Tuesday, December 30, 2014

TogetherWeStand

Photo by: @glennmars


Our thoughts and prayers are with all family and friends of those on board QZ8501

Sunday, December 21, 2014

Gathering Backpacker Jogja-Solo-Semarang [Joglosemar]


Dear Journer,

Lama nggak update blog, ampuni saya hihiihi. Karena memang lagi ada banyak hal yang dilakukan di dunia nyata. By the way, salah satu oleh-oleh dunia nyata saya, akan saya bagi di posting kali ini. Jadi ceritanya setelah sekian lama saya membentuk grup di Facebook yaitu : Backpacker Joglosemar [Jogja-Solo-Semarang], saya ingin ngadain Kopdar lagi. Dulu pernah sih ketemu nggak resmi, sekitar tahun 2010. Tetapi setelah itu lama nggak ngadain Kopdar. Oya, grup ini tidak membatasi anggotanya asal Jogja, Solo dan Semarang saja lho. Malah banyak yang dari kota-kota lain.

Dengan jumlah member sekarang mencapai 4.650 lebih...and still counting, rasanya tak muluk-muluk ada keinginan kopdar. Sebelumnya sih emang banyak posting di wall yang nanya kapan diadain kopdar. Tetapi belum benar-benar ditanggapi. Tipikal orang Indonesia, lebih banyak keinginan tapi susah diajak mewujudkan hihihi. 

Suatu saat saya iseng, ingin ngetes sejauh mana sih respons member untuk kopdar. Dan ini bukan hal yang mudah sodara-sodara. Ngajak meeting awal aja susah banget. Responsnya di wall sih banyak, tapi kalau sudah dicarikan hari atau tanggal, ada aja yang lepas. Sampai suatu saat saya udah tentukan hari, sudah saya private message yang pada respons, eh ternyata nggak mengerucut. Ya sudah, saya hampir nyerah. Tetapi kemudian tiba-tiba pas hari H meeting pra acara, ada yang ngabarin telah meluncur ke TKP meeting. Yang meluncur ini namanya Rakhmat asal Tangerang. Akhirnya, gara-gara Rakhmat pula terselenggara meeting pra gathering. Meeting ini hanya dihadiri saya, Rakhmat, Ika dan Mas Joko. Berempat kami sepakat bahwa gathering tetap harus dilaksanakan berapapun jumlah yang datang. Ika yang paling semangat. Thanks Ika hihihi.

Dari meeting pra acara itu, akhirnya jalan menuju gathering semakin terang. Berikutnya, secara dadakan saya undang beberapa teman yang berada di sekitar Solo untuk ngumpul suatu malam. Meski dadakan dan dihantui hujan, malam itu terkumpullah beberapa teman di Wedangan Gower, Stadion Sriwedari. Saya sangat mengapresiasi kehadiran mereka. Terima kasih: Yuli [Sukoharjo], Mbak Titin [Karanganyar], dan teman-teman dari Solo seperti Bayu, Mas Yosh, Mas Sen, dan tentu saja nggak ketinggalan Mas Joko, Rakhmat, dan Ika.


Meeting di Wedangan Gower ini menghasilkan kesepakatan bahwa acara akan dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2014, hari Sabtu, start jam 09.00 WIB. Awalnya mengagendakan city tour Kota Solo dengan mengggunakan Bus Wisata Werkudara, lalu piknik bareng di Taman Balekambang. Tetapi ternyata setelah kontak dengan pengelola Bus Wisata Werkudara, jam 09.00 WIB Bus Werkudara sudah fully booked, termasuk yang jam 12.00 WIB. Kami hanya bisa ikut yang jam 15.00 WIB. Melihat kondisi ini, agenda acara diubah, piknik dulu mulai jam 11.00 WIB, lalu sorenya city tour keliling Kota Solo dengan menggunakan Bus Wisata Werkudara.

Respons yang pengen ikut ternyata lumayan. Meski nggak luar biasa juga jumlahnya bila dibandingkan jumlah anggota yang ribuan itu hehehehe. Paling salut sama anak-anak Jogja yang semangat sekali, sehingga membuat kami yang di Solo tak kalah semangatnya untuk menyelenggarakan acara ini. Terima kasih buat anak-anak Jogja, seperti Ocie, Dita, Ayun, Widy, Ryndo, Tyas. Terima kasih juga untuk anak-anak yang lain seperti Mas Fauzi, Mas Toni, Ade, Bakti, Estoe. Maka siang itu, terkumpullah anak-anak yang doyan backpacking mewakili Solo, Jogja, Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, dll. Sayangnya tidak ada perwakilan dari Semarang, karena satu-satunya anak Semarang yang akan ikut, akhirnya batal datang.

Bagi saya, Ika dan Mas Joko, yang malem sebelum hari H ngumpul untuk membahas persiapan, jumlah yang datang sudah cukup melegakan. Kami bahkan awalnya mikir, "Jangan-jangan jumlah doorprize akan jauh lebih banyak dari jumlah yang datang" hahaha...eh tetapi emang benar, meski yang datang melebihi ekspektasi, tetapi doorprize yang kami sebar pun juga banyak. Jadi semua dapat hihihi.


Piknik siang itu di Taman Balekambang, yang alhamdulillah cerah banget padahal sehari sebelumnya hujan hampir 24 jam, berlangsung meriah. Banyak banget makanan lho. Dita yang sekolah masak dan Ocie, memasakkan kami chicken wing, nugget, nasi goreng, dan makanan lain. Terus Ayun bawa brownies. Belum lagi Ika khusus masak smoked beef, dan yang nggak disangka adalah Mas Toni yang bawa cemilan banyak, termasuk cemilan dari China. Oya, nggak lupa juga Mas Fauzi mewakili Solo membawa makanan khas Solo yang lezat yaitu....Serabi Nototsuman ;}

Ngomong-ngomong soal doorprize, emang banyak banget banget. Terutama sumbangan dari Mas Yosh yang bawa banyak banget gantungan kunci, kaos, tas, payung, sampai mug. Sementara saya bawa kaos, buku-buku karangan saya, dan teh dari Jepang. Terus masih ada doorprise buku karangan Ayun. Semua yang datang kebagian doorprize lho....seruuuu...

Kami banyak sharing tentang traveling. Tepatnya saya, Ryndo, Ika, sedikit tambahan dari Ayun dan Mas Toni, karena yang lain lebih banyak diem sih hahahaha. Lain kali sesi sharing harus banyak ngobrol ya kakak-kakak. Mungkin karena baru kenal, jadi masih pada malu. Dalam sesi itu, saya cerita awal berdirinya grup serta aturan nggak boleh buka lapak alias dagang di wall grup. Tetapi kalau pas Kopdar mau dagang boleh kok hihhihi. Selain itu, juga perkenalan masing-masing yang datang, serta berbagi pengalaman traveling. Siang itu, kami mendapatkan banyak teman dan tepatnya keluarga baru.

Setelah kenyang makan-makan dan sharing, tiba saatnya city tour Kota Solo. Rutenya adalah dari Taman Balekambang kami jalan dulu ke Kantor Dinas Perhubungan Kota Solo tempat garasi Werkudara. Lalu mulailah kami keliling, menyusuri Jl Slamet Riyadi sebagai jalan protokol, melewati beberapa spot wisata seperti Museum Radya Pustaka, Taman Sriwedari, Museum Batik Danar Hadi, lalu melewati kawasan Gladag di mana spot ini ada pusat kuliner Galabo, Keraton Kasunanan Surakarta, Pasar Klewer, Kampung Batik Kauman, lalu melewati titik nol di kawasan Pasar Gedhe, meluncur hingga ujung timur Kota Solo, tepatnya di Taman Satwa Taru Jurug. Di titik ini, penumpang yang duduk di bangku atas, wajib tukar dengan penumpang di bangku bawah.

Bus Wisata Werkudara pun kembali melaju berbalik arah menuju ke titik nol lagi, lalu berhenti di Benteng Vastenburg. Di lokasi ini, penumpang dipersilakan turun untuk berfoto. Kami pun tidak menyia-nyiakan:


Dari Benteng Vastenburg, kami lalu menyusuri Jl Kapten Mulyadi - Jl Veteran - hingga balik menuju ke Dinas Perhubungan Kota Solo. Kelar city tour, masih lanjut dengan foto-foto dong. Oya, beberapa teman setelah foto-foto harus cabut pulang. Tetapi yang masih gabung, lanjut untuk makan di Cafe Wedangan 2, samping GOR Manahan sampai malem. 

Habis dari sini, kayaknya udah kecapekan semua, jadi sepakat diakhiri setelah sebelumnya merencanakan untuk jalan lagi kapan-kapan, termasuk mau jalan bareng ke Sekaten, Semarang, Jogja, dan kota-kota lain. Bagi orang Solo sih gampang ya, habis itu pulang istirahat. Tetapi temen-temen Jogja harus berjuang lagi untuk pulang nunggu Prameks di stasiun hahahaha...terima kasih buat semangatnya ya...

Tidak sia-sia teman-teman Solo mempersiapkan semua. Cuaca juga sangat mendukung. Next time, kami berharap teman-teman Semarang dan kota lain akan bergabung. Tunggu ya cerita kumpul-kumpul kami berikutnya. Buat yang belum gabung, dan pengen gabung, join aja di grup Facebook: Backpacker Joglosemar. Saya tunggu yaaa...

Regards,

Ariy

Sunday, November 16, 2014

(Beberapa) Jurus Ngirit Traveling

                                                           photo: www.dribbble.com

Dear Journer,

Sebenarnya banyak jurus untuk kita ngirit saat traveling. Saya termasuk yang doyan banget ngirit-ngiritan gini secara saya traveler modal dengkul. Beberapa sudah secara komplit saya posting di artikel lain, tetapi saya pengen sharing lagi gimana caranya ngirit selama traveling untuk beberapa aspek "kebutuhan pokok" selama traveling :), khususnya lagi kalau travelingnya nggak lama. Ini saya rangkum berdasarkan pengalaman, dan bukan tidak mungkin Anda juga sudah melakukannya :).

Penginapan: 
Kalau travelingnya cuma weekend doang dan nggak jauh-jauh amat, saya biasa nggak ambil penginapan. Misalnya nih, saya nongkrong di Warnet semaleman, atau ngopi di coffeeshop kelas mahasiswa semaleman, atau sekarang minimarket macam Indomart pun punya tempat nongkrong 24 jam. Contoh gampangnya nih, kalau ke Jogja, saya biasanya begadang di Indomart Malioboro. Selain tempatnya enak, 24 jam, wifi-nya juga kenceng dan gratis buat pembeli. Di sini kita bisa beli kopi doang gak sampai Rp 10.000 udah dapet password wifi. Kalau nggak ya ke coffeeshop  24 jam yang secangkir kopinya nggak sampai Rp 15.000 tapi bisa internetan semaleman. Atau bisa juga nyari KFC atau McD 24 jam. Prinsipnya sama kok, nggak keluar duit lebih dari Rp 15.000. Beberapa yang pernah saya "tiduri" adalah: Indomart Jogja, KFC Jogja, McD Medan, Dunkin's Donuts Gambir Jakarta , Peacock Coffeeshop Jogja dan Semarang, serta sejumlah Warnet :)). Lumayan lho, nggak perlu bayar kamar. Atau setidaknya kalau travelingnya dalam jangka waktu lama, ngirit sehari dua hari habis itu tepar sepuasnya di hotel murah setelahnya :).

Mandi-Cuci-Kakus (MCK):
Nah, kalau begadangan macam gitu, terus gimana MCK-nya? Kalau mandi, tentu agak khusus ya...sejauh ini sih saya belum pernah mandi di tempat umum kecuali di LCCT - Kuala Lumpur waktu itu, karena memang ada toilet buat mandi. Cuma kalau mandi di toilet umum (misalnya di Indonesia) saya mikir juga. Paling cuma cuci muka gosok gigi, dilengkapi deodorant dan semprot sana semprot sini sedikit minyak wangi. Tetapi yang lebih krusial lagi sebenarnya adalah buang air besar (BAB). Beberapa orang tidak bisa BAB kalau toiletnya tidak sesuai dengan selera hati (jorok misalnya). Saya termasuk di dalamnya. Kalau nggak kepepet banget, mending nahan BAB. Cara lainnya yang selalu ampuh adalah, saya masuk lobby hotel bintang (lebih gede hotelnya lebih bagus). Pasang tampang pede, nggak usah celingukan, gaya santai kayak tamu hotel, masuk deh ke restroom atau toilet yang ada di area lobby. Itu udah jaminan bersih. Beberapa mall gede juga bisa jadi pilihan karena toiletnya juga bersih. Saya pernah melakukan ini di Horison Hotel Semarang, Grand Quality Hotel Jogja, Sahid Raya Hotel Solo, Hotel Sunan Solo (dulu Quality Hotel), Ambarukmo Plaza Mall Jogja, dll :)). Hotel yang bintangnya lebih banyak, biasanya lebih "ramah" karena nggak dicurigai macem-macem sih. 

Cari Tumpangan:
Ini mah paling gampang. Telp temen, saudara, atau siapalah. Saya pun pernah nginap di tempat temen. Tetapi sejujurnya, saya kalau traveling jarang kontak temen (kecuali di Jakarta punya langganan shelter di Al's Apartment ). Saya nyaris tidak pernah ngontak saudara meskipun saya punya saudara juga di Jakarta. Saya ditumpangi orang nggak masalah (sejak saya ikut Couchsurfing dan Hospitality Club), tetapi saya numpang orang agak susah. Beberapa kali numpang di rumah teman baru kenal di luar negeri, itu karena kepepet duit cekak :). Kenapa sih nggak mau numpang? saya suka kepikiran karena ngerasa itu bakal merepotkan tuan rumah. Orang Indonesia kan selalu berprinsip tamu adalah raja. Padahal teman-teman saya dan keluarganya baik-baik dan welcome. Gak tau ya, saya suka bebas aja. Di Jogja, teman saya banyak, nggak cuma orang Indonesia, temen bule yang udah beranak pinak di Jogja pun sering nawari. Tetapi pada akhirnya saya pasti teronggok di Indomart Malioboro hahahaha. Intinya sih, kalau mau ngirit, numpang bisa menjadi salah satu cara. Nggak jarang malah pulangnya kita dibawain banyak oleh-oleh hahahaha...ngarep :p

Itu beberapa aspek yang bisa bikin kita ngirit saat traveling. Sebenarnya banyak aspek, tapi untuk sekarang itu yang keinget, gara-gara kemarin sempet di kultwit. Semoga berguna yaaaa :)

regards,

Ariy

Saturday, November 8, 2014

Kisah Hotel Rempong di Medan



 
Ilustrasi by Doni Kudjo

Dear Journer,
Sejujurnya, saya tidak terlalu suka dengan penggunaan kalimat “You got what you paid for” saat ada orang komplain atas transaksi murah yang dilakukan. Kenapa? Karena seakan-akan saat kita membayar murah, kita tidak berhak komplain atas hak yang sudah disepakati sebelum transaksi. Lalu apakah saya harus diam dan pasrah saja saat saya membayar minim tapi tidak mendapatkan hak saya sebagaimana mestinya? Maaf bila saya membuka paragraf dengan nyinyir. Karena sesaat lagi Anda akan membaca komplain saya pada hotel yang saya inapi di Medan.
Awalnya begitu indah, saya googling dan mencoba mencari info tentang hotel murah, bersih dengan fasilitas semaksimal mungkin dan lokasi strategis. Ini adalah perjalanan saya pertama ke Medan dan saya akan traveling bersama teman saya. Beberapa malam untuk hunting hotel, sampai kemudian saya menemukan satu dua hotel yang menjadi target saya. Ada pilihan pertama, ada juga backup.
            Awalnya begitu indah. Saya tiba malam hari selepas maghrib, setelah sebelumnya menelepon hotel kecil itu untuk booking kamar. Ini adalah hotel pilihan pertama saya. Tiba di hotel bercat hijau itu, saya langsung menuju ke resepsionis. “Hampir saja kami melepas kamar yang Anda booking,” kata sang resepsionis. Seorang laki-laki muda yang tidak terlalu banyak berbicara.
            Karyawan di hotel itu sepertinya tidak terlalu diajari bagaimana cara bersikap layaknya bekerja di industri hospitality, misalnya mengucapkan “Selamat malam”, “Ada yang bisa saya bantu?”, dan lain sebagainya. Kalau saya tidak tanya, karyawannya cuma diam cengar-cengir. Atau mungkin karyawan satu ini saja yang tidak menyerap pelajaran saat dia di-training. Saya maklum, ini hotel kecil. Saya dan teman memilih satu kamar standar dengan kipas angin dan kamar mandi dalam. Harga per malam Rp 70.000. Ya? Tepat sekali ! alasan saya memilih hotel ini karena memang murah dan mereka menambah embel-embel “syariah”. Baru sampai di situ saja saya sudah berpikir, setidaknya kasurnya tidak pernah digunakan untuk perbuatan kotor. Kalaupun iya, setidaknya tidak terlalu banyak digunakan seperti hotel murah lainnya. Naif memang.
            Saya dan teman masuk ke dalam kamar. Pintu dibuka seketika bau pengap menyergap kami. Terang saja, ini kamar tanpa ventilasi. Benar-benar sebuah kamar yang dikelilingi tembok tanpa ventilasi. Kipas angin besar di langit-langit - yang saya yakin kalau disetel di posisi paling maksimal mampu memenggal leher kami - hanya memutar udara panas di dalam ruangan. Pintu kamar langsung berhadapan dengan kamar mandi. Twin beds kecil akan menjadi peraduan kami. Saat itu, tidak ada pikiran lain selain menerima kamar itu untuk istirahat karena memang sudah sangat capek.
            Malam itu berlangsung tanpa banyak masalah meski kami cukup kepanasan dengan kamar tanpa ventilasi.            Paginya, kamar sebelah ternyata kosong. Kamar itu adalah kamar dengan jendela, dan itu penting! Segera kami meminta pengelola untuk mendapatkan kamar itu. Harganya sama, yang berbeda hanyalah tempat tidur hanya satu tapi masih cukup untuk berdua, selain kamar mandinya lebih bersih. Kami sepakat mengambil itu, dan berpikir itu adalah pencapaian luar biasa karena kami lumayan cocok dengan kamarnya. Pagi itu, setelah kamar dibenahi oleh staf hotel, kami langsung angkut-angkut barang pindah kamar.
            Medan cerah sekali hari itu. Secerah angan-angan kami untuk menjelajah kota ini. Teman saya pun mandi terlebih dahulu di kamar mandi bertoilet duduk dengan shower.  Antrean kedua setelah adalah saya. Matahari cerah dan cuaca panas Medan membuat saya berpikir untuk mandi keramas….ouugh, pasti segar sekali. Ritual mandi dimulai. Gosok gigi lancar…gosok badan tak kalah lancar…saya tuang sampo ke rambut dan mulai bersenandung. Busa sampo membumbung di kepala saya dengan bau harum sampo kesayangan. Semua lancar-lancar saja sampai saya menyadari…air di shower mati! Duh…bagaimana saya harus membilas rambut dan badan saya?
            Saya panik, teriak-teriak ke teman saya untuk komplain ke bawah. Teman saya pun sigap lari ke lantai bawah untuk lapor kalau air di kamar mandi mati. Gedebak-gedebuk suara teman saya masuk kamar seperti membawa harapan indah.
            “Sepuluh menit lagi air akan hidup…” teriak teman saya dari luar.
            God!
            Tidak ada bak mandi. Ember kecil yang ada di dalam kamar mandi itu pun sudah kosong. Sementara saya masih dalam kondisi telanjang basah kuyup dengan busa sampo membumbung di kepala. Saya mencoba sabar, teman saya mencoba menghibur saya. Kami ngakak mentertawakan nasib saya. Sepuluh menit pertama itu masih terlihat lucu.
            Dan saat lepas dari sepuluh menit yang dijanjikan tapi ternyata air tidak mengucur juga, itu sudah tidak lucu lagi. Teman saya kembali lari ke bawah. Sementara saya masih di dalam kamar mandi, menghibur diri dengan bersenandung kecil, masih telanjang basah dengan sampo di kepala.
            “Mas…sebentar katanya. Tadi dimatiin soalnya ada penghuni kamar lain yang membuka kran air tidak dimatikan sampai airnya kemana-mana,” teriak teman saya dari luar kamar mandi. Duh…dalam kondisi begini, saya masih harus menerima alasan tidak relevan dari matinya air. Jadi orang lain yang bikin masalah, dan saya yang harus menanggung hukumannya?
            Menit-menit berikutnya sudah tidak lucu lagi. Lima belas menit lebih, bahkan air di badan saya sudah mulai kering menguap. Hampir setengah jam…
            “Mas…serius mau nunggu air?” tanya teman saya yang sepertinya jauh lebih putus asa daripada saya. Benar juga, akhirnya mungkin saya harus menyerah juga. Heroik sekali. Saya pun menghanduki tubuh dan kepala saya. Tidak enak, tidak nyaman, badan lengket-lengket. Tetapi akhirnya saya menyerah dan keluar dari kamar mandi dengan cengar-cengir. Seribu umpatan keluar dari mulut saya…”Tidak lagi…tidak akan menginap di sini lagi...cukup sudah,” rutuk saya, seakan itu problem terberat hidup saya. Teman saya ngakak saja.
            Sekitar satu jam-an, akhirnya air menyala lagi. Tepat sebelum saya memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Duh…itu semacam oase di padang tandus. Langsung saja saya copot baju dan balik masuk ke kamar mandi. Seperti sebuah balas dendam yang tertuntaskan, hari itu saya mandi dengan borosnya, seperti perasaan yang menyenangkan melihat air mengucur deras dari shower jahanam itu.
            Malamnya, kamar itu lebih nyaman daripada kamar sebelumnya. Kami tidak butuh kipas angin, karena jendela yang menghadap top roof  untuk jemuran kami buka lebar-lebar. Panas siang hari di Medan dibalas hujan malam itu. Tidur nyenyak ditemani air hujan dan teman saya yang tidur dengan mengigau seru dalam bahasa Inggris. Duh, pasti tidak gampang mengigau dalam bahasa Inggris J.
            Oya, saya selalu membayar di muka semua tarif kamar, saat menginap di hotel murah semacam ini. Demikian juga yang saya lakukan dengan hotel ini. Pagi itu, selepas sarapan kami berniat sekaligus check out. Semua barang tidak ketinggalan, kami packing dengan sangat rapi di masing-masing backpack, kemudian kami turun tangga menuju resepsionis.
            “Kami mau check out, Mas,” saya serahkan kunci dan meminta KTP saya kembali. Resepsionis itu tersenyum sambil mencari KTP saya. “Mas…malam kedua belum bayar, jadi kekurangannya Rp 70.000,” kata resepsionis cowok itu dengan kalem.
            “Hahhh?” Saya kaget dan memandangi teman saya. Teman saya sama bingungnya.
            “Belum bayar? Nah, kami kan sudah bayar di muka semua?” tanya saya heran.
            “Malam kedua belum,” kata resepsionis itu lagi masih dengan kalemnya.
            No…Nooo…saya sudah membayar dan saya ingat sekali. Saya tidak menerima begitu saja. Lagipula saya masih ada kuitansi tanda terima pembayaran kok. Kuitansi? Duh…saya rogoh saku celana, baju, daily bag…tidak ketemu! Sial. Apakah saya harus membongkar lagi packing rapi di backpack saya? Saya pandang teman saya.
            “Saya tidak bawa Mas,” kata dia seperti menjawab pandangan saya. Saya bisa memastikan bahwa teman saya tidak membawanya, karena memang “bendahara” traveling ini saya. Pandangan saya beralih ke resepsionis itu.
            “Mas coba deh, cek dulu di catatan,” lagian hari gini kok belum terkomputerisasi. Sebenarnya hotel ini tidak kuno juga. Buktinya, restonya yang berada di samping resepsionis ini juga memiliki fasilitas wifi. Sesusah apa sih pasang komputer di bagian resepsionis? Dan benar juga, resepsionis itu mengambil buku besar semacam buku tulis untuk pelajaran akuntansi dengan sampul depannya motif batik parang itu.
            Selembar, dua lembar, tiga lembar, resepsionis itu membuka lembaran satu persatu, di setiap halamannya dia menguliti tulisan cakar ayam dari atas hingga ke bawah. Tidak ditemukan nama saya. Aduh, kuno sekali ini hotel. Sudah jelas saya benar-benar bayar lunas semua. Saya bisa saja membayar Rp 70.000 lagi demi segera keluar dari masalah. Tapi itu berarti saya menyerah kalah dong, padahal saya tidak salah.
            “Mas…coba lagi deh, dicari. Saya sudah benar-benar bayar semua di muka,” kata saya dengan nada tidak enak kali ini.
            Oke, masalah apalagi? Tidak cukup membuat saya kedinginan terjebak di kamar mandi dengan mematikan air? Sekarang saya dituduh tidak bayar? Jangan-jangan keluar dari hotel saya bakal disambut sekuriti karena dituduh mencuri kipas angin yang bisa memenggal kepala kami itu? Saya pandangi teman saya dengan memelas.
            “Ya sudah…terima kasih,” tiba-tiba terdengar suara itu.
            Saya berpaling ke resepsionis. Begitu saja? “Saya sudah bayar lho. Serius,” saya masih mencoba meyakinkan. Saya tidak suka saja dengan nada bicara resepsionis itu yang seolah-olah dia membiarkan saya pergi dan mengabaikan persoalan itu, dan tetap menganggap saya salah. Huh.
            “Ya sudah…sudah,” kata dia lagi dengan kalem. Huuh…saya menunggu kata maaf dan penjelasan kenapa dia bilang sudah. Saya tidak mendapatkan itu. Tidak mau menambah rusak mood traveling, saya berbalik dan langsung meninggalkan hotel itu diiringi teman saya.
Satu hal yang tidak diketahui resepsionis hotel itu, saya menginap di sana untuk membuat tulisan yang me-review hotel-hotel murah di Medan. Gotcha!!           

* Cerita ini diambil dari buku The Ho[S]tel by Ariy & Sony.

Thursday, October 23, 2014

Kudeta di Kereta




                                                          Foto: www.kereta-api.co.id
Kereta api termasuk salah satu alat transportasi favorit saya. Apalagi untuk jarak jauh, saya lebih memilih menggunakan kereta api daripada bus. Kalau naik kereta api, berasa lapang dan lega saja. Belum lagi bisa jalan-jalan di gerbong kalau kaki pegal. Tetapi karena saya termasuk traveler on budget, jadi naiknya pun kelas ekonomi atau maksimal bisnis. Seumur-umur, baru sekali naik kereta eksekutif. Lagian, harga tiket kereta eksekutif sekarang bersaing dengan pesawat, jadi kalau pun ada duit lebih mending naik pesawat.
            Sebagai pengguna kereta api sejak jaman jebot, saya ngerasain gimana kereta api dulu -menurut saya- tidak manusiawi. Desak-desakan, panas, kalau pun ada kipas angin ada aja yang nggak nyala, dengan segala tetek bengek bawaan penumpang (plus kalau ada yang masuk angin, campuran bau rheumason dan aroma sarapan yang keluar lagi..yaiks). Sekarang banyak sekali kemajuan yang dicapai pihak pengelola transportasi jenis ini di negeri kita. Beberapa “produk” terbaru mereka pun selalu ingin saya coba. Waktu muncul kereta api ekonomi ber-AC seperti KA Gajahwong atau KA Bogowonto, saya pun juga mencobanya. Jauh lebih manusiawi. Ademnya dapet, bersihnya juga. Sejauh ini, penasarannya cuma satu, naik KA Gajayana jurusan Jakarta – Malang via Yogyakarta yang kata temen, itu paling mahal. Terakhir saya cek, harganya sampai Rp 560.000! *dadah-dadah*
            Nah, kalau berbicara tentang reformasi di bidang perkeretaapian yang mulai jalan, saya melihat persoalan mendasar adalah mentalitas penumpang. Kalau bicara ini, udah pusing rasanya. Kalau kata orang tua, ngurusi anake wong akeh ki yo kudu sabar. Ngurusin anak orang banyak itu butuh kesabaran. Nyaris sama dengan persoalan lain yang terkait antrean, susah ngajak orang Indonesia antre tertib di loket. Antre masuk ke gerbong (ngapain rebutan kalau kursi kita sudah bernomor?), dan lain sebagainya-dan lain sebagainya.
            Soal kursi ini memang sangat menjengkelkan. Pengalaman saya naik kereta api (beberapa kali dengan beberapa jenis kereta) selalu kursi saya diserobot orang. Kok bisa? Ya karena saya pikir semua tiket sudah bernomor kursi, pastilah masuk ke gerbong kapan pun nggak akan ada masalah. Saya paling males kalau mau naik gerbong harus berebutan, sikut-sikutan, sampai ada yang kejengkang. Makanya, biasanya setelah longgar, saya baru masuk. Tapi ternyata strategi ini salah. Selalu saja kursi saya dipakai orang.
            Kenapa kursi menjadi penting? Karena ini menjadi kunci nyaman nggaknya perjalanan saya berkereta. Biasanya nyari kursi yang dekat jendela, biar bisa merem dengan sukses, atau kalau lagi galau bisa sok-sok menerawang ke luar jendela dengan iringan music mellow di headset ala-ala scene film romantis hihihi. Kalau eksekutif, ambil seat  A atau D. Tapi kalau ekonomi, ambil aja seat A atau E. Tetapi ya itu tadi, selalu ada orang yang main serobot. Satu kali pernah naik KA Gaya Baru Malam Selatan (ekonomi) dan dapat kursi satu bangku bertiga. Waktu liat tiket ternyata dapat kursi A, udah lega aja rasanya. Artinya, saya bakal duduk di dekat jendela, meskipun harus empet-empetan sebangku bertiga dengan dua penumpang lain. Masuklah saya ke gerbong, dan seperti sudah ketebak, ada manusia sudah teronggok di kursi saya.
            “Mas…ini 15 A? Kursi saya,” towel saya ke seorang pemuda kurus item yang sok pura-pura tidur. Dia diem aja, nggak mencoba buka mata.
            “Mas…ini kursi saya,” kali ini saya tepuk pundaknya.
       Dia berlagak ngolet merenggangkan tangan. Yaelah, ini kereta kan baru mau berangkat, bagaimana bisa dia sok udah nyenyak tidur.
           “Sama saja, Mas,” jawab dia tanpa memandang.
         “Beda Mas, itu kursi saya yang Anda pakai,” kata saya sambil menyodorkan tiket menunjukkan bukti bahwa dia udah nyerobot. Eh dia langsung merem aja tanpa mendengarkan omongan saya. Akhirnya dengan dongkol, saya banting pantat di samping dia. Sekarang saya terpaksa duduk di kursi 15 B, karena tak berapa lama duduk penumpang lain di 15 C. Posisi saya diapit pemuda kurus belagu itu dan ibu-ibu gemuk. Sesak sekali secara badan saya juga gede. Itu berlangsung selama 12 jam-an sampai saya terbebas di Stasiun Purwosari Solo.
            Peristiwa itu pelajaran banget. Setelah itu, saya ikuti ritmenya. Ayo aja kalau memang mau sikut-sikutan masuk gerbong. Asal bukan orang tua, ayo aja. Next trip dengan kereta api ekonomi, saya berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan kursi A tercinta. Setengah lari saya mencoba mendapatkan apa yang menjadi hak saya. Giliran sampai di gerbong yang bener, yaelah…sudah ada yang menduduki ! Sial.
            Dan seperti dejavu, peristiwa di KA Gaya Baru Malam Selatan terjadi lagi. Saya dengan bersungut-sungut harus merelakan kursi di samping jendela. Untungnya, kursi ini bukan untuk bertiga tapi berdua saja. Kali ini yang menduduki adalah laki-laki separuh baya dan pas saya datang gayanya sudah sok tidur lelap saja. “Tidur” adalah modus yang sering digunakan biar tidak diusir. Ini justru memunculkan ide untuk mengambilalih hak saya. Perjalanan panjang, saya berharap dia sekali atau dua harus pergi ke toilet. Di saat itulah saya akan melakukan pengambilalihan kekuasaan atas kursi A.
            Benar juga, sepertiga perjalanan saya lihat dia berdiri, minta jalan ke toilet. Saya singkirkan kaki yang menghalangi jalannya dengan ogah-ogahan. Begitu dia berjalan ke toilet, langsung saya merangsek ke kursi dia yang berada di dekat jendela. Setelah itu pura-pura tidur nggak peduli setan lewat.
            Pas orang itu balik dari toilet, beberapa kali dia menowel pundak saya. Mungkin mau minta balik kursinya. Tapi sorry man…ini kursi yang telah kau rebut. Saya diam dan pura-pura tertidur sampai perjalanan berakhir di Jakarta. Pasti tuh orang gondok sekali dan nyesel udah ke toilet. Yes!! Kudeta berhasil !!

Saturday, August 30, 2014

Tiket Menuju Mimpi



“My mom told me to follow my dreams, so I  took a nap”

Separah itu saya waktu itu. Tipikal orang yang menghabiskan waktu untuk bekerja, pulang dan tidur. Padahal saya sebenarnya punya banyak mimpi sejak saya SMA atau bahkan lebih muda dari itu. Tapi saya tidak pernah percaya diri untuk mengejar mimpi saya, lalu memilih tidur. Iya, tidur...literally.

Dalam keluarga saya, tidak ada yang benar-benar sedang menjalani mimpi mereka. Tidak ada satupun. Saya bahkan sangsi mereka punya mimpi. Saat itu, semua sibuk untuk mencari uang untuk kelangsungan hidup. Kami tidak mengenal traveling dan hanya sekali dua ikut rekreasi bareng warga kampung, itu pun maksimal ke Yogya. Saya mungkin yang sering kelayapan ke luar kota sendiri atau bersama teman kalau ada sedikit uang sisa. Hampir sebagian besar hidup kami dihabiskan untuk bekerja. Kami tidak pernah punya uang sisa untuk traveling secara independen, karena bahkan bisa makan saja sudah bersyukur sekali. Bapak saya almarhum hanya seorang pensiunan veteran yang mengandalkan uang pensiun yang tidak seberapa dari pemerintah. Ibu saya (saya bangga dengan beliau) meski sudah tua masih sibuk cari nafkah dengan jualan alat-alat rumah tangga di pasar tradisional. Jadi jangan tanya apa kami punya uang untuk traveling, karena bahkan waktu sisa kami pun hanya habis untuk tidur – bekerja – tidur lagi.

Dibanding adik dan kakak-kakak, hanya saya mungkin yang memiliki banyak mimpi “liar”. Sejak SMA, atau bahkan lebih muda dari itu, saya mempunyai dua cita-cita besar. Pertama, saya ingin menjadi penulis. Kedua, saya ingin naik pesawat terbang ke luar negeri. Saya tidak pernah mengatakan mimpi saya kepada siapapun, karena malu. Malu diejek, “Orang miskin aja banyak maunya!” 

Soal menulis, memang menjadi hobi saya sejak kecil. Sementara soal naik pesawat terbang ke luar negeri, itu akibat racun dari kesukaan saya nongkrong di perpustakaan. Saya bisa berjam-jam membaca aneka buku dan majalah luar negeri di Perpustakaan Daerah, sampai petugas mengingatkan saya bahwa jam kunjung sudah habis.

Tetapi tahun demi tahun, hidup saya mulai mengalami perbaikan. Pertengahan 2009, saat saya sudah bekerja di sebuah koran lokal, mimpi saya untuk menulis buku dan terbang ke luar negeri masih saya simpan rapat-rapat. Daripada uangnya untuk beli tiket pesawat yang dalam benak saya waktu itu masih sangat mahal, saya memilih membeli motor baru secara kredit.

Sampai suatu saat, seorang teman di kantor menyodori saya sebuah tiket pulang pergi Yogyakarta-Singapura dari Air Asia bekerja sama dengan Singapore Tourism Board. Saya seperti terjengkang dari kursi. Ini serius? Saya bahkan belum punya paspor tapi langsung mengiyakan saja pemberian itu. Itu bakal menjadi perjalanan luar negeri saya yang pertama. Saya urus semua persyaratannya, dan semua sepertinya indah di awal. Sayangnya, ending-nya saya gagal berangkat karena tidak memperoleh izin libur. Saat itu langsung nge-drop!

Tetapi tiket Air Asia yang hangus itu tidak sepenuhnya mubazir. Itulah tiket saya sebenarnya untuk menuju impian saya. Dari situ saya mulai mengenal Air Asia, mengikuti setiap perkembangannya dan berjanji pada tahun itu juga saya harus terbang ke luar negeri dengan biaya saya sendiri. Tiket Air Asia yang hangus itu membukakan mata saya bahwa semua orang bisa terbang karena harganya memang tidak semahal perkiraan saya. Hanya sekitar tiga bulan kemudian saya mampu mewujudkannya. Saya simpan gaji bulanan saya, ditambah tunjangan hari raya, ditambah lagi menjelang akhir tahun itu saya mendapatkan cuti besar satu bulan namun gaji tetap dibayar full di muka. Saya sudah kegirangan...berasa ingin teriak...I am King of The World !! :)

Alhamdulillah. Saat itu juga saya booking tiket Air Asia rute Yogyakarta – Singapura, Kuala Lumpur – Chiang Mai, Bangkok – Penang, Kuala Lumpur – Solo. Ini adalah perjalanan sebenarnya yang menjadi titik balik dalam hidup saya. Saya menuliskan perjalanan backpacking ke empat negara itu (saya sempat mampir ke Myanmar melalui jalur darat) dalam empat tulisan berseri di koran lokal tempat saya bekerja. Tulisan itu mendapatkan respons bagus dari pembaca, banyak yang terinspirasi dan ingin mewujudkan mimpinya ke luar negeri dengan low budget seperti saya. Tulisan itu jugalah yang mengobarkan semangat saya untuk mewujudkan mimpi saya. Tidak ada yang tidak mungkin kalau kita benar-benar punya keinginan kuat untuk mewujudkannya.

Euforia itu baru awal, karena saya harus tetap fokus pada mimpi saya yang lain. Keberhasilan perjalanan saya keliling empat negara dengan low budget membuat saya yakin, bahwa saya mampu melakukan perjalanan lainnya. Tuhan menjawab mimpi saya. Sebuah kompetisi menulis yang digelar sebuah penerbit nasional dan saya semangat sekali mengikuti. Saya harus membuat proposal untuk perjalanan ke sebuah negara dengan budget rendah. Tanpa adanya Air Asia, mustahil saya bisa mewujudkan proposal itu. Saya membuat proposal perjalanan berbiaya rendah ke China, dan lagi-lagi doa saya terkabul! Saya salah satu yang dipilih penerbit untuk mewujudkan mimpi saya terbang ke China dan membuat buku saya sendiri! Mimpi saya komplet dijawab serius oleh Tuhan satu persatu. Saya masuk ke China dari Kuala Lumpur – Guangzhou dan keluar dari China dari Chengdu – Kuala Lumpur, semua dengan harga tiket promo Air Asia. Saya bahkan tidak percaya jalan saya sejauh ini.

Sejak itu, hidup saya berubah total. Saya mengambil risiko untuk meninggalkan pekerjaan saya. Menjalani hidup sebagai penulis perjalanan, sementara di waktu senggang saya juga mencari duit dari menjadi travel planner, membantu mereka yang ingin ke luar negeri dengan harga murah karena hal itu bukan hal yang mustahil sejak ada Air Asia. Dalam hitungan jarak, sudah tidak terhitung berapa kilometer saya terbang bersama Air Asia

Bila ingat itu, dengan latar belakang kehidupan keluarga yang secara finansial kacrut berat, siapa sangka saya akan menjalani mimpi saya seperti sekarang ini? Keluarga saya bangga dengan saya. Di keluarga kami, sampai saat tulisan ini saya buat, hanya sayalah satu-satunya yang pernah naik pesawat (bahkan sudah tidak terhitung lagi berapa kali saya terbang), dan...hanya saya pula satu-satunya yang pernah keluarga negeri. Kebanggaan keluarga saya bertambah, karena sekarang ini saya sudah menulis sebelas buku perjalanan, tulisan pernah dimuat di media lokal maupun nasional, beberapa kali di wawancara media, hingga menjadi pembicara dalam berbagai talkshow untuk berbagi pengalaman saya. 

Jadi kalau Anda bertanya bagaimana Air Asia mengubah hidup saya? Air Asia bukan lagi mengubah hidup saya, tetapi sudah menjungkirbalikkan hidup saya...dari seorang yang tidur dengan mimpinya, menjadi seorang yang sedang menjalani mimpi-mimpinya.

So, when your mom told you to follow your dreams...pack your backpack and go catch your dreams !!