Sunday, February 24, 2013

Berkunjung ke Pusat Penangkaran Panda di Chengdu


The greatness of a nation and moral progress can be judged by the animal are treated

Pintu Masuk Panda Breeding Chengdu

Kutipan kalimat indah dari Indira Gandhi itu terpajang di sebuah papan kayu dengan tulisan latin serta versi tulisan Mandarin. Di pasang di salah satu sudut halaman Chengdu Research Base of Giant Panda Breeding. Seakan menjadi kalimat penenang bagi panda-panda yang berlindung di penangkaran ini. Lokasi yang terkenal dengan sebutan Panda Base ini memang seakan rumah nyaman bagi para binatang lucu nan pemalas ini.
        Berada di Kota Chengdu, Provinsi Sichuan, China, lokasi Panda Base terletak sekitar 10 kilometer dari pusat kota, tepatnya di Panda Base Road No 26, Northern Suburb. Inilah lokasi penangkaran, habitat para panda, laboratorium hingga museum panda. Gambaran asyiknya: ini adalah kebun binatang berisi panda dengan beberapa jenisnya, serta sangat tenang dan indah.
        Panda Base di Chengdu merupakan salah satu cagar alam bagi panda yang ada di China. Beberapa cagar alam lainnya adalah Wolong Panda Reserve, yang berada di sebelah timur Qionglai Mountain, sekitar 3 jam perjalanan dari Chengdu. Kembali ke Panda Base, ada dua jenis panda di sini, yaitu Giant Panda atau panda yang biasa kita kenal, bulu hitam putih dan postur tubuh besar, dan Red Panda yaitu panda merah dengan ekor panjang dengan ukuran lebih kecil. Memasuki Panda Base, kesan tenang dan sepi akan kita temui. Oya, untuk masuk ke Panda Base, tiket yang harus dibayar adalah 58 CNY. Bagi pelajar, yang dating bersama grup bisa mendapatkan diskon dan hanya membayar 29 CNY. Panda Base dibuka mulai pukul 08.00 hingga 18.00. Bagi wisatawan, tersedia Panda Card dengan harga hanya 1 CNY yang bisa dibeli di Chengdu Shuangliu International Airport.

Lagi ngaso, jangan berisik

Di bagian awal halaman Panda Base, kita disambut dengan taman penuh bunga indah dan terawat, dengan patung panda. Berikutnya, dengan beberapa papan petunjuk arah, kita bisa memilih akan menuju ke mana: ke kandang-kandang panda, museum atau laboratorium.  

Maem dulu ya

Sebelum masuk ke wilayah-wilayah yang terdiri dari kandang-kandang panda, lebih bagus bila kita mengerti sedikit latar belakang panda. Untuk itu, kita bisa masuk ke museum panda dan laboratorium penelitiannya. Setelah itu, kita bisa langsung menuju ke kandang Red Panda (Ailurus Fulgens). Red Panda adalah jenis panda yang tak kalah lucunya dengan Giant Panda. Bulunya berwarna cokelat kemerahan dengan beberapa corak putih,  serta berjalan dengan empat kakinya. Kaki depan lebih pendek, sehingga ketika berjalan terlihat menggemaskan. Jenis panda ini meskipun jinak, namun tak terlalu suka dengan orang, kecuali pawangnya. Senantiasa membelakangi pengunjung, hanya sesekali terlihat menatap pengunjung. Namun, begitu pawangnya muncul dan mengetuk-ngetuk mangkok alumunium wadah makanan, mereka pun langsung berlarian mendekat. Nyaris seperti polah kucing.


Berbeda dengan Giant Panda, menemukan Red Panda beraktivitas siang hari lebih mudah. Seperti diketahui, panda adalah binatang yang lebih banyak beraktivitas di malam hari. Pagi hingga sore, mereka bermalas-malasan sepanjang hari. Di dunia saat ini, konon tinggal tersisa 11.000 – 12.000 ekor Red Panda, namun jumlahnya juga terus menurun karena diburu. Mereka bisa ditemukan di Nepal, Barat Daya China, India, Bhutan dan Myanmar. Sebenarnya, panda di China tidak hanya ada di Sichuan, di provinsi lain pun ada, seperti Shaanxi dan Gansu. Namun, 80% berada di wilayah Provinsi Sichuan.
        Di Panda Base , kandang Red Panda tersebar di beberapa sudut. Sementara di sisi lain, kita bisa menemukan rumah-rumah Giant Panda. Bentuk rumah-rumah buatan ini lucu, dibuat seperti gua dengan banyak jendela dan pintu kota-kota kecil. Di halaman rumah, terdapat bilik-bilik bambu dengan potongan bambu-bambu muda sebagai makanan. Pada siang hari, Giant Panda kebanyakan tidur meringkuk di dalam rumah, sehingga tidak terlihat. Tetapi beberapa juga senang berleha-leha di bilik bambu di halaman sambil ngemil bambu muda. Tingkah mereka menggemaskan, apalagi dengan bentuk tubuh gemuk dan mata sayu.

         Beberapa panda yang masih dalam proses karatina berada di kandang kaca dengan gorden penutup. Sementara itu, beberapa anak panda yang masih dikaratina juga berada di kandang khusus berteralis besi. Lucunya, di dalam kandang anak-anak panda ini, kita bisa menemukan mainan anak-anak, termasuk kuda-kudaan goyang dari bahan plastik. Alangkah lucunya bila kita bisa melihat anak-anak panda itu naik kuda-kudaan.
Di kawasan Panda Base, kita dilarang berbicara keras-keras, berisik dan menganggu para panda. Dan ini bukan hanya sekadar ada di papan peringatan di hampir semua sudut Panda Base, tetapi ada beberapa petugas berseragam yang siap menghampiri kita, menegur apabila kita dinilai mengganggu aktivitas Panda.
               Nah, journer, kalau tertarik melihat habitat  panda dan penangkarannya, langsung di Negeri Tirai Bambu, nabung mulai sekarang. Nggak nyesel kok ke sana, keren sumpah :)

Regards,

A       

Wednesday, February 13, 2013

Toko Oen Semarang

Hey Jouner,

Dalam waktu yang lumayan lama, saya saat ini tengah bekerja di Semarang. Ini bukan pekerjaan tetap sebenarnya, hanya kontrak beberapa bulan. Tak hanya satu, saya ambil dua jobs di dua kantor berbeda di Semarang. Dulu saya pernah menulis tentang follow your passion, tidak lagi jadi mas-mas kantoran. Saya sudah melakukan itu, dan bukan berarti sekarang saya menelan ludah sendiri dengan kerja kantoran lagi. 
Nah kerjaan saya ini dua-duanya enak. Satu kerjaan membuat saya bisa jalan-jalan keliling Jawa Tengah, sesuatu yang jarang saya lakukan secara rutin setiap pekan. Pernah dalam satu hari saya menempuh perjalanan Semarang - Tegal - Brebes - Purwokerto - Sleman - Klaten - Kebumen - hollaaaa....hahaha. Emang pake sopir pribadi sih dan sopirnya jago banget. Bener-bener sesuatu yang belum pernah saya lakukan. Di pekerjaan ini saya juga nggak harus ngantor setiap hari lho. Bagaimana kerjaan kedua? well, kerjaan kedua sebenernya kantoran. Kantornya gedung seberang Lawang Sewu yang kesohor itu. Tapi lagi-lagi, saya beruntung, saya tidak harus ngantor 9-5. Saya boleh ngantor sejam dua jam, sisanya saya selesaikan pekerjaan secara online. Kata temen yang partner saya di kantor ini, orientasi kerja adalah "hasil", terserah bagaimana saya melakukannya. Hmm...enak kan.
Nah, karena kerjaannya sangat fleksibel, saya jadi punya banyak waktu luang untuk jalan-jalan. Biasanya sore-sore saya luangkan waktu untuk jelajah Semarang. Seperti weekend kemarin, sore-sore saya bingung nih mau kemana, karena kebetulan Sabtu itu saya tidak balik ke Solo. Tiba-tiba inget ada Toko Oen, legend-nya rumah makan itu, punya cabang di Semarang. Dan, cabangnya itu berada di Jl Pemuda, sama dengan kantor saya. Meluncurlah saya ke sana. 
Toko Oen....hmmm, saya jadi teringat Toko Oen di Malang yang pernah saya singgahi pula. Jadi saya sudah punya sedikit gambaran akan berada di toko seperti apa. Toko Oen Semarang berada di Jl Pemuda No 52. Kalau Anda bukan orang Semarang, sebenarnya gampang saja mencapainya. Dari depan Lawang Sewu (pasti dong Anda ke Semarang juga ke lokasi ini), susuri saja Jl Pemuda yang berada di sisi luar Lawang Sewu. Lurus saja, sampai menemukan Supermarket Sri Ratu, nah Toko Oen tepat di seberang Sri Ratu. Tokonya agak kecil di pojok.

Toko Oen, Jl Pemuda, Semarang
Sedikit cerita tentang Toko Oen, awalnya toko ini memulai usaha di tahun 1910 di Yogyakarta. Usaha toko roti ini dijalankan oleh Ny Liem Gien Nio, isteri dari Tuan Oen Tjoen Hok. Sayangnya, toko aslinya di Yogyakarta hanya bertahan hingga tahun 1937. 
Berikutnya, justru cabang yang berkembang, yaitu di Jakarta dari tahun 1934 - 1973, Malang (1936 - sekarang) dan Semarang (1936 - sekarang). 
Tahun 1922, dari awalnya hanya toko roti, mulai merambah jual ice cream dan menyediakan makanan menu Belanda, China dan Indonesia. Yang menonjol adalah, bangunan-bangunan yang dipakai selalu bangunan kuno model Belanda. Di Semarang, bangunan Belanda yang digunakan dulunya dibeli dari pemiliknya yang orang Inggris. Dulu lokasi ini disebut Jl Bodjong 52, sebelum berubah menjadi Jl Pemuda.

Interior Toko Oen Semarang
Dibanding Toko Oen di Malang, Toko Oen di Semarang lebih modern interiornya. Lantainya sudah keramik, dan bukannya ubin model kuno. Kursinya meski model lawas, tapi seperti buatan baru (macam model kursi Betawi), beda dengan di Malang yang kita masih bisa menemukan kursi berbahan karet sulur atau juga ada kursi kuno rendah bahan anyaman bambu. 
Di sini juga sudah ada AC, meski kemoderenannya ditutup dengan semacam lemari kayu berongga, sehingga tidak kelihatan AC-nya.
Tapi nuansa kunonya masih tidak berkurang jauh kok. Saya suka masuk ke pintu depannya yang kecil, seperti kedai-kedai di luar negeri yang saya lihat di film-film hehehe. Bagian lain yang saya suka adalah bagian penjualan langsung kue-kue basah maupun kering. Dengan toples-toples gede dan kunonya.


Bagaimana dengan makanannya? saya dari awal sangat tergoda untuk mencoba es krimnya. Sama kayak yang saya lakukan di Malang. Nah, sebelum memesan, coba lihat daftar harga es krimnya dulu.

Harga es krim mulai dari Rp 13.000 hingga yang literan Rp 184.000. Bingung juga kalau saya disuruh memilih mana yang harus saya cicipi. Sementara budget saya juga terbatas.
Akhirnya, saya minta rekomendasi dari si embak yang nyodorin buku menu. Kata dia, yang paling terkenal adalah Tutti Frutti. Mata saya langsung ngulik buku menu, dan menemukan harga Rp 28.500 untuk baris Tutti Frutti. Batin saya sih, hmmm....mahal juga.
Tapi kepalang basah sudah masuk ke sini, kenapa nggak nyoba. Akhirnya saya pesan satu Tutti Frutti. Yang lain saya bayangin dulu aja deh, berat di ongkos soalnya. Nggak butuh waktu lama, Tutti Frutti pesanan saya pun sudah terhidang di meja saya. Beginilah tampilannya, paduan warna cokelat yang membungkus bagian putih dengan topping semacam irisan buah-buah kering.

Ice Cream Tutti Frutti

Bagian es krim yang cokelat itu lembut banget, lumer di mulut. Bagian putihnya yang agak keras dengan rasa buah segar. Enak sih menurut saya. Nah, satu es krim sudah, kini giliran bingung mau mesan makannya. Saya lebih tertarik makan ringan. Dan saya nanya lagi nih, mana yang rekomen buat dicoba. Mbak-mbaknya nunjuk ke Poffertjes, selain ada daftar lain seperti Loenpia, Resoles, Kroket, Bitterballen, Calamari Fritti. Saya tertarik Poffertjes, karena memang belum pernah tau penampakan dan rasanya. Kata temen saya orang Belanda, Poffertjes itu di Belanda sana barang biasa dan banyak ditemui. Nah, dalam daftar menu itu, Poffertjes-nya ada dua, yang plain  Rp 14.000 satu porsi, Poffertjes Campur (Cokelat + Keju ) Rp 17.000, dan Poffertjes Keju Rp 18.000. Saya milih yang terakhir.

Poffertjes Keju

Poffertjes itu bagi saya serupa bola-bola serabi dengan isinya lembut, rasanya sedikit tawar kalau menurut saya. Tidak terlalu gurih, tidak juga manis. Nah, topping -nya bisa macam-macam, inilah yang memberi rasa pada Poffertjes itu. Satu porsi terdiri dari 12 buah, dan disajikan panas-panas. Katanya si embak, emang kalau ada pesanan baru dibikin. Jadi masih panas dan segar. Lumayan banyak untuk seorang. Saya pun hanya berhasil menghabiskan separuhnya, sisanya bawa pulang ke kos.
Sebenarnya masih pengen nyoba yang lain juga, tapi apa daya dompet sudah ngambek dibuka hehehe. Akhirnya hanya dua itu doang yang saya coba. Ntar kalau gajian, mau mampir lagi. Pokoknya, kalau main ke Semarang, jangan lupa mampir ke Toko Oen. Seakan masuk mesin waktu, kalau saya berimajinasi, pasti Toko Oen ini dulu menjadi tempat hengot favorit opa oma Belanda jaman dulu ya :).

Regards,

A

Sunday, February 10, 2013

Es Conglik Versi Semawis


Hey, Journer
Ini janji saya untuk membandingkan es puter Semarang yang legendaris, yaitu Es Conglik, antara versi Es Conglik Simpang Lima di tulisan sebelumnya, dengan Es Conglik versi Semawis. Weekend kemarin, akhirnya saya menemukan es ini di Semawis, pusatnya kuliner di Pecinan Semarang.

Dari tampilannya saja, Es Conglik di Semawis lebih atraktif dan membuat saya tertarik mencoba, mengingat - sekali lagi saya tegaskan - saya pecinta segala es :). Topping-nya yang aneka rupa membuat tampilan Es Conglik versi Semawis lebih menarik dibandingkan dengan versi Simpang Lima yang polosan atau maksimal diberi meses saja. Pada Es Conglik versi Semawis, topping yang ditawarkan antara lain mutiara, agar-agar, roti tawar potong dadu, meses, kelapa muda, serta untuk yang rasa durian dicemplungin satu biji durian :). Kita bisa memilih isi topping yang akan menemani es puter utamanya. Basic-nya, es puternya hampir sama dengan yang di Simpang Lima, namun serutannya lebih lembut.

Secara rasa, tentu Es Conglik versi Semawis lebih menggoda. Es puternya yang lebih lembut, akan bermain di lidah ditemani kenyalnya mutiara (yang bila dingin memang akan lebih mengeras), kemudian ada kenyalnya agar-agar, dan topping lainnya. Sementara versi duriannya yang ada biji durian, membuat kita menikmati rasa dan harum durian aslinya.

Secara harga, memang harga Es Conglik versi Semawis lebih mahal yaitu Rp 15.000 per porsi (satu mangkuk agak kecil). Sementara di Es Conglik Simpang Lima hanya Rp 10.000 per porsi. Bagi saya, lebih baik saya mengeluarkan Rp 15.000 tapi puas, daripada Rp 10.000 tapi nyesel.

Nah, kalau sudah begitu, pilihan di tangan Anda. Selamat mencoba,

regards,

A






Monday, February 4, 2013

Tentang "Nomadic Heart"


"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian"
( Pramoedya Ananta Toer)
 

Saya suka sekali quote dari Pram itu. Sederetan kata yang membuat saya tidak berhenti menulis. Indah sekali. Saya menulis apa saja, sejak saya mengenal aksara. Sejak SD lebih tepatnya. Kata guru SD saya, imajinasi saya terlalu liar untuk anak seusia saya waktu itu. Oke, berhenti pamernya, akan ada pameran berikutnya saat Anda membaca habis tulisan ini :).
Iya, saya sedang di tengah euforia, dan saya bersyukur mengalaminya setiap tahun sejak 2010. Euforia melahirkan buku baru. Ini adalah buku kedelapan saya, dan saya sungguh amat menantikannya mengingat saya menulisnya sendiri dan nyaris gaya tulisannya adalah yang paling mendekati konsep buku yang saya idam-idamkan selama ini. Ini dia:



Bercerita tentang "Nomadic Heart" seperti memutar ulang pita rekaman keriangan-keriangan saya bersama teman-teman traveler dari berbagai penjuru dunia. Yeap, ini adalah kumpulan cerita perjalanan yang saya tulis, kumpulkan satu demi satu dari tahun 2009. Sejak beberapa tahun lalu saya membayangkan buku ini akan terwujud. Dan di 2013 buku ini akhirnya terwujud juga.

Awalnya saya memang hanya membayangkan akan memiliki buku ini, sambil terus saja mengumpulkan tulisan. Lalu pada tahun 2012, saya mulai merasa kumpulan tulisan saya ini sudah cukup memenuhi syarat dicetak menjadi sebuah buku. Pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang akan (mau) menerbitkan? Sejujurnya, sampai sekarang saya belum ingin melakukan self-publishing atau mencetak sendiri (selain nggak punya modal tentu saja).

Saya sudah punya tujuh buku dan sejujurnya, saya masih sangat tidak pede untuk menawarkan kumpulan cerita perjalanan ini. Tetapi kemudian beberapa teman menyemangati. Saya kirimkan masing-masing satu copy ke dua penerbit terkenal. Satu copy saya titipkan ke temen yang seorang penulis langsung ke editornya, satu lagi saya kirim via pos ke penerbit lain melalui prosedur normal. Lama sekali tak ada kabar, meski standar waiting list 3 bulan sudah terlampaui.

Suatu hari, entah kenapa saya iseng ingin membuka email lama saya yang memang sudah tidak saya gunakan lagi untuk aktivitas surat menyurat. Tak saya duga, ada email dari seorang editor senior di salah satu penerbit besar yang menanyakan kemungkinan saya punya naskah. Saya lalu teringat dengan naskah "Nomadic Heart" yang belum ada kabar. 

"Boleh nggak saya diemail naskah itu? buat baca-baca sih, jadi nanti kalau sudah diterbitkan penerbit lain, saya nggak perlu beli bukunya," Mas-nya editor senior itu bertanya dengan setengah bercanda. Saya agak nggak pede sebenarnya memberinya kesempatan membaca buku saya. Tetapi, lagi-lagi, ini pelajaran buat penulis baru juga bahwa rasa malu sering menghambat orang untuk maju. Maka, saya abaikan rasa tidak pede saya, saya kirim email naskah "Nomadic Heart" ke mas editor senior ini.

Dua bulan berlalu...saya anggap komunikasi dengan mas editor senior itu hanya selingan. Sementara dua penerbit besar lain belum juga memberi kabar. Sampai kemudian saya terima email lagi dari seorang editor lain...

"Saya tertarik untuk menerbitkan naskah yang diberikan ke 'mas editor senior' itu...bagaimana?"

You know what, bener kata orang, menunggu adalah pekerjaan menjemukan. Dan saya tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Saya pikir, saya tidak bisa membiarkan kesempatan lewat begitu saja. Saya terima tawaran itu. Saya mempertimbangkan bahwa penerbit ini adalah penerbit besar juga dan buku-buku saya sebagian besar diterbitkan oleh penerbit ini. Jadi saya tidak punya alasan untuk menolak. 

Prosesnya cukup cepat dan akhirnya terbitlah "Nomadic Heart", buku yang saya impi-impikan. Teman saya bertanya "Kok saya merasa kamu sangat sayang terhadap buku 'Nomadic Heart' ini dibanding buku-bukumu yang lain?" Sejujurnya iya. Entahlah, rasanya seperti saat pertama kali saya menerbitkan buku.

Saya sudah menerbitkan lima guide book dan dua travelogue (catatan perjalanan). Secara proses penulisan, saya menikmati membuat tulisan travelogue. Saya menikmati setiap ritmenya, naik turunnya perasaan saya mengingat kembali apa yang telah saya alami. Ini serupa menulis cerpen atau novel (yess...saya punya dua draf novel yang masih saya simpan karena malu dibaca orang). 

"Nomadic Heart" pada hakikatnya cerita tentang hati yang berkelana. Traveling ibarat sebuah perjalanan spiritualitas para pelakunya. Sebuah ziarah panjang traveler dunia. Sepanjang pengalaman saya berinteraksi dengan para traveler dari berbagai belahan dunia, saya menyerap banyak hal, banyak hati yang kosong, sepi, patah, sukaria, keresahan,dan lain sebagainya. Saya tidak hanya menyerap semua hal itu saat traveling bersama mereka, tapi banyak dari mereka yang tinggal langsung di rumah saya selama beberapa hari atau saya tinggal di tempat mereka, dari berbagai bangsa: Belanda, Thailand, Swiss, Mesir, China, Belgia, Amerika Serikat, Libya, Italia, Inggris, Israel, Serbia, Jerman. Cerita-cerita inilah yang kemudian menyusun struktur buku "Nomadic Heart".

Ada 16 cerita yang terangkum di buku ini, yaitu : 
  •  Aku, Monika, dan Kevin Rawley
  •  Menunggu Khum
  •  Keluarga Wongrattanakamon
  •  Sekulkas Cokelat dari Swiss
  •  The Saint #1
  •  The Saint #2: Kotak Masa Lalu
  •  Pietro Pietro
  •  Kulitmu, Deritamu
  •  Matthew Morales
  •  Tentang Duco
  •  Serendipity
  •  Mississippi Burning
  •  Duo “Gembel”
  •  Si Topan Badai Serbia
  •  Doa untuk Bapak
  •  Life is About Choices
Dari cerita-cerita tersebut, banyak ilmu dunia yang saya dapatkan. Setiap hati pengelana ini seakan messenger atas banyak ilmu yang insya Allah membuat saya semakin mau membuka pikiran, belajar perbedaan, semakin "kaya" hati, dan semoga semakin bijak. Karena saya pribadi memperoleh kemanfaatannya, maka saya berharap dengan menuliskannya, pembaca juga memperoleh kemanfaatan.
Akhirnya, ini salah satu yang terbaik yang ingin saya persembahkan kepada pembaca. Saya percaya, ini bukan buku untuk semua orang dan saya tidak sedang dalam rangka menyenangkan semua orang. Saya yakin akan ada yang tidak suka, tetapi saya berharap lebih banyak yang suka :).

Dari lubuk hati terdalam, selamat menikmati karya saya,

Ariy