Monday, June 25, 2012

Passion atau "Kembali ke jalan yang benar"?

photo:dresscodeclothing.com
Dua minggu lalu hingga saya menuliskan ini, saya memikirkan satu hal. Tentang email dari sahabat baik saya di Eropa. Subject di emailnya singkat saja: working/writing. Tanpa ada hujan dan angin, dia menuliskan ini dalam email itu:

After a while you may realize if it's better to have a real job or if you wanna go back traveling and writing only. Maybe you can work like others and in your spare time you keep writing?


Tidak ada pembicaraan sebelumnya soal pekerjaan. Dan tiba-tiba ide itu muncul dari sahabat yang selalu mendukung apapun langkah dan pilihan-pilihan saya. Dia adalah sahabat terdekat, di luar keluarga saya yang selalu mendukung saya untuk mengikuti kata hati saya, menulis...menulis...dan menulis. Saya tertegun membaca email itu. Ini kali pertama dia menawarkan sesuatu yang berbeda dan seperti meragukan apa yang saya lakukan.

Jauh sebelum itu,..saya sudah memutuskan untuk menjalani apa yang menarik, menyenangkan, dan pantas dilakukan bagi hidup saya. Saya sebut itu passion saya. Mudah menemukan apa yang menjadi passion saya. Seumur hidup saya, tidak pernah jauh-jauh dari menulis. Sejak SD saya juaranya menulis, meski cuma Porseni. SMP saya sudah ketak ketik mesin tik tua, menulis apa saja. SMA untuk pertama kalinya Cerpen saya menang sayembara dan dimuat di majalah lokal. Kuliah, saya memilih jurusan Sastra Indonesia dan saya mendengar "Huuuuuuuuu..." panjang dari orang sekitar saya atas pilihan itu.

"Mau jadi apa kuliah di Sastra Indonesia?"

"Oh pantesan lolos UMPTN, cuma Sastra Indonesia"

Saya bukan orang yang tahan dengan cemoohan sosial waktu itu, maklum umur saya baru 18 tahun. Saya gamang dengan pilihan. Di awal semester, saya ingat sekali, saat ditanya orang di dalam bus kota saat berangkat atau pulang kuliah, "Kuliah jurusan apa dek?" saya menjawab dengan "Desain Komunikasi Visual" - setidaknya tidak terlalu berbohong karena masih di lingkup Fakultas Sastra-. Paling parah adalah saat saya berbohong kepada ibu-ibu di bus kota yang sangat sok membanggakan anaknya yang kuliah di kedokteran, saya mantap berbohong "Saya kuliah di arsitektur". Saya hanya jengkel saja. Bagi saya, tidak ada risiko berbohong segede itu. Tahu apa ibu itu soal arsitektur, dan benar dia tidak menanyakan lebih lanjut soal kebohongan saya.

Saya bahkan baru menyadari sekarang, saya menemukan passion saya jauh sebelum saya menyadarinya. Bekerja pun saya tidak jauh-jauh dari menulis. Selepas bekerja di radio sejak semester 3 yang saya sebut sebagai masa hura-hura dan pura-pura saya, peruntungan saya tidak jauh dari nulis. Saya menjadi reporter lapangan selama 5 tahun, sebelum akhirnya satu tahun berikutnya menjadi Redaktur di sebuah harian.

Lalu 2009, saya memutuskan untuk mengikuti kata hati saya: menjadi penulis. Dan saya menyadari benar ini bukan hal mudah. Saya kagum dengan keluarga saya. Tidak ada sedikitpun yang menentang (atau saya tidak tahu?). Saya memiliki sahabat-sahabat yang mendukung saya. Hampir pasti, perjalanan saya mulus untuk mengubah diri saya dari anak kantoran dengan gaji per bulan dan memilih menjadi penulis dengan "gaji" per enam bulan (itu kalau bukunya laku).

Lalu email itu datang. Satu email yang membukakan mata saya bahwa mungkin orangtua saya, keluarga saya, mereka memiliki kekhawatiran serupa yang ditulis sahabat saya itu. Mungkin mereka berpikir, seharusnya saya balik lagi ke kantor, karena apa yang saya lakukan semu. Hidup normal bagi banyak orang adalah melakukan pekerjaan seperti apa yang dilakukan banyak orang. Ini tentang konvensi bersama. Kalau kita tidak ikut, maka kita aneh.

21 Juni 2012, hanya seminggu setelah saya terima email itu. Saya mendapatkan "teman" saat Managing Director Petak Umpet, M Arief Budiman, yang lekat dengan aktivitas "berbagi ide segar"-nya ini tampil dalam TED'x ITS yang bertajuk A Passionated Way, di Kampus PascaSarjana ITS, Surabaya. "Menjadi orang yang memiliki pilihan berbeda itu tidak mudah. Dan biasanya yang justru meminta kita 'kembali ke jalan yang benar' adalah orang-orang terdekat kita," tutur Arief kala itu. Lho kok tahu masalah yang saya hadapi? Kan saya belum curhat ke Mas Arief?

Dia seperti membaca apa yang saya rasakan. Mungkin dia merasakan hal sama dulu, sebelum dia mengalami sukses sebagai pembicara seperti sekarang ini. Dia mengajak kita untuk mendengarkan inner voice dan disregard the noise. Teman baik saya, penulis terkenal yang tampil dalam acara itu juga, Trinity "The Naked Traveler" memiliki pesan yang dikutipkan dari pikiran Kelly Cutrone, yang sampai ke dalam hati saya: Normal Gets You Nowhere. Begitu mendengar ini, saya sontak bangga "saya abnormal". Mendadak keluar dari Gedung Pascasarjana ITS usai acara, saya merasa kekar...kuat...dan siap menghadapi tantangan. Heroik sekali.

Tetapi semudah itukah? Apa yang saya ceritakan tentang kalimat-kalimat indah bagaimana follow your passion dan menjalaninya tidaklah seindah itu dalam kenyataannya. Ada banyak aspek dalam hidup yang akan membuat kita benar-benar harus mempertimbangkan saat kita ingin menjalani passion kita atau "kembali ke jalan yang benar". Benturan-benturan dahsyat akan kita alami. Saya yakin, Arief dan Trinity pernah mengalami fase di mana mereka seperti ingin menyerah saja.

Saya mengalami fase itu juga. Saat di mana saya berpikir, apakah saya sudah berada di jalur yang benar? apakah saya melakukan hal tepat? bagaimana dengan masa depan saya? apakah saya normal? Karena bahkan sahabat saya yang lain menyatakan "Saya capek melihat lompatan-lompatan yang kamu lakukan". Saya sempat patah hati mendengar itu, meskipun kemudian saya bisa mengabaikannya.

Pegangan saya saat ini adalah, saya menyukai apa yang saya lakukan. Saya bersuka cita saat buku pertama saya terbit. Dan sukacita itu menjadi rentetan moment yang muncul di buku kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, hingga buku ketujuh. Saya bergembira saat tulisan saya dimuat di majalah traveling keren, tepat di hari ulang tahun saya. Saya selalu semangat saat mengecek inbox banyak mendapatkan email dari orang yang menyatakan terinspirasi oleh tulisan-tulisan saya. Itu bahagia yang sederhana dan tidak butuh banyak uang. Itu yang selalu menguatkan saya.

Saya percaya, bagi beberapa orang uang akan menyelesaikan semua urusan. Saya percaya, bagi beberapa orang uang juga bisa membeli kebahagiaan. Tetapi saya percaya, kebahagiaan saya tidak ditentukan oleh uang. Saya juga percaya, hidup bisa tetap berlangsung dengan indah meskipun tanpa mobil mewah, rumah indah, dan gadget yang tidak murah atau ukuran-ukuran keduniawian lainnya. Saya tidak menolak jadi kaya. Tetapi miskin atau kaya, saya akan menjalani passion saya. Saya percaya, saat saya menjalani passion saya, maka saya melakukannya dengan perasaan bahagia, baik dibayar atau tidak.

Keyakinan itulah yang membuat saya percaya, risiko mengikuti passion dan menjalaninya tidaklah seseram kekhawatiran sahabat-sahabat saya. Saya hormat pada mereka dan saya tahu mereka melakukan itu karena mereka menyayangi saya.

Tulisan ini menanggapi banyaknya pertanyaan tentang passion dan kehidupan abnormal saya sebagai penulis. Banyak yang melihat dari sisi enaknya saja, bahwa saya enak tidak harus ngantor, bisa bangun siang, liburan sepanjang tahun tanpa mikir cuti, dapat duit dari jalan-jalan, tidak ada office politicking , etc. Saya pastikan kepada Anda, ini tidak semudah itu. Ada saat-saat di mana Anda ingin menyerah dengan keadaan.
  • Kalau Anda memang benar-benar ingin mengikuti passion (apapun itu) sebagai bentuk ideal hidup yang ingin Anda jalani, maka pastikan Anda telah menyelesaikan pendidikan formal. Pendidikan adalah hal yang sangat penting, baik bagi Anda yang kerja kantoran atau hanya freelancer. Ini akan menolong Anda saat ada masalah di waktu tak terduga. 
  • Tanyakan benar-benar apakah yang Anda jalani adalah benar-benar passion Anda. Tanyakan hati Anda. Jangan sekali, dua kali, tiga kali. Tanyakan berkali-kali sampai Anda bosan dan tidak ingin menanyakan hal itu lagi. Saat tidak ingin menanyakan lagi, maka sejak itu tidak ada keraguan bahwa memang benar itu passion Anda.
  • Kalau Anda bahagia menjalaninya dan tidak peduli apa kata orang dan apakah itu akan menghasilkan uang atau tidak, maka itulah passion Anda.
Saya bukanlah motivator. Saya juga tidak tahu apakah konsep di atas bisa berlaku bagi setiap orang. Tetapi setidaknya itu bisa berlaku dalam hidup saya. Maka saya ingin berbagi dengan Anda yang mungkin saat ini mengalami fase di mana orang terdekat Anda meminta Anda untuk "kembali ke jalan yang benar". Semoga juga berguna bagi mereka yang bingung dan baru ingin memulai menemukan hidup yang ingin dijalaninya.

Saya bahagia. Semoga Anda juga.

regards,
-Ariy-

Saturday, June 9, 2012

Thailand, do's & don'ts

photo: globaltoynews.com
1. Jangan merokok sembarangan di Thailand bila tidak ingin kena denda. Di sejumlah public space secara jelas terdapat peringatan tentang larangan ini, misalnya di kuil-kuil¬, stasiun kereta api, hingga bandara. Bila melanggar, ancaman denda 2.000 Baht atau sekitar Rp 600.000. Iseng-iseng saya pernah menanyakan bagaimana mereka mengenakan denda kepada yang nekat? Kata warga setempat, polisi akan mendatangi kita. Memang saya belum menemukan bukti soal ini, karena saya lihat banyak orang masih terlihat merokok di sembarang tempat. Namun, anda tidak mau berisiko tentunya kan?

2. Minuman: Jangan minum air sembarangan. Minumlah air dalam kemasan atau air yang sudah dimasak bila tidak ingin kena diare.

3. Makanan: Thailand kaya akan makanan tradisional yang lezat dengan aroma dan rasa bumbu yang kuat. Bagi yang tidak mengkonsumsi daging babi, harus benar-benar hati-hati. Mostly, mereka menggunakan daging babi. Cari rumah makan halal masih relatif mudah, masih mudah menemukan food street yang halal. Hati-hati dengan roti-roti yang dijual di jaringan 7Eleven, baca benar bungkusnya, karena sebagian besar mengandung daging babi.

4. Pakaian: Gunakan kaos bahan katun ringan bila jalan-jalan ke Thailand. Ini akan lebih nyaman. Namun, di musim-musim tertentu, seperti bulan November-Januari, siapkan light jacket, untuk sekadar menghalau dingin. Berpakaianlah yang sopan ketika memasuki temple-temple di Thailand. Khususnya cewek, hindari memakai celana pendek, hot pants, tank top, atau rokok mini.

5. Sandal: Ini perangkat wajib bagi yang suka jalan-jalan dengan nyaman. Sangat disarankan untuk menggunakannya.

6. Lepas Alas Kaki: Masuk ke rumah orang Thai, kita harus melepas alas kaki.

7. Jangan sentuh kepala: Menyentuh kepala orang Thai sangat tidak sopan. Kalaupun terjadi secara tidak sengaja, segera minta maaf.

8. Bagi laki-laki jangan menyentuh perempuan Thai tanpa ada kesepahaman, karena pada dasarnya perempuan Thai sangat konservatif.

9. Di Bangkok, hingga tulisan ini dibuat, setiap pukul 18.00, di area publik selalu diperdengarkan lagu kebangsaan. Saat itu, semua orang akan berdiri, berhenti beraktivitas, hingga lagu kebangsaan selesai diperdengarkan. Bagi orang asing, hormatilah dengan melakukan hal serupa. Hentikanlah aktivitas dan ikut berdiri.

10. Jangan buang sampah sembarangan: Meskipun di banyak sudut jalan di Thailand kita mudah menemukan sampah berserakan, namun jangan membuang sampah sembarangan. Pengalaman saya bisa jadi contoh. Saya harus malu hati saat membuang bungkus obat tetes mata di jalan, dan tiba-tiba saja teman saya keluar mobil dan mengambil kembali bungkus itu dan membuangnya ke tempat sampah tanpa bicara apapun. Duh, malunya saya !!

Merencanakan liburan hemat

*) Tulisan ini merupakan artikel wawancara Koran Jakarta dengan saya, yang dimuat pada Minggu, 10 Juni. Versi online-nya bisa dilihat di link berikut: http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/92787 

Nginep di Bandara, seperti di Changi Airport bukan hal haram
Merencanakan sebuah perjalanan wisata tidak seharusnya melihat dari aspek tujuannya saja. Calon pelancong juga sebaiknya merancang biaya yang akan dikeluarkan selama perjalanan agar kegiatan berwisata lebih nyaman dan lancar.

Melakukan perjalanan wisata dengan biaya murah adalah impian semua orang. Namun, untuk mendapatkan hal itu bukan berarti harus mengorbankan mimpi berwisata yang diinginkan sebelumnya. Dibutuhkan sebuah kreativitas dan kecerdasan dalam mengatur pengeluaran keuangan untuk mewujudkan sebuah liburan indah sesuai dengan mimpi Anda.

Perencanaan keuangan sebelum berwisata merupakan ide yang sangat baik. Bila dirancang dengan detail, para calon pelancong akan mendapat gambaran jumlah pengeluaran nantinya. Melalui penganggaran, Anda akan dapat memisahkan keuangan yang sebaiknya dikeluarkan atau tidak selama perjalanan dengan benar, dan biaya perjalanan pun akan dapat lebih ditekan.

Membuat daftar pengeluaran tidaklah sekadar menghitung harga kamar hotel, pesawat, dan penyewaan mobil. Biaya makan, tiket masuk tempat hiburan, dan hal-hal kecil lainnya juga harus dimasukkan daftar rancangan biaya wisata tersebut. Hal-hal apa saja yang harus dilakukan dalam perencanaan keuangan wisata tersebut?

Budgeting ala Ariy

Ariyanto merupakan seorang backpacker yang mulai aktif melakukan perjalanan wisatanya sejak 2008. Hingga saat ini, Ariyanto telah menulis enam buah buku yang berisi pengalaman-pengalaman dirinya selama travelling. Dua buku pertama yang ditulisnya adalah Rp2 Juta Keliling China Selatan dalam 16 Hari (2010) dan Rp1 Jutaan Keliling Thailand dalam 10 Hari (2010).

Baginya, travelling dapat menjadi sebuah kegiatan yang tidak mahal dengan mengubah cara berpikir tentang "mahal" dan melakukan sebuah perencanaan yang cerdas. "Backpacking adalah cara saya untuk travelling. Ada yang bilang backpacking itu berkonotasi dengan menggelandang dan menggembel. Bagi saya, backpacking adalah smart travelling," ungkap Ariy, panggilannya, kepada Koran Jakarta. "Backpacking harus merencanakan semuanya secara detail, termasuk soal keuangan," tambah dia.

Prinsip seorang backpacker adalah selalu travelling on budget. Ariy pun selalu tegas mengenai perencanaan pengeluaran ini. Namun, dirinya tidak selalu bertindak ekstrem dalam mengatur keuangan berwisata tersebut. Baginya, travelling merupakan kegiatan yang sangat subjektif, dan tinggal disesuaikan dengan preferensi masing-masing.

Tiga hal yang menjadi perhatian pelancong adalah sisi transportasi, penginapan, dan makanan. "Tiga hal itu adalah hal utama yang saya tentukan dalam membuat itinerary. Hal-hal lain, misalnya soal tiket spot wisata biasanya mengutamakan mendatangi lokasi wisata yang tidak berbayar. Di luar negeri banyak sekali lokasi wisata yang tidak berbayar," papar Ariy yang baru-baru ini juga bekerja sama dengan Trinity, Rini Raharjanti, Andrei Budiman, dan Claudia Kaunang dalam penulisan TraveLove: Dari Ransel Turun ke Hati.

Perencanaan transportasi yang pertama dilakukan adalah menggunakan tiket promo untuk yang memilih pesawat terbang. Memilih tiket promo ini dapat dilakukan melalui laman resmi maskapai penerbangan. Untuk perjalanan domestik, Ariy lebih memilih menggunakan perjalanan darat seperti kereta api. Ketika di luar negeri juga tidak masalah untuk berpindah tempat dari wilayah yang satu ke lainnya dengan menggunakan kereta api.

Untuk transportasi dalam kota, Ariy menghemat biaya dengan menggunakan bus umum, MRT, atau transportasi umum lainnya. Banyak kota tujuan wisata memiliki bus yang mengelilingi beberapa tempat hiburan wisata, dan beberapa di antaranya berharga murah. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk melakukan riset online untuk mengetahui transportasi umum tersebut beserta rutenya.

Untuk penginapan, Ariy lebih memilih menginap di hostel, guest house, ataupun home stay untuk menghemat biaya. Dirinya lagi-lagi menyarankan riset tempat terlebih dahulu untuk mendapatkan harga penginapan yang lebih rendah. "Kebanyakan hostel juga menyediakan sarapan gratis, jadi menghemat uang lagi. Beberapa juga memiliki harga cukup masuk akal bagi para traveller," jelas Ariy.

Terakhir adalah makanan. Ketika di luar negeri, Ariy lebih memilih mencari makan di food street. Selain lebih murah, makanan di tempat itu lebih banyak menawarkan makanan khas setempat. "Kadang saya juga melakukan brunch kalau tidak menemukan hostel yang free breakfast. Paginya bisa diganjal roti ringan dari supermarket sekitar," ungkap Ariy.

Dalam hal perencanaan anggaran berwisata, Ariy mengakui selalu menyediakan biaya sokongan sebesar 10 persen dari total biaya perjalanan yang telah dibuat sebelumnya. Back up anggaran itu tidak boleh diutak-atik lagi dan hanya boleh digunakan untuk hal-hal yang bersifat mendesak. edh/R-4

Tuesday, June 5, 2012

Musik dan Traveling, Dunia Saya

Musik tidak pernah lepas dari hidup saya, meskipun saya hanya sekadar penikmat saja. Hambar banget kalau hidup tanpa musik. Kegemaran saya pada musik seperti terpuaskan saat saya kuliah di semester 3, bergabung di sebuah radio swasta jadi penyiarnya...duuh, setiap sore kelar kuliah, siaran lagu-lagu keren (jaman itu dpt siaran Indohits - khusus lagu Indonesia). Karena enak kerjanya, enak duitnya, saya betah di radio sampai total jenderal 7 tahun lamanya,  dan sempat kerja di dua radio swasta dalam periode berbeda.
Satu hal yang membuat saya berbeda -sebelum dan setelah keluar dari radio- adalah saya lebih rewel soal musik. Telinga saya ini nggak mempan kalau dengerin lagu dengan volume yang standar-standar saja. Karena saat jadi penyiar, saya harus mengoperasikan sendiri semua peralatan, meng-handle mixer segede bagong nyetel mic-music-harus pas bass-treble-nya. Dan untuk mengatur itu semua, saya harus kencengin volume dan mengkontrol via headset. Alhasil, telinga saya mulai berteman akrab dengan volume musik kenceng. Ketahuannya baru sekarang-sekarang nih. Kalau denger musik, selalu volumenya di atas rata-rata.
Itu juga terjadi pas traveling. Sebagai travel writer, intensitas traveling saya lumayan lebih tinggi dari sebelum saya jadi travel writer. Musik menjadi bagian yang tidak boleh lepas dari aktivitas traveling saya. Inilah obat dari rasa sepi saya kalau lagi melakukan solo traveling, di negeri antah berantah :). Saat saya tidak menemukan orang berbahasa Indonesia di luar negeri, maka dengerin lagu Indonesia sudah bisa mengobati kangen saya akan Indonesia hehehe. Jadi peralatan untuk memanjakan telinga saya dengan musik menjadi salah bagian penting dalam traveling yang harus saya bawa. Bahkan nyaris sejajar dengan paspor. Artinya??? itu penting bangettt!. 
Andalan saya, bila dalam kondisi mobile, adalah mp3 player segede korek api gas yang tidak pernah ketinggalan kemanapun saya pergi. Tetapi dalam kondisi tertentu semacam di foto ini, saya menikmati musik dengan cara beda. 
Weekend di Singapore Botanical Garden
Ini adalah pemandangan di Singapore Botanical Garden, salah satu spot favorit saya. Empat kali ke Singapore, selalu menyempatkan waktu bersantai di sini. 
Saya banyak menemukan taman-taman keren di luar negeri dan selalu menikmati saat-saat rileks di sana. Selain Singapore Botanical Garden, saya juga demen banget menikmati hari di Lumphini Park, Bangkok. Kalau domestik, saya suka banget dengan Taman Balekambang Solo. Pengennya sih saya juga ke Kebun Raya Bogor, tapi sampai sekarang belum sempat.

Nah, foto ini saya ambil di Singapore Botanical Garden pas weekend. Sabtu sore itu  rame banget. Kita bisa piknik di taman indah dan tertata. Lebih seru lagi, banyak acara di sini kalau weekend. Nah, pas saya ke sana waktu foto ini diambil, tikar-tikar bagus buat piknik itu dibagikan gratis lho. Selain itu disediakan jas hujan sederhana antisipasi kalau hujan, plus kipas kertas. Semuanya gratis-tis-tis. Nah, namanya juga piknik ya...saya dan travelmates saya melengkapinya dengan membawa makanan, sekadar snack, maen kartu sambil dengerin musik bareng-bareng. Dan itu surga banget hehehehe....
Inget gak, jaman dulu tahun 1990-an, orang-orang kita sering meniru anak-anak muda Amerika, dengan membawa tape recorder segede bayi saat piknik atau hang out bareng temen-temen? Duh, saya dulu waktu SMP rekreasi ke Tangkuban Perahu juga ada temen yang bawa tape macam begitu. Jaman itu sih keliatan cool, terus musiknya disetel kenceng. Bass-nya sampai menggedor-gedor jantung. Tapi sekarang, serius mau bawa gituan pas traveling? heheheh....malu kan? :). Apalagi kaset pita bukan jamannya lagi.

Logitech Mini Boombox
Kalau saya sih gampang, produsen elektronik sekarang ini berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan orang dan mempermudahnya. Salah satu yang saya gunakan adalah produk keluaran Logitech, yaitu Mini Boombox. Waktu lihat tampilannya di awal, sempet gak yakin juga...kecil banget, cuma segenggaman tangan orang dewasa. Tapi begitu dicoba...suaranya mantappsss....
Bagi saya pribadi, Logitceh Mini Boombox itu kayak anak kucing yang mengeong, tapi suara yang muncul adalah singa jantan mengaum....grrawww....hehehe.
Perangkat ini fungsinya adalah sebagai speaker mobile ataupun combo speakerphone. Merupakan perangkat sistem suara untuk musik, film, game, bahkan bisa jadi speakerphone saat melakukan panggilan telepon. Logitech Mini Boombox bergerak melalui koneksi Bluetooth. Hanya dalam hitungan detik dan setelah dilakukan pairing, speaker mini dapat mengambil alih keluaran suara dari perangkat bergerak kita.
Selain itu, sebagai traveler, yang saya suka dari alat ini adalah ringkes. Tidak makan tempat, nggak bakal nambah-nambahin bagasi pesawat, atau memberatkan backpack kita hehehe. Lha wong beratnya cuma 219 gram. Desainnya pun keren. Punya saya warnanya merah dan hitam, sangat elegan buat cowok.Oya, di sisi lain perangkat portable ini juga ada semacam layar kontrol model sentuh. Kita bisa menambah atau mengurangi volume, men-skip lagu menuju track berikutnya atau balik ke track sebelumnya hanya dengan sekali towel saja. Lebih mendukung kegiatan hang out kita bareng temen-temen karena baterai internalnya mampu bertahan 10 jam penggunaan.

Lebih Personal

Ada saat di mana saya ingin memanjakan diri dengan musik dalam traveling, namun secara lebih personal. Headset adalah perangkat yang memungkinkan hal itu. Tetapi sejak saya mengenal headset pas kerja di radio, masalah saya selalu sama: gangguan di kabel, yang berakibat suaranya jadi sebelah doang,  kadang kirinya mati, kadang giliran yang kanan. Atau bahkan mati total baik kanan maupun kiri. Atau yang lebih bikin bete adalah suaranya bisa didengerin kalau kita memegang kabel atau menggerak-gerakkan dalam posisi tertentu. Pernah nggak mengalami itu? Duh, itu makanan sehari-hari saya.

Dulu di radio, saya pake headset dengan kabel gede dan kaku. Lalu karena masalah suara yang hilang muncul itu, saya ganti headset yang kabelnya semacam tali, sehingga lebih fleksible, nggak gampang putus. Tapi iya, ribetnya masih.

Headset adalah perangkat pendukung utama pemutar musik saya, saat saya traveling. Jadi mau tidak mau, saya harus punya alat ini. Lalu saya menemukan Logitech Wireless Headset. Alat ini simple banget, nggak pake ribet ngurus kabel, yaiyalah...namanya juga wireless. Bisa bekerja tidak hanya dengan iPad tetapi juga iPhone, iPod touch dan perangkat Bluetooth lainnya. Daya jangkaunya bisa mencapai 10 meter, dan mendukung laser-tuned driver untuk menghasilkan suara stereo yang kaya dan minim distorsi dan mikrofon noise-canceling yang mengurangi kebisingan latar belakang. Nah, yang terakhir ini sangat mendukung traveler untuk melakukan komunikasi jarak jauh melalui dunia maya, misalnya via Skype, kalau kangen pacar di rumah hehehe

Saya adalah tipe penikmat musik yang kalau sudah menikmati musik kadang jatuhnya seperti trance, seperti ada yang merasuki tubuh saya., kadang tidak peduli apa yang terjadi di sekitar Nah, kalau perangkat pendukungnya keren, saya biasa menyetel kenceng-kenceng, terus kayak orang nggak sadar hehehe. Dengerin pake headset ini, kebutuhan saya akan musik terpenuhi.

Segi positif lainnya adalah, headset ini bisa dilipat-lipat, jadi tidak mengganggu kita saat packing. Kadang kekhawatiran saya atas model headset semacam ini adalah satu, kalau dimasukin backpack ketumpuk-tumpuk barang-barang lain, akan patah. Tetapi dengan model yang bisa dilipat seperti ini, lebih aman dan meminimalisasi kemungkinan patah. 
Saya nggak bisa membayangkan bila saya traveling tanpa musik. Duh...itu pasti berat banget ya....