Thursday, January 24, 2013

Orkestra Ludah

Nemu Bapak angkat di China
Tahun 2010 adalah backpacking saya kedua ke luar negeri. Kali ini saya memilih untuk menikmati wilayah China daratan, khususnya di China Selatan. Jadwal perjalanan saya dimulai tanggal 9 Februari 2010, dan akan berlangsung 16 hari sebelum kembali ke Indonesia. Pada periode ini, China lagi dihajar musim dingin. Ouggh.
    Saya sudah banyak mendengar rumor tentang China, kata orang kejorokannya sebanding dengan keindahan yang diceritakan Tetapi itu tidak mengurungkan niat saya untuk mengunjungi Negeri Tirai Bambu ini. Saya menjelajahi daratan China melalui jalur darat dari Guangzhou (Provinsi Guangdong) – Nanning (Provinsi Guangxi) – Guilin (Provinsi Guangxi) – Kunming (Provinsi Yunnan) – Dali (Provinsi Yunnan) dan berakhir di Chengdu (Provinsi Sichuan).
    Empat hari pertama yang bertepatan dengan Tahun Baru China, saya habiskan waktu di Guangzhou, sebelum akhirnya hari ke lima saya menuju ke Kota Nanning. Cuaca sangat dingin, hampir mendekati 10 derajat Celcius. Saya memutuskan menggunakan kereta api, berangkat pukul 21.00 dari Guangzhou Railway Station. Saya naik kereta api kelas tiga yang harganya 96 China Yuan (CNY) atau pada waktu itu sekitar Rp 131.000. Kereta sangat penuh dengan penumpang, persis seperti kereta api kelas tiga di Indonesia. Seluruh lorong untuk berjalan juga penuh dengan penumpang. Saya maklum, karena saya sebelumnya sudah diwanti-wanti, akan menghadapi situasi ini. 

Diskusi dulu bareng travelmate saya Dani Fulop dan temen dari China
Maka, petualangan saya pun dimulai. Setelah duduk manis di kursi dekat toilet dengan aroma yang semerbak, saya pun mencoba menikmati situasi ini.  Di depan saya seorang pemuda dengan potongan rambut Mandarin. Di samping saya ibu-ibu dengan bawaan cukup banyak. Sisi baiknya, saya merasa hangat di situasi yang tidak menyenangkan ini. Dingin tidak mampu menelusup di gerbong yang penuh orang. Asyiiik. Kereta pun berangkat, dan saya mencoba membuat nyaman diri saya, sampai tiba-tiba…cuihh.
    Saya kaget. Pemuda kurus di depan saya, yang wajahnya tak lebih berjarak satu meter  dari wajah saya, tiba-tiba meludah dengan tenangnya. Baiklah. Eh tidak lebih lima menit kemudian, dia meludah lagi. Aduhhh…saya menarik kedua kaki saya masuk kolong di bawah kursi yang saya duduki. Semoga tidak terkena. Dan ternyata yang kedua diikuti yang ketiga, dan kemudian saya sudah tidak mau menghitungnya lagi. Mual rasanya. Pemuda itu juga tidak ada upaya untuk menutup ludah-ludahnya dengan koran atau setidaknya diinjak pakai sepatunya. Aduh, nggak sopan banget.
    Saya semakin kaget setelah menyadari di dinding penyekat toilet yang berada tepat di belakang pemuda ini, terdapat sebuah tulisan di sebuah papan persegi dalam bahasa Inggris “No Spitting”.  Nah lho? Apa nggak malu dengan tulisan itu? Setengah jam kemudian saya menyadari tentu saja mereka tidak malu, salah sendiri kenapa papan larangan ditulis dalam bahasa Inggris, di mana mayoritas warga China tidak ngerti bahasa Inggris. Maka saya pun membiasakan diri dengan situasi itu hingga keesokan harinya saat tiba di Nanning.
    Hal sama saya alami lagi saat saya naik kereta dari Nanning menuju ke Kunming di Provinsi Yunnan. Di dalam Kereta Api No 2637, dengan lama perjalanan 15 jam saya harus membiasakan diri dengan berbagai macam ludah di lantai kereta. Satu saat, ada seorang ibu-ibu yang duduk di lorong, meludah dengan enaknya, ditutup koranlah ludah itu, dan duduk dengan kalem di atasnya. Jiaah…gimana kalau merembes? Wakakaka. Tapi mereka santai saja tuh. Saya mulai berasumsi, mungkin karena udara dingin, sehingga banyak yang flu, produksi cairan tubuh itu berlebihan. Entahlah.
    Meskipun sudah terbiasa dengan segala ludah ini, saya sempat ngeri juga dengan pemandangan saat saya menginap di hall Stasiun Kunming. Gara-gara saya pulang dari Kota Dali dan tiba di Kunming malam hari, saya harus bermalam di stasiun. Ini karena tidak ada lagi penginapan atau hotel yang punya kamar. Dan lihatlah, ratusan orang juga mengalami hal sama, terdampar di hall stasiun. Malam itu dingin menggigil, dan suhu di bawah 10 derajat Celcius. Saya meringkuk beralaskan koran bersama ratusan warga yang memadati hall stasiun. Dini hari terlewati, hingga fajar pun menyingsing. Lalu dimulailah atraksi itu….cuih…hueek…cuuiih…hueek itu, yang nyaring terdengar dari kanan, depan, kiri…dan seakan menyerbu dari seluruh penjuru mata angin. Apalagi kalau bukan orang-orang yang mencoba meloloskan hal yang nggak asyik di tenggorokan hahahaha. Bak desingan peluru dalam medan perang. Laksana orchestra dengan nada tak beraturan. Eh, orang-orang di sekitarnya yang berjubel itu asyik-asyik aja lho. Tidak ada tatapan jijik, atau bahkan hardikan. Saya malah yang keheranan setengah mampus. Kok bisa ya? Padahal mereka meludah di lantai yang sama dengan lantai yang mereka duduki atau tempat merebahkan diri. Beberapa mereka tutup dengan koran, yang lain tercecer di sela tempat duduk. Yaiks !!
    Saat memasuki Kota Chengdu, di Provinsi Sichuan, saya menemukan banyak spanduk, neon box, yang berisi kartun, gambar sosialisasi tentang bahayanya meludah sembarangan karena bisa menyebarkan penyakit, dan lain sebagainya. Sosialisasi itu disampaikan oleh pemerintah kota setempat. Dari situ saya menyadari, wah pasti sudah separah itu ya sampai harus ada ajakan untuk tidak meludah sembarangan. Saya menyadari, mungkin memang ini bukan karena cuaca dingin, tapi lebih kepada kultur saja. Atau latah? Atau memang meludah layaknya kita bersiul saja di Indonesia sebagai sebuah keisengan dan keasyikan? Hahahah…I don’t have any idea.

Note: cerita ini ada di buku antologi saya "Norak-Norak Bergembira" 

Monday, January 7, 2013

Es Conglik Semarang, Legenda yang Biasa Saja

Hey Journer, 

Sejak tiga bulan terakhir saya berdomisili di Semarang, saya selalu penasaran dengan yang namanya "Es Conglik". Dari namanya yang banyak dibicarakan orang, kayaknya seruuu banget mencicipinya. Apalagi pas googling nemu foto-fotonya yang ciamik, es puter dengan topping warna-warni seru. FYI, saya adalah pecinta es. Mulai dari es buah sampai es krim. Dari yang kuno sampai yang moderen. Kalau es puter, saya paling demen dengan "es krim ndeso" yang sampai saat ini masih eksis di Kota Solo (baca "es krim ndeso" di bagian lain di kolom "kuliner"). Saya juga lumayan suka dengan es krim soda di Medan. 

Nah, ekspektasi saya soal "Es Conglik" pun semakin gede. Ada dua incaran saya, yaitu yang di pusat kuliner Semawis dan yang di Simpang Lima. Nah akhirnya saya nemu yang di Simpang Lima dulu, yang cukup relatif dekat dengan kos. Letaknya di belakang Hotel Ciputra, depan Klinik Meditama, Jl KH Ahmad Dahlan...nah...komplet tho :). Pertama ke sini siang-siang menjelang sore gitu, dan nggak buka. Katanya bukanya habis maghrib. Next day, akhirnya nemu juga. Pas datang, hanya ada saya doang yang beli. Sempet nggak yakin, bener nggak ini warung tenda Es Conglik yang legendaris itu? Akhirnya masuk juga.

Kemudian mulai memesan nih. Ada dua tabung panjang khas es puter sebanyak empat buah. "Ada empat rasa, durian Rp 15.000, sedangkan kelapa - leci dan cokelat masing-masing Rp 10.000," kata mbaknya yang jual menerangkan.

Sebenarnya saya tertarik yang durian, karena saya penggemar buah ini. Tetapi memang sebelum berangkat, saya sudah niat beli dua porsi dengan rasa berbeda. Cuma demi melihat harganya, maka saya ambil porsi murah dulu, mau lihat seberapa banyak sih seporsi itu. Daaaan...si mbaknya mengambil satu lepek (piring kecil untuk tatakan gelas) dan menuangkan serutan es rasa kelapa. Tidak pakai scoop es krim, tapi kayak kayu serupa centong tapi lebih besar dan panjang. Dan beginilah tampilannya:

Es Conglik rasa kelapa

Lho? kok bentuknya nggak cantik? nggak seperti yang ada di foto-foto yang saya googling? Saya sempat protes lho "Mbak, kok nggak ada topping-nya? Cuma gini doang?" Demi itu, saya pun membatalkan pesan es rasa duriannya. Porsinya dikit banget soalnya, selain penampilannya bikin selera saya turun beberapa level. "Kalau mau topping, yang rasa cokelat Mas," jawab si mbak. Karena penasaran, saya pesan lagi seporsi yang cokelat. Sudah membayangkan akan menemukan es puter dengan topping menggunggah selera. Mungkin si mbak ini akan mengeluarkan materi topping dari laci mejanya...atau dari dompetnya...hasyaaah....Dan inilah Es Conglik rasa cokelat dengan topping....meses!! 

Es Congklik rasa cokelat



Punahlah sudah harapan saya mendapatkan Es Congklik cantik seperti yang saya temukan di banyak blog-blog di internet. Baiklah, sekarang saatnya mencoba rasanya. Dan inilah penilaian saya:

1. Teksturnya tidak lembut, cenderung kasar dan kadang saya menemukan semacam "prongkol" dalam bahasa Jawa-nya, alias es yang masih membatu, belum terserut dengan sempurna.

2. Untuk rasa kelapa, isi kelapa mudanya sedikit, jadi kurang terasa rasa kelapanya. Sementara rasa cokelat tertolong oleh remahan meses sebagai topping-nya.

3. Porsinya kecil dan menurut saya harganya cukup mahal.
4. Tampilannya mengecewakan.

Lalu untuk alasan apa Anda mencoba Es Congklik? :

1. Sejarahnya: Es Congklik menjadi legendaris karena sejarah yang menyertainya. Konon, pelopornya dulu adalah kacung pada jaman Jepang. Conglik dari kata "Kacung Cilik". Lalu saat Jepang hengkang dari Bumi Pertiwi, dia membantu usaha pembuatan es puter ini sebelum akhirnya membuka usaha sendiri.

2. Mengingat sejarahnya yang panjang, banyak diomongin orang, dan menjadi salah satu yang dibanggakan orang Semarang, ya kalau sudah jauh-jauh ke sini kenapa nggak coba, meskipun memang tidak perlu berharap banyak soal rasa.

Sampai tulisan ini saya buat, saya belum tahu apakah Es Congklik di Simpang Lima ini adalah turunan yang sama dengan Es Conglik aslinya. Besok rencananya mau jajan Es Congklik yang di Semawis, dan berharap berbeda dengan yang di Simpang Lima. Kalau memang lebih enak dan tampilannya lebih keren, saya berjanji akan mengulas dengan obyektif dengan memberikan penilaian positif.

Tunggu yaa....

Tuesday, January 1, 2013

Kisah Tempat Tidur Murah (My Beds, My Journey)

Hey Journer !

Pertama, selamat tahun baru 2013. Semoga di tahun baru ini akan lebih banyak berkah buat kita dan bisa lebih banyak jalan-jalan lagi (teteup!). 

Dalam setiap perjalanan, akomodasi menjadi sesuatu yang sangat substansial. Bagi saya, ada tiga hal utama yang menjadi perhatian sebelum membuat itinerary: Transportasi - Makan - Penginapan. Bagi saya pribadi, petualangan lain yang tidak kalah serunya dari perjalanan itu sendiri adalah petualangan mencari tempat tidur!
Saya termasuk orang yang gampang-gampang susah dalam hal memilih tempat tidur. Bukan, saya bukan tipe yang tidak bisa tidur di hotel murah. Bisa kok. Tidak terlalu pemilih sebenarnya. Tapi saya selalu berusaha menyeimbangkan antara harga kamar dengan kebersihan. Saya bukan "Mr Hygienic" yang parah-parah gitu. Saya masih bisa tidur di tempat yang "terlihat" bersih kok :).
Saya melihat, standard orang Asia dan bule terkait tempat tidur di penginapan itu beda banget. Saya jarang membaca reviews hostel atau penginapan yang mempermasalahkan soal kutu di tempat tidur dari orang Asia. Tapi orang bule bisa sangat detail menceritakan bahwa dia menemukan kutu atau serangga lainnya di tempat tidur, bla...bla...bla.... Yah, bagus sih. Tapi bagi saya pribadi, saya tidak terlalu serewel itu mengingat saya juga harus tahu diri berapa yang saya bayar untuk kamar itu. Lain cerita kalau saya masuk hotel bintang dan menemukan kutu atau serangga, saya komplain dah.
Ada pertanyaan menarik yang sering saya dapatkan. Kadang terdengar nyinyir, tapi ya sudah, saya dengan lugunya pilih menganggap itu sebagai pertanyaan tulus huehehe: Apakah backpacking itu tidurnya nggembel di pinggir jalan? stasiun? atau terminal?
Well, jawabnya ya dan tidak. Tetapi lebih banyak tidaknya. Artinya begini, saya pernah mengalami situasi di mana saya tidur di halaman stasiun kereta api. Saya juga sering tidur di airport. Tetapi apakah itu selalu saya lakukan? tidak. Saya cuma harus melakukan opsi itu karena beberapa alasan. Saat saya tidur di halaman Stasiun Kereta Api Kunming, China, itu karena saya tidak mengantisipasi bahwa saya traveling berbarengan dengan Tahun Baru China. Semua hotel penuh, sehingga saya dan ribuan (serius) penumpang lain teronggok di stasiun menghabiskan malam. Kalau soal tidur di airport, biasanya karena pertimbangan budget saja. Misalnya karena pesawat berangkat pagi-pagi sekali, nah sayang kan duit dibuang-buang untuk nginap di hotel. Mending nunggu di airport sambil istirahat. Toh airport adalah tempat yang nyaman.
Berikut saya tampilkan beberapa contoh tempat tidur saya selama traveling. Anda akan melihat, bahwa backpacking itu tidurnya juga nyaman lho. Bukan yang harus berdarah-darah beralas kardus di pinggir jalan hueheheeh:

Kamar di Sri Phoom, Chiang Mai
1). Kawasan Sri Phoom, Chiang Mai: ini salah satu pencapaian terbaik saya dalam mencari "tempat tidur". Kawasan Sri Phoom adalah salah satu kawasan backpackers karena banyak akomodasi murah di sana. Ide awalnya, saya ke sini lalu mencari hostel atau guesthouse. Tapi ketika melihat ada rumah-rumah penduduk yang memasang tanda rooms for rent, saya tertarik untuk melihat-lihat. Dan saya menemukan ini. Harganya waktu itu sekitar 200 Baht atau dengan kurs waktu itu sekitar Rp 60.000 per malam. Kamarnya luas banget, kalau saya backpacking sama temen, ini bisa buat berempat berlima (yang lain tidur ngesot di bawah :P ). Tapi serius, kasurnya empuk, bersih, ini di lantai atas dengan balkon, banyak jendelanya, ada AC, perabotan dari kayu yang cantik, dan ada satu set kursi tamu di pojokan. Kamar mandinya di luar tapi super bersih dengan shower dan toilet duduk. Saya nggak nyesel tinggal di sini. Kekurangannya cuma satu: karena ini rumah penduduk, jadi nggak bisa leluasa buka 24 jam. Emang sih dikasih kunci kayak anak kos. Tapi, suatu malam saya pulang telat dan ternyata itu rumah ditutup dengan rolling door. Dan pas membuka rolling door, penghuni rumahnya yang sudah tua terbangun, karena tahu sendiri bunyi rolling door itu berisik banget. 

Kamar di Rambuttri Rd, Bangkok
2) Rambuttri Road, Bangkok:saya mengambil kamar ini karena pertimbangan kompromis antara budget dengan kebersihan. Kamar ini tidak terlalu bersih sebenarnya, tetapi saya pikir saya masih bisa berkompromi dengan itu mengingat harganya yang sangat-sangat murah. Saya dapatkan ini sekitar 100 Baht, kalau kurs waktu itu dirupiahkan jadi Rp 28.000. Saya menginap beberapa hari di sini. Ini adalah single room. Berada di sebuah ruko milik penduduk yang lantai dua dan tiganya di sewakan, sementara penghuninya dengan beberapa anggota keluarga tidur di bawah yang juga berfungsi sebagai salon. Lokasinya sebenarnya bagus buat yang suka keramaian. Rambuttri hanya satu blok dari kawasan backpacker Khao San Road. Nggak ada apa-apa di kamar ini, kecuali tempat tidur dan meja kecil (dan foto Teddy Bear!). Kamarnya disekat tripleks dan setiap penghuni diberi kunci gembok untuk kamar. Kamar mandi di lantai bawah bergabung dengan penghuni, dengan shower dan toilet jongkok. Bukan kamar yang akan saya rekomendasikan bagi Anda, khususnya bila Anda tidak kepepet budget. Tapi apapun, saya mendapatkan pengalaman dari menghuni kamar ini. Bahwa kalau kita mau nyari, sebenarnya kamar sangat murah di luar negeripun ada. :).

Kamar dorm di Gulin Flowers Youth Hostel
3). Guilin Flowers Youth Hostel, Guilin, China: Saya menemukan kamar ini dari hasil riset di internet. Membandingkan, lalu membaca reviews orang-orang yang pernah tinggal di sana. Karena tertarik, saya pun memilihnya. Kamarnya cukup bersih lho. Dan saya memilih tinggal di dorm dengan empat tidur dalam satu kamar. Saya satu kamar dengan beberapa travelers, nyampur cowok dan cewek. Seru kan :).
Tarifnya murah. Mulai dari sekitar 4 USD atau taruhlah Rp 40.000 per malam untuk kamar seperti ini. Kalau pas musim dingin seperti saat saya ke sana, mereka menyediakan selimut tebal putih bersih seperti yang terlihat di gambar. AC-nya juga bisa disetel menjadi penetral suhu. Setiap bed, dilengkapi dengan lampu baca, jadi kita tetap bisa membaca saat lampu kamar mati. Lobby-nya cantik, ada common room dengan TV dan meja billiard. Cuma untuk internet bayar. Lokasinya sangat dekat dengan stasiun kereta api.

kamar dorm di Lubsbuy Guesthouse, Phuket Town
4). Lubsbuy Guesthouse, Phuket Town: sejauh ini, inilah kamar terbersih yang pernah saya diami selama traveling. Super bersih dengan perabotan yang baru. Lubsbuy saya temukan dari hasil riset di internet. Awalnya saya mengambil ini karena lokasinya sangat dekat dengan Terminal Bus di Phuket Town, hanya 5 menit jalan kaki. Begitu melihat lobby-nya yang cuantik, saya sudah mikir, kamarnya pasti tak kalah cantik. Benar juga, tempat tidurnya seperti yang Anda lihat. Gorden cokelat itu kalau dibuka akan ada balkon (karena posisinya di lantai atas) dengan pemandangan Phuket Town. Memang harganya lebih mahal daripada kamar di Bangkok. Tetapi sejak awal memang saya sudah tahu bahwa Phuket akan sedikit lebih mahal daripada Bangkok untuk banyak hal. Saya mendapatkannya sekitar 200 - 250 baht (agak lupa). Tetapi kalau dirupiahkan sekitar Rp 75.000 per malam. Mungkin sekarang sedikit naik. Yang tak kalah kerennya adalah kamar mandinya yang super bersih dan jumlah banyak. Tersedia sampo dan sabun cair juga. Petugasnya pun ramah dan sangat membantu.

Kamar dorm di Cloudland Youth Hostel, Kunming
5). Cloudland Youth Hostel, Kunming, China: saya mendapatkan kamar ini juga hasil riset, setelah saya merasa cukup puas dengan harga dan pelayanan Guilin Flowers Youth Hostel. Saya pikir, karena mereka satu jaringan di Youth Hostel, at least pelayanan dan harga tidak jauh berbeda. Dari sisi kamar, saya merasa kamar ini jauh lebih baik daripada kamar saya di Guilin. Perabotannya baru, ada loker, bersih, kasurnya empuk, bantalnya enak huehehehe. Kalau soal tarif, hampir sama, mulai sekitar 4 USD-lah. Teman satu kamar saya waktu itu adalah cewek dari AS, cewek dari Jepang, dan cowok dari China. Yang tidak saya suka dari Cloudland adalah jumlah toilet-nya yang tidak sebanding dengan jumlah kamar. Jadi kadang-kadang harus ngantre. Kalau mandi sih bisa nunggu, tapi kalau kebelet boker? nah itulah masalahnya.

Bilik kamar Delta Homestay. foto: tripadvisor.com
6). Delta Homestay, Prawirotaman, Yogyakarta:
Saat akan masuk ke dalam lobby homestay ini saya tidak berharap banyak. Karena dari luar memang tampak kecil dan sempit. Ruangan depannya pun sempit, dengan meja resepsionis dan kursi tamu komplet dengan TV. Di pojokan ada satu perangkat komputer untuk ngenet gratis.
Tapi begitu masuk ke dalam, waah...ini ternyata semacam halaman belakang yang luas, dengan kolam renang biru di tengah-tengah, dikelilingi bilik-bilik bambu dengan setting model rumah pedesaan. Saya menginap di sini dan mendapatkan kamar Rp 85.000 per malam (sekarang sudah naik). Kamar saya double beds, dengan ukuran bed -nya kecil tentu saja, dengan kipas angin. Fasilitasnya adalah sharing bathroom yang cukup bersih dengan shower dan western toilet, serta dapat sarapan lho. Sarapannya juga enak, saya boleh memilih nasi goreng dengan telur mata sapi atau roti bakar. Ibu-ibu yang memasakkan buat saya sangat ramah, membuat saya jatuh hati hehehe. Di sini ada juga kamar AC, sementara rata-rata yang menginap bule. Menurut saya, setidaknya model homestay beginilah yang harus dijalankan pengusaha di Indonesia. Murah bukan berarti jelek.

Itulah sebagian kamar-kamar yang pernah saya singgahi dalam traveling saya. Ini juga menjawab pertanyaan banyak orang, bahwa backpacking  itu bukan susah-susah yang berdarah-darah. Semua kalau dibawa fun ya bisa sangat fun. Bagaimana, mau coba?

Regards,

A