Kisah lama, sekitar 2004, yang sengaja di-posting lagi. Hanya sekadar "mengingatkan" diriku pribadi dan mungkin berguna bagi orang lain.
Dari Jogja sekitar pukul 19.00 WIB, aku pulang ke Solo dengan Kereta Pramex terakhir. Saat itu Sabtu, Pramex penuh dengan mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di Jogja dan pulang ke Solo. Suasananya biasa saja, seperti layaknya hari-hari biasa, cuma agak lebih padat. Petang itu hujan sedikit demi sedikit luruh dari atas langit. Orang Jawa bilang hujan seperti ini -yang tidak deras dan tidak juga rintik-rintik- dianggap menyebalkan. Pasalnya, hujan kayak gini pasti lebih bisa bikin kepala kita pusing. Nggak tau orang-orang tua kita dapat teori dari mana soal itu. Yang pasti sebagian besar hal itu benar.
Aku duduk di sebelah pintu, berdampingan dengan seorang ibu-ibu usia setengah baya. Di depanku tampak seorang pemuda yang penampilannya seperti mahasiswa (tetapi aku sangsikan hal itu bila melihat tingkahnya), dia dengan nyamannya tidur menyelonjorkan kaki di satu bangku yang sebenarnya bisa untuk bertiga atau minimal berdua. Egois menurutku di saat banyak yang harus berdiri menyeimbangkan badan dengan berpegang pada ring yang tergantung di kereta.
Di tengah rasa kantuk, aku sempat menangkap suatu pembicaraan. Antara kondektur KA dengan seorang penumpang. Samar, tapi nyaris seperti ini kedengarannya.
"Kalau nggak punya uang jangan naik kereta !, gimana? mau bayar tidak ? kalau bayar berarti kena denda, satu lima ribu, kalau tiga lima belas ribu, dendanya satu kali harga tiket, jadi tiga puluh ribu," suara nyaring kondektur.
"Tapi Pak, saya nggak punya uang," jawab seorang laki-laki dengan logat Jawanya yang medhok.
Jawaban itu membangunkan aku, dan aku lihat ternyata semua penumpang di gerbong itu juga melayangkan pandangnya pada pembicaraan tersebut. Aku lihat laki-laki itu, dia menggendong satu anak laki-laki usia sekitar 3 tahunan, dan satu tangannya lagi menggandeng anak laki-laki pula usia 4 tahunan. Pakainya lusuh, dan membawa buntelan kain. Cara berpakaiannya menandakan dia orang dari suatu pondok pesantren tertentu, itu bisa dilihat dari celana panjangnya yang nyaris tiga perempat saja, dan kopiah yang dia kenakan.
Hebatnya, dan ini bikin sesak dada aku (dan mungkin penumpang lainnya), kondektur dengan sigap menyuruh laki-laki itu bangkit dari tempat duduknya, karena dianggap tidak berhak. Sebelum berlalu dari gerbong kami dan melanjutkan pemeriksaan ke gerbong lainnya, satu lontaran sempat dia ucapkan.
"Nanti kalau sampai di Ceper harus turun," tegasnya singkat. Kondektur pergi, semua penumpang hanya mampu melihat laki-laki itu, yang masih menggendong anaknya, sementara satu tangan bergelanyut di ring tempat pegangan, dan anaknya yang satu sekarang merengkuh kaki laki-laki itu untuk berpegangan. Mereka berdiri sekarang, dan kami hanya bisa memandang. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan penumpang lain. Tetapi pikiranku saat itu, aku masih punya uang seratus ribu lebih di kantong. Kalau cuma untuk membayar tiket bagi laki-laki itu dan anaknya, maka lebih dari cukup. Aku berpikir itu sepanjang sisa perjalanan. Bukan perhitungan soal uang yang aku pikirkan. Tetapi bagaimana caranya aku membantu dia tanpa harus dia merasa dikasihani. Perasaan aneh berkecamuk. Kalau bukan aku semoga ada orang lain yang segera bertindak, pikirku kala itu. Sekali lagi bukan persoalan uang bagiku. Tetapi posisi semacam ini sangat-sangat tidak biasa.
Sampai kemudian semua menjadi terlambat. Menjelang Stasiun Klaten, kondektur sudah memberikan aba-aba, menyuruh laki-laki itu segera siap untuk turun. Aku cuma terkesiap, dan mungkin penumpang lainnya. Dan mereka akhirnya benar-benar turun. Aku lihat dari jendela kereta, mereka membelah gelapnya malam dan mungkin berharap ada pertolongan untuk itu.
Hujan masih luruh, tidak begitu derasnya. Tetapi tetap saja menurut orang Jawa itu bisa bikin sakit kepala. Dan aku nggak tahu apakah si Bapak dan dua anaknya tadi sakit kepala juga karena kehujanan. Tetapi aku yakin mereka sakit hati. Sakit hati kepada si kondektur, sakit hati kepada kami semua yang hanya melihat, dan mungkin sakit hati pada hidup mereka....
Aku punya kesempatan menolong, dan aku tidak memanfaatkannya..
Tetapi kalau ada kesempatan kedua, aku akan melakukannya. Tidak hanya sekadar membayar tiket mereka...tetapi juga akan berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang berani menolong orang lain.Karena butuh jiwa besar untuk itu...Semoga saja tidak ada yang mengentengkan arti menolong kepada orang lain lagi seperti aku...walaupun untuk hal yang sederhana sekalipun...
regards,
A
Dari Jogja sekitar pukul 19.00 WIB, aku pulang ke Solo dengan Kereta Pramex terakhir. Saat itu Sabtu, Pramex penuh dengan mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di Jogja dan pulang ke Solo. Suasananya biasa saja, seperti layaknya hari-hari biasa, cuma agak lebih padat. Petang itu hujan sedikit demi sedikit luruh dari atas langit. Orang Jawa bilang hujan seperti ini -yang tidak deras dan tidak juga rintik-rintik- dianggap menyebalkan. Pasalnya, hujan kayak gini pasti lebih bisa bikin kepala kita pusing. Nggak tau orang-orang tua kita dapat teori dari mana soal itu. Yang pasti sebagian besar hal itu benar.
Aku duduk di sebelah pintu, berdampingan dengan seorang ibu-ibu usia setengah baya. Di depanku tampak seorang pemuda yang penampilannya seperti mahasiswa (tetapi aku sangsikan hal itu bila melihat tingkahnya), dia dengan nyamannya tidur menyelonjorkan kaki di satu bangku yang sebenarnya bisa untuk bertiga atau minimal berdua. Egois menurutku di saat banyak yang harus berdiri menyeimbangkan badan dengan berpegang pada ring yang tergantung di kereta.
Di tengah rasa kantuk, aku sempat menangkap suatu pembicaraan. Antara kondektur KA dengan seorang penumpang. Samar, tapi nyaris seperti ini kedengarannya.
"Kalau nggak punya uang jangan naik kereta !, gimana? mau bayar tidak ? kalau bayar berarti kena denda, satu lima ribu, kalau tiga lima belas ribu, dendanya satu kali harga tiket, jadi tiga puluh ribu," suara nyaring kondektur.
"Tapi Pak, saya nggak punya uang," jawab seorang laki-laki dengan logat Jawanya yang medhok.
Jawaban itu membangunkan aku, dan aku lihat ternyata semua penumpang di gerbong itu juga melayangkan pandangnya pada pembicaraan tersebut. Aku lihat laki-laki itu, dia menggendong satu anak laki-laki usia sekitar 3 tahunan, dan satu tangannya lagi menggandeng anak laki-laki pula usia 4 tahunan. Pakainya lusuh, dan membawa buntelan kain. Cara berpakaiannya menandakan dia orang dari suatu pondok pesantren tertentu, itu bisa dilihat dari celana panjangnya yang nyaris tiga perempat saja, dan kopiah yang dia kenakan.
Hebatnya, dan ini bikin sesak dada aku (dan mungkin penumpang lainnya), kondektur dengan sigap menyuruh laki-laki itu bangkit dari tempat duduknya, karena dianggap tidak berhak. Sebelum berlalu dari gerbong kami dan melanjutkan pemeriksaan ke gerbong lainnya, satu lontaran sempat dia ucapkan.
"Nanti kalau sampai di Ceper harus turun," tegasnya singkat. Kondektur pergi, semua penumpang hanya mampu melihat laki-laki itu, yang masih menggendong anaknya, sementara satu tangan bergelanyut di ring tempat pegangan, dan anaknya yang satu sekarang merengkuh kaki laki-laki itu untuk berpegangan. Mereka berdiri sekarang, dan kami hanya bisa memandang. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan penumpang lain. Tetapi pikiranku saat itu, aku masih punya uang seratus ribu lebih di kantong. Kalau cuma untuk membayar tiket bagi laki-laki itu dan anaknya, maka lebih dari cukup. Aku berpikir itu sepanjang sisa perjalanan. Bukan perhitungan soal uang yang aku pikirkan. Tetapi bagaimana caranya aku membantu dia tanpa harus dia merasa dikasihani. Perasaan aneh berkecamuk. Kalau bukan aku semoga ada orang lain yang segera bertindak, pikirku kala itu. Sekali lagi bukan persoalan uang bagiku. Tetapi posisi semacam ini sangat-sangat tidak biasa.
Sampai kemudian semua menjadi terlambat. Menjelang Stasiun Klaten, kondektur sudah memberikan aba-aba, menyuruh laki-laki itu segera siap untuk turun. Aku cuma terkesiap, dan mungkin penumpang lainnya. Dan mereka akhirnya benar-benar turun. Aku lihat dari jendela kereta, mereka membelah gelapnya malam dan mungkin berharap ada pertolongan untuk itu.
Hujan masih luruh, tidak begitu derasnya. Tetapi tetap saja menurut orang Jawa itu bisa bikin sakit kepala. Dan aku nggak tahu apakah si Bapak dan dua anaknya tadi sakit kepala juga karena kehujanan. Tetapi aku yakin mereka sakit hati. Sakit hati kepada si kondektur, sakit hati kepada kami semua yang hanya melihat, dan mungkin sakit hati pada hidup mereka....
Aku punya kesempatan menolong, dan aku tidak memanfaatkannya..
Tetapi kalau ada kesempatan kedua, aku akan melakukannya. Tidak hanya sekadar membayar tiket mereka...tetapi juga akan berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang berani menolong orang lain.Karena butuh jiwa besar untuk itu...Semoga saja tidak ada yang mengentengkan arti menolong kepada orang lain lagi seperti aku...walaupun untuk hal yang sederhana sekalipun...
regards,
A