Sunday, September 29, 2013

Bahaya Penggunaan HP di Pesawat


                                                        foto: www.inet.detik.com
Dear Journer,

Berikut saya copy-kan artikel dari www.merpati.co.id. Menurut saya artikel ini penting untuk diketahui para travelers, karena saya masih sangat sering melihat orang menggunakan handphone  di dalam pesawat. Semoga artikel ini membuat kita bijak, bahwa keselamatan di pesawat adalah tanggung jawab bersama. Selamat membaca:
Buat yang belum tahu, kenapa tidak  boleh menyalakan Handphone di pesawat, berikut penjelasannya: Sekedar untuk informasi saja, mungkin rekan-rekan semua sudah mendengar berita mengenai kecelakaan pesawat yang baru “take-off” dari Lanud Polonia – Medan . Sampai saat ini penyebab kejadian tersebut belum diketahui dengan pasti.

Mungkin sekedar sharing saja buat kita semua yang memiliki dan menggunakan telpon genggam atau apapun istilahnya. Ternyata menurut sumber informasi yang didapat dari ASRS (Aviation Safety Reporting System) bahwa ponsel mempunyai kontributor yang besar terhadap keselamatan penerbangan.. Sudah banyak kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi akibatkan oleh ponsel. Mungkin informasi dibawah ini dapat bermanfaat untuk kita semua, terlebih yang sering menggunakan pesawat terbang.

Contoh kasusnya antara lain:
Pesawat Crossair dengan nomor penerbangan LX498 baru saja “take-off” dari bandara Zurich , Swiss. Sebentar kemudian pesawat menukik jatuh. Sepuluh penumpangnya tewas. Penyelidik menemukan bukti adanya gangguan sinyal ponsel terhadap sistem kemudi pesawat.

Boeing 747 Qantas tiba-tiba miring ke satu sisi dan mendaki lagi setinggi 700 kaki justru ketika sedang “final approach” untuk “landing” di bandara Heathrow, London. Penyebabnya adalah karena tiga penumpang belum mematikan komputer, CD player, dan electronic game masing-masing (The Australian, 23-9-1998).

Seperti kita tahu di Indonesia? Begitu roda-roda pesawat menjejak landasan, langsung saja terdengar bunyi beberapa ponsel yang baru saja diaktifkan. Para “pelanggar hukum” itu seolah-olah tak mengerti, bahwa perbuatan mereka dapat mencelakai penumpang lain, disamping merupakan gangguan terhadap kenyamanan orang lain.

Berikut merupakan bentuk ganguan-gangguan yang terjadi di pesawat: Arah terbang melenceng,Indikator HSI (Horizontal Situation Indicator) terganggu, Gangguan penyebab VOR (VHF Omnidirectional Receiver) tak terdengar, Gangguan sistem navigasi, Gangguan frekuensi komunikasi, Gangguan indikator bahan bakar,Gangguan sistem kemudi otomatis, Semua gangguan diatas diakibatkan oleh ponsel, sedangkan gangguan lainnya seperti Gangguan arah kompas komputer diakibatkan oleh CD & game, Gangguan indikator CDI (Course Deviation Indicator) diakibatkan oleh gameboy .Semua informasi diatas adalah bersumber dari ASRS.

Dengan melihat daftar gangguan diatas kita bisa melihat bahwa bukan saja ketika pesawat sedang terbang, tetapi ketika pesawat sedang bergerak di landasan pun terjadi gangguan yang cukup besar akibat penggunaan ponsel.

Untuk diketahui, ponsel tidak hanya mengirim dan menerima gelombang radio melainkan juga meradiasikan tenaga listrik untuk menjangkau BTS (Base Transceiver Station). Sebuah ponsel dapat menjangkau BTS yang berjarak 35 kilometer. Artinya, pada ketinggian 30.000 kaki sebuah ponsel bisa menjangkau ratusan BTS yang berada dibawahnya. (Di Jakarta saja diperkirakan ada sekitar 600 BTS yang semuanya dapat sekaligus terjangkau oleh sebuah ponsel aktif di pesawat terbang yang sedang bergerak di atas Jakarta
Sekiranya bila kita naik pesawat, bersabarlah sebentar. Semua orang tahu kita memiliki ponsel. Semua orang tahu kita sedang bergegas. Semua orang tahu kita orang penting. Tetapi, demi keselamatan sesama dan demi sopan santun menghargai sesama,janganlah mengaktifkan ponsel selama di dalam pesawat terbang.

Sumber: www.merpati.co.id.

Monday, September 23, 2013

Kenapa Kamu Harus Ikut Lomba Nulis The Ho[S]tel 2 ?

Dear Journer,

Pada posting sebelumnya udah pada tahu kan ada kompetisi nulis kisah perjalanan, nginap di hotel/hostel untuk buku The Ho[S]tel 2? Nah, ada beberapa pertanyaan, yang intinya ragu-ragu nih mau ikut kompetisi ini.

Saya cuma mau ngasih motivasi saja, mengapa kamu - khususnya yang suka traveling dan nulis - harus ikut lomba nulis ini? Simak ya cerita saya.

Jadi begini, dari dulu tuh saya pengen banget yang namanya bisa nembus penerbit, pengen buku saya diterbitkan oleh penerbit besar. Sampai saya kadang bingung, gimana ya penulis-penulis itu bisa menerbitkan bukunya di penerbit besar? Mulai mikir mungkin karena karya mereka benar-benar bagus, sampai pada alasan paling aneh "ah...mungkin penulisnya sodaraan dengan yang punya penerbitan" hehehehe. Itu saking susahnya nembus penerbit.

Saat ini memang banyak penerbit yang menawarkan sistem self publishing. Dengan cara ini, semua orang bisa menerbitkan naskahnya menjadi buku. Tetapi saya pribadi, merasa kurang puas, selain tidak punya duit untuk membayar penerbit atas jasa self publishing itu. Belum lagi mikir bagaimana nanti promosi dan distribusinya.

Akhirnya ada kompetisi nulis yang digelar Bentang Pustaka (B-First). Dari sinilah langkah saya terbuka, saat saya masuk menjadi salah satu dari lima orang yang menang kompetisi itu. Dari sini pula saya semacam mendapat "shortcut" ke penerbit. Sejak menang kompetisi dan buku pertama saya terbit, saya menjalin hubungan baik dengan Bentang Pustaka. Sejak itu, saya memiliki akses untuk menyampaikan ide-ide baru saya dan menawarkan kepada Bentang Pustaka. Hubungan baik dan produktif inilah yang membuat saya eksis nulis, sampai 9 buku hingga kini. Dari sini pula jalan saya ke hal-hal lain terbuka. Saya diminta ngisi kuliah umum penulisan di universitas ternama, diminta jadi juri lomba penulisan tingkat nasional, jadi pembicara di berbagai forum, diminta nulis di berbagai media, dan lain sebagainya.

Jadi kalau Anda memiliki passion dalam dunia tulis menulis, lomba nulis kisah perjalanan The Ho[S]tel 2 mungkin bisa menjadi langkah awal Anda untuk masuk secara serius dan profesional ke dunia kepenulisan. Sisi lain, Anda punya kebanggaan karena memiliki buku dengan nama Anda sebagai salah satu penulis, belum lagi buku ini bisa menjadi portofolio Anda untuk berbagai keperluan. Karya Anda terpampang di toko buku lho...siapa yang gak bangga coba?

Ada juga sih yang mikirnya negatif...belum-belum ribut soal hadiah duit kok dikit, royalti, dan segala macam. Okelah...kalau Anda sudah eksis sebagai penulis, mungkin ini tidak menarik lagi. Memang kalau dilihat hadiahnya, itu bukan uang besar (kalau dibanding kompetisi nulis lain). Tetapi sekali lagi, tidak semua hal harus diukur dengan uang. Saya pribadi, kadang melakukan "kerja-kerja sosial" sebagai sebuah investasi untuk mewujudkan impian saya menjadi penulis profesional.

Jadi lomba ini "kerja sosial" ?

Oh tentu bukan. Ini lomba yang semua ketentuannya, antara hak dan kewajiban bagi penulis dan penerbit sudah dipertimbangkan secara matang dan adil bagi kedua belah pihak, dan nanti akan dilandasi dengan perjanjian yang memiliki kekuatan hukum tentu saja. Tinggal semuanya balik ke pribadi, mau sign contract oke saja, tetapi kalau ternyata tidak sepakat dan mundur, juga tidak masalah.

Kenapa tidak ada royalti?

Karena ini adalah buku antologi, dengan jumlah penulis hampir 20 orang. Sistem yang digunakan adalah beli putus, bukan royalti. Bayangkan kalau ini menggunakan sistem royalti yang perhitungannya adalah 10% (nilai persentase standar royalti ) dari harga buku x buku yang terjual. Taruhlah harga buku more less Rp 30.000, terjual 1000 copies, maka royaltinya adalah : Rp 30.000 x 1.000 x 10% = Rp 3.000.000.

Jadi royalti buku itu bila terjual 1000 copies adaah Rp 3.000.000, nilai ini kemudian dibagi 20 penulis = @Rp 150.000. Nilai Rp 150.000 ini masih harus dipotong pajak. Bisa dibayangkan berapa nominal yang akan diterima masing-masing penulis? hehehe.Eh...jangan bangga dulu, karena itu tadi asumsinya buku terjual 1.000 copies. Lha bagaimana kalau buku itu ternyata HANYA terjual 500 copies ? bakal kepotong lagi kan? bakal menyusut lagi kan?

Oya jangan lupa juga, royalti itu diberikan setiap periode 6 bulan sekali. Bisa dibayangkan kalau menggunakan sistem royalti, kita harus menunggu Rp 150.000 selama 6 bulan. Mau ?

Nah, apa yang saya sampaikan di atas hanya ingin memberikan pencerahan, supaya tidak ragu-ragu mengikuti lomba ini. Terutama buat Anda yang ingin membuka jalan menuju ke dunia penulisan secara profesional. Tapi saya akan menyerah memotivasi Anda untuk mengikuti lomba ini bila pertimbangan utama Anda adalah uang. :)

regards, 

Ariy

Friday, September 20, 2013

Lomba Cerita Perjalanan The Ho[S]tel 2

Dear Journer,

Udah tau kan buku The Ho[S]tel hasil nulis saya bareng Sony Kusumasondjaja dah beredar? Nah, hasil ngobrol dengan penerbit, bakal ada buku The Ho[S]tel 2 nih...yang lebih seru, bakal dilombakan, jadi kalian para traveler punya kesempatan membukukan tulisan perjalanan, khususnya pengalaman inap-menginap di hotel, hostel, atau tempat-tempat lain saat traveling. Keterangan lebih lengkap, baca poster ini yak...

Aku tunggu cerita kamuuuh :)

regards,

Ariy


Sunday, September 8, 2013

Diet Ala Traveler

                             foto: www.drphilockie.com.au
Hey Journer,

Ini cerita yang penting nggak penting sih sebenarnya. Tapi, saya pikir, seru juga kalau dibagi. Khususnya bagi Anda traveler yang pengen mengurangi berat badan.
Eh...tapinya, mau menegaskan aja, ini bukan tulisan berbayar untuk mempromosikan obat atau jasa tabib penurun berat badan huehehehe.

Jadi begini, beberapa tahun lalu, saya jalan-jalan ke Thailand. Saya lupa persisnya, peristiwa ini terjadi saat saya ke Thailand yang pertama kali atau yang kedua kalinya. Habisnya, rutenya sama, cara travelingnya sama, lama perjalanannya hampir sama. Bedanya, satu buat bener-bener traveling, yang kedua kalinya untuk bikin buku. Oke, saya awali dengan kata berat badan. Nah lho...bagi beberapa orang mungkin sensitif.

Pengumuman gak pentingnya, saya tuh jaman kuliah berat badannya standar cowok-cowok itulah, boleh dibilang kurus sih. Tak pernah jauh-jauh dari kisaran 55-60 kg. Tetapi rata-rata di angka 55 kg. Nah sejak kerja di radio, begadang mulu, pulang siaran pasti nongkrong cari makan bareng temen, berat badan mulai membumbung. Pas jadi jurnalis, mulai tidak terkontrol dah. Begadangnya menjadi-jadi. Malam pasti mengisi perut bareng temen-temen. Akhirnya bengkak di angka 70 kg.

Angka itu bertahan hingga saya lepas pekerjaan sebagai jurnalis. Kadang naik sampai 73 kg gitulah. Dan ini sudah mulai berat sih bagi saya. Tidak bisa selincah dulu, tidak bisa kayang salto hahahaha. Pas berangkat ke Thailand itu, berat saya di angka 70 kg.

Lalu "diet" tak sengaja itu terjadilah. Di Thailand, udaranya lembab, panas, gerah, berkeringat. Pokoknya baru keluar dari hostel aja sudah basah kaos saya. Tapi ya mau bagaimana lagi. Nah, kebetulan juga karena saya jalan-jalan dengan budget sangat minim, saya harus mengerem banyak pengeluaran.Pertama, saya mengerem budget transportasi, say no to taxi, lebih sering jalan kaki atau naik bus umum. Jalan kaki menjadi favorit saya, karena menurut saya, dengan jalan kaki saya bisa mengeksplorasi suatu daerah dengan maksimal. Bisa berhenti kapan saja, keluar masuk, blusukan. Efeknya, ya lumayan capek dan basaaaaahhh.....keringat selalu membanjiri. Bau matahari juga menempel. Kedua, saya mengerem pengeluaran untuk makan. Tidak boleh ngemil!. Jadi makan bener-bener yang kebutuhan tiga kali sehari saja. Bahkan, saya sering melewatkan sarapan. FYI, saya sejak sekolah jarang sekali sarapan. Sekalinya sarapan, pasti perut mules-mules mengganggu aktivitas. Balik lagi soal makan, biasanya saya makan siang dengan membeli roti-roti di 7/11, baik yang dalam kemasan maupun yang bisa dihangatkan. Sangat layak untuk mengganjal perut. Malamnya, kadang saya menikmati food street supaya ada variasi. Kesukaan saya adalah spring roll, dengan isian taoge, kadang pake telur dikocok, ada juga yang isianya campur seafood. Di Khao San Road banyak, dulu sekitar 10 Baht per porsi.

Saya bukannya tidak ngemil sama sekali. Tetapi ngemil saya lebih sehat. Biasanya siang-sore itu saya ngemil buah potong segar yang banyak di jual di Bangkok, dengan harga per plastik 10 Baht. Itu menyegarkan sekali. Yang tidak bisa saya tahan juga adalah minum. Di sana udah kayak unta...cleguk...cleguk...cleguk terus, sampai habis beberapa air minum botol dalam sehari.

Itu nyaris berlangsung 10 hari. Tentu menunya itu tidak full seperti itu dalam 10 hari ya. Beberapa kali saya juga mencicipi masakan khas setempat. Satu hal yang menjadi perhatian saya setelah saya pulang, ternyata saya nyaris tidak pernah mengkonsumsi nasi! Entah itu ada kaitannya atau tidak, entah apakah pola makan saya dalam 10 hari itu jadi penyebab atau tidak, entah kebiasaan jalan jauh saya mempengaruhi atau tidak, tetapi yang jelas, sampai di rumah beberapa hari kemudian saya sadar, berat badan saya yang semula 70 kg saat berangkat, turun menjadi 62 kg. Artinya lemak 8 kg minggat dalam waktu 10 hari !! Bravooooo....hahahahaha.

Saya masih ingat sekali, begitu pulang sampai Solo setelah perjalanan 10 hari itu, adik saya teriak. "Ya ampuuun, awakmu mas....kuru, ireng, koyo wong ilang!"

Roaming ?

"Ya ampun, badan kamu mas....kurus, hitam, kayak anak hilang !"

Hahahaha. Sama kayak adik saya, Ibu saya pun juga kaget dan ngakak melihat perubahan saya. Apapun, meskipun tidak ada niat sebelumnya untuk menurunkan berat badan, berkurangnya lemak membuat saya merasa lebih sehat, lincah, bersemangat...dan hensem !! :)

Cheersss...

Ariy

Monday, September 2, 2013

Coming soon : The Ho[S]tel by Ariy & Sony


           


                 Sebagai orang yang sama-sama menyenangi traveling, kami memiliki banyak kesamaan, antara lain kami memiliki banyak cerita seputar perjalanan yang pernah kami lakukan. Beberapa kali obrolan, meluncurlah cerita-cerita seru yang pernah kami alami.  Sampai kemudian, saya lontarkan ke Sony, hey...kayaknya seru nih nulis bareng.
            Sebagai travel writer, saya beruntung lumayan sering jalan dan memiliki banyak stok cerita. Sementara Sony, yang berlatar belakang akademisi, saya lihat jam terbang jalan-jalannya juga tinggi, entah untuk urusan kuliah atau yang lainnya. Saya memikirkan konsep buku The Ho(S)tel ini saat saya traveling di Kuala Lumpur bulan Februari 2012.  Waktu itu saya sering memikirkan hotel atau hostel yang aneh-aneh, salah satunya saya ingin sekali mencoba konsep capsule hotel yang ada di Kuala Lumpur (di kota-kota dunia lain banyak yang sudah punya), yaitu tempat nginep buat traveler on budget, hanya serupa ruangan kecil sebadan (saya membayangkan peti mati agak gede sedikit), extremely small room, yang ditata bertumpuk-tumpuk. Saya juga membayangkan ini semacam kotak pendingin mayat di rumah sakit hihihi. Sayangnya saya batal mencoba capsule hotel di Kuala Lumpur, karena kelupaan sampai pulang. Tapi dari situ muncul ide, saya memiliki banyak cerita tentang menginap di hotel, hostel, homestay, guesthouse, atau apapun itu namanya, kenapa tidak ditulis saja? Lalu saya ingat Sony, yang meskipun saya belum pernah traveling bareng dengannya, saya pikir Sony pasti punya banyak cerita yang bisa dibagi mengingat jam traveling dia yang lumayan tinggi.
Hotel atau hostel menjadi salah hal yang mewarnai setiap perjalanan. Tiga hal utama yang selalu menjadi perhatian awal saya (pasti Anda juga) sebagai traveler adalah transportasi, makan, serta hotel atau hostel. The Ho(S)tel - tentu dari judulnya Anda akan tahu kami akan bercerita tentang apa -  merupakan cerita perjalanan masing-masing dari kami, dari satu hotel ke hotel lain, dari satu ranjang hostel ke ranjang hotel yang lain, dari satu toilet homestay ke toilet homestay yang lain. Semua dari perspektif traveler. Ada cerita seru, sial, aneh, yang ingin kami bagi untuk Anda. Dari shocking story di sebuah hotel kecil di Surabaya, hingga cerita dari sebuah hotel di Salzburg, di Austria. Dari “keseruan” di sebuah hostel di Kunming, China hingga kehebohan di sebuah penginapan di Sydney. Semua kami tampilkan secara ringan dan apa adanya.
            Ada perbedaan mendasar yang saya temukan dari cara traveling saya dengan cara traveling Sony, yang menurut saya bisa saling melengkapi untuk mewujudkan buku ini. Pertama soal gaya traveling, Sony memiliki banyak pengalaman traveling dengan menginap di hotel berbintang, meskipun juga dia punya banyak pengalaman menginap di hostel (dorm sekalipun). Sementara saya, menginap di hotel berbintang beberapa kali saja dan bisa dihitung dengan jari, nyaris lebih dominan menginap di hostel atau hotel murah, dan lebih sering di dorm. Hal lainnya, saya bisa fokus menuliskan pengalaman tinggal di hotel atau hostel di kawasan Asia dan domestik, dan Sony memiliki pengalaman tinggal di hotel Eropa dan Australia. Perbedaan ini yang kemudian kami diskusikan dan kami menuliskannya untuk Anda.
            Cerita-cerita yang kami tuliskan kami kelompokkan dalam tiga bagian: yaitu bagian The Hotel tentang cerita seputar pengalaman kami menginap di hotel, kemudian The Hostel yang tentunya cerita pengalaman menginap di hostel, yang ketiga adalah “The Hotel”, ya hotel dalam tanda kutip, sebuah pengalaman menginap tidak literally di hotel, tetapi fungsinya bagi kami sebenarnya sama saja.
            Akhirnya, senang bisa berbagi cerita dengan Anda tentang pengalaman kami. Semoga membuat Anda semakin semangat untuk traveling dan menemukan cerita Anda sendiri.

Cheers,
Ariy & Sony