab "Selama pekerjaan-pekerjaan ini bisa saya selesaikan di daerah, saya di daerah saja." Memang banyak pekerjaan dan kesempatan yang saya dapatkan dari Jakarta, semua terkait dengan aktivitas saya di nulis dan kesukaan saya akan traveling.  

"Kamu itu ke Jakarta kayak numpang kencing. Kalau sudah sampai, ribet pengen pulang," itu kalimat temen baik saya yang selalu saya repotkan saat saya ke Jakarta. Dialah "sopir pribadi" saya saat saya di Jakarta. 

Saya ingin flashback, tahun 2004, saya ke Jakarta. Waktu itu sebenarnya saya sudah punya pekerjaan di Solo, yaitu sudah menjadi jurnalis di salah satu harian lokal yang berkembang pesat, dan pusatnya di Jakarta. Nah, iseng-iseng, saya ngelamar juga sebagai editor di sebuah penerbit nasional yang sangat gede. Dipanggil-lah saya ke Jakarta. Tes satu, tes dua, tes lainnya...sampai kemudian tawar menawar gaji. Saya meminta gaji tertentu, mereka mempertimbangkan. Tapi saya pikir, saya sudah setengah hati saat itu, karena memang saya tidak dikejar kebutuhan akan pekerjaan, diterima atau tidak, saya punya pekerjaan di Solo. Dan benar, memang saya tidak berlabuh di perusahaan itu. 

Yang saya ingat sekali tentang pengalaman itu bukanlah proses di mencari pekerjaannya. Tetapi lebih kepada proses saat saya pulang ke Solo. Malam itu, saya reuni dengan teman kuliah saya bernama Ayu. Kami bertemu di Blok M, lalu lanjut makan malam. Rencananya, saya akan pulang ke Solo melalui Terminal Kampung Rambutan.

Hari sudah malam, sekitar pukul 22.00 WIB, Ayu mengantar saya sampai ke Kampung Rambutan. Karena dia cewek, saya minta dia pulang langsung, tidak perlu menunggu saya mendapatkan bus. Malam itu, di Kampung Rambutan, saya duduk sendirian, suasana sepi. Seorang laki-laki muda menghampiri saya dengan wajah jauh dari bersahabat.

"Heii...mau kemana?" Dia dengan sok akrab duduk memepet saya, kasar sekali. Saya tersenyum, lalu menjawab "Solo Mas."

Laki-laki muda itu kaget, lalu tersenyum lebar "Wah Solo ya? kanca dewe (teman sendiri). Aku juga Solo Mas, tepatnya di Sukoharjo," cerocos dia. Yeeee....Solo ya Solo, Sukoharjo beda lagi, batinku. Tapi saya lega dia lebih ramah setelah tahu saya dari Solo. Beberapa saat kemudian dia berbisik "Mas...pindah ke sana saja, jauh-jauh dari sini," kata dia. Saya menurut saja. Sepuluh menit kemudian baru saya tahu, dia menyelamatkan saya dari situasi buruk. Hanya beberapa saat setelah dia meminta saya pindah, beberapa gerombol orang berantem seru di tempat saya duduk tadi. 

Saya mulai ngeper. Ini ke Jakarta saya yang pertama tanpa ada teman. Tiba-tiba di samping saya ada laki-laki muda, yang mukanya seperti tak kalah ngepernya dari saya melihat peristiwa tawuran tadi. Dia dari Tegal dan mencari bus juga. Saya ajak dia untuk ke Pulo Gadung saja, karena bus tidak kunjung ada. Dia menggangguk. Lalu saya menyetop taksi, dan dia mundur. "Saya tidak punya uang untuk bayar taksi," kata dia. Tanpa banyak cingcong, saya tarik tangan dia masuk ke taksi "Aku yang bayar," kata saya.

Di dalam taksi, kami seperti terlepas dari maut. Tak berapa lama kami sudah tiba di Terminal Pulo Gadung. Tak butuh waktu lama untuk kami bisa masuk ke dalam persoalan lain. Inilah sebenar-benarnya Jakarta. Pintu taksi terbuka, beberapa orang menyerbu kami. Seperti daging yang dilemparkan ke dalam kolam berisi ikan piranha. 

"Mau kemana?"

"Kemana?'

"Kemana?"

Setidaknya sahut-sahutan itulah yang saya dengar dari banyak mulut dan banyak logat setiap calo penumpang yang mengerubuti kami. Saya hanya bisa menjawab "Tidak pak...tidak, maaf" tanpa berani memandang wajah-wajah mereka....dan itu ternyata kesalahan saya.

"Kalo ditanya itu jawab. Heii !!! Jawab mau kemana?!! Gak punya mulut?!!" salah seorang laki-laki itu membentak saya sambil memepet tubuh saya. Saya merasakan itu, sebuah pisau menempel di punggung saya. Sangat dekat sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Pffhhh...saya terdiam. Saya hanya ingin pulang selamat, Oh Lord help me.

Saya menjawab "Solo Pak". Tanpa banyak kata, laki-laki itu dengan temannya menyeret paksa saya menuju ke sebuah bus, keduanya mendorong saya masuk ke bus "Masuk!". Saya masih melihat laki-laki muda dari Tegal berusaha untuk memberontak, tapi sepertinya sia-sia. Dia berakhir di bus yang sama dengan bus saya, pukul 23.00. Saya tidak tahu kemana bus ini akan menuju. Yang saya tahu, bus ini jelek sekali, dan saya harus membayar Rp 60.000 dari harga normal Rp 40.000 (saya tahu dari orang yang duduk di samping saya). 

Bus itu ternyata menuju ke Pekalongan. Kesialan seperti menjadi hobi baru saya, tiket yang baru saja diberikan kondektur ternyata hilang pada saat cek ulang. Sehingga saya harus bayar lagi "Mas, saya kan sudah bayar? masak lupa sih?" kata saya melas. Si kondektur menjawab "Makanya disimpen tiketnya, peraturan ya peraturan, bayar lagi." Saya gondok minta ampun. Dari Pekalongan saya dilepas begitu saja, dan akhirnya saya mencari bus ke arah Semarang. Dari Semarang saya baru naik bus ke Solo. Kesialan saya kemudian berlanjut, bus yang saya tumpangi rusak di Boyolali. Lengkap sudah penderitaan saya.

Sejak peristiwa itu, saya tidak pernah ke Jakarta naik bus. Kalau ke Jakarta, saya memilih naik kereta api atau pesawat. Kereta api menurut saya jauh lebih aman. Pesawat? bukannya sok, tapi harga tiket pesawat juga kadang lebih murah.

Lebih dari itu semua, saya percaya, bagi banyak orang Jakarta memang Tanah Harapan. Memberikan banyak kesempatan, pilihan, materi dan lain sebagainya. Tetapi sampai saya menuliskan ini, saya masih percaya, bahwa saya dan Jakarta belum berjodoh. Mungkin kami akan berteman baik saja, teman baik yang kadang harus saya sambangi. 

Hidup adalah pilihan, dan saya memilih mencintai Jakarta dengan cara berbeda...:)

Thursday, October 11, 2012

"Werkudara" Satu-satunya Hop On Hop Off di Indonesia

Hey, Journer...

Ngomongin Hop On Hop Off Bus, ternyata masih banyak yang belum ngeh. Nah, kali ini saya mau cerita. Hop On Hop Off Bus sih terjemahan bebasnya adalah bus yang dikhususkan untuk sightseeing, city tour, ngulik suatu kota. Bus ini secara khusus membawa wisatawan keliling kota, dipandu untuk menuju satu spot wisata ke spot wisata yang lain. Biasanya dilengkapi dengan pemandu wisata yang akan menjelaskan spot-spot wisata yang dilewati. Bus ini juga kadang berhenti di spot-spot wisata itu.

Bus yang digunakan adalah bus model double decker, dengan atap bagian atas yang bisa dibuka tutup. Di banyak negara, bus ini sudah lama digunakan. Kalau kita masih ingat dengan bus tingkat, nah bus ini hampir sama, kecuali atap bagian atas bus tingkat tidak bisa dibuka. Biasanya bus-bus ini jumlahnya terbatas. Sementara penampakannya sangat eye catching dengan warna candy, kadang masih ditambah gambar-gambar lucu. Berikut beberapa model Hop On Hop Off di dunia:

London                                   photo: www.londontoolkit.com


Singapore                          photo: www.singaporetours.net


New York                                  photo: www.nywhattodo.com

Kuala Lumpur                              photo: www.asiantrails.info

Nah, itu beberapa Hop On Hop Off di berbagai negara. Bagaimana di Indonesia? Oh...jangan khawatir. Kita punya kok. Dan satu-satunya Hop On Hop Off di Indonesia hingga tulisan ini dibuat adalah "Werkudara" yang ada di Solo.
Dulu, Solo adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki bus tingkat yang berfungsi sebagai bus kota yang dioperasikan oleh Damri. Namun kemudian menghilang. Lalu muncullah Bus "Werkudara" ini yang memang dikhususkan untuk wisatawan yang datang ke Kota Solo. Serius, bangga lho saya lahir dan besar di kota ini hehehe. Mau tau penampakannya? Ini diaaaaa....

SOLO                                                                     photo: www.surakarta.go.id

Solo memang tengah serius menggarap kotanya menjadi kota tujuan wisata. Banyak langkah-langkah pengembangan wisata yang membuat kota ini mendapat penghargaan, selain semakin membuat nyaman para pelancong yang mengunjungi kota ini. Hop On Hop Off Bus "Werkudara" salah satu yang menarik perhatian. Warnanya merah menyala, dengan bagian body-tertulis "Solo - The Spirit of Java", di bagian samping belakang body terdapat gambar tokoh pewayangan "Werkudara". Tokoh "Werkudara" sendiri melambangkan sosok yang berani, tegas, kukuh pendirian.

  • Di mana tiket bus dibeli? Anda bisa membeli tiket di Kantor Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika, Pemkot Solo. Lokasinya di Jl Menteri Supeno No 7, Manahan. Berada di belakang Stadion Manahan, agak ke timur, atau di samping Studio Solo Radio. 
  • Saran:Lebih baik booking dulu, karena biasanya weekend atau hari libur, banyak yang pengen naik, sementara bus cuma satu doang. Silakan menghubungi atau SMS di : Indri 085642005156 atau Sandi 085229790462. Kalau pas sepi, bisa saja langsung beli di Kantor Dinas Perhubungan, tetapi ya siap berisiko tidak dapat tiket.
  •  Harga tiket: Rp 20.000
  •  Waktu Operasional : Sabtu-Minggu dan hari libur. Ada tiga kali pemberangkatan yaitu jam 09.00 WIB, 12.00 WIB, dan 15.00 WIB. Durasi perjalanan sekitar 2 jam.
  • Rute dan Spot yang dilewati : Kantor Dinas Perhubungan - menyusuri Jl Adi Sucipto - Jl Ahmad Yani - Jl Slamet Riyadi - Solo Grand Mall - Rumah Dinas Walikota Solo "Loji Gandrung" - Stadion Sriwedari - Taman Sriwedari - Museum Radya Pustaka - Museum Batik Danarhadi - Ngarsopuro (Pasar Antik Triwindu & Pura Mangkunegaran) - Kampung Batik Kauman - Gladak (Patung Slamet Riyadi, Pusat Kuliner Galabo, Pusat Grosir Solo) - Jl Jenderal Soedirman (Balaikota Solo) - Jl Urip Sumohardjo (Pasar Gede) - Jl Kolonel Soetarto - Jl Ir Sutami (Taman Satwa Taru Jurug - memutar balik melewati Jl Ir Sutami - Jl Kolonel Soetarto - Jl Urip Soemahardjo - Jl Jenderal Soedirman - Jl Mayor Soenaryo - Jl Kapten Mulyadi (Kampung Arab) -  Jl Veteran (alun-alun kidul) - Jl Bayangkara - Jl Dr Radjiman (Kampung Batik Laweyan) - Jl KH Agus Salim - Jl Slamet Riyadi - Jl Ahmad Yani - Jl Adi Sucipto - lalu kembali masuk kandang di Kantor Dinas Perhubungan.
Saran saya, kalau bisa naik yang sore, biar bisa merasakan atapnya dibuka. Kalau siang panas. Nah, di sepanjang perjalanan, Anda akan menjadi tontontan hahaha. Ini saya rasakan termasuk saat naik Railbus. Jadi di sepanjang jalan tak jarang orang mengabadikan kita, sementara kita mengabadikan mereka pake kamera. Nah lho hehehe...

Bagian ternikmat adalah saat kita melewati Jl Slamet Riyadi. Ini adalah jalan protokol di Kota Solo. Kalau pas beruntung, kita bisa melihat kereta feeder lewat, nah di Solo ini masih ada rel kereta api yang membelah kota. Ini juga rel satu-satunya yang membelah kota (melalui jalan protokol) dan masih berfungsi. Rel ini pula yang digunakan untuk jalur Railbus (baca tulisan saya di bagian lain). Bus ini juga akan berhenti di titik nol Kota Solo, yaitu di Patung Slamet Riyadi. Sekitar 15 menit kita bisa turun dan berfoto-foto atau sekadar beli makanan dan minuman.

Tempat duduk bagian atas.
Oya, kalau mau dapat tempat duduk atas, datang lebih awal ya. Soalnya terbatas. Tetapi jangan khawatir kalau tidak kebagian, nanti di titik Taman Satwa Taru Jurug akan ditukar, yang di atas harus pindah ke bawah, dan sebaliknya. But still, rute keberangkatan menawarkan pemandangan lebih bagus, jadi tetap usahakan datang lebih awal untuk mendapatkan tempat di atas. 
Bus ini juga dilengkapi dengan pemandu. Saat kita melewati spot tertentu, dia akan sedikit memberikan gambaran tentang spot yang kita lewati. Cuma kayaknya infonya musti di-update. Misalnya pemandunya masih menyebut Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta sebagai Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), hehehe. Selain itu, kayaknya pemandunya jangan begadang sebelum bertugas. Soalnya pas saya naik, terkesan malas-malasan, terus pas berhenti, di spot tertentu, beliaunya nyuri-nyuri tidur. Sampai teman saya membisikkan "Kasihan pemandunya mengantuk" hehehe.
Tetapi apapun itu, kehadiran Bus Werkudara tetap membanggakan saya. Semoga kota-kota lain di Indonesia (khususnya Jakarta) juga memiliki bus Hop On Hop Off seperti yang dimiliki kota saya tercinta ini. Akhir kata...ayo ke Solo :)

Regards,
  
A