Tuesday, July 30, 2013

She's a Man (cerita tentang ladyboy di Thailand)

"I spent the night with a gorgeous Thai girl who turned out to be a gorgeous Thai boy!" seru Daniel Cleaver.

Saya selalu ingat line di sekuel film Brigdet Jones: The Edge of Reason itu saat traveling ke Thailand. Ada satu scene di mana Daniel Cleaver yang diperankan Hugh Grant, kalang kabut saat mengetahui "cewek" Thailand seksi yang dikencaninya berubah jadi cowok alias cewek jadi-jadian.

Thailand identik dengan banyak hal kuat, salah satunya adalah lady boy. Ini adalah sebutan bagi perempuan transeksual alias aslinya cowok. Banyak juga yang menggunakan istilah Sheman atau Shemale. Intinya sama saja. Dan di Thailand, memang jumlahnya banyaaak.

Transeksual, waria, bencong, atau apa pun itu sebutannya sudah akrab di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadi isu dunia sejak lama karena masih banyak pro dan kontra menanggapi eksistensi mereka. Thailand menjadi salah satu surganya Ladyboy karena di sini mereka mendapatkan penerimaan yang luas dari masyarakat.

Dan...Ladyboy di Thailand tuh cantik-cantik, sehingga orang sering menyangka mereka adalah cewek sungguhan. Stigma yang melekat memang negatif, mereka selalu dihubungkan dengan aktivitas dunia malam, baik di Indonesia maupun di Thailand. Namun, tahukah Anda...di Thailand banyak Ladyboy yang lebih beruntung karena ternyata gender ketiga ini mampu menempati posisi-posisi sosial yang cukup lumayan.

Suatu saat di tahun 2009, saya traveling ke Chiang Mai, Thailand. Menginap di rumah teman saya, Sakayawat Wongrattanakamon, yang seorang travel writer dan penyanyi di Thailand. Saya memanggilnya dengan Paul. Suatu malam, Paul mengajak saya makan malam bersama beberapa temannya di sebuah restoran milik seorang artis yang cukup punya nama di Thailand. Kebetulan artis ini juga temannya Paul. Restorannya bagus, makanannya enak, mulai dari ikan, ayam hingga kodok goreng. Tetapi yang memesona saya bukanlah makanan. Melainkan toiletnya.

Di sini ada toilet khusus yang dipersembahkan dalam rangka menghargai keberadaan gender ketiga yaitu para ladyboy. Toiletnya ada tiga: male - shemale - woman. Hehehehe, artinya toilet untuk laki-laki, toilet untuk transeksual dan toilet untuk wanita. Dan posisi toilet transeksual pun berada di tengah, mungkin disesuaikan ya....separuh laki-laki separuh wanita. Bagi orang Thailand, hal itu bukan mengejutkan lagi dan dianggap hal biasa.

"Saya memang menyediakan toilet itu untuk mereka, karena kami menghargai kehadiran mereka," ungkap si artis pemilik restoran itu, Lanna Commins, kepada saya. Dia meminta saya untuk masuk mengecek, seperti memahami apa yang ada di benak saya.

"Kayak apa, ya toiletnya?"

"Apa menggunakan urinoir juga layaknya toilet pria?"
"Wah pasti tersedia cermin untuk dandanm ya?"

Itu yang berkecamuk di benak saya, dan saya tersenyum-senyum simpul ke arah Lanna. "Silakan cek saja sendiri," kata Lanna mempersilakan saya. Saya cuma menggelengkan kepala, nggak enak aja "inspeksi" toilet.

Lain lagi pengalaman saya saat menggunakan bus dari Chiang Mai ke Bangkok. Saat itu, 17 Oktober 2009, saya naik bus ke Bangkok bersama Paul dengan tiket seharga masing-masing 518 Baht atau sekitar Rp 155.000 kala itu. Berangkat dari Arcade Bus Terminal, Chiang Mai sekitar pukul 19.30 waktu setempat. Bus yang saya tumpangi adalah bus double decker alias bus tingkat. Saya mendapatkan kursi di atas dan cukup nyaman.

Bagusnya bus di Thailand ini adalah ada semacam pramugari dan pramugara yang melayani para penumpang. Sebelum berangkat, seorang pramugari yang sudah cukup umur namun masih terlihat cantik dan rapi melayani para penumpang. Membagikan makanan dalam dus dan air mineral.

Beberapa saat kemudian bus berangkat, dan ternyata pramugari dan pramugaranya berganti. Dua orang cowok dan cewek melayani kami para penumpang. Saya terpesona dengan pramugari bus yang baru ini. Sejak awal keberangkatan, saya sudah tertarik kepada wanita ini karena..."Something wrong with this lady..." pikir saya. Saya selalu pengen melihatnya, dia sedikit bicara, tetapi senyumannya selalu tersungging. Gayanya anggun

Wajahnya cukup banyak jerawat, dengan make-up tebal dan terlihat seperti belang karena wajahnya putih sementara lehernya lebih cokelat. Tetapi gesture tubuhnya enak, caranya melayani penumpang elegan. Dia mengenakan rok selutut ketat warna biru muda dan atasan blazer plus sepatu hak tinggi. Sampai kemudian tiba di pemberhentian pertama, misteri itu terkuak sudah.

"Ladies and gentleman, 15 minutes for break..."  kata pramugari itu. Ya Allah Ya Rabb! Benarkah suara itu? besoaaaar dan ngebass! Bagaimana mungkin perempuan seanggun itu memiliki kualitas suara seperti vokalisnya Metallica si James Hetfield? Hahahaha. Inilah kenapa saya dari tadi merasa seperti ada yang ganjil dengan pramugari ini. Tetapi meskipun begitu, saya amati, cara dia bekera, berkomunikasi dengan rekan kerjanya di pool bus, sangat cair. Bahkan tidak terlihat kecanggungan, Memang sih, gayanya lebih centil dari cewek-cewek lainnya.

Sejak Usia Dini

Paul bilang, kita tidak perlu heran, karena keberadaan transeksual di Thailand hampir bukan masalah lagi secara nasional. Demi itu, saya jadi tidak heran saat membaca berita kalau PC Air, sebuah maskapai penerbangan baru di Thailand yang melayani rute lintas Asia menerima pramugari transeksual. Hal ini dilakukan setelah menerima lebih dari 100 surat lamaran dari para ladyboys  untuk menjadi pramugari mereka.

Terbukti juga, langkah ini justru menjadi promosi gratis maskapai itu, karena ini untuk pertama kalinya di dunia sebuah maskapai penerbangan memiliki pramugari transeksual. Banyak media besar dunia kemudian memberitakannya. Empat orang ladyboys beruntung mendapatkan posisi sebagai pramugari di maskapai itu, dan mereka cantik-cantik!
Empat pramugari transeksual PC Air. - photo: Reuters
 Beberapa hari setelah di Bangkok, saya dan Paul makan siang di sebuah restoran Jepang. "What do you think about her?" kata Paul sambil menunjuk ke kasir restoran itu. Hmmm....cantik sangat, light skin, dengan tubuh ramping, make-up natural, rambut legam lurus panjang.

"She's a man," kata Paul kalem.

"Haaaah?? Are you kidding me?" Paul mengangguk kalem menjawab kekagetan saya. Damn, saya langsung patah hati mendengar penjelasan Paul. Restoran ini memang restoran favorit dia, jadi dia tahu banyak soal restoran ini. Saat di kasir, dia berbincang akrab. Baiklah...perempuan cantik ini pasti akan banyak mematahkan hati laki-laki...hehehe.

Nah, bukan kebetulan kalau kemudian di restoran itu datang serombongan gadis-gadis jadi-jadian, masih muda, sekitar usia anak SMP di Indonesia. Tapi jangan tanya soal penampilan, mereka sudah berani dress-up, memakai make-up tebal, baju seksi dan genjreng, wig-wig aneka warna itu.

Dari sini saya menyadari, seperti halnya dunia perempuan sesungguhnya, ada kelas-kelas di mana seorang perempuan bergaya classy, elegan, dan beberapa lainnya bergaya asal-asalan cari perhatian, sampai murahan. Nah di dunia transeksual ternyata ada juga. Kasir restoran Jepang tadi saya sebut bergaya classy, sementara ladyboys ABG ini adalah versi gagalnya, hihiihi.

Herannya, seperti hanya saya yang memandang keheranan terus menerus ke arah mereka. Sampai salah satu dari mereka matanya mendelik ke arah saya, saya baru berhenti memperhatikan. Hahaha, takut sumpah.

"Itulah efek dari penerimaan transeksual di Thailand yang luas. Laki-laki kecil pun berani dress-up dan ber-make-up  tebal seperti perempuan. Next time, kamu akan bisa lihat ada sekolah, junior high school juga memiliki toilet shemale di bagian lain negara ini," tutur Paul kalem. []

  •  PS: cerita ini ada di buku saya "Norak-Norak Bergembira" terbitan Pastel Books.

12 comments:

Claude C Kenni said...

Sayang banget, kenapa ga cobain masuk WC nya terus lu foto...kalo namanya traveling, kagok banget kalo hal2 kayak gitu dilewat...hahaha

rusydi said...

kalo punya kesempatan keliling gitu, duit banyak, ya bisa2 aja ke luar negeri sering2. jadi pengen tahu gimana cara survival-nya para backpacker

Ariy said...

@Claude C Kenni
Iya, ane nyeseeelll banget. Ane cuma motret pintu depan doang. Hahaha. Ada di tulisan lain di blog ini.

@Mas Rusydi:
banyak sih cara bisa survival. Cari modal dari nulis, diputer aja duitnya. Cari banyak temen di luar negeri. Makan, nginep, transport dengan bujet seminim mungkin. Banyak cara lainnya.

Unknown said...

Eh serius ada toilet shemale ??? penasaran tingak dewa nich

Cipu said...

Postingannya Papa ini thoughtful yah, enak dibaca dan mengalir dengan tenang. Love the post and the message embedded to it.

Rucksack Traveler said...

Sudah mendapatkan izin, kenapa tidak di cari tau bagaimana isi itu toilet nya?....takut di grepe2 ladyboy nya ya?.....hahahahahaha

Ariy said...

@Cipu: thanks kakak sudah mampir :)

@Rucksack : meskipun toilet itu resminya milik yg punya resto, tetapi kan tetap saja harus menghormati privacy penggunanya. Mungkin kalo pas itu saya pake rok, saya akan masuk pura2 kencing.Tapi tampilan saya kan cowok, gak lucu kalo saya masuk, terus cuma liat-liat doang mereka beraktivitas :)

felicity said...

Memang di Thailand lebih terbuka buat gender ketiga ini ya. Saya belum penah melihat shemale toilet. Sempat di awal2x dulu kaget saat melihat pelayan resto jalanan berpenampilan cowok tapi pake lipstik gitu dan biasa aja di Bangkok... Postingannya menarik dan alur tulisannya bagus. You are a talented writer! :)

Ariy said...

thanks felicity, sudah mampir ke blog saya :)

tomi said...

hehee.. harusnya mas coba masuk ke toilet shemale mas..

kan bisa di share kayak apa :D

namun salut dengan thailand.. mereka menghargai kaum transgender

Tamu cantik said...

Broo.? Yakin temen lo artist di thailand ..? Siapa namanya mau tau gue,? Terus pramugari itu kayak mya lo ambil dari salah satu situs dehh hmmm...

Ariy said...

@danang hadi
Soal artis thailand itu, baca di buku saya Nomadic Heart mas. Komplit saya cerita di sana.
soal pramugari transgender itu...lha kan emang di situ saya tulis saya baca berita. Kan itu hanya pelengkap cerita. Bukan saya ketemu mereka. Cek juga fotonya kan creditnya saya tulis Reuters :p