Tuesday, July 26, 2016

So Long Vietnam...Hello Cambodia !! (Trip Vietnam-Kamboja Bagian 5)


Perjalanan yang akan saya tempuh adalah perjalanan darat dengan bus sejauh 285 kilometer, dari Ho Chi Minh City (Saigon) menuju ibukota Negara Kamboja. Perjalanan ini akan menempuh waktu sekitar 6 jam... lumayan deketlah.

Kalau Anda sedang berada di Vietnam dan ingin melakukan perjalanan lintas negara menuju Kamboja, banyak kok bus yang melayani rute ini. Rute ini cukup padat penumpang, terutama turis, baik dari HCMC menuju ke Siem Reap, atau sebaliknya. Itu memang rute utama, sementara Phnom Penh sendiri sepertinya hanya jadi tempat ampiran meskipun ini adalah ibukota negara tersebut. Biar gampangnya, ada dua rute mudah yang bisa kita gunakan :
  • HCMC - Phnom Penh : kurang lebih 6 jam, harga tiket sekitar USD 12.
  • HCMC - transit Phnom Penh - Siem Reap : kurang lebih 6 jam, harga tiket more less USD 25
Saya searching tidak ada jalur kereta api untuk rute ini, jadi pilihan saya tetap menggunakan bus. Titik tolak bus-bus ini adalah dari Phang Ngu Lao Street yang merupakan area konsentrasi turis (baca artikel sebelumnya). Nyaris setiap jam ada bus yang melayani rute-rute di atas. Beberapa operator bus yang melayani ini antara lain Sapaco, Mekong Express, Kumho Samco. Saya lupa make operator apa hahaha...tetapi awalnya saya memilih karena melihat kursi besar berbalut sarung kulit yang sepertinya nyaman di foto-foto yang dipamerkan agen penjual tiket bus.

Saya memutuskan untuk memilih rute pertama, yaitu berhenti di Phnom Penh. Perkiraan awalnya gini, kalau saya berangkat dari HCMC sudah pagi menjelang siang, maka kalau menggunakan bus langsung menuju Siem Reap yang transit di Phnom Penh akan sampai di tujuan tengah malam. Agak ragu juga kalau sampai di kota yang baru kita kenal pada tengah malam. Problem yang mungkin akan kita hadapi adalah tidak ada transport yang mengantar ke hotel, yang kedua...mengantisipasi kejahatan. Kita nggak tahu kan apa yang bakal terjadi di tengah malam begitu.

Maka dipilihlah perjalanan pertama HCMC - Phnom Penh, ntar nongkrong dulu di Phnom Penh sambil senam SKJ delapan delapan supaya nggak encok kelamaan di bus, lalu lanjut ke Siem Reap agak malam dan diperkirakan sampai Siem Reap bisa Subuh...sudah terang. Sounds like a plan yak hahahaha. Begitulah...akhirnya kami masuk ke dalam bus siang itu yang sebagian besar diisi turis asing. Bagaimana kondisi bus yang kami naiki? Kursinya lumayan gede-gede, formasi dua - satu (makanya kursinya bisa gede ya). Cuma yang agak bikin kurang nyaman adalah di bawah kursi hampir semua ada kardus-kardus yang entah isinya apa. Karena bus ini akan mengantarkan kami lintas perbatasan negara, saya berasumsi ini adalah barang-barang selundupan. Entahlah. Yang lebih kasihan lagi adalah bule-bule yang kakinya panjang, susah untuk selonjor karena tertahan kardus-kardus itu.

Pemandangan selama perjalanan tiak ada yang istimewa, cenderung gersang, panas dan melewati daerah yang secara infrastruktur kelihatannya masih ketinggalan dalam hal pembangunan dibanding kota-kota lain di Asia Tenggara yang pernah saya lalui, atau bahkan dengan kota-kota di Indonesia. Kemana-mana harus memicingkan mata saking panasnya. 

Mendekati perbatasan Vietnam - Kamboja, kondektur meminta paspor kami. Agak waswas juga karena nggak ada omongan apa-apa. Tetapi saat melihat mereka juga meminta turis-turis lain melakukan hal sama, ya sudah kami pasrah menyerahkan paspor tanpa drama. Agak absurd sih ini cara nyebrang perbatasannya. Soalnya benar-benar nggak ada komunikasi antara kru bus dengan kami para penumpang. Yang ada kami disuruh turun, dilepas begitu saja...alhasil kami hanya bisa saling liat-liatan...ini kita mau diapain? 

Jadi saya rangkumkan (supaya tidak saling liat-liatan dengan penumpang bus lain yang juga nggak paham) :
  • Turun dari bus, jangan kemana-mana, ikuti aja rombongan (sementara si kondektur udah gak tau kemana, bus juga udah jalan).
  • Masuk ke gedung utama (bangunan gede satu-satunya) ikut aja turis lain, ntar pasti ada juga yang ikut kita hahaha...sok yakin pokoknya. Saling ikut mengikut.
  • Di bagian depan gedung imigrasi itu ada toilet umum. Bayarnya bisa pakai mata uang Vietnam atau mata uang Kamboja, atau USD. Sampai di sini masih bingung juga, pemeriksaan imigrasi di mana? 
  • Oh ternyata ruangan berikutnya ada loket imigrasi. Kita akan lihat deretan antrean imigrasi. Ada beberapa baris. Lha kalau kita nggak pegang paspor, gimana mau antre ya? Itu juga pertanyaan kami. Sampai kemudian si kondektur yang saat itu mungkin menjadi orang yang paling dikangeni para penumpang bus muncul, udah berdiri manis di samping petugas di loket imigrasi. Jadi rupanya, penumpang bus ini paspornya dikumpulin, lalu distempel bareng-bareng.
  • Apakah kemudian saya antre ? Kagak. Lha wong kalau antre juga, sampai depan belum tentu paspor distempel kok. Makanya cuma menggerombol di belakang bareng penumpang lain. Tapi pastikan pasang telinga ya...karena nama kita akan dipanggil satu-satu.
  • Nah bener kan...penumpang bus dipanggil satu-satu. Agak susah sih mendengarnya. Lebih susah dibanding tes listening untuk TOEFL. Karena mereka kan mengeja nama kita dengan dialek mereka sendiri.
  • Begitu dipanggil, langsung maju aja (potong antrean). Bukan saya mengajari tidak antre, tapi bagaimana lagi wong paspor kita sudah distempel dan harus mengambil ke depan.
  • Setelah itu? Ya udah jalan ke exit gate yang ada di belakang loket...taraaaaa....Anda sudah berada di Kamboja.
Kalau menurut saya, ini adalah pemeriksaan imigrasi paling mudah dan aneh yang pernah saya lalui. Tanpa ditanya, tanpa diperiksa, dan nggak ada tuh metal detector atau apalah. Bahkan model boarding  di stasiun kereta api di Indonesia jauh lebih ketat. Apapun, saya hepi karena nggak ribet. Para penyelundup pun mungkin juga hepi :)

Nah, setelah keluar, bus tadi sudah menunggu kita di sisi dalam. Lalu kami melanjutkan perjalanan, tetapi sekarang sudah masuk wilayah negara Kamboja. Tidak ada yang menarik dan lagi-lagi hanya pemandangan panas dan gersang yang coba saya nikmati. Bus kemudian berhenti di salah satu rumah makan, sama kayak di Indonesia yang bus jarak jauh pakai mampir di rumah makan yang udah kerja sama dengan operator busnya. Kalau bus Solo - Surabaya mampir di rumah makan Duta di Ngawi dan kita nggak bayar lagi, di sini beda. Kita mampir dan silakan urus diri masing-masing. Kalau mau makan ya bayar sendiri. Saya tidak berselera makan, selain memang saya juga selalu tidak makan banyak kalau melakukan perjalanan jauh dengan kendaraan umum, takut minta toilet break karena mules :).

Makanan di sini hampir sama dengan makanan di Thailand menurut saya. Nah, mulai deh dompet saya mules karena harga-harga yang terpampang rata-rata USD 2. Dollar Amriknya mulai berlaku booo...jadi siap-siap melarat. Pengen sih ambil snack-snack gitu...tapi lihat harganya pakai dollar...saya cuma bisa nelen ludah. Pengen juga ambil mangga potong yang dikasih garam dan bumbu cabe itu...tapi lagi-lagi...mundur deh. Selamatkan dollar karena kamu tidak tahu apa yang akan kamu hadapi di Siem Reap !! Begitu teriakan hati kecil saya.

Break berlangsung sekitar 15-20 menit sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju ke Phnom Penh. Sekali lagi nggak ada yang menarik untuk dilihat. Saya memilih untuk nyuri-nyuri tidur saja sambil kadang melirik ke jendela siapa tahu nemu pemandangan ciamik. Cukup membosankan sodara-sodaraaa....

Rencana Berubah

Sekitar jam 4-an sore saya sudah sampai di Phnom Penh. Kota yang menurut saya kurang modern untuk ukuran sebuah ibukota negara. Tetapi Anda bisa mengabaikan penilaian saya, karena saya juga hanya melihat selintas dalam perjalanan menuju ke pool bus. Nah, di pool bus yang serupa ruko-ruko berjajar inilah kami turun. Cita-cita utama adalah cari toilet, belet pipis. Cita-cita kedua adalah cari tiket menuju ke Siem Reap. Setelah diperbolehkan numpang pipis dari salah satu agen bus, saya mulai bergerilya dari satu ruko ke ruko lain mencari tiket bus menuju ke Siem Reap. Kebanyakan zonk alias habis...matiiih !! Bisa rusak rencana yang sudah tersusun rapi. Akhirnya mendapatkan kabar ada satu bus yang berangkat hari itu yang masih menyisakan kursi tetapi harus segera berangkat. Waks !!

Saya tidak punya pilihan lain. Saya pun membayar tiket dan membuyarkan impian untuk nongkrong di Phnom Penh. Tau gini, saya ambil bus terusan HCMC - Siem Reap! Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan saya membayangkan apa yang harus saya lakukan saat tiba di Siem Reap tengah malam itu? Diturunkan di mana? Apakah lokasi tempat saya turun nanti dekat dengan hotel yang sudah saya booking ? Naik apa ke hotel?  Bagaimana kalau saya diperkosa di tengah jalan yang gelap gulita?   Pucet.

Dari pool bus itu, saya masih harus dijemput tuktuk untuk diantar di pool bus lain yang lumayan jauh. Mereka seperti terburu-buru karena bus akan segera berangkat. Nah, selama perjalanan dari pool bus pertama ke pool bus kedua inilah saya sedikit banyak menangkap secuil kehidupan di Phnom Penh. Untuk sebuah ibukota, terlihat kurang bersih, lalu-lintas agak ribet (tidak seribet Vietnam sih), dan jalan yang saya lewati denyut kegiatan ekonomi warganya sangat terasa. Atau jangan-jangan yang saya lewati adalah pasar? Sepertinya sih tidak. Tetapi saya tidak mau mengeneralisasi ya karena saya belum melihat Phnom Penh secara utuh, termasuk apakah ini di pusat kota atau bukan. Apapun, sebenarnya saya tetap bisa menikmati kok kota kecil dengan segala keterbatasannya. Saya tetap bersemangat untuk menemukan hal-hal yang berbeda dari sebuah kota di negara orang.

Saya tiba di pool bus kedua. Saking capeknya, saya tidak bersemangat untuk mendokumentasikan apapun di Phnom Penh...jadi maaf, tidak ada foto yang bisa saya pasang di sini. Di pool kedua ini saya lihat banyak pedagang seafood bakar yang mulai membuka lapak. Seafood-nya segar-segar, pembeli tinggal milih lalu dibakar di alat panggang yang super besar. Saya banyak melihat lapak model beginian saat traveling ke China. Biasanya seafood ini ditusuk semacam sate, tetapi dengan ukuran tusuk yang besar.

Semakin sore dan bus pun melaju menuju ke Siem Reap. Saya mendapatkan tempat duduk di bagian paling belakang pojok kanan. Sangat tidak nyaman dan saya harus melalui 6 jam ketidaknyamanan ini. Selain itu, kursi depan saya yang diduduki seorang gadis, sandarannya soak...njeplak ke belakang karena kunciannya sudah dol...alhasil, dengkul saya yang jadi tumpuan. Pasrah, karena meminta gadis itu tidak menyandarkan punggungnya juga kasian kan...6 jam lho.

Kondisi jalan yang kami lalui tidak terlalu bagus. Banyak yang tidak beraspal, berdebu (cokelat) yang mengganggu jarak pandang, dan ini satu catatan lagi...gelapnyoooo...Kamboja benar-benar minim penerangan. Sebelumnya saya pernah membaca soal minimnya penerangan ini di salah satu blog traveler bule, ternyata benar.

Bus kami berhenti dua kali. Saat menjelang maghrib, masih cukup terang, berhenti di semacam warung, lalu semua turun untuk beli makanan atau snack  (sudah kenal dollar juga, Riel Kamboja buat kembalian saja). Lokasinya agak pinggiran desa gitu. Jangan bayangkan jalan aspal dengan kanan kiri bangunan toko atau semacam itu, ini benar-benar seperti jalanan desa tapi cukup lebar. Lalu bus kembali melaju di jalan yang enjot-enjotan, sebelum malamnya kembali berhenti di sebuah area semacam pool bus di pinggir jalan besar (mungkin jalur lintas nasional) yang sudah beraspal bagus...tapi tetap penerangannya menurut saya kurang. Jalanan juga sudah sangat sepi, tapi toko-toko masih buka. Di sini kami kembali bisa makan atau beli snack...lalu melanjutkan perjalanan. Oya, di jalan-jalan gelap ini kadang bus menurunkan penumpang lho. Saya sudah mikir aja, apakah tidak bahaya? Misalnya saat ada penumpang bus cewek yang saat itu turun di tengah area yang gelap tanpa penerangan, kok berani ya sendirian? Saat saya tengok dari kaca bus, ternyata sudah ada saudaranya menunggu pakai motor. Mau cari tempat terang di mana wong semuanya rata-rata gelap.

Yang saya ingat, sekitar pukul 11.00 malam, kami sudah mendekati wilayah Siem Reap. Suasana agak lebih hidup meskipun malam semakin larut. Lampu-lampu sudah mulai agak terang beberapa titik banyak lampu dekorasi warna-warni. Kami juga melewati sebuah area yang tengah mengadakan audisi The Voice Cambodia, dengan tulisan gede di panggung yang bisa dilihat dari jalan besar.. Diadakan di semacam area terbuka dengan panggung. Mungkin baru audisi awal ya...entahlah. Dan akhirnya, di pinggir jalan yang lumayan agak ramai, saya diturunkan. Saya sendiri tidak tahu apakah sudah sampai di Siem Reap atau belum, yang pasti semua penumpang pada keluar...yaudah hayoook. Rasanya lega sekali menghirup udara malam itu yang cenderung sejuk setelah beberapa jam tersekap di dalam bus.

Begitu keluar, sudah banyak tukang ojek dan tuktuk yang ngantre menawari. Di tengah malam begitu, masih saja saya jual mahal...enggak bang...enggak. Padahal sebenarnya butuh. Menjauh dari keramaian penumpang, saya disamperi seorang sopir tuktuk yang bahasa Inggrisnya lumayan (setidaknya ngerti). Saya sampaikan bahwa saya sudah booking hotel, lalu menunjukkan alamat ke dia. Si sopir bilang itu lokasinya jauh dan agak ke pinggir kota. Sejujurnya, saya tidak tahu apakah dia bohong atau jujur. Tetapi saya sudah tidak mau banyak mikir. Dia menyarankan untuk mencari hotel di sekitar Pub Street  yang bakal mudah ke mana-mana. 

Saya pandangi wajah si sopir yang mirip Bajuri si tukang Bajaj. Badannya pun gemuk persis Bajuri.

Hmmm....sepertinya dia orang jujur persis Bajuri.

Entah karena alasan itu atau karena saya sudah nggak fokus, maka nurut aja naik tuktuknya si sopir itu menuju ke area pub street. Perjalanan sekitar 15 menit menuju ke area pub street. Malam itu suasana area tersebut masih sangat ramai. Kami mencoba memasuki beberapa hotel untuk mengecek kamar dengan diantar si Bajuri. Semuanya fully booked sampai kemudian kami menemukan Angkor Park Guest House. Lokasinya sangat strategis, di pinggir jalan besar (Krong Siem Reap). Jalan ke pasar cenderamata deket, ke pub street, ada juga mall kecil, terus sepanjang jalan itu ada agen bus, supermarket termasuk 7-Eleven, food street komplit dan lain-lain. 

Lebih semacam penginapan. Cukup bersih dan dapat kamar seharga USD 10 tanpa sarapan, ada TV kabel (terbatas), wifi cukupan, kamar mandi yang pintunya rusak hihihi. Tapi AC-nya oke, dan lebih dari itu...lokasi...lokasi...lokasi...itu pertimbangan saya.

Pas ke sana, pintunya sudah tutup, lobby gelap, penjaga tidur, tapi bisa dibangunin. Pintunya tutup tapi tidak dikunci kok, 24 jam kita bisa keluar masuk. Di sinilah saya harus berpisah dengan Bajuri...tapi jangan khawatir, karena besok pagi-pagi benar saya akan bertemu dengan dia lagi untuk mengantarkan saya ke Angkor Watt dengan tarif USD15 seharian...horeeee mahal !! Hahahaha...nggak sih, rata-rata emang segitu, karena jarak dari kota ke Angkor Wat aja sekitar 5,5 km, belum lagi keliling Angkor Wat seharian yang memang sangat luas itu. Lagian saya sudah jauh-jauh ke Siem Reap mosok nggak ke Angkor Wat...iya sih, mahal :(

Dan malam itu, setelah mandi, saya sempatkan cari makan dulu di dekat pub street. Di sini kehidupan 24 jam nggak ada matinya. Saya memilih makan di warung tenda depan 7-Eleven yang sepertinya lezat...bukaaan...tetapi memang yang paling murah di situ, yaitu satu porsi rata-rata USD 2 belum termasuk minum. Iyaaaaa....Siem Reap mahaaal. Saya bersyukur sekali hanya menjadwalkan di kota ini satu hari saja.

Selama di Siem Reap itulah saya menyerahkan sepenuhnya hidup dan mati saya di warung tenda itu....Hidup dua dollaaar !!

Next : Bolehkah saya hidup sampai tua di Angkor Wat?