Tuesday, December 31, 2013

Doa Awal Tahun

Dear Journer, 

Sebelumnya selamat tahun baru 2014. Semoga hal-hal terbaik akan kita dapatkan di tahun baru ini. Semoga semua bahagia juga ya. Ini posting nggak penting sih. Saya hanya tidak ingin melewatkan tanggal pertama, hari pertama di tahun 2014 tanpa artikel sama sekali hihihi.

Tahun 2014 akan banyak hal baru yang harus saya jalani. Sepertinya banyak yang tidak heran dengan kondisi saya. Banyak yang bahkan bilang "capek" melihat selalu ada hal baru yang saya kerjakan atau jalani, dan kenapa tidak mulai menata hidup seperti orang lainnya? 

Tahun 2013, saya juga menjalani banyak perubahan dari tahun sebelumnya. Saya harus pindah Semarang, stay di kota ini tanpa batas waktu yang saya tahu. Bagi saya, setidaknya sampai saya bosan. Saya kerja di kota ini, dengan "ikatan" yang tidak sewajarnya. Saat dimintai mulai kerja ya kerja saja, dan saya bisa cabut kapan saja, tidak ada hitam di atas putih. Bagi orang lain, justru hal ini bakal diributkan. Kok nggak ada kejelasan? kok nggak ada kepastian? Bagi saya, justru model seperti ini yang saya inginkan. Saya bekerja, mendapatkan uang yang cukup, tetapi saya masih bisa melakukan apapun yang saya mau. Saya bisa berhenti bekerja kapanpun saya mau. Saya bosan, saya berhenti. Dan memang, November kemarin saya pun berhenti.

Menjadi freelancer bukan pekerjaan mudah. Saya tidak akan berbohong kepada Anda. Saya tidak akan memberi Anda angin surga, supaya Anda keluar dari pekerjaan dan hidup sesuka Anda seperti yang saya lakukan. Banyak konsekuensi yang harus dijalani. Bayarannya kadang setimpal, kadang tidak. Setimpal dengan kebebasan yang saya miliki, tetapi kadang kejam juga sih bagaimana hidup memperlakukan orang-orang seperti freelancer. Kalau nggak ada kerjaan, haduuuh...stress liat angka-angka di buku rekening.

Di sisi lain, saya masih bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan lain karena saya memiliki waktu luang lebih banyak daripada menjadi pekerja tetap. Saya punya waktu untuk hobi saya, kesenangan saya, dan bangun tidur kapanpun saya mau. Hidup saya tidak ribet, bahkan terlalu malas bagi banyak orang. Tahun 2013, bulan Februari akhirnya travelogue saya terbit juga: Nomadic Heart. Membuat buku ini bukan hal mudah, karena saya benar-benar menulis sendiri, tidak siang tidak malam. Tetapi saya benar-benar menikmati prosesnya, jadi seperti tidak bekerja tapi lebih sedang menjalani hobi (hobi kok nulis hehee). Saya puas apapun hasilnya. Pertengahan tahun, saya juga mulai mengerjakan buku kedua The Ho[S]tel yang saya kerjakan dengan teman saya, yang akhirnya terbit bulan September.

Di situasi-situasi seperti itulah saya merasakan bagaimana menikmati sebuah perubahan, hal baru, itu menjadi seperti candu. Saya merasakan kekuasaan sepenuhnya atas diri saya. Saya bebas menentukan apa yang saya mau. Dalam bekerja, saya tidak terikat jam kerja. Bahkan pernah dalam satu bulan, saya hanya kerja tiga hari. Bos saya tidak memecat saya (bahkan menolak permintaan saya untuk berhenti bekerja), karena memang orientasi kerjaan saya adalah pada hasil, bukan pada bagaimana saya memproses tugas itu menjadi hasil yang mereka inginkan. Ini memang bukan hal yang mudah, karena diperlukan skill, saat kita punya skill dan dibutuhkan orang, maka pekerjaan sebagai freelancer tentu cocok. Beruntunglah saya memiliki skill yang bisa saya jual. Saya juga menikmati sekali proses bagaimana saya menulis buku, kemudian deg-degan saat terbitnya. Saya juga memiliki banyak waktu luang untuk mengikuti kompetisi ini itu, mengirim naskah ke sana ke mari, meskipun semua itu belum tentu menghasilkan kata "menang" atau "diterima". Saya sangat menikmati situasi di mana saya memiliki harapan, meskipun belum tentu terwujud.

Dan hidup saya menjadi lebih hidup. Jauh lebih hidup dibandingkan saat saya bekerja sebagai mas-mas kantoran yang pernah saya jalani 13 tahun lebih. 

Hidup adalah pilihan. Demikian juga saat saya memutuskan meninggalkan Semarang pada akhir November lalu. Ada tawaran pekerjaan lain, dua sekaligus, yang setidaknya bisa memperpanjang napas saya, atau sekadar bisa membiayai trip saya. Mulai 2014, saya sudah siap untuk menjalani hal-hal baru, dan saya tak sabar untuk mengerjakannya. Selain itu, saya juga mengikuti beberapa kompetisi, berharap menang tentu saja, dan melakukan "hal baru" lainnya. Oya, ada "hal baru" lain juga, penerbit sudah menagih naskah untuk buku baru, sementara The Ho[S]tel 2 juga akan terbit di awal 2014. Terlalu banyak "hal baru", saya bersyukur.

Saya belum pernah menjelaskan semua ini kepada orang-orang yang pernah bilang "capek" atas hidup yang saya jalani. Yah, semoga saja mereka nggak buta internet, tiba-tiba googling, dan nemu tulisan ini huahahaha. Tetapi sebenarnya, saya mulai tidak peduli sih. Saya merayakan hidup saya dengan cara saya sendiri, dan saya berharap semua baik-baik saja.

Berharap Anda juga sedang merayakan hidup Anda, apapun pilihan hidup Anda, pilihan pekerjaan Anda, pun dengan siapa Anda menjalani hidup :). Tahun 2014 ini semoga kita semua berbahagia. Amin.

regards,

Ariy

Saturday, December 28, 2013

Coban Rondo Malang ~ Legenda Sang Janda dari Gunung Kawi

Dear Journer, 

Kali ini kita akan menuju Kabupaten Malang. Kok kabupaten? Bukannya Malang itu kota ya? Dulu saya pikir Malang itu ya satu, kotanya. Tetapi ternyata ada juga Kabupaten Malang. Nah, kali ini saya ajak Anda jalan-jalan ke Kabupaten Malang, tepatnya berkunjung ke Coban Rondo.

Coban Rondo adalah air terjun yang berada di kawasan Wana Wisata Coban Rondo dan terletak di bagian barat deretan kaki Gunung Kawi. Ketinggiannya mencapai 1.200 di atas permukaan laut.  Cuacanya sejuk sepanjang tahun dengan suhu antara 17-27 derajat Celcius. Secara administratif, sebenarnya air terjun ini tidak berada di Kota Batu, tetapi Coban Rondo berada di Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Luasnya mencapai 90 hektare dan berada di bawah pengelolaan PT Perhutani Alam Wisata. Ada legenda yang menyertai keberadaan air terjun ini, yaitu legenda percintaan Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi dengan Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Setelah beberapa hari menikah, Dewi Anjarwati dan Raden Baron Kusumo melakukan perjalanan ke Gunung Anjasmoro tempat kediaman orangtua Raden Baron. Namun di tengah jalan muncul Joko Lelono yang terpikat kecantikan Dewi Anjarwati.  Joko Lelono ingin merebut Dewi dan harus berhadapan dengan Raden Baron Kusumo. Sementara Dewi Anjarwati disembunyikan di sebuah air terjun (Coban) oleh para pengikut Raden Baron Kusumo. Duel antara Joko Lelono dan Raden Baron Kusumo ternyata berimbang dan membuat keduanya meninggal. Dewi Anjarwati pun menjadi janda atau dalam bahasa Jawa disebut Rondo. Sejak saat itulah air terjun itu dinamakan Coban Rondo.
        

Menuju Coban Rondo sangat menyenangkan. Kita akan melintasi punggung bukit dan sisi lain adalah jurang dengan pemandangan indah. Penanda kita sudah sampai kawasan Coban Rondo adalah patung sapi. Nah, dari patung sapi menuju ke air terjunnya cukup jauh juga, sekitar 2-3 km. Bila Anda menggunakan transportasi umum, memang agak capek jalannya, tapi hawanya sejuk kok, jadi tidak terlalu menguras tenaga. 

Pemandangan Coban Rondo menurut saya sangat indah. Dan yang lebih menyenangkan lagi, saat saya ke sana, tidak terlalu banyak pengunjung. Air putih tercurah dari ketinggian dan pecahan airnya bertebaran kemana-mana menerpa wajah pengunjung. Di bagian depan kawasan air terjun, kita juga bisa membeli aneka makanan, mulai makanan berat, hingga jagung bakar. Oya, jangan lupa beli oleh-oleh di kios-kios bagian depan, karena harganya relatif lebih miring dibanding kita membeli di kota. Misalnya aneka keripik buah, yang di kota dijual sekitar Rp 10.000,00 per bungkus, nah di sini kita bisa mendapatkan paket murah, satu tas besar yang berisi sekitar 10 bungkus bisa dibeli dengan harga Rp 25.000,00.
 
Bagaimana cara menuju kawasan Coban Rondo dengan angkutan umum dari Malang? Ambil Angkot jurusan Landungsari (kode L) dengan tarif antara Rp 2.500,00 – Rp 3.000,00), kemudian dari Terminal Landungsari, Anda silakan naik bus jurusan Kediri yang melewati Pujon dengan. Minta diturunkan di patung sapi, dengan tarif kurang lebih Rp 3.000,00. Nah, dari patung sapi ini kita jalan kaki menuju ke kawasan air terjun.
 
Di kawasan Wana Wisata Coban Rondo selain Anda bisa menikmati tujuan utama yaitu air terjun, pihak pengelola juga menawarkan aktivitas outdoor lainnya, yaitu: menikmati kebun organik, outbound training. trekking dengan sepeda gunung, night safari menikmati suasana hutan pada malam hari hingga matahari terbit, wet trekking: menikmati jeram dan sungai gunung dari hilir ke hulu, jungle/village trekking jelajah hutan dan desa, camping, dan lain sebagainya. Nah, untuk bisa menikmati aktivitas itu, kita bisa menghubungi pihak Perhutani. Pihak Perhutani juga memiliki fasilitas antara lain wisma dengan 15 kamar, sepeda gunung, tenda dan peralatan kemah, serta peralatan high ropes untuk kegiatan outbound. Berikut alamat dan nomor yang bisa dihubungi:

PT Perhutani Alam Wisata
Unit Kerja Wana Wisata Coban Rondo
Desa Pandesari – Kecamatan Pujon
Kabupaten Malang 65391
Telp/fax    : 0341-5025147
Email        : cobanrondopalawi@yahoo.com
Situs        : www.cobanrondo.com

Met jalan-jalan yak,

Ariy

Thursday, December 26, 2013

Restaurant Tip Top ~ Resto Legendaris di Medan



Dear Journer, 

Kota Medan bagi saya menawarkan kenikmatan berwisata kuliner. Melting pot bagi banyak budaya membuat kota ini memiliki keragaman kuliner yang pantas dicoba.
Nah, kali ini saya akan ajak Anda ke restaurant tua yang melegenda di Kota Medan, yaitu Restaurant Tip Top. Saya salah satu penyuka restaurant-restaurant tua macam Toko Oen Malang, Toko Oen Semarang,  Rumah Makan Adem Ayem di Solo, dan lain sebagainya. Nah, untuk Medan, ada Restaurant Tip Top.

Java Ice Cream
Restaurant ini berdiri sejak 1934, yang di awal eksistensinya melayani para ekspatriat di jaman kolonial, yaitu mereka yang tinggal di Medan. Saat ini, resto ini banyak dikunjungi wisatawan asing maupun domestik yang tengah berkunjung ke Medan. Dari luar, restaurant yang berada di kawasan Kesawan ini tampil sederhana dan terlihat rada kuno. Tetapi itulah daya tariknya. Terlihat veranda yang diatur sedemikian rupa, sehingga saat makan kita bisa menikmati lalu lalang orang di Jalan Kesawan, atau sebaliknya, orang juga mudah melihat kita. Tetapi meskipun begitu, kenyamanan tetap masih kita rasakan saat makan di sana.

        
Banana Pancake Tip Top

Beberapa karyawannya juga mengenakan pakaian putih dengan peci, mengingatkan kita akan kostum jadul. Memang tidak semua sih.  Kursinya model kursi lawas dari jalinan rotan. Di bagian dalam mebelernya ada yang terbuat dari kayu juga. Dengan langit-langit lumayan tinggi, ruangannya menjadi cukup adem di tengah udara Medan yang panas.
Sorbet

Restaurant Tip Top buka dari jam 11.00 - 14.00 WIB, kemudian tutup, lalu buka lagi dari jam 18.00 WIB hingga 22.00 WIB. Restaurant ini terkenal dengan es krimnya, serta beberapa kue-kue khasnya. Namun masih menyajikan juga menu-menu lain yang variatif. Memang bukan pilihan utama para backpacker  terkait harganya. Namun sebenarnya banyak menu yang harganya masih reasonable sih, sekitar Rp 10.000-an gitu. Sepotong es krim misalnya, ada kok yang harganya Rp 10.000. Menu lainnya, ada Vienna Coffee, segelas kopi yang dicampur es krim mocca dihargai Rp 15.000.
Sarsaparilla Badak
Makanan-makanan berat seperti nasi goreng atau bestik dihargai Rp 20.000-an. Yang suka minuman sarsaparilla macam saya, bisa nyoba Sarsaparilla Badak hanya Rp 8.000, sambil makan pancake pisang Tip Top seharga Rp 15.000-an. FYI, harga yang saya sebut adalah yang berlaku pada tahun 2012, jadi mungkin sekarang naik-naik dikit. 

Selain ada ruangan ber-AC, di sini juga disediakan wifi,  jadi pas banget buat ngadem. Kalau memang budgetnya mepet dan lagi traveling bareng teman, saya sarankan pilih menu yang bervariasi lalu saling cicip hihihi. 

Tetapi bagi saya pribadi, harga di Tip Top tidak lebih mahal dibandingkan dengan harga makanan di tempat kuliner lain di Medan. Secara umum, untuk kulineran memang Medan agak sedikit lebih mahal buat para budget traveler. Tetapi menurut saya, ke Medan kalau belum ke Restaurant Tip Top belum afdol meskipun sedikit nguras kantong. Gak papa, sekali kali ini hehehehe. Lokasinya juga sangat strategis, di kawasan kota lama Kesawan, di mana banyak bangunan-bangunan keren buat hunting foto. Habis hunting foto, panas dan capek, langsung diobati dengan segelas Sarsaparilla Badak....slrrrpp, dijamin hilang hausnya :).

Cheers,

Ariy

Wednesday, December 25, 2013

Thanaka, Si Bedak Tersohor dari Myanmar

Dear Journer,

Kemana kita kali ini ? Dan foto apakah ini ? hihiihihi. Kali ini saya akan ajak Anda menuju ke Myanmar. Dan iya, itu adalah foto saya. Memalukan memang (hohoho...saya jarang banget ambil foto diri). Terpaksa kali ini saya pajang foto diri saya, karena memang foto ini harus ada untuk memperkuat cerita saya.
Saya akan ajak Anda untuk mencoba bedak. Bedak bukan sembarang bedak, tetapi bedak yang tersohor di penjuru Myanmar. Namanya Thanaka. Pernah dengar? Kalau belum, mari kita mulai cerita saya.

Kalau Anda jalan-jalan ke Myanmar, Anda mungkin akan heran banyak cewek - nggak tua nggak anak kecil - wajahnya cemong kayak pake bedak tetapi tidak rata. Membentuk bulatan di pipi kanan dan kiri. Saya pas ke Myanmar selatan, sempet heran juga, itu apa ya? Bahkan juga ada satu dua laki-laki juga menggunakannya.

Lalu saya bertanya ke salah satu penduduk (tentu dengan bahasa Tarzan), mereka hanya menyebutkan itu sebagai Thanaka. Demi memenuhi rasa penasaran, maka saya googling. Jadi ternyata bedak Thanaka terbuat dari kulit kayu/akar pohon Thanaka. Bedak ini tersohor karena sejarahnya juga cukup panjang. Dalam  karya sastra di Myanmar, bedak Thanaka sudah disebut sejak abad XV lho. Dari kulit kayu atau akar pohon Thanaka itu, kemudian digiling menjadi krim. Terus apa khasiatnya ? Waktu saya mencoba, khasiatnya ya cuma memberikan efek dingin di wajah (Myanmar kalau musim panas sangat kering). Tetapi khasiat lainnya sih konon sebagai kosmetik mempercantik diri. 

Tapi soal mempercantik diri itu, saya sendiri sangsi. Entahlah. Sampai sekarang pun saya juga masih bingung, kenapa mereka menggunakannya di pipi dalam aktivitas sehari-hari dan tidak digunakan rata di seluruh wajah? Apakah kalau ngantor mereka juga ada yang menggunakannya? Jadi kalau di jalan kita bakal nemu cewek-cewek yang pipi kanan kirinya cemong, rata-rata berbentuk bulatan, kadang ada yang kotak. Kalau pun iya itu mempercantik diri, kenapa tidak digunakan malam hari saja saat mau tidur? jadi besok pas beraktivitas tidak pating cemong hehehe. Saya bawel ya? iya maap.

Tetapi apapun, seru juga mencoba sesuatu yang baru, yang menjadi bagian tradisi sebuah masyarakat. Jadi kalau mau jalan-jalan ke Myanmar, jangan lupa nyoba yak. Oya, saking terkenalnya Thanaka, sekarang sudah mulai dikomersialkan lho. Dibuat dalam bentuk kosmetik dengan kemasan bagus. Tentu harganya juga mahal. Tapi tunggu aja...kalau sudah komersil begini, lama-lama akan muncul versi palsunya. Atau sudah? Wallahualam.

Cheers,

Ariy

Tuesday, December 24, 2013

Mesjid Muhammad Cheng Hoo - Surabaya


Dear Journer,
Kali ini saya akan ajak Anda mengunjungi mesjid kecil nan cantik di salah satu sudut Kota Surabaya.Namanya adalah Mesjid Muhammad Cheng Hoo. Ini adalah salah satu mesjid yang membuaty saya penasaran untuk berkunjung saat saya ke Surabaya. Penasaran akan perpaduan budaya China dan Islam yang menyatu dalam eksistensi mesjid ini.

Tahukah Anda, bahwa banyak orang China yang ternyata memiliki peran besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa? Salah satunya adalah Laksamana Cheng Hoo alias Sam Poo Kong. Mereka datang dari wilayah Yunnan, China Selatan, pada abad ke- XV di masa Dinasti Ming. Cheng Hoo bersama armadanya masuk ke Jawa melalui Semarang pada tahun 1410-1416 Masehi, kemudian berkunjung ke Kerajaan Majapahit, di samping menyebarkan agama Islam. Mesjid Muhammad Cheng Hoo tidak terlalu besar, namun unik dalam hal arsitektur karena sangat terpengaruh dengan arsitektur China.
 Bagi saya, arsitekturnya bahkan terkesan hampir mirip dengan Klengtheng (kuil). Lokasinya berada di aeral kompleks Gedung Serba Guna Pembina Imam Tauhid Islam, Jawa Timur, yang berada di Jl Gading No 2, kawasan belakang Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa. Lokasinya agak masuk ke dalam permukiman penduduk, meskipun juga tidak terlalu pada penduduk, melalui Jl Taman Kusuma Bangsa. Jadi, kalau Anda ke Surabaya, coba berkunjungi ke mesjid cantik ini.
 Cheers,
Ariy

Saturday, December 14, 2013

Hotel Helios Malang (Hotel Review)

Dear Journer,

Dulu kali awal ke Malang, hotel yang menarik perhatian saya adalah Hotel Helios. Untuk alasan apalagi kalau bukan karena hotel ini banyak disebut di situs traveler. Dalam situs-situs itu, disebut rate mereka cukup murah, dan saya lihat reviews terhadap hotel ini lumayan bagus. Tetapi apakah memang seperti itu? Mari simak jalan-jalan saya.
Secara umum, Hotel Helios menjadi salah satu hotel budget  yang sangat ramah bagi kantong backpacker. Cukup mudah menuju hotel ini. Kebetulan saya datang dari Terminal Arjosari, sehingga bisa langsung naik angkot warna biru berkode AT. Kok segampang itu? Iya gampang. Pertama, saya sudah tahu alamat Hotel Helios dari googling, yaitu di Jl Patimura. Kedua, saya tinggal cek di terminal, rute angkot mana yang melalui jalur itu. Ada papan petunjuk di terminal yang menjelaskan rute angkot dan kodenya. 

Bilang aja ke sopir angkot, turun di Hotel Helios. Nanti kita akan turun tepat di seberang hotel. Perjalanan hanya sekitar 10 menit, kalau tidak pakai ngetem dulu ya angkotnya. Tarif angkot jaman itu belum terpengaruh kenaikan harga BBM, sekitar Rp 2.500. Kalau sekarang mungkin ya tambah dikit deh budget buat naik angkot antara Rp 3.000 - Rp 4.000. 

Nah, kalau dari Terminal Landungsari, silakan saja ambil angkot yang kodenya AL atau ADL. turun di Jl Patimura juga tapi nggak tepat di depannya. Jalan ke barat sekitar 100 meter, bakal nemu hotel ini. Sementara kalau dari Terminal Gadang, silakan ambil angkot berkode GA, AMG atau ABG, turun di Jl Patimura juga, jalan dikit ke barat. Bagaimana kalau turun dari Stasiun Kereta Kota Baru? saya memilih jalan kaki. Sekitar 15 menitlah, jadi dari depan stasiun langsung jalan ke kanan lurus aja sampai perempatan antara Jl Trunojo (jalan di depan stasiun) dengan Jl Patimura, lalu beloklah ke kiri sekitar 50 meter sampai. Jangan lupa kalau bingung nggak malu nanya.

Sebisa mungkin Anda booking sebelumnya atau kontak via telepon kalau ingin dapat kamar. Saya booking di last minute, akhirnya hanya dapat kamar standar dengan harga Rp 140.000 per malam. Kamar saya cukup bersih, dengan kipas angin dan TV. Saya beruntung dengan udara Malang yang dingin, sehingga tidak memerlukan AC !

Semua kamar dilengkapi dengan kamar mandi dalam, shower dengan fasilitas air panas. Selain itu, kita juga akan mendapatkan sarapan yang bisa kita pilih: nasi goreng, roti, atau lainnya yang ditawarkan hari itu. Oya, fasilitas Wifi-nya juga lumayan oke.

Baiklah mari kita rangkum:
Kamarnya bersih, suasana hotelnya nyaman, stafnya ramah. Harga menurut saya reasonable meski tidak murah banget (soalnya saya bisa nemu yang lebih murah). Lokasinya juga cukup strategis. Ke stasiun dekat, ke Balaikota dekat, cari makan gampang. Mereka juga punya biro travel yang bisa me-manage trip Anda, termasuk trip ke Bromo.

Nilai Minus:
Saya beruntung mendapatkan shower yang tidak bagus. Oya, kalau sudah pukul 12.00 malam, pintu gerbang ditutup. Nah, antara pintu gerbang dengan lobby agak jauh, sementara satpam tidur di lobby. Pengalaman saya, setelah jalan-jalan dan pulang malam, kekunci. Dan, bersama saya ada juga beberapa tamu lain yang menunggu pintu gerbang dibuka sambil ketok-ketok pagar. Setengah jam kemudian, penjaga yang tua baru bangun dan membukakan pintu. Setengah jam itu lama lho ! :).

Berapa nilai yang saya berikan untuk hotel ini ? Berdasarkan harga dan fasilitas, cukup 7 saja. Tidak bagus-bagus amat, tapi jeleknya masih bisa ditoleransi hihihi. Kalau tertarik, ini dia alamat Hotel Helios:
Jl Patimura No 37 Malang
Telp: 0341-351801 / 362741
Web: www.hotelhelios-malang.com

cheers,

A

Friday, December 6, 2013

Pantai Lombang, Sumenep, Habitat Asli Cemara Udang

Dear Journer, 

Perjalanan kita kali ini adalah ke Pulau Garam, Madura. Meskipun ini adalah perjalanan lawas, tapi siapa tahu berguna bagi Anda yang mau mbolang ke sana. Kali ini saya ajak Anda ke Pantai Lombang, di ujung timur Pulau Madura, yaitu tepatnya di Sumenep. 

Pantai Lombang terletak di Kecamatan Batang Batang, sekitar 30 kilometer dari tengah Kota Sumenep. Rada susah menuju ke sana, karena transportasi yang paling mudah adalah menumpang mobil colt plat hitam, seperti L-3000. Itu juga tidak setiap saat ada. Perkiraannya sekitar Rp 50.000 - Rp 100.000. Kalau ngetripnya bareng-bareng dan bergotong royong, mungkin akan lebih murah. Saya ke sana kebetulan bersama teman pakai kendaraan pribadi. Itu pun benar-benar untung-untungan. Berangkatnya udah siang, dan mikir jangan-jangan sampai di sono udah gelap lagi. 


 

Di sepanjang jalan yang kami sendiri tidak tahu apakah rutenya benar atau kagak karena hanya berbekal keyakinan, kami sering berpikir untuk putar balik ke Sumenep. Apalagi kalau sudah masuk jalan yang sepi dan kanan kiri pepohonan doang...semakin membuat kami ragu, lanjut enggak yaa...hadeeuh.

Persoalan lainnya adalah minimnya petunjuk arah menuju ke Pantai Lombang, itu yang membuat 30 km menjadi terasa lebih panjang, karena pikiran kami hanya menebak-nebak kapan sampainya. Tetapi karena terlanjur basah, nyemplung sekalian...dan akhirnya sampai juga.

Sekilas pantai ini bagian depannya tidak seperti lokasi wisata pada umumnya, yang ada loket khusus penanda pintu masuk utama misalnya. Jadi kami seakan masuk ke pantai yang masih perawan. Ada sih yang menarik tiket masuk Rp 3.000 waktu itu, tetapi sepertinya...ini asumsi saya lho ya....sepertinya tidak resmi. Dari yang saya denger dari bisik-bisik tetangga, eh bisik-bisik orang setempat, yang menarik tiket masuk adalah petugas perwakilan pemerintah desa setempat. Konon, pengelolaan pantai ini masih ada persoalan. Yang saya dengar, masyarakat setempat tidak ingin pengelolaan secara profesional oleh pemerintah, karena justru dinilai akan membawa efek buruk bagi warga setempat.



Terlepas dari persoalan pengelolaan, saya melihat pantai ini beda ya dengan banyak pantai lainnya. Begitu masuk, yang mendominasi adalah tanaman Cemara Udang. Kanan kiri sebelum bibir pantai banyak sekali tumbuh Cemara Udang. Beberapa yang masih muda, dikembangbiakkan oleh masyarakat setempat. Di Indonesia, konon Cemara Udang hanya tumbuh di beberapa wilayah di Madura. Pantai Lombang salah satu habitat aslinya. Tempat lain, konon hanya ada di China (correct me if I'm wrong yak ). Dulu, sebelum melihat potensi Cemara Udang, warga Madura hanya menggunakan ranting-ranting dari Cemara Udang untuk kayu bakar. Tetapi setelah tahu nilai lain dari pohon ini, yaitu sebagai tanaman hias, Cemara Udang diburu menjadi salah satu tanaman hias yang mahal harganya. Karena perburuan besar-besaran, akhirnya Bupati Sumenep mengeluarkan SK larangan mengambil Cemara Udang dari kawasan Pantai Lombang.

 Bagaimana potensi wisatanya? kalau dari pantainya sih biasa aja ya. Hanya memang panjang sekali garis pantainya, yaitu 12 kilometer. Ombaknya relatif tenang. Sayangnya  (seperti banyak pantai lain di Indonesia) pengunjung suka buang sampah sembarangan, jadi beberapa titik terlihat kotor. Bagusnya, pas saya ke sana, pantai ini terlihat sepi. Anda juga bisa menikmati kelapa muda utuh seharga Rp 5.000-an sebijinya dari penjual yang banyak mangkal di sana. Laper ? coba aja rujak cingur. Nah, kalau lagi ada rencana ke Madura, mampirlah ke Pantai Lombang.

Cheers,

A

Thursday, December 5, 2013

Hotel Emma - Malang (Hotel Review)

Dear Journer,

Saya menemukan hotel ini secara tidak sengaja. Awalnya dari Hotel Helios (yang banyak mendapat review di internet) saya sering jalan menuju ke Stasiun Kereta Api Kota Baru dan melalui hotel ini. Hotel ini dari luar kecil saja, seluas Ruko. Tidak terlalu mencolok, bahkan kalau tidak jeli sering susah membedakan dengan rumah sekitarnya. Padahal posisinya sangat strategis. Lebih susah lagi mengidentifikasi karena pada saat itu sedang dilakukan renovasi.

Iseng-iseng saya masuk dan diterima stafnya dengan ramah. Tanya ini dan itu, akhirnya saya inspeksi ke dalam kamar. Ternyata kamar-kamar hotel ini baru saja direnovasi sehingga kelihatan bersih dan baru. Dan ternyata lagi, tahun itu (2011), harga kamarnya Rp 100.000 per malam dengan fasilitas TV, fan, kamar mandi dalam dengan shower serta toilet duduk yang masih baru. Mereka juga memberika sarapan roti keju yang enak.Demi melihat itu, hari kedua saya pindah ke hotel ini setelah sebelumnya menginap di Hotel Helios (akan saya review terpisah). 





Menuju ke hotel ini gampang, dari Terminal Arjosari bisa langsung naik angkot AT turun di perempatan Jl Patimura, lalu tinggal jalan sedikit ke arah Stasiun Kota Baru. Atau kalau pengen tiba di depan hotel, cari angkot dari Arjosari yang jurusan ke Gadang ( dengan huruf G pada angkotnya sebagai tanda), misalnya AG atau angkota yang pakai kode ABG. 

Menurut saya, harga kini (2013) selisihnya tidak akan terlalu jauh. Mungkin Anda hanya perlu menyediakan Rp 150.000-an untuk kamar standarnya. Saya coba cari harga terkini via agen booking online belum nemu jadi tidak bisa memberikan gambaran harga terkini.

Nilai plus:
Kamarnya masih baru, stafnya walaupun banyak yang tua tetapi sepertinya diajari dengan baik bagaimana melayani tamu. Mereka ramah menawarkan laundry, tukang pijat tradisional, dan kalau pun kita keluar malam, mereka mau kok dibangunkan dan tidak cemberut :) (Maklum pintu utama kalau malam dikunci). Lokasi menjadi pertimbangan penting untuk mengambil hotel ini: supermarket, warung internet, pusat oleh-oleh, stasiun kereta, warung lesehan, semua tersebar di sekitar hotel.  

Nilai minus: bagi yang bawa mobil/motor, parkirnya sempit, saya bahkan curiga itu hanya memanfaatkan trotoar. Tidak ada fasilitas wifi juga.

Alamat: Jl Trunojoyo No 21 Malang, telp (0341) 363198

Soal lokasi, saya beri nilai 8, soal fasilitas dan harga 7.5 :). Selamat mencoba yak 

cheers,

A 

Sparkling Backpacker Hotel - Surabaya (Hotel Review)

Dear Journer,

Ada rencana jalan ke Surabaya ? Butuh penginapan ? Review berikut siapa tau berguna. Sparkling Backpacker Hotel,  pas sampai di depannya, saya sudah merasa seperti berada di Singapura. Iya, soalnya jarang-jarang ada hotel yang menggunakan Ruko sempit kayak gini di Indonesia, sementara saya banyak menemukannya di hostel-hostel di Singapura. Memasang nama "backpacker", sudah jelas siapa target market hotel ini. 
Pas saya ke sana, sekitar 2 tahun lalu, harga kamar deluxe nya Rp 155.000, itu sudah twin beds, dengan TV, AC, dan kamar mandi dalam (shower), tapi toiletnya di luar (toilet bersama / duduk). Plus ada sarapan gratis dan wifi yang kenceng. Kalau harga dulu (2011), VIP Rp 200.000, sementara harga terbaru (2013) yang saya cek secara random di www.agoda.web.id VIP Rp 211.000, sementara VVIP Rp 271.000. Tidak jauh selisihnya dengan harga saat saya ke sana. Untuk kamar standar hanya Rp 100.000-an, tetapi kamar mandi / toilet bersama. 




Oke, secara umum penilaian saya:
  • Lokasi: dekat dengan Plaza Surabaya. Yang suka jalan, sekitar 15 menit kita bisa nyampai ke Tunjungan Plaza, Stasiun Gubeng juga tak jauh. Sementara obyek wisata sekitarnya adalah Museum Kapal Selam yang cuma sepelemparan kolor.
  • Fasilitas : AC dingin, shower juga oke dengan air hangat. TV kabel juga ada dan wifi mayan kenceng. Satu-satunya yang nggak oke adalah kamarnya nggak ada jendelanya. 
  • Sarapan bisa ambil sendiri di meja makan, ada menu roti atau nasi goreng.
  • Toilet bersama yang cuma dua mungkin agak merepotkan. Apalagi kalau di jam-jam chaos seperti pagi hari :).
Penilaian saya secara umum, perbandingan harga dengan fasilitas serta lokasi, 7.5 dah. Saya menginap di sini dua kali. Karena saya sering tidak ada alternatif lain, harga murah biasanya jatuh ke hotel-hotel model lawas dengan bau pengap dan mebel tua, saya menghindari itu dan Sparkling Backpacker Hotel jadi solusinya.

PS: saya bukan sedang mbuzzer Sparkling Backpacker Hotel :))

cheers,

Wednesday, December 4, 2013

Tiga Lima Homestay - Yogyakarta (hotel review)

Dear Journo,

Kamar yang berada di rerimbunan pohon
Saya menginap di Tiga Lima Homestay beberapa bulan lalu, agak lupa antara September atau Oktober. Nemu homestay ini karena iseng-iseng browsing dan melihat tampilannya kok lucu ya. Kayak dibangun dengan konsep back to nature. Akhirnya weekend itu, saya kontak nomer hotel secara dadakan, dan mereka menyimpan satu kamar untuk saya hingga pukul 18.00 WIB (saya telpon sekitar pukul 16.00 WIB).

Diantar teman, saya meluncur menuju ke homestay ini. Agak susah, karena lokasinya berada di dalam perkampungan, masuk gang kecil. Tapi karena teman saya orang Jogja, jadi akhirnya ketemu juga. Tampilan depan lumayan bagus, kayak rumah biasa yang sejuk, lumayan tenang karena lokasinya tersembunyi. Pohon rindang, dan halaman penuh dengan pepohonan. Not bad-lah.


Resepsionisnya lumayan cekatan, menjawab pertanyan dengan ramah dan cukup profesional. Proses check in sangat cepat dan tidak sampai 10 menit saya sudah diantar menuju ke kamar saya.

Saya mendapatkan kamar di lantai 2, satu-satunya kamar yang tersisa. Harga yang saya dapatkan adalah Rp 183.000 sekian-sekian, lupa persisnya. Menurut saya, harga yang tidak mahal bila dibandingkan beberapa hotel yang pernah saya tinggali di Jogja.

Saya suka suasana rumahannya yang sejuk, dan bersih. Mereka sangat memperhatikan detil. Design homestay sangat kental dengan kayu dan bambu. Tangga menuju lantai dua pakai ubin lawas dengan beberapa sudut dihias tanaman yang ditanam di bambu yang digantung. Bola lampu gantung besar juga menambah bagus design.

Setiap kamar diberi nama daerah di Indonesia, seperti misalnya Jakarta, dan kota lainnya. Dalam hal bahan bangunan untuk kamar-kamarnya, menurut saya tidak sebagus yang terlihat difoto. Pintu kamar saya misalnya, terbuat dari semacam bahan tripleks yang dicat gelap.


  

Jadi mungkin kalau difoto tidak terlihat ya, namun kalau kita langsung pakai kamar, kelihatan bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk pintu, sekat, atau ornamen interior lain adalah bahan-bahan murah. Secara umum, tidak terlalu menganggu, tetapi iya...karena pintu kamar mandi saya terbuat dari tripleks juga, maka gantungan bajunya tak kuat menancap di pintu, saat saya gantungi baju saya, tiba-tiba lepas :). Belum lagi kunci kamar mandi yang tidak bisa menutup sempurna. Menurut saya kok salah ya menggunakan tripleks untuk pintu kamar mandi karena tidak akan tahan air. Yang lainnya, kasurnya bagus, bersih, bantal bersih, di dalam juga tersedia TV layar datar, lemari pakaian dan lemari es. AC-nya juga bekerja dengan bagus.


Kamar mandinya juga bersih, dengan toilet duduk model terbaru yang bersih, wastafel, dan shower dengan alas kakinya adalah batu-batu alam. Air hangatnya bekerja dengan baik. Cuma sekali lagi material bangunannya yang memang murah. Jendela di shower misalnya sudah lapuk karena tidak tahan terkena air.

Jadi kesimpulannya gimana nih?


  • Lokasi berada di Jl. Affandi (Gejayan) Kepuh Gg III/946, Gejayan, Yogyakarta agak susah ditemukan kalau kita menggunakan angkutan umum. Tapi cara gampangnya, kalau naik taksi, minta turun aja di seberang Pasar Demangan. Lurus aja masuk gang, lalu belok kanan mentok. Lumayan gak jauh sih dari Ambarukmo Plaza.
  • Untuk harga Rp 183.000 yang saya bayarkan sih worth it. Tetapi harga yang saya cek di www.agoda.web.id paling baru sekitar Rp 285.000. Setiap kamar memiliki design yang berbeda dan menarik.
  • Fasilitas cukup bagus, cuma TV-nya aja channel-nya nggak oke, nggak tau antene-nya yang gak pas atau gimana, tetapi gambarnya sangat tidak jelas. Hanya satu dua channel yang masih mungkin bisa dilihat. Alhasil TV tidak terlalu berguna karena gak disetel sama sekali. Tetapi ini juga mungkin kebetulan saja menimpa kami, nggak tau kamar lainnya ya.
  • Ada persewaan motor yang bisa ditanyain ke resepsionis. Lupa harganya.
  • Sarapannya menurut selera saya juga enak. Nggak tau kalau selera Anda. Ini dia sarapannya:


Sedapkan?? heheh teh hangat, orange juice, roti bakar, buah-buahan. Secara umum, saya memberikan penilaian homestay ini 8 yak...tetapi untuk harga Rp 183.000 lho ya, kalau untuk harga Rp 285.000, saya kasih nilai 7 aja deh :)). Oya, tulisan ini bukan iklan, jadi saya memberikan penilaian bener-bener dari pengalaman saya. Kalau tertarik mencoba homestay ini, silakan. Siapa tahu Anda punya cerita berbeda.

Cheers...

A