Sunday, December 30, 2012

Bertamu ke Rumah Orang Terkaya di Medan

Hey Journer,

Ini penggalan cerita saya dan Ajie Hatadji saat jalan-jalan di Medan, yang kemudian kamu wujudkan dalam buku "Travelicious Medan". Kami akan bercerita tentang salah satu highlight Kota Medan yaitu Mansion Tjong A Fie, salah satu orang terkaya di Medan pada jamannya. 

Pintu Depan Mansion
Menapakkan kaki di kawasan Kesawan, kita akan disambut oleh gapura megah tepat di mulut jalan. Tak jauh dari sana terdapat tujuan pertama kami, yaitu rumah peninggalan tokoh di balik pesatnya perkembangan Medan hingga menjadi kota terbesar ketiga di Indonesia. Kami mengunjungi Mansion Tjong A Fie, seorang saudagar yang juga sahabat dekat Sultan Deli. 

Nama besar Tjong A Fie sangat berpengaruh di Medan sehingga bila datang ke Medan, tak lengkap bila tak mengunjungi mansion ini. Berjalan lima menit dari gapura Kesawan, gerbang utama Mansion Tjong A Fie terlihat, menjulang megah dan cantik sore itu. Bagian utamanya adalah pintu kayu besar yang dijaga dua patung singa dan dipercantik dengan dua lampion merah tergantung dari atas gerbang. Kami seakan-akan mengunjungi kuil kungfu yang didiami para shaolin dan bukan sebuah rumah pembesar Kota Medan. 

Halaman Depan
Klik ... klik ... klik! Belum apa-apa kamera sudah jepret sana sini. Suara burung walet terdengar samar saat kami mengelilingi taman—penuh tumbuhan hijau dan pohon rindang—untuk mencapai loket masuk. Loket masuknya sederhana, hanya sebuah meja dengan brosur penjelasan mengenai mansion tersebut. Ternyata, mansion itu masih dimiliki dan ditinggali oleh keluarga besar Tjong A Fie. Sang penjaga loket, seorang gadis bersenyum manis, pun adalah keturunan Tjong A Fie. Setelah membayar tiket masuk seharga Rp35.000,00 kami dipandu secara singkat mengenai tata letak mansion.

Ruang Tamu
Bangunan berlantai dua itu memiliki ruangan besar terbuka di tengah-tengah rumah, khas rumah-rumah China. Ruangan pertama setelah pintu masuk pengunjung adalah dua ruang tamu sederhana yang terpisah oleh sebuah dinding terbuka. Berbagai pajangan berbentuk poster yang menghiasi sisi-sisi ruangan menuliskan trivial knowledge seputar kehidupan sang empunya rumah. Ada beberapa kursi antik yang tertata rapi mengelilingi meja kopi di tengah ruangan. Dahulu, Tjong A Fie menjamu para petinggi dari kalangan Melayu di ruangan tersebut. O, iya, pemandu yang memandu kami melarang untuk mengambil foto di bagian-bagian yang terdapat dokumentasi Tjong A Fie baik dalam bentuk foto maupun gambar karena sebagian besar adalah milik pihak lain.

“Takut foto-foto tersebut disalahgunakan dan dianggap hasil dokumentasi sendiri,” ungkap pemandu kami yang ternyata juga salah seorang keturunan langsung Tjong A Fie.

Cantiknya Kamar Tidur Tjong A Fie

Ruangan berikutnya adalah ruangan yang khusus memajang portofolio hidup Tjong A Fie. Dimulai dari kisah kakak Tjong A Fie, Tjong Yong Hian, yang terlebih dahulu merantau ke Medan dari Sungkow, sebuah desa kecil di China. Selang lima tahun, Tjong A Fie yang kala itu masih berusia 17–19 tahun kemudian menyusul kakaknya menuju Medan, ikut berkecimpung di dunia perkebunan. Foto-foto di ruangan itu seolah-olah menceritakan perjuangan Tjong A Fie semenjak dia masih seorang pemuda hingga menjadi salah satu tokoh legenda Medan. Foto-fotonya bersama keluarga besar, atau acara-acara penting yang melibatkan Tjong A Fie, terpampang rapi di ruangan itu—tentu dengan larangan mengambil foto.
Ruang Makan

Ruang makan keluarga menarik minat kami untuk menjelajah lebih ke dalam mansion. Lemari-lemari menempel ke dinding, memberikan ruang yang cukup lapang untuk meja makan di tengah ruangan. Di atas meja makan tersebut tertata alat makan, lengkap dengan serbet merah yang dilipat sedemikian rupa, membuat nafsu makan membahana seketika. Tepat setelah ruang makan adalah kamar pribadi sekaligus ruang tidur Tjong A Fie. Saat itu hanya temaram lilin yang menerangi kamar yang luas.

Koleksi baju-baju Tjong A Fie dan istrinya terpampang di sana, di satu sudut kamar di sebelah meja rias kayu. Tempat tidur dari kayu ukiran, tertutup kelambu, berada tepat di tengah ruangan. Di seberang kamar tersebut, Tjong A Fie dahulu menjamu tamu tamu yang berasal dari Eropa. Ada pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa Tjong A Fie memisahkan ruang-ruang tamu tersebut?

Beranjak ke lantai dua, ada ruang pemujaan bagi para dewa. Bau hio menyebar di udara, kesan sakral terpancar dari altar sembahyang yang berada tepat di tengah ruangan. Altar itu bernuansa merah, serupa nuansa warna mansion, dengan patung dewa-dewa di tengah altar. Persinggahan kami di Tjong A Fie berakhir di aula besar yang langsung menghadap ke Jalan Kesawan.

Kami membayangkan aula besar itu dahulu digunakan Tjong A Fie untuk mengadakan ballroom party dan pesta dansa, lengkap dengan live music mengalun di udara. Foto-foto yang dipajang di ruangan memberikan gambaran yang semakin jelas tentang khayalan kami, menikmati jamuan dari sang Legenda Kota Medan di Mansion Tjong A Fie.

Saturday, December 29, 2012

Jadwal Kereta Api Prameks Per 1 Juni 2014 (UPDATE TERBARU)

                                                                    foto punya Dinicakepkataibunya

Kereta Api (KA) Prambanan Ekspres tak pelak menjadi kereta favorit warga Jogja yang bekerja di Solo atau sebaliknya, juga para pelancong. Tetapi belakangan ini agak susah untuk mendapatkan jadwal yang pasti, mengingat jadwal selalu berubah. Apalagi kemudian muncul kereta baru yaitu KA Sriwedari selain juga ada KA Madiun Jaya. 
Saya pribadi juga kerap bingung jadwal yang pasti KA ini, seringnya go show, kalau tidak ada jadwal ya lari ke terminal bus.

Btw, mengingat jadwal sebelumnya yang saya posting di sini nggak berlaku lagi dan saya banyak dikomplain hahaha. Ini saya posting jadwal baru per 1 Juni sumber dari @AgendaSolo. Oya, posting ini saya update tanggal 04 Juni 2014, jadi info ini paling baru (kali ntar diubah lagi :) ). Cekidot yak. :



Oya, saya tidak bertanggung jawab ya kalau PT KA mengubah jadwal (seenak udelnya). Karena berdasarkan pengalaman, bahkan jadwal ada kadang keberangkatan ditiadakan (untuk alasan apapun). Atau seperti pengalaman teman saya, keberangkatan dibatalkan diganti dengan KA Lodaya.

Gutlak

Ariy

Rute Batik Solo Trans (BST)


            Pemerintah Kota Solo pada tahun 2010 menggelar soft launching  Batik Solo Trans (BST). Ini adalah sistem transportasi terpadu, berupa bus kota dengan pelayanan lebih baik demi kenyamanan dan keamanan para penumpang. Soft Launching telah dilakukan bulan September 2010. Untuk tahap awal, delapan unit BST dioperasikan. Hingga tulisan ini dibuat, sejumlah halte masih dalam pengerjaan, sementara sistem pembayaran masih dilakukan secara manual di dalam bus kepada kondektur, dan bukannya di halte.

Rute BST: 
  • Dari arah barat ke timur : Terminal Kartasura –  Kleco - Jl Slamet Riyadi – Jl Sudirman (Balaikota) – Jl Urip Sumohardjo- Jl Brigjend Sutarto – Jl Ir Sutami (Kampus UNS) – Palur Spot menarik dan utama yang dilalui adalah: Solo Square, Stasiun Purwosari, Solo Grand Mall, Museum Batik, Museum Radya Pustaka, Taman Sriwedari (Gedung Wayang Orang), city walk, Ngarsopuro (night market setiap akhir pecan), Pura Mangkunegaran, Pasar Antik Triwindu, Monumen Slamet Riyadi, pusat kuliner malam Galabo, Pusat Grosir Batik PGS, Beteng Trade Center, Keraton Kasunanan Surakarta, Pasar Klewer, Pasar Cenderamata, Mesjid Agung, Kampung Batik Kauman, Balaikota, Pasar Gede, Stasiun Jebres, Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ).
  • Dari arah timur kembali ke barat: Palur – Jl Ir Sutami - Jl Urip Sumoharjo-Jl Sudirman- Jl Mayor Sunaryo-  Jl Kapten Mulyadi – Jl Veteran – Jl Bhayangkara – Jl Dr Radjiman (Laweyan) – Perempatan Gendengan - Slamet Riyadi – Kleco - Terminal Kartasura-Bandara Adisoemarmo. Spot menarik yang dilalui: Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ),  Pasar Gede, Balaikota, pusat kuliner malam Galabo, Monumen Slamet Riyadi, Keraton Kasunanan Surakarta, Pasar Klewer, Pasar Cenderamata, Kampung Batik Kauman, Kampung Batik Laweyan, Solo Square.
  • Harga tiket: Rp 3.000 (untuk umum) dan Rp 1.500 (untuk pelajar).Untuk dari dan menuju Bandara Adisoemarmo harga tiket Rp 7.000.

Thursday, December 27, 2012

Bahaya Backpack dan Tips Menggunakannya

Hey, Journer...
Ini bukan sekadar cerita hasil copy paste cerita orang atau menuturkan kembali cerita orang. Ini benar-benar pengalaman saya pribadi, yang mungkin akan berguna bila saya bagi di sini, khususnya para traveler atau orang-orang yang aktivitas sehari-harinya menggunakan backpack.

Saya mau flashback dulu. Sekitar lima tahun lalu saat saya masih aktif menjadi jurnalis, saya mengalami cedera di bagian betis kanan. Waktu itu selama dua bulan saya ditugaskan di Kabupaten Klaten, yang secara geografis wilayahnya lumayan menguras tenaga untuk dijelajahi. Satu jam saya di Kemalang di bawah lereng Gunung Merapi, berikutnya saya harus menggeber sepeda motor menuju ke Cawas, naik ke bukit yang berbatasan dengan Gunung Kidul. Dan seterusnya dan seterusnya. Saya akui, saya kurang olahraga. Jam 08.00 WIB saya sudah menggeber motor berburu informasi, hingga sore bahkan malam. Sampai di rumah kakak saya (di mana saya menumpang selama tugas di sana) saya sudah capek dan berakhir dengan tampan di tempat tidur....ngorokss....:)

Berikutnya, kaki saya mulai sakit. Saat mau tidur, nyerinya ampun-ampunan. Kalau lagi parah-parahnya, jalan saja susah, jongkok sakit, duduk tidak kalah nyerinya. Aktivitas saya terganggu sekali. Tidak kuat, saya pun memeriksakan diri ke RS Orthopedi Prof Dr R Soeharso di Solo. Ini adalah rumah sakit orthopedi rujukan nasional dan bagus. Waktu itu saya ditangani oleh Prof dr Adi...lupa nama kompletnya, konon sekarang sudah pensiun. Saya datang masih dengan perangkat perang jurnalis, lengkap dengan backpack.

Sedikit periksa dan diminta melakukan gerakan tertentu, dokter Adi sudah bisa melihat apa yang terjadi dengan saya. "Jadi kamu selalu membawa backpack kan?" Saya mengangguk saja. Saya ceritakan saya menggunakan backpack nyaris seumur hidup saya. Sejak sekolah - kuliah - bekerja. Dan saya membawanya seperti saya membawa hati saya...hahahaha. Pusat cedera saya sebenarnya di punggung yang kemudian menjalar di paha, betis hingga kaki. Salah satu penyebabnya adalah beban tas punggung yang cukup berat dalam waktu yang cukup lama. Setelah pemeriksaan itu, saya harus melakukan foto rontgen. Berikutnya, dua bulan penuh saya selalu mendapatkan penyinaran dan fisioterapi. 
Jauh setelah itu, cedera saya sembuh. Aktivitas saya semakin menjadi-jadi, sudah lupa peringatan dokter. Saya selalu membawa backpack, bahkan yang segede bagong seperti yang saya bawa di China. Dalam kondisi tak banyak waktu, ngejar bus, ngejar ini itu, saya kadang tak sadar berlarian dengan punggung menopang backpack. Situasi-situasi yang kadang tidak saya sadari menimbulkan akumulasi, yang menyebabkan cedera saya kembali kambuh. Desember 2012, saya kembali masuk rumah sakit. Kali ini karena saya bekerja di Semarang, saya periksa ke RS Karyadi dan diperiksa oleh Prof dr Amin. Pemeriksaan yang dilakukan sama seperti yang pernah dilakukan dokter di RSO Prof Dr R Soeharso. Intinya sama, cedera saya salah satunya karena beban berat seperti tas punggung. Saya pun diberi obat, dan hingga saya tulis ini...cedera saya belum sembuh sempurna.

Saya pribadi sih mengambil kesimpulan, sebenarnya kalau kita rajin berolah raga dan melakukan angkat beban (termasuk backpack ) secara benar, setidaknya akan meminimalisasi terjadinya cedera. Hal sepele saja, saya sering mengangkat beban dengan tidak jongkok dulu, tetapi cuma membungkuk dan asal sambar. Belum lagi, saya sering menyangklong backpack gede di satu bahu, padahal yang benar gunakan dua bahu sehingga beban tidak terpusat di satu sisi.

Sakit yang saya alami sering diabaikan orang. Kalau mencret aja, orang langsung cari obat. Tapi cedera semacam ini, orang sering diem-dieman, tau-tau sudah parah. Apalagi bagi traveler, kadang kalau asyik traveling, lupa sakitnya. 

Khusus tentang membawa backpack segede bagong bagi para traveler, ini nih ada tips sederhana dari salah satu travelmates saya Ajie Hatadji, mengantisipasi cedera:

1. Hadapkan muka tas ke kaki.










2. Pegang badan backpack di dekat sambungan backpack.

3. Angkat sekaligus isi backpack.












4. Tahan backpack di punggung sebentar sambil pegang pangkal tali pundak.







 5. Tahan beban pakai tangan, backpack posisikan mantap di punggung.










 6. Viola! Backpack mantap siap di punggung, siap berpetualang.










Kalau saya pribadi, bila merasa berat, biasanya pada posisi nomor 3, jongkok dulu. Cara lain, biasanya backpack saya letakkan di atas kursi yang cukup tinggi, dan tinggal siap angkut. Tulisan ini hanya tips sederhana dan sharing pengalaman saja. Terkait dengan kesehatan, bagaimana memilih backpack yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, ada baiknya dikonsultasikan kepada ahlinya. 

Oya, saat cedera otot, nyeri (yang gak ketulungan sakitnya) sepertinya orang melihat kita baik-baik saja. Tetapi dari hasil ngobrol-ngobrol dengan dokter, ternyata ngeri juga kemungkinan-kemungkinan terburuknya. Apa itu? salah satunya kelumpuhan. Coba Anda googling saja situs-situs kesehatan. Apapun itu, sehat itu mahal harganya. Gara-gara nyeri kaki saya belum sembuh, saya batalkan backpacking ke Bali bareng temen. Lebih dari itu, sekarang ini kalau jalan jauh sedikit saja, kaki saya nyeri bukan kepalang. Kalau Anda suka traveling, Anda mau seperti itu?

Semoga yang sedikit ini bermanfaat,

Regards,

A
PS: Thanks to Ajie Hatadji atas foto dan kesediaannya jadi model. Sepertinya kamu punya peluang berkarir jadi model...huehehe.

Tuesday, December 25, 2012

Kisah Bedu, Bayi Beruang Madu yang Malang

Hey, Journer !
Menjelang libur panjang akhir tahun ini, sebenarnya ada teman yang mengajak saya untuk jalan ke Bali. Tapi karena kondisi kaki saya yang cedera, sehingga saya khawatir akan menyusahkan di perjalanan, saya batalkan rencana backpacking ke Bali. Ternyata, teman saya itu pun batal ke Bali dan memilih jalan ke Yogya dan Solo saja.
Dalam waktu bersamaan, saya mendapatkan undangan dari sahabat saya dari Swiss yang sedang berada di Yogya, yaitu Sven Huber. Dia sedang mengunjungi pacarnya yang juga teman saya, Erna. Singkatnya, Erna mengajak saya dan Sven untuk mengunjungi Wildlife Rescue Centre (WRC) Jogja. Yang berada di Dusun Paingan, Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo. Di sinilah teman Erna bekerja dan kami diundang untuk berkunjung. Soal Jogja Orang Utan Centre, yang merupakan kawasan penyelamatan, rehabilitasi dan kawasan suaka margasatwa ini akan saya ceritakan di tulisan lainnya nanti.

Hari itu, Minggu, 23 Desember 2012, saya bersama teman dari Jakarta yaitu Arie, kemudian Erna dan Sven, berangkat naik bus dari Terminal Pasar Gamping menuju ke lokasi. Kami turun di Pasar Sentolo. Di sana kami bertemu dengan empat orang teman lain yang datang dengan naik motor. Dari Pasar Sentolo menuju ke lokasi, jaraknya lumayan jauh yaitu sekitar 5 km, tapi jalannya lebar dan mulus.

Singkat cerita, kami sampai dan langsung bertemu dengan teman Erna, Mbak Nancy, yang juga menjadi guide kami. Di WRC kami menemukan beberapa jenis binatang yang berhasil diselamatkan dari upaya-upaya perdagangan ilegal satwa liar.

Kawasan WRC cukup luas dengan pengamanan arealnya cukup bagus. Ini semacam kawasan hutan mini dengan kondisi tanah naik turun. Beberapa kandang tampak berjajar. Di sini tidak hanya kawasan penyelamatan untuk orang utan saja, namun juga ada beberapa binatang lain, berbagai jenis kera, burung, hingga beruang. Beberapa di antara binatang-binatang ini bisa sampai di kawasan ini setelah berhasil diselamatkan dari aksi perdagangan ilegal.

Di satu bangunan, semacam laboratorium, salah satu ruangannya tampak sebuah kandang cukup besar dan berisi seekor beruang muda. Namanya Bedu, kepanjangan dari Beruang Madu. Ini adalah salah satu binatang yang berhasil diselamatkan dari aksi perdagangan ilegal. Saat kami datang, sikap Bedu tiba-tiba tidak santai. Mondar-mandir dengan cepat dan mata menyapu pandangan ke mana-mana. Lalu dalam beberapa detik kemudian dia duduk di pojok kandang sambil mengulum (maaf) kelaminnya sendiri. Bedu melakukan itu sambil mengeluarkan suara-suara bergetar semacam rengekan.

Bedu yang malang

Kami diberitahu, bahwa Bedu sedang stress berat. Sebenarnya lupa berapa umur Bedu, tetapi bayi beruang ini seharusnya masih dalam asuhan induknya dan biasanya di habitat aslinya lebih banyak bermain. Lalu dari mana sebenarnya Bedu berasal? Ini yang membuat miris mendengarnya.

Bedu diselamatkan dari upaya perdagangan hewan liar secara ilegal oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jateng yang kemudian dititipkan ke WRC Jogja. Rencana penjualan Bedu dilakukan oleh seorang anak berusia 16 tahun !! Bocah itu menawarkan Bedu melalui Kaskus dan dibuka dengan banderol Rp 21 juta. Saya kelu mendengarnya. 

Upaya penjualan ini berhasil digagalkan. Saya sendiri lupa menanyakan di mana bocah itu mendapatkan Bedu. Tapi satu hal, bayi beruang ini telah dipisahkan dari induknya. Sedih mengetahui hal itu, bagaimana seorang bocah sudah mulai mengenal perdagangan hewan liar dan hukum tidak bisa bertindak apapun terhadapnya.

Saya jatuh hati kepada Bedu. Menurut saya, binatang ini memiliki hak sepenuhnya untuk hidup di habitat aslinya tanpa diganggu manusia. Dan sekarang di usianya yang masih muda, dia stress berat karena harus terpisah dari induknya dan tidak mampu hidup secara alami di habitat aslinya. Yang paling nyesek lagi adalah, pihak WRC tidak bisa memastikan kapan Bedu akan pulih dari stress yang dialaminya. 

Mungkin banyak yang tidak peduli tentang keberlangsungan hidup satwa liar. Saya banyak mendengar kalimat seperti "Ah ngapain ngurusin penyelamatan satwa liar. Ngurusin hidup sendiri saja ribet kok." Tetapi bagi saya, hidup seperti Bedu pantas untuk diselamatkan. Keberlangsungan hidup Bedu dan satwa-satwa liar lainnya akan menjaga keseimbangan ekosistem. Kepunahan satwa liar adalah satu satu indikator kehancuran bumi. Lebih dari itu, saya berpikir lebih dari sekadar alasan-alasan itu. Saya berpikir soal "hati". Saya tidak akan pernah punya hati untuk membiarkan hewan selucu Bedu tersiksa untuk kemudian mati sia-sia.

Lain kali akan saya ceritakan kisah Joko dan Ucok. Dua ekor orang utan yang juga mengalami nasib tak kalah sialnya dari Bedu. Manusia lagi-lagi menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas nasib sial mereka.
"The greatness of a nation and its moral progress can be judged
 by the way its animals are treated."
- Mahatma Gandhi -