Thursday, March 28, 2013

Hati-hati Penerbit Nakal

Hey Journer,

Seperti janji saya di postingan sebelumnya. Kali ini saya ingin menulis tentang aksi penerbit-penerbit nakal. Saya mungkin akan lebih ke pengalaman saya sendiri ya. Belum seserem itu, tetapi bisa jadi pelajaran bagi Anda yang mungkin ini masuk ke dunia penulisan sih.

Di awal saya masuk dunia penulisan, khusus menulis guide books dan catatan perjalanan, saya banyak mendengar tentang ulah para penerbit yang nakal. Saya juga banyak membaca pengalaman teman-teman yang baru mau masuk dunia penulisan, langsung patah hati karena kena tipu. Sejujurnya, saya belum mengalami seserem itu. Tetapi memang ada baiknya waspada. Beberapa hal yang sering saya dengar dan baca tentang perlakuan penerbit kepada penulis adalah:

1. Penulis mengirimkan naskah, lama nggak ada kabar (rata-rata nunggu nasib naskah kita sekitar 3 bulan, tapi bisa juga lebih). Kalau cuma nggak ada kabar sih mending ya. Lha bagaimana kalau tiba-tiba naskah yang kita kirim muncul jadi buku, dengan nama orang lain sebagai pengarangnya? waaaaaa.....serem banget. Amit-amit, semoga jangan sampai kejadian sama kita ya. Tapi...iya, ini bukan tidak mungkin terjadi. Biasanya dilakukan oleh penerbit yang nggak jelas. Atau bahkan hanya seseorang yang melakukan aksinya, membuat penerbitan tipu-tipu, dari dalam kamarnya. Duh. Salah satu antisipasinya adalah jangan mengirimkan naskah dalam bentuk soft copy (data di dalam komputer), tetapi pakai hard copy (naskah yang di-print). Menjamin aman? tidak juga. Tetapi setidaknya akan lebih susah untuk dijiplak. Selain itu, bisa juga mengirimkan bab beberapa contoh tulisan (tergantung penerbit mau atau tidak). Baru setelah disepakati hitam di atas putih, kirimkan sisa naskah.

2. Penulis dan penerbit ada kesepakatan akan menerbitkan suatu buku, lalu penulis menyelesaikan tugasnya menyerahkan naskah ke penerbit, tetapi hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tidak juga ada kepastian dari penerbit untuk menerbitkan. Penulis digantung. Kalau saya jadi penulis yang nasibnya begini, saya akan ambil inisiatif untuk kirim naskah itu ke penerbit lain. Peduli setan dengan penerbit yang menggantung nasib penulis. Selama nggak ada kontrak kerja sama dengan penerbit itu, saya akan ambil langkah mengirimkan ke penerbit lain.

3. Penulis mengirimkan naskah, lalu idenya dijiplak sebagian (hampir semua), diolah sedikit, lalu pasang nama baru sebagai pengarangnya. Duh....ini juga serem. Tapi kita bisa apa kalau hal itu terjadi? Kecuali kita punya bukti-bukti kuat untuk menggugat, kalau nggak...maka hanya akan ada omongan lawan omongan, susah untuk menggugat.

4. Penulis diminta mengirimkan naskah, tanda tangan kontrak atau surat perintah kerja (SPK) dijanjikan belakangan setelah buku terbit. Jangaaaaan mauuuu. Di mana-mana, yang namanya kerja sama dua belah pihak itu disepakati di awal, pahitnya sudah sama-sama tahu, manisnya siap dirasakan bersama. Selesaikan semua urusan di awal, baru deh kerja sama direalisasikan. Penulis harus tahu haknya apa, kewajibannya apa, ditandatangani bersama, sehingga memiliki kekuatan hukum.

5. Penerbit tidak transparan tentang penjualan buku. Bilang bahwa penjualan buku seret, sehingga royalti yang diberikan tidak banyak. Ini memang bukan persoalan mudah. Susah bagi penulis untuk mengecek satu persatu penjualan di toko kan? bahkan mustahil. Bagaimana kita tahu penjualan buku kita? minta laporan penjualan secara berkala. Bagaimana kita tahu penerbit tidak memanipulasi data penjualan buku kita? Demi Tuhan, saya tidak bisa menjawab itu. Antisipasinya ya carilah penerbit yang bisa dipertanggungjawabkan, punya kredibilitas bagus.

Itu setidaknya lima hal yang mungkin terjadi. Saya ingin berbagi pengalaman, yang hampir sama dengan point 2 dan 4. Pengalaman saya ini bikin saya bete setengah mampus sebagai penulis. Jadi begini, suatu hari, ada teman penulis menawari saya nulis untuk sebuah buku. Saya setuju. Lalu saya dihubungkan dengan editor buku itu. Kami berbalas email lama untuk mendiskusikan materi buku itu. Semua indah di awal. Beberapa bulan mendiskusikan, akhirnya sudah mulai mengerucut model tulisan apa yang harus saya buat. Kelar nulis, saya kirimkan deh tulisan via email, padahal saya belum pernah ketemu itu editor, gak ada nomor hape-nya, dan murni hanya percaya karena saya dikenalkan kepadanya oleh teman.  (kebodohan pertama).

Setelah itu, komunikasi berhenti sama sekali. Saya berpikir, oh...mungkin masih proses editing atau yang lainnya. Ya sudah saya biarkan, dan saya lupa untuk beberapa saat karena kesibukan saya di hal lain (kebodohan kedua).

Suatu saat, pas nganggur, otak saya kembali ke tempat semula. Tiba-tiba mendadak pinter setelah goblok beberapa saat. Saya ulik lagi email-email saya dengan tuh editor (udah beberapa bulan lalu). Saya nanya deh, gimana nasib naskah saya? itu jadi terbit nggak?  Beberapa hari kemudian dapat jawaban, kalau ditunda dulu dan akan diberitahu lebih lanjut. Habis itu, tidak berkomunikasi lagi!

Suatu saat (entah setelah jeda ke berapa kalinya), saya dan editor kembali berkomunikasi. Intinya akan segera diterbit. Saya belum bete sampai di sini. Lalu, saya minta deh Surat Perintah Kerja (SPK), semacam kesepakatan bahwa naskah saya ini akan diterbitkan. Termasuk minta kejelasan hak-hak saya, berapa uang yang saya terima. Perlu diketahui, naskah ini beli putus. Jadi seharusnya ketika saya kelar mengirimkan semua naskah dan materi yang dibutuhkan, ya saya harus mendapatkan uang yang menjadi hak saya. 

Setelah perbincangan tentang rencana diterbitkan itu kelar, saya kembali kehilangan kontak dengan editor. Pertanyaan saya akan permintaan SPK atau kontrak tidak terjawab. Saya SMS tidak berbalas.  Saya diam saja beberapa lama. (kebodohan ketiga).

Setelah sekian lama, otak saya kembali bisa bekerja lagi. Khususnya pas saya menemukan satu buku dengan nama saya sebagai salah satu penulisnya. Dan benar. Itu adalah buku yang naskahnya saya kirim sekitar setahun lalu. Bukannya saya senang, saya justru merasa sangat aneh yang luar biasa:
  • Bagaimana mungkin sebuah naskah bisa terbit sementara antara penulis dan penerbit belum ada kesepakatan soal hak dan kewajiban penulis?
  • Bagaimana mungkin sebuah naskah bisa terbit sementara si penulis belum pernah tanda tangan surat kerja sama di kertas mana pun?
  • Bagaimana mungkin sebuah naskah bisa terbit setelah antara penulis dan penerbit (yang diwakili editor) tidak pernah komunikasi lagi untuk waktu lama?
  • Bagaimana...bagaimana...dan bagaimana lainnya...duh bete.
Larilah saya ke toko buku. Pengen ngintip buku yang saya lihat di internet itu. Setelah mendapatkan kepastian bahwa memang ada naskah saya di situ, saya mulai bergerak. Saya kirim email ke editor. Beberapa saat tidak mempan, saya telpon si editor. Jawabnya santai sekali. Iya, santai kayak di pantai "Mohon maaf mas kalau lupa memberitahu. Saya kebetulan sibuk sekali." Waaaaa....jawaban macam apa itu? Meski tidak terima, saya masih sabar (tapi bete). Dijanjikan akan diselesaikan. Tapi lama kemudian nggak ada kabar. Nah, amarah saya mulai berloncatan lagi nih di ubun-ubun. Pas ada acara di kota di mana penerbit itu ada, saya hubungi deh editornya untuk ketemu. Apa jawabnya? "Mohon maaf, saya sibuk". :P
Pulang dari kota itu, saya sudah bete. Di rumah, saya kumpulin (untung gak saya deleted) email-email komunikasi saya dengan si penerbit sejak setahun lalu. Saya bikin kronologisnya dari A - Z, dari awal sampai posisi paling akhir nasib saya. Puanjaaang deh emailnya. Dan saya beri ultimatum yang sopan (duh, sudah sial masih saja sopan). Saya bilang, saya akan menempuh langkah yang diperlukan bila tidak ada niat baik dari penerbit untuk menyelesaikan hal yang menjadi hak saya. Sopan kan :).

Emang mempan? Tunggu dulu. Saya ingat sekali cerita teman saya yang bermasalah dengan sebuah perusahaan besar. Persoalan yang dialami teman saya kemungkinan karena kesalahan pejabat yang menangani proyek itu. Jadi kemungkinan besar para pengambil keputusan tidak tahu ada persoalan itu. Mentok gak ada solusi dari itu pejabat, si teman saya yang pinter ini lalu protes keras dan "MENGIRIMKAN EMAIL KE SEMUA PEJABAT TINGGI DI KANTOR ITU". Akhirnya...baru dapat perhatian. 

Itulah yang saya lakukan. Saya merasa, ada sesuatu yang putus antara saya dengan penerbit itu. Di mana putusnya? di -editor-nya. Saya sudah capek untuk kirim email ke editornya, karena paling-paling kayak kemarin. Protes saya via email saya CC ke beberapa email, termasuk email resmi perusahaan penerbitan tersebut. Dan terbukti langsung mendapatkan respons. Saya ditelpon sekretaris redaksinya, dan berjanji akan segera selesai.

Selesai? belum atuh...bete saya masih berlanjut. Saya akan dibayar dengan harga tertentu, yang menurut saya tidak adil. Saya bilang ke mereka: sejak awal kerja sama aja sudah salah. Seharusnya disepakati dulu berapa harga tulisan saya, bukan langsung main terbit dong. Mereka bertanya saya minta berapa? Tetapi sebelumnya mereka bilang, bahwa mereka hanya bisa kasih saya harga C. 

C = harga di bawah standar. Editor bilang, harga C ini dihitung untuk satu tulisan. Kenapa saya dibayar dengan nominal "C", karena saya dinilai tidak terkenal, dan dia membandingkan nama-nama lain yang mendapatkan harga di atas "C". Lalu saya cermati nama-nama lain yang disebutkan sebagai contoh oleh editor itu, dan....maaf, bukan saya takabur, saya sudah menulis beberapa buku, dan saya juga tidak melihat nama-nama lain itu lebih terkenal dari saya. Dududududu.....

Jujur saya capek. Saya nggak mau harga tinggi, tetapi saya juga tidak mau harga rendah. Saya harus menghargai diri saya sendiri. Akhirnya sepakat di harga B. Okelah. Selesai? beluuuuuuum....hahahahah. Capek kan bacanya? sama. Saya juga capek mengalaminya.

Setelah sepakat di harga B, saya tanya lagi..."Mas, harga B itu kan untuk satu naskah. Nah, saya kan lebih dari satu. Harusnya saya menerima B dikalikan dong..". Jawabnya : "Nggak, ya itu untuk semua." Mampus nggak tuh. Kayak lingkaran setan, nggak ada ujung dah. Mari belajar matematika:
  • Satu butir telur harganya adalah Rp 1.000. Kalau Anda membeli tiga butir telur, berapa harga yang harus Anda bayar? Jawab: 3 x Rp 1.000 = Rp 3.000 
Nah...apa perlu saya ajari matematika sederhana gitu? Lha wong saya ini selama sekolah, pelajaran matematika selalu dapat angka merah alias goblok aja masih bisa ngitung hal sederhana seperti itu. Saya pikir si editor juga gak bodoh deh. Dia hanya pura-pura bodoh untuk mencurangi saya. Setelah saya protes, baru deh dipenuhi, harga B dikalikan dengan jumlah naskah yang saya kirim. Kalau sekarang benar-benar selesai deh ceritanya.

Intinya, saya sudah tidak mau berurusan lebih lama dengan penerbit model beginian. Nggak deh, makan ati dan bikin kurus. Kalo kurus karena diet itu bisa saja sehat, tetapi kurus karena makan ati, bisa mati berdiri. Setelah itu saya tutup buku dengan tuh penerbit. Meskipun dalam hati kecil saya mengatakan, kemungkinan yang error adalah editornya.

Ya sudah, harus ada yang menjadi martir dalam hidup. Saya sudah menjadi martir, supaya saya bisa berbagi pengalaman untuk Anda para penulis-penulis baru yang ingin terjun di dunia penulisan profesional. Pesan terakhir, apapun persoalannya, jangan berhenti menulis.

When life bites you in the ass, bite back !!
Regards,
A

Tuesday, March 26, 2013

Cara Menembus Penerbit

Hey, Journer...

Kali ini saya ingin berbagi tentang bagaimana cara menembus penerbit. Postingan ini berdasarkan pertanyaan teman traveler yang juga aktif sebagai travel blogger, dan ingin tahu bagaimana caranya menembus penerbit. Mereka ingin sekali catatan perjalanannya dibukukan.

Postingan ini berdasarkan pengalaman pribadi saya, semoga berguna. Sampai saat ini, saya sudah menerbitkan delapan buku, tujuh buku diterbitkan B-First (Bentang Pustaka), satu buku diterbitkan Mizan. Saya ingin mengawali postingan ini dengan bercerita bagaimana saya bisa menembus Bentang Pustaka. Seperti kita tahu, Bentang Pustaka bukanlah penerbit kecil. Di sana ada banyak penulis traveling beken macam Trinity "The Naked Traveler" atau juga Claudia Kaunang dengan guide books-nya. Kalau untuk buku-buku popular lain, di sini ada Dee (Dewi Lestari), Andrea Hirata, dan lain sebagainya. Tentu kebanggaan tersendiri saya bisa bergabung dengan mereka.

Sekitar pertengahan 2009, saya sudah ancang-ancang hengkang dari koran, tempat saya bernaung sebagai jurnalis dengan posisi akhir sebagai redaktur. Waktu itu, saya sudah berpikir untuk menerbitkan buku, tetapi tidak tahu caranya. Setelah backpacking pertama saya ke luar negeri, saya berpikir setidaknya saya harus menerbitkan tulisan saya di koran sebelum saya hengkang dari koran itu. Lalu akhirnya saya menuliskan catatan perjalanan sebanyak empat seri di koran saya tersebut. Kenapa saya melakukan ini ? bukan tanpa alasan. Saya harus punya bekal berupa portofolio untuk bisa menembus penerbit. Itu pikiran awal saya, dan saya lakukan. Saya belum tahu akan seperti apa langkah selanjutnya.

Buku pertama hingga ke-empat saya
Akhir tahun 2009, saya hengkang dari koran tersebut. Karena nganggur, saya jadi punya banyak waktu untuk browsing-browsing. Lha kok kebetulan sekali waktu itu Bentang Pustaka mengadakan sayembara keliling dunia, yang intinya mengajak siapapun untuk membuat proposal perjalanan ke negara yang dipilihnya sendiri, dan akan dibiayai, dan akan diterbitkan, dan akan dapat royalti, dan akan yang lain-lainnya...:)

Saya sendiri tidak yakin akan apa yang saya lakukan. Tetapi saya kirimkan juga proposal itu, dan itu bener-bener di last minute yaitu hari terakhir penutupan (awal Januari). Saya sudah kelabakan membuat proposal dan pesimistis. Tapi, keberuntungan masih di pihak saya, karena ternyata jadwalnya diundur beberapa hari. Intinya. lomba yang jurinya adalah Trinity itu, saya masuk 5 orang yang dipilih oleh Bentang Pustaka untuk merealisasikan proposal saya. Tujuan saya adalah : China. 

Mau tau kata Trinity soal kenapa saya dipilihnya ? Catatan saja: sebelum saya menang, saya sama sekali tidak mengenal Trinity. Ini penting saya kemukakan karena sekarang orang tahu saya temannya Trinity. Jadi di sini tidak ada KKN. Balik lagi soal kenapa saya dipilih? dan ini sempat saya tanyakan ke Trinity, jawabannya adalah: 
a. Karena proposal saya masuk akal. Tidak asal mengajukan budget murah untuk perjalanan. Kata dia, ada yang mengajukan proposal ke negara tertentu dan anggarannya justru minim sekali. Menurut dia, hal itu tidak masuk akal, karena dia sangat tahu biaya hidup negara tersebut.
b. Negara yang dipilih agak berbeda, yaitu China. Kebanyakan milih Asia Tenggara
c. Karena saya bisa menulis. Bagaimana dia tahu? Kliping koran catatan perjalanan saya yang saya lampirkan menjadi penyelamat saya :).
Dari sinilah kemudian buku pertama saya terbit. Dari gambaran di atas, saya hanya ingin menyampaikan bahwa ada cara lain menembus penerbit di luar cara konvensional mengirimkan naskah ke penerbit.
Buku saya bareng Ajie Hatadji

Secara umum, saya bisa gambarkan beberapa cara untuk bisa menembus penerbit:

1. Melalui cara tertentu, seperti kompetisi.
2. Melalui cara konvensional, mengirimkan naskah ke penerbit.
3. Melalui cara jejaring, bisa dari teman atau komunitas. 

Mari kita kupas lagi satu persatu:
1. Melalui cara tertentu, seperti kompetisi : ini sudah saya contohkan dalam kasus saya di atas. Menurut saya, cara ini adalah shortcut  atau jalan pintas menembus penerbit. Dalam kasus saya, memang saya menang untuk satu buku. Tetapi ketika penerbit melihat saya bisa menulis dan di sisi lain secara marketing buku saya laku, maka mereka tak segan-segan untuk menawari saya jalan-jalan lagi. Berikutnya muncullah buku-buku saya yang lain, mulai dari Thailand, hingga Travelicious Series. Untuk buku-buku ini, saya sudah lebih mudah lagi proses penerbitannya. Saya hanya tinggal mengusulkan outline buku ke editor penerbit, lalu kami diskusikan, lalu saya melakukan perjalanan, menulis, hingga proses penerbitannya. Saran saya, rajin-rajinlah mem-follow akun-akun penerbit besar baik di Facebook, Twitter, maupun situs resmi mereka. Bila ada info terbaru tentang kompetisi yang mereka adakan, ikut saja.
Hasil ngobrol dengan teman-teman penulis, muncullah buku ini.

2. Melalui cara konvensional : tinggal mem-follow akun resmi penerbit besar. Setiap penerbit besar pasti akan mem-publish cara mengirim naskah di situs mereka. Pelajari benar-benar, ikuti setiap poin yang menjadi prasyarat. Jangan ngeper, meskipun belum punya buku, penerbit tetap akan memperhatikan kok kalau naskah kita bagus. Faktanya, banyak penulis baru yang bukunya bisa jadi best seller juga. Biasanya waktu tunggu untuk mendapatkan kepastian sekitar 3 bulan. Tetapi bahkan sampai setahun pun tidak mustahil :).

3. Melalui cara jejaring : pertemanan atau komunitas bisa membawa kita ke penerbit. Bila kita punya teman penulis atau penerbit, kita akan lebih mudah masuk ke penerbit. Misalnya bisa melalui nulis bareng dengan teman penulis, atau langsung menyampaikan ide-ide kita ke editor (orang redaksi dari sebuah penerbit).

Kalau sudah tahu jalurnya, sekarang kita bicara teknis, bagaimana supaya penerbit melirik naskah kita? Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan:

Buku ke-delapan saya.
1. Ada penerbit yang maunya menerima naskah jadi (bukan proposal, bukan outline, bukan beberapa bab cerita. Biasanya untuk buku fiksi). Namun ada juga penerbit yang mau menerima proposal, outline, atau contoh bab, untuk kemudian didiskusikan lebih lanjut. Yang terakhir biasanya untuk naskah non-fiksi, di mana catatan perjalanan juga termasuk di dalamnya. Saran saya: kalau belum kenal banget dengan penerbit atau tidak ada link di sana, jangan mengirimkan naskah soft copy atau naskah disimpan di komputer. Karena sangat mungkin dibajak. Kirimkan saja hard copy  atau naskah yang sudah di-print. Bukan jaminan tidak dibajak, tetapi setidaknya agak susah.

2. Berpikir out of the box. Yang paling ekstrem, bikin tema yang nyleneh, aneh sekalipun. Yang belum pernah dibikin tulisan. Tetapi ingat juga, membuat tulisan nyleneh pun bukan asal buat tulisan, karena saat tulisan itu terbit sebagai sebuah buku, nanti kita harus bisa mempertanggungjawabkannya. Oya, idealis juga boleh. Tetapi sadarilah, penerbitan buku itu sebuah industri. Ini adalah faktanya. Bukan berarti kita harus melepaskan idealisme kita, tetapi kita jangan menjadi orang yang "sak klek", kalo tidak A ya tidak mau. Kalau kayak begitu, hampir dipastikan penerbit ogah sama kita. Letakkan pada proporsinya. Di mana kepentingan kita (idealisme) dan di mana kepentingan penerbit (industri). Buka peluang untuk penerbit mengajak diskusi, lalu kompromi. Berdasarkan pengalaman saya, penerbit tidak pernah memaksa saya untuk melakukan sesuatu yang berbenturan dengan idealisme saya. Nyaris sebagian besar (atau bahkan semua) buku-buku saya adalah representasi pikiran saya. Semua hal bisa dibicarakan, tergantung apakah kita membuka peluang diskusi itu.

3. Buat catatan terpisah bersama surat pengantar naskah. Catatan ini isinya adalah tulisan bagaimana Anda meyakinkan penerbit bahwa naskah Anda layak cetak. Dibikin sederhana saja, poin-per poin, misalnya kenapa penerbit harus mencetak naskah Anda? atau bahasanya kenapa naskah Anda layak cetak? Apakah ada naskah sejenis yang sudah beredar ? Kalau iya, apa kelebihan naskah Anda dibandingkan naskah sejenis itu? catatan ini penting untuk meyakinkan penerbit bahwa naskah Anda layak cetak. Ini ibarat catatan presentasi naskah Anda. 

4. Boleh mengirimkan naskah di lebih dari satu penerbit. Tetapi bila salah satu lolos, etikanya Anda segera menghubungi penerbit lain yang belum ada kabar, untuk penarikan naskah. Etika ini penting, supaya penerbit lain juga merasa dihargai meskipun batal bekerja sama dengan Anda. Hubungan baik perlu dijaga, karena siapa tahu lain kali Anda akan bekerja sama dengan mereka.

5. Jangan ngambekan. Satu naskah ditolak, udah nggak mau nulis lagi. Oya, naskah yang ditolak satu penerbit bisa kita tawarkan ke penerbit lain. Karena setiap penerbit, setiap editor, memiliki pertimbangan berbeda akan sebuah naskah. Sisanya adalah keberuntungan Anda.

Segitu dulu tips dari saya. Postingan berikutnya, saya akan coba berbagi tentang "Penerbit Nakal". Ayo tetap semangat menulis :)

Regards,

A

Thursday, March 21, 2013

Traveling Hemat : Lupakan Hotel, Carilah Kos-kosan

Hey, Journo...
 
Mungkin ini tips yang sudah saya bagi berkali-kali, termasuk di guidebooks yang saya tulis. Tetapi saya ingin membaginya lagi di sini, dalam tulisan khusus, kali aja ada yang butuh. Kalau duit kita cekak, mepet, mau berhemat saat traveling, tips ini mungkin salah satu hal yang mungkin berguna dilakukan supaya kantong kita nggak bolong saat traveling. 

Kita tahu dong, hotel/penginapan atau apapun itu, adalah satu dari tiga aspek traveling yang butuh perhatian khusus, selain makan dan transportasi. Dalam banyak traveling, saya selalu direpotkan dengan mencari kamar yang murah. Kadang kalau sudah mentok dan tidak bisa berkompromi, dan banyak pertimbangan lainnya, saya memilih untuk tidur di bandara, stasiun, atau sekadar ngejogrok di McD dengan secangkir kopi semaleman, atau di Indomart yang sekarang banyak menawarkan satu space kecil buat sekadar hang out atau nongkrong aja.
                                                     photo: trexglobal.com
Hotel murah mungkin bisa saja didapat. Tetapi saya paling nggak suka hotel murah di Indonesia yang memang kebanyakan kotor, lokasinya berada di kawasan esek-esek, kamar mandinya jorok, dan lain sebagainya. Tidak semua seperti itu, tapi mayoritas iya. Saya pernah touring dengan sahabat saya, sampai di Pacitan susah banget nyari hotel murah. Nemu yang rada bagus tampilannya (dari luar). Tetapi begitu masuk, kami berdua bahkan nggak tega mau tidur di kasurnya. Yaolooh, kotor banget. Spreinya yang bernoda, bau apek, apalagi kamar mandinya...hadeeuh. Padahal tampilan bangunan dari luarnya mayanlah. Malam itu saya dan teman saya tidur beralaskan handuk kami yang masih kering. Sebenarnya kami tidak mau tidur, tetapi mengingat kami touring pake motor dari Solo - Yogyakarta - pesisir selatan Yogyakarta - Pacitan - Solo , kami tidak mau berisiko ngantuk di jalan pas naek motor. Alhasil, kami gantian tidur sejam dua jam bergantian pake tuh handuk yang hanya pas di badan satu orang. Mungkin sampai di sini ada yang mikir, yaelah jadi cowok ribet amat :P

Balik lagi ke topik awal, yess...sekarang saya mulai mencari alternatif lain untuk menggantikan hotel murah. Alternatif itu namanya "Kos-kosan". Ide awalnya sih sering lihat ada iklan kos harian. Lalu pas ke Medan, saya coba deh untuk menerapkan ide itu. Kebetulan di dekat Mesjid Raya Medan, saya dan travelmate saya - Ajie - lihat tuh papan nama salah satu kos harian. Ada sih hotel murah di sini, harganya mulai Rp 50.000. Tapi balik lagi, kotornya itu lho. Kami sempat nemu Rp 70.000, mayan bersih, tapi pake kipas angin aja (emang berharap apa? ) dan airnya sering mati, bahkan pas di tengah ritual keramas. Akhirnya memutuskan hengkang.

Mau agak mahal dikit, kok duit pas-pasan. Apalagi kami harus berada di Medan 11 hari 10 malam, taruhlah kami dapat kamar Rp 100.000 (yang tetep saja masih kotor dengan fasilitas seadanya), maka kami harus menyediakan anggaran untuk kamar Rp 1.000.000. Angka besar untuk travelers on budget kayak kami. Setiap sen bagi kami berharga. Maka saat kami lihat ada tawaran kos harian, berhamburanlah kami ke resepsionis kos-an itu (lebay). Ternyata ada kamar Rp 70.000 dengan fasilitas AC (yang bekerja sempurna di tengah panasnya Medan), TV gede 21 inch, tempat tidur springbed ukuran gede, terus kamar mandi dalam. Artinya kalau kami ambil 10 malam, maka kami hanya akan membayar Rp 700.000, HEMAT RP 300.000 (kayak iklan Hypermat yak hehehe).

Nah, yang kayak gini nih bisa Anda terapkan. Apalagi kalau stay lebih lama. Nah, di kos saya yang nyaman dan super bersih di Semarang misalnya, saya sebulan bayar Rp 500.000 dengan kasur springbed, kamar mandi dalam pake shower, bebas 24 jam. Itu kalau misalnya saya orang luar kota dan lagi traveling di Semarang 2 minggu aja, saya akan hemat banyak. Di hotel murah Rp 100.000/malam Anda harus bayar setidaknya Rp 1.400.000 untuk 2 minggu, nah saya hanya bayar Rp 500.000 untuk full 30 hari, hemat berapa juta coba? Ini analogi sederhana aja kenapa kos bisa jadi pilihan hehehe. Gak heran nih, kos saya banyak orang baru yang stay cuma seminggu dua minggu doang. Bahkan ada yang cuma tiga hari. Nah, kalau nginepnya dua tiga hari, bisa jadi Bu Kos ngasih diskon lagi. Mereka ini udah pada tahu cara ngirit :). Di Semarang, sekarang ini banyak kos-kosan di daerah Tembalang (kampus Undip) yang juga nyambi jadi guesthouse lho demi  melihat peluang ini.

Di Yogya yang notabene kota seribu kos-kosan juga mulai banyak tuh yang kayak gitu. Kos harian, termasuk kos menyaru guesthouse ada. Saya selalu bilang, traveling bukan untuk pindah tidur. Tetapi bukan berarti tidur gak penting ya. Istirahat cukup juga penting lho. Cuma kadang antara murah dan kenyamanan itu nggak bersahabat akrab, jadi pinter-pinternya kita membuat keduanya akur hehehe. Dengan banyak cara, kita bisa ngirit buat budget penginapan saat traveling lho. Pas di Medan 11 hari itu, saya memadukan antara tidur di hotel murah (di awal-awal kedatangan) - tidur di kos-an murah - dan nongkrong di McD dan Stasiun Kereta Api (hari-hari terakhir). Ngirit daaah....

Apakah itu mengurangi nikmatnya traveling? No...no....nikmat dan enggaknya traveling tidak ditentukan budget kita, tetapi bagaimana cara kita menikmatinya :)

Selamat mencoba,

A

Monday, March 18, 2013

Tuhan Mencintai Orang-Orang yang Suka Menulis

Judul itu merepresentasikan betapa murah hatinya Tuhan kepada saya. Bagi beberapa orang, tulisan ini nanti mungkin akan terkesan berlebihan. But hey, itulah yang saya suka dari nge-blog, bahwa saya bisa menulis sekehendak saya tanpa ada campur tangan pemodal seperti di jurnalistik, tanpa ada interupsi. Kalaupun ada komen, itu pun via moderasi heheehe...

Saya bersyukur, setelah sebelumnya deg-degan setengah mati, bersamaan dengan meluncurnya buku ke delapan saya, travelogue ketiga saya (yang bukan antologi bareng-bareng penulis lain), buku terbaru saya "Nomadic Heart". Sebelum buku ini meluncur, dalam proses menulisnya saya memang santai sekali, ibarat curhat, tulisan saya berloncatan dengan lancarnya. Tetapi deg-degan muncul saat ada penerbit menawarkan diri untuk menerbitkannya. Tambah deg-degan karena saya sangat tidak pede. Karena banyak di dalam tulisan ini menunjukkan sudut pandang saya tentang sesuatu hal, problem pribadi saya dengan orang-orang di lingkungan saya, dan lain sebagainya. Tetapi kemudian saya sanggupi untuk menerbitkannya. Yang kemudian ditindaklanjuti dengan promo di social media.

Lega. Karena buku saya mendapatkan sambutan positif. Setidaknya yang saya tahu. Meskipun di sisi lain, saya juga harus siap bila ada yang mengkritik habis-habisan atau menghujat seperti buku saya sebelumnya. Saya tidak bisa menyenangkan semua orang. Tugas menyenangkan semua orang sudah diambil alih oleh Walter Elias "Walt" Disney :) melalui tokoh-tokoh kartunnya. So, saya selalu bilang ke diri saya, ini bukan buku untuk semua orang. Itu juga yang kemudian saya sampaikan ke orang-orang.

Di luar dugaan, saya mendapatkan banyak respons positif. Beberapa hari setelah beredar di toko-toko buku di Indonesia, saya sudah mulai mendapatkan komentar positif tentang buku ini. Beberapa di antaranya resensi-resensi di blog maupun di media, termasuk juga di www.goodreads.com. 


Di goodreads, seperti yang bisa dibaca di link: http://www.goodreads.com/book/show/17382495-nomadic-heart

Dini Novita Sari menuliskan:
"Ketika kejengahan saya tentang koar-koar mengenai traveling dari para pelakunya di media sosial mulai meradang, buku ini menjadi pelipurnya. Bagi saya, buku ini jujur, tidak berlebihan, dan tanpa tedeng aling-aling. So if u need to find an honest and humble  travelogue, all i can say... Nomadic Heart is good. :)

Resensi lengkap Dini bisa dibaca di link berikut ini: http://dinoybooksreview.wordpress.com/2013/03/03/nomadic-heat-by-ariy/

Selain Dini Novita Sari, di link goodreads tersebut juga ada komentar dari Dian Ruzz yang menuliskan :
"Sebuah kisah perjalanan yang tidak hanya berisi kisah tentang kaki yang melangkah, mata yang melihat, lidah yang merasa, telinga yang mendengar, tetapi juga tentang hati yang belajar dan berbicara. Nice book "



Ada juga komentar Maya Indah : "Saya suka sampulnya.. saya suka tulisannya.. Nomadic heart, menurut saya, salah satu buku yang sebaiknya dibaca untuk mereka yang sedang melakukan kontemplasi diri, untuk mereka yang ingin melihat sisi lain dari sebuah traveling"

Resensi lengkap Nomadic Heart dari Maya bisa dibaca di blog-nya :
http://chiemayindah.wordpress.com/2013/03/16/nomadic-heart/

Selain dari link goodreads, beberapa blog juga mengupas Nomadic Heart:
  • The Escaped Traveler ( http://escaped-traveler.blogspot.com/2013/03/book-review-nomadic-heart.html ) yang mengungkapkan "Membacanya kita tidak akan pernah bosan. Hati kita diajak mengembara bersama setiap rangkaian kata-katanya. Bahasa yang cukup ringan dengan pilihan kata yang tepat menjadikan buku ini lebih 'renyah'.Penulisan travel quotes di sela-sela paragraf juga menjadi faktor pendukung yang memberikan nilai tambah bagi cerita itu sendiri"
  • AcapTrip  ( http://acaptrip.wordpress.com/2013/03/12/mengutip-inspirasi/ ) yang mengungkapkan  
  • "Nomadic Heart telah resmi menjadi buku yang statusnya sama dengan dua buku yang saya sebut sebelumnya, sumber inspirasi sekaligus favorit sepanjang masa. Sekilas memang terlihat sederhana, tapi dalam kesederhanaan itu pembaca bisa menemukan cerita yang unik, menarik, bahkan mengharukan. Bagi saya, justru dalam kesederhanaan itu, saya bisa banyak belajar, itu manfaat yang terpenting.
Seorang pembaca juga menuliskan pandangannya di www.kompas.com : http://oase.kompas.com/read/2013/03/12/00270780/Menikmati.Hidup.dengan.Cara.Berbeda


Saya juga mendapatkan mention dari pembaca yang merasa terwakili oleh cerita saya.:

1.  @identityono Currently reading latest book, Nomadic Heart. I do really feel about measurement and they-are-not-the-same-frequency-with-me. :-)

2. Benar sekali. Terima kasih kembali karena saya menjadi lebih mengapresiasi berbagai arti serta tujuan dari "penjelajahan".

3. Gak nyesel sedikitpun gue resign. Ada paragraf superkeren di Nomadic Heart-nya hal 16 :) 

4.  Kak aq baru selese baca Nomadic heart dan itu keren!!!

...dan banyak mention lainnya. Seorang teman yang wajahnya jauh dari kata sendu, SMS saya dan mengatakan "hampir nangis baca bab Sekulkas Cokelat dari Swiss". Atau seorang teman lain yang menyatakan hati memang tidak bisa dibohongi. Aku suka Nomadic Heart.

Saya sendiri tidak menyangka akan mendapatkan sambutan hangat seperti itu. Yang saya lakukan hanyalah menulis dengan jujur sesuai dengan apa yang hati saya ingin katakan. Beberapa hal sebenarnya sangat personal, dan saya agak ragu mengungkapkannya. Tetapi teman saya yang penulis terkenal itu - Trinity - pernah bilang ke saya, kalau nulis jangan jaim. Dan inilah saya, mencoba menelanjangi diri dalam buku Nomadic Heart. Satu hal yang sering dikritik orang tentang buku ini adalah : kurang tebal. Hehehe...kalau saya bisa mengarang indah tentu akan saya bikin lebih tebal. Sayangnya Nomadic Heart adalah buku non-fiksi.

Ada juga komentar soal bau-bau fiksi di dalam buku ini. Well, saya mengakui dalam beberapa diksi, kalimat, ada "nilai rasa tertentu" yang saya mainkan. Tetapi substansinya tidak berbeda. Untuk menjadi sebuah buku, saya harus memikirkan kenikmatan pembaca dalam mengeja setiap kata dan kalimat. Dalam kehidupan nyata, mungkin kata dan kalimat meluncur dengan lugas. Tetapi dalam sebuah karya tulis (termasuk karya sastra misalnya) perlu kita pikirkan aspek-aspek estetik merangkai aksara supaya sebuah cerita menjadi indah. Non fiksi pun bisa diberlakukan semacam itu, tanpa keluar dari cerita aslinya. Ini sama saja dengan mengangkat sebuah kisah hidup seseorang ke dalam film, akan banyak aspek-aspek sinematografi yang tentu hal itu tidak muncul di dunia nyata.

Masukan demi masukan, yang bukan hanya sekadar pujian, akan membuat saya semakin rajin belajar dan menambal lubang-lubang kelemahan saya. Terima kasih untuk pujian yang banyak. Sekarang saya pede untuk menulis. Dan saya juga menemukan resep supaya sebuah tulisan disukai: menulislah dengan hati. Karena konon yang keluar dari hati, akan sampai ke hati juga :).

Akhirnya....oke sekarang Anda boleh mengambil tas plastik kresek. Mari muntah bersama-sama hahaha demi melihat saya pamer :)

Regards,

Ariy