Sunday, April 8, 2018

Jalan-jalan ke Lasem Part 2: dari Rumah Batik Bu Kiok, Hingga Tegel Fabriek Lie Thiam Kwie

Melanjutkan cerita di postingan sebelumnya, setelah mengunjungi Kuil Cun An Kiong dan Rumah Candu, di hari yang sama kami mengeksplorasi Lasem, Kabupaten Rembang, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Rumah Batik Bu Kiok. Sebenarnya jarak antara satu rumah dengan rumah lain tidak terlalu jauh. Di sepanjang jalan menuju ke Rumah Batik Bu Kiok, kami melihat sejumlah rumah-rumah kuno yang keren-keren, dengan pintu-pintu kecil maupun besar yang vintage banget. Sudah kebayang ini lokasi paling cocok buat setting film berlatar belakang sejarah gitu. 

Rumah Batik Bu Kiok
Dengan model rumah yang dikelilingi tembok tertutup dan pintu rapat di tengah, Rumah Batik Bu Kiok ini masih terjaga bener keasliannya. Saking aslinya, banyak perabotan yang sudah moprol alias rusak berat masih dipajang. Tapi menurut saya itulah kerennya. Kalau cari yang baru dan bagus mah banyak, kalau yang begini kan susah. Apalagi asli dari jaman jebot. 



Begitu masuk, seketika saya seperti dilempar ke masa lampau (mulai kumat!). Menghirup debu apeknya. Memandang foto buramnya. Mencermati setiap retakan pigura, brodolan rotan di kursinya, hingga menapaki ubinnya yang kuno dan berdebu. Semua benda seperti bercerita tentang kejayaan pemilik rumahnya, setiap persoalan yang pernah ada di hidup mereka, kegembiraan di masanya, menceritakan waktu dan masa. Ndak tau ya, masuk di dalamnya saya seperti tengah menyusun sendiri cerita di benak saya. Jadi dulu pasti begini, jadi mungkin ini adalah itu, jadi begini, jadi begitu, ono ini ono unu kucrut kalau kata Mbak Iis Dahlia. Kadang saya lebay dengan menyusun dialog sendiri antara gambar perempuan dengan lelaki di foto. Kebiasaan bikin fiksi kebawa. 

Dalam satu pikiran, kadang tiba-tiba saya berandai-andai seperti berubah menjadi Tan Peng Liang, musisi dan juga pedagang tembakau Kiau Seng dari Semarang yang datang ke Lasem mau mencari Tinung. Karakter-karakter di film Cau Bau Kan itu memang sering langsung nyantol di benak saat masuk ke rumah Tionghoa Peranakan. Tapi soal scene ngejar Tinung ke rumah itu nggak ada kok di film. Itu khayalan saya.

Oya, kami masih ditemani Mas Pop. Nah, dari ruang depan ini, kami diajak ke bagian belakang rumah melalui lorong sempit di samping rumah. Temboknya di-labur atau cat kapur putih. Khas tembok lawas. Begitu masuk ke dalam, ada beberapa ibu-ibu sepuh dan separuh baya yang tengah membatik. 

Omong-omong soal batik, di Rumah Batik Bu Kiok ini setiap pembatik hanya mengerjakan satu motif saja selama bertahun-tahun lho. Saat saya tanya kenapa? Ya memang sudah begitu dari dulu. Duh, saya berharap ada alasan yang lebih seru. Tetapi dalam hemat saya sih, itu untuk spesialisasi ya. Jadi ibaratnya membatik sambil merem pun jadi saking jagonya mereka membatik satu motif selama bertahun-tahun. Saya sempat mendapat cerita beberapa motif batik Lasem. Tapi saya lupa mencatat, karena sibuk melihat proses membatik yang dilakukan ibu-ibu ini. Yang saya tahu, batik Lasem memiliki motif yang masih belum terdokumentasi dengan baik. Beberapa di antaranya seperti kupu-kupu, burung hong, serta berbagai bunga. Beberapa lokasi sentra batik memiliki motif kawung juga. Satu hal, motif batik Lasem sangat dipengaruhi budaya Tionghoa Peranakan. Hal ini tampak dalam akulturasi simbol-simbol Tionghoa-Jawa.




Batik produksi di Rumah Batik Bu Kiok dipasarkan ke Surabaya. Tetapi tidak tahu dipasarkan dengan cara apa, karena semua sudah di-handle oleh ahil waris Bu Kiok. Jadi mereka hanya tahu bekerja, lalu mengirimkan hasilnya, dan dibayar per hari. Mereka tidak boleh menjual batik ke wisatawan. Itu awalnya. Namun karena banyak permintaan dari wisatawan, akhirnya mereka minta izin untuk menjual batik buatan mereka ke wisatawan. Ternyata diperbolehkan. Kalau mau pesen bisa lho. Harga Rp 1.250.000 per lembar batik. Namun harus pre order dan selesai sekitar sebulan. Tidak semua orang boleh pesan. Yang bisa pesan adalah mereka yang pernah datang ke sini secara langsung. Nah!

Roemah Oei
Berikutnya kami mengunjungi Roemah Oei yang lokasinya hanya sepelemparan kolor dari Rumah Batik Bu Kiok. Cuma, Roemah Oei lokasinya lebih strategis karena di pinggir jalan besar. Nothing much to see di sini karena meskipun ini juga rumah kuno, namun sudah mengalami renovasi besar-besaran. Pemiliknya adalah generasi ketujuh Keluarga Oei, seorang pedagang besar di Lasem pada jamannya. Namun, lokasi ini menurut saya cukup menarik di sisi lain. Pertama, pemiliknya visioner banget, dia sudah menangkap peluang bahwa Lasem akan menjadi destinasi seksi, khususnya wisata heritage.


Saya sempat berbincang-bincang dengan pemiliknya. Diajak ke belakang rumah, di sana dia sedang membangun semacam homestay yang bagus dan bertingkat. Dalam beberapa bulan ke depan, bangunan bagus itu direncanakan akan beroperasi. Mereka juga akan memasukkan homestay mereka ke agen booking hotel daring. Yang mau ke Lasem, catet deh...Homestay Roemah Oei.



Kedua, mereka juga menjadikan halaman depan rumahnya yang rindang menjadi cafe. Di samping gerbang utamanya yang menghadap jalan terdapat semacam warung atau tempat pegawai melayani para pengunjung cafe. Sementara itu di bagian halaman dalam terdapat beberapa tempat duduk, kebanyakan kursi seng ala jaman dulu yang kerap dipakai untuk resepsi pernikahan, serta beberapa meja panjang. Banyak anak-anak muda setempat yang memanfatkan cafe ini untuk berkumpul. Nah, yang lebih istimewa lagi menurut saya adalah es sirup kawista-nya. Sirup kawista sendiri masih asing di telinga saya, makanya saya langsung nyoba. Rasanya segar seperti bersoda. Agak kecut dan manis. Enak diminum untuk menghalau panasnya Lasem. Roemah Oei menurut saya cocok untuk break di sela-sela city tour. 

Tegel Fabriek Lie Thiam Kwie:
Saat ada daftar kunjung ke pabrik tegel Lie Thiam Kwie, saya langsung bersemangat. Saya pecinta tegel atau ubin-ubin lawas yang banyak saya temui di bangunan-bangunan tua atau bangunan cagar budaya. Ornamennya yang cantik, colorful, menawan hati. Hal itu yang awalnya terbayang di benak saya. Lalu berangkatlah kami ke sana.


Tetapi sampai di sana, agak sedikit keluar dari ekspektasi saya. Yang saya lihat sih memang ada bekas-bekas pabrik ini menggarap tegel-tegel lama. Tetapi yang dikerjakan sekarang adalah membuat paving block  model baru. Jadi kurang menarik. Tetapi mungkin ini mereka lakukan agar terus bisa bertahan di tengah kemajuan jaman ya. 

Lokasi pabrik tegel ini luas banget. Kelihatan banget ini pemiliknya dulu kaya raya. Rumah utama di kunci, tidak bisa masuk. Hanya kita bisa masuk ke area teras bagian belakang rumah utama. Di sini masih bisa kita lihat beberapa contoh tegel yang pernah mereka bikin pada masa lalu. Digeletakkan sekenanya, yang membuat saya ingin mengambil dan merawatnya hahahaa. Jiwa cemolong saya tiba-tiba birahi. Maksud saya, itu kan "penanda sejarah", kenapa tidak dirawat atau di-display lebih layak? Ya nggak tahu juga sih, mungkin memang ahli warisnya mau move on melanjutkan hidup di jaman sekarang, dan masa lalu biarlah masa lalu...(bacanya sambil nyanyi ya?)



Di bagian belakang ini terdapat halaman luas dengan pohon-pohon tinggi. Lalu masuk lagi ke dalam ada ruangan besar yang menjadi tempat produksi tegel yang sekarang berubah menjadi tempat produksi paving block.

Museum Nyah Lasem:
Perjalanan berikutnya, kami diajak Mas Pop, menuju ke Museum Nyah Lasem. Udah kebayang betapa serunya. Kami diajak memasuki sebuah rumah lawas yang terkunci, dengan rumput halamannya sudah tinggi, beberapa tanaman merayap di pintu depan atau pagar. Lho? mana museumnya ?

Ternyata ini adalah rumah milik pribadi, yang kalau boleh saya sebut adalah cikal bakal museum. Jadi ada keinginan dari ahli waris pemilik rumah ini yang ingin mendokumentasikan barang-barang peninggalan yang dimilikinya ke dalam sebuah museum. Tetapi memang kelihatan masih dalam tahap penyempurnaan.





Di dalam rumah ini terdapat beberapa ruang yang di dalamnya dipasang beberapa koleksi milik pribadi pemiliknya. Belum banyak sih, beberapa di antaranya mata uang, surat-surat korespondensi dagang, perangko, serta beberapa fotokopian berkas. Meskipun disebut museum, tidak ada pengelolaan khusus. Makanya saya pikir ini lebih ke cikal bakalnya sih. Tidak banyak yang bisa kita lihat, tak banyak cerita, dan saya masih penasaran kenapa namanya Museum Nyah Lasem. Don't get me wrong, saya tidak mau nyinyir, karena apapun itu saya tetap menikmati setiap detil kunjungan saya di rumah ini dan mengapresiasi pemiliknya yang ingin mendirikan sebuah museum. Untuk masuk ke sini tidak ada loket, karena kami diajak oleh Mas Pop sebagai pemegang kunci rumah. 

Oya, di rumah samping dari Museum Nyah Lasem ini juga ada semacam selasar yang disekat beberapa kamar yang disewakan. Harganya murah meriah lho, hanya Rp 50.000 per malam (kalau belum naik ya...cek lagi). Cocok yang memiliki jiwa pemberani dan tangguh hahahah dan tak mengenal "lambaikan tangan tanda menyerah". 

Perjalanan kami dipungkasi di Museum Nyah Lasem karena hari sudah mulai beranjak sore. Rencananya setelah dari Lasem kami akan menuju ke Pantai Karang Jahe, masih di Rembang juga. Sebelum ke Pantai Karang Jahe, kami sempatkan mampir makan lontong tuyuhan. Karena ini saya nulisnya malem-malem dan pas lagi laper tapi males keluar, saya skip cerita tentang lontong tuyuhan ya. Takut makin laper.

Dari seharian kami jalan-jalan ke Lasem, ini beberapa point yang mungkin berguna bagi Anda yang merencanakan ke Lasem:

1. Datang berkelompok akan lebih baik karena bisa patungan bayar guide. Seperti saya sebutkan di tulisan awal, guide adalah aspek penting dalam jalan-jalan ke Lasem karena Lasem itu value-nya di cerita sejarahnya. Okelah, dirimu mungkin bisa bilang "googling kan bisa". Iya bisa. Tetapi problemnya, spot-spot yang kita masuki di sana adalah rumah-rumah perseorangan. Guide adalah orang yang dipercaya pemilik rumah untuk "membukakan pintu" bagi wisatawan. Itu bukan hal mudah dan kita harus apresiasi. Setiap rumah di sini punya cerita, dan seorang guide membantu kita mentransfer informasi tersebut dari ahli waris dan data-data lainnya. Itu pekerjaan yang patut diapresiasi dengan cara kita menggunakan jasa mereka. Lagian, kalau mau datang sendiri juga nggak gampang kok. Kalau nggak dikunci pintu depannya, ya ketemu anjing penjaga. Nah lho!

2. Untuk efisiensi waktu, buat daftar spot yang akan dikunjungi. Kalau kebanyakan, coret yang sekiranya hampir sama. Pilih beberapa spot yang berbeda, variatif. Khususnya ini yang cuma oneday trip kayak kami. Kalau punya waktu banyak sih, silakan monggo saja mau berapa spot.

3. Lasem itu panas. Maklum pesisir kan. Makanya pakai kaos aja, yang simple-simple, adem, menyerap keringat. Cuaca panas di Lasem bisa jadi alasan menggunakan kacamata hitam keren kita lho....hehehe. Alih-alih takut dibilang nggaya. 

4. Bawa duit cash yang cukup deh. Karena lokasi ATM juga jarang. Bawa duit pecahan juga, misalnya lima ribuan, sepuluh ribuan, untuk donasi di tempat yang akan kita kunjungi. Bensin juga di-full tank ya. Takutnya kayak Mas Pop, guide kami yang kehabisan bensin hahaha. Peace, Mas Pop!

5. Lainnya apa ya? Tanya aja deh di comment kalau memang ada yang mau ditanyakan. 

Akhirnya, tunai sudah janji bakti saya untuk menuliskan cerita jalan-jalan ke Lasem. Dari tulisan saya ini, kalau ditanya apakah saya mau balik lagi ke Lasem kalau ada kesempatan? Saya bilang MAU. Artinya, bagi saya sebagai pecinta heritage, Lasem itu menawan. Anda pecinta heritage juga? Ya sudah, rencanakan segera ke sana. 


Cheers,

Ariy

Monday, April 2, 2018

Jalan-jalan ke Lasem Part 1: Kuil Cu An Kiong dan Kisah Dahsyat Rumah Candu

Seperti yang sudah saya tuliskan di bagian persiapan jalan-jalan ke Lasem, jalan-jalan kali ini ditemani oleh guide asal Lasem, yaitu Mas Pop dari HeritagePop. Percayalah, tanpa guide, jalan-jalan ke Lasem itu nggak bakal dapat feel-nya. Mungkin kita bisa mendapatkan informasi dari internet, tetapi ada hal-hal yang internet tidak bisa lakukan. Nanti bakal tahu apa itu.

Jadi kami janjian ketemu dengan Mas Pop di Kuil Cu An Kiong. Begitu mobil kami sudah masuk ke  jalur Pantura Lasem, GPS langsung bisa menemukan lokasi kuil. Kuil Cu An Kiong mudah dicapai meskipun kami sedikit kebablasan gara-gara GPS-nya rada menyesatkan. Di Kuil Cu An Kiong inilah kami bertemu dengan Mas Pop yang super ramah dan humoris. Di sini kami juga dikenalkan sama Pak Gandor, beliau ini adalah guide khusus yang rencananya akan mendampingi kami di Kuil Cu An Kiong dan Rumah Candu.

Kuil Cu An Kiong

Mudah sekali menemukan kuil ini, karena lokasinya tidak jauh dari jalan pantai utara, yang melintas di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Semakin mudah karena warnanya yang ngejreng: shocking pink !! Kuil ini berada di Jl Dasun No. 19, Lasem, dan konon merupakan kuil tertua di Jawa dan sempat menjadi persinggahan Laksamana Cheng Ho.


Gerbang Kuil Cu An Kiong


Penampakan Kuil Cu An Kiong dari depan. Abaikan manusianya
Menurut penuturan Pak Gandor, ada rekannya yang sempat pergi ke Den Haag, Belanda dan mampir ke sebuah museum khusus Indonesia. Di sana dia menemukan ada peta Lasem yang bertuliskan tahun 1477. Pada peta itu tercantum juga Kuil Cu An Kiong. Hal ini berarti pada saat itu kuil ini sudah eksis.

Lokasi kuil ini memang strategis karena berada di dekat Sungai Lasem (seberangnya). Hal ini yang membuat banyak saudagar yang bersandar di pantai untuk mampir ke sini dengan menggunakan perahu melalui akses sungai ini. Tak terkecuali, konon, Laksamana Cheng Ho juga. Tuan rumah kuil ini adalah Makco Thian Siang Sing Bo atau Dewa Laut. 

Gerbang Kuil Cu An Kiong difoto dari sisi dalam
Di Indonesia, dari beberapa kuil yang saya pernah datangi, ini salah satu kuil yang menarik. Kecil, namun interiornya cukup indah, disamping warna catnya yang jambon itu. Pada bagian dalam kuil ini yang menarik perhatian saya diurutkan dari ranking satu menurut selera saya adalah: lukisan dinding, ubin, lukisan kayu, serta tiang. Saya tidak tahu maknanya di balik pemilihan motif, arti lukisan, arti tulisan di tiang, dan lain sebagainya. Butuh waktu banyak untuk mengulik semua itu. Tetapi saya yakin ada maknanya di balik keindahan yang ditampilkan.






Nah, kalau menurut saya, jika Anda ingin jalan-jalan ke Lasem, saya sarankan untuk mampir ke sini. Kuil Cu An Kiong ini bisa menjadi tujuan pertama sebelum kemudian kita pindah ke Rumah Candu yang jaraknya cuma sepelemparan kolor dari kuil ini. Oya, Kuil Cu An Kiong ini dulu pernah digunakan untuk syuting film "Cau Bau Kan". Ke Rumah Candu ini kita harus bareng dengan Pak Gandor sebagai guide khusus karena memang kuncinya yang pegang beliau. 

Rumah Candu:

Nah, mulai tahu kan kenapa kita butuh guide ? selain memang mereka yang cukup mengerti cerita di balik peninggalan sejarah ini, sebagian besar tempat menarik di sini memang masih milik perseorangan, terkunci, atau kalau terbuka setidaknya kita harus kula nuwun atau bersama dengan orang yang sudah kenal akrab dengan penghuni atau pengelolanya. 

Seperti di Rumah Candu yang memang lokasinya dikelilingi tembok dan kalau kita sendirian jalan-jalan ke Lasem pun susah untuk nemu. Ini semacam rumah biasa (yang dikosongkan), namun dalam sejarahnya menyimpan cerita yang luar biasa.

Selamat Datang di Rumah Candu
Rumah Candu adalah rumah milik Liem Kim Siok. Rumah yang dikelilingi tembok dengan pintu rapat ini memang tidak lagi berpenghuni. Hanya kadang beberapa tamu berkunjung dan menginap di sini ditemani pengelolanya. Halamannya luas dan begitu masuk kita akan disambut gonggongan anjing. Ada dua ekor anjing yang menjaga rumah tersebut. Ada yang sudah mati juga karena digigit ular. Kata Pak Gandor, halaman samping dan belakang yang banyak ditumbuhi pohon jati itu memang banyak ular kecil-kecil, hijau tetapi mematikan. Langsung saya mengkeret.

Rumah Candu biasa disebut juga Rumah Lawang Ombo. Rumah ini menjadi saksi pusat penyelundupan candu atau opium di Jawa. Sungai Lasem yang mengalir tak jauh dari rumah ini menjadi akses penyelundupan dari kapal ke darat. Ada jalur tikus berupa terowongan yang berada di belakang rumah yang menghubungkan dengan lokasi dekat sungai. Terowongan inilah sebagai jalan untuk memasok candu ke dalam rumah. Mantapsss ya. 


Mulut terowongan sebagai akses penyelundupan candu


Konon sekitar tahun 1880, pemilik rumah yaitu Liem Kim Siok adalah seorang syahbandar yang juga melakukan kegiatan menyelundupkan candu dari Tiongkok. Candu-candu ini konon ditukar dengan senjata untuk digunakan melawan penjajah Belanda. Jadi sebenarnya dari cerita ini pun terlihat peran etnis Tionghoa dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda pun ada. 

Menurut cerita Pak Gandor, aksi penyelundupan ini sempat tercium Belanda. Mereka pun melakukan pengecekan ke Rumah Candu namun tak menemukan apapun. Cuma saat sampai di belakang rumah mereka menemukan area kuburan pribadi di sana. Pemilik bercerita bahwa kuburan itu adalah kuburan mereka yang terkena penyakit menular. Mendengar itu, Belanda langsung kabur dari lokasi. Padahal sebenarnya kuburan itu adalah kuburan kosong, yang sengaja dibuat untuk mengelabui Belanda...pfiuuhhh...what a story ya !

Halaman belakang rumah yang terdapat kuburan palsu

Salah satu sudut Rumah Candu
Oya, rumah ini sekarang sudah berpindah ke tangan perseorangan. Pak Gandor sempat bercerita tentang pernah ada anak cucu keturunan Liem Kim Siok yang mengunjungi lokasi, tujuannya untuk mencari makam leluhurnya tersebut. Tetapi setelah itu saya tidak terlalu menyimak apakah kuburannya ketemu atau tidak, karena saya sudah terdistraksi hawa rumah itu yang rada gimana. Nah, tantangan juga nih, kalau ada yang memang punya nyali dan terbiasa dengan "teman-teman tak kasat mata", boleh kok nginap di sini. Ada satu ruangan khusus yang memiliki kamar tidur bisa dipakai untuk menginap. Kalau saya sudah melambaikan tangan tanda menyerah saja ya.

Kata Pak Gandor, Rumah Candu ini pernah menjadi lokasi syuting acara tv yang serem-serem itu. Beberapa pengunjung yang punya indera ke enam juga banyak yang bisa melihat atau bahkan berkomunikasi dengan "teman-teman tak kasat mata" itu. 

Ini Pak Gandor. Beliau sedang bercerita sambil nakut-nakutin kita. 
Meskipun saya belum menuliskan semua tempat mana saja yang saya kunjungi di Lasem, namun saya sudah bisa memastikan, Rumah Candu ini adalah highlight trip saya kali ini. Bukan tampilan fisiknya yang indah atau instagramable karena memang jauh dari itu, tetapi lebih dari itu saya mendapatkan pengetahuan baru yang keren, cerita yang luar biasa di balik keberadaan Rumah Candu. Saya sudah pesimistis akan mendapatkan cerita yang lebih kuat dari Rumah Candu pada spot berikutnya. Kita lihat saja entar di part 2 dan apakah Anda akan sependapat dengan saya.

Setelah mendapatkan cerita banyak dari Pak Gandor yang super ramah. Kami menutupnya dengan foto-foto bersama dan saya dalam hati berdoa agar tidak ada penampakan nyempil di foto bersama ini. Selanjutnya kami berpamitan dengan tangisan haru karena harus berpisah dengan Pak Gandor (kalimat yang terakhir ini bohong). Terima kasih Pak Gandor atas keramahan, cerita-cerita supernya, serta teh botol dinginnya yang gratis :)

Sampai jumpa di part  2 ya. Cheers.

Ariy