Monday, April 30, 2012

Suatu siang di Kampung Ampel Surabaya. (Foto: Dofont)
Bagi penulis, tidak ada yang lebih membahagiakan selain buku kita dibeli, dibaca, dan akhirnya bermanfaat bagi orang. Saat di-tag seorang teman dari Kuala Lumpur pada foto ini, hati saya tentram sekali.  Dua orang tengah menyibak keramaian Kampung Ampel, dan salah satunya memegang buku panduan "Travelicious Surabaya-Malang-Madura" yang merupakan buku ke empat saya. Foto ini obat mujarab bagi saya,dari beberapa hujatan dari pengarang perjalanan lain, institusi, dan orang yang tidak suka guide books atau khususnya buku-buku saya. Melegakan. Melihat foto ini, semangat menulis saya dan berbagi kisah traveling malah menjadi-menjadi. Fokus saya akan sangat jelas, traveling, menulis, berbagi kepada Anda, dan tujuan akhirnya adalah semoga semua yang saya bagi berguna bagi Anda. 

Regards,

A

Friday, April 27, 2012

TraveLove - Jelajah Indahnya Dunia, Indahnya Cinta

Hari ini mendapat email dari editor saya di Bentang Pustaka, bahwa TraveLove akan segera terbit dalam waktu seminggu ke depan. Akhirnya....seperti kelegaan orang yang mau melahirkan.

Bagi saya, setiap buku selalu memberikan kebanggaan tersendiri. Empat buku saya semua adalah buku yang saya  tulis sendiri. Buku kelima saya, Travelicious Medan adalah buku pertama saya bekerja sama dengan orang yaitu Ajie Hatadji. Dan TraveLove adalah buku penanda saya bekerja sama dengan banyak orang untuk pertama kalinya. Ini menjadi buku ke enam saya secara resmi.

Enam buku sudah saya selesaikan, dan bagi saya ini pencapaian pribadi yang luar biasa, meskipun saya juga tahu banyak hujatan atas buku-buku saya (khususnya guide book) dan ada yang menyebutnya sebagai rubbish books. Saya terima, saya doakan yang terbaik bagi para haters saya :). Diakui atau tidak, haters membuat orang menoleh ke saya...serius. Jadi jangan disangka Tuhan menjadikan orang sebagai hater supaya mereka berdosa saja, bukan....mereka ada gunanya kok. Mereka membuat saya terus belajar dan belajar. Selain itu, fakta di lapangan, buku yang dihujat, dianggap sesat, dicaci maki, justru buku yang banyak dicari. Bukaaan...saya pribadi tidak menginginkan buku saya dihujat, tapi apa mau dikata, nasib saya memang harus dihujat hehehe., meskipun catet yaa...saya tidak pernah menghujat buku orang. Tuhan Maha Mendengar, buku saya laris. Lebih membanggakan lagi, saya menginspirasi banyak orang untuk memulai langkah pertama mereka menuju traveling sebenarnya. Saya banyak menerima email, pesan di social media, bahwa buku saya membuka mata mereka, bahwa traveling murah bukanlah hal mustahil. Banyak yang ingin ketemu saya, mengucapkan terima kasih, bahkan ada ibu-ibu di Jakarta yang bela-belain telepon ke penerbit di Jogja untuk meminta no hp saya, dan akhirnya benar...kami bertemu tahun 2010 akhir, dan bertemu lagi di tahun 2011. Gara-garanya cuma dia baca buku China saya, dan akhirnya dia jalan ke sana. Saya dijamu di restauran besar miliknya yang dikelola sang anak.

Dan sekarang tanpa sadar, saya sudah sampai di buku ke enam TraveLove. Buku ini muncul dari diskusi saya dengan Trinity "The Naked Traveler" dan travel writer Rini Raharjanti. Jadi, pilih-pilih teman itu memang ada pentingnya ya...saya selalu menghindari orang-orang yang memberikan efek negatif ke saya, orang yang memandang dunia secara negatif, karena itu akan memberi efek negatif juga pada cara saya memandang dunia. Nah, Trinity dan Rini adalah beberapa dari banyak teman, yang selalu memberikan efek positif bagi saya. Saya banyaaaak belajar dari Trinity tentang apapun, tidak hanya tentang buku, tetapi tentang dunia.  Dengan Rini, saya mendapatkan teman diskusi yang tak kalah tangguhnya. Dengan latar belakang masing-masing, termasuk kultur, kami adalah partner hebat dalam diskusi, setidaknya itu menurut saya. Bagi saya, dua orang ini sudah satu frekuensi dengan saya. Saya tentu bangga memiliki teman-teman mereka. 

Kami adalah kalong. Setiap malam pikiran kami berputar. Kami mendiskusikan apa saja. Dari film, musik, buku, hingga tren di masyarakat. Tetapi kami bukan tipe orang-orang yang hidupnya habis buat berdiskusi tetapi lupa implementasi. Jadi kami berpikir, kami harus terus berkarya. Sampai kemudian, kami berpikir untuk membuat satu buku bareng. Kami mencoba berdiskusi untuk mencari satu hal saja...satu hal yang menghubungkan orang di dunia ini. Jawabnya adalah CINTA! 
 
Cinta adalah sesuatu yang tidak pernah habis untuk dikupas, dinikmati, diteliti, dikuliti, ditangisi, ditertawai, dan semua orang pernah mengalaminya. Kami akhirnya memilih ide besarnya itu. Lalu karena kami semua adalah travel writers, maka kami sepakat akan membuat buku soal cinta dan traveling. Diskusi sampai Subuh itu seru sekali, kami menggali semua kemungkinan ide, dari yang terkonyol, terjelek, tergaring, sampai akhirnya kami memutuskan : TraveLove adalah judul buku yang akan kami buat.

Persoalan lain muncul, bagaimana kami akan membuat buku, dengan standar jumlah halaman untuk layak disebut buku? sementara untuk menulis banyak, Trinity jelas dia sangat sibuk. Waktu itu saya juga tengah mempersiapkan Travelicious Medan, sementara Rini kerjaan kantornya berjibun. Akhirnya kami menyepakati ini akan menjadi sebuah antologi. Menyerahkan ide matangnya ke penerbit, dan biarkan penerbit mencari penulis-penulis tambahan.

Melalui email bersama, kami sampaikan penawaran ke penerbit, dan dengan cepat mendapatkan respons positif. Lalu bergabunglah sejumlah travel writers untuk memberikan kontribusi tulisan: Claudia Kaunang, Sari Musdar, Andrei Budiman, Rei Nina, Salman Faridi, dan Lalu Abdul Fatah.

Bagian masing-masing disepakati sebagai sebuah cerita hasil pengalaman pribadi penulis, terkait cinta dalam arti universal. Cinta kepada ayah, ibu, teman, cewek, cowok, dan lain sebagainya., serta apapun itu. Dan disepakati, setting-nya boleh di mana saja di belahan dunia manapun. Ini menawarkan eksplorasi dunia dan eksplorasi hati sekaligus. Saya pribadi cukup puas dengan hasil yang saya tuangkan di sini. Selanjutnya menjadi bagian Anda untuk menikmati dan menilai karya-karya kami.

Sempat pending  beberapa saat, akhirnya....buku ini kelar dicetak juga. Di buku ini, Anda akan bisa melihat sisi romantis para travel writers, yang biasanya terkesan tangguh, bisa jadi terlihat mellow. Intinya, buku ini akan mengajak kita untuk menjelajahi indahnya dunia, indahnya hati dan indahnya CINTA. :)

Selamat membaca,

A

Tuesday, April 24, 2012

Guide Books adalah buku sesat? (part 2-versi akademisi)



Judul asli:  Buku Panduan Perjalanan 2 Jutaan; Sesatkah?

-by. Sony Kusumasondjaja, PhD in Tourism Marketing, Curtin University, Australia -

Sore tadi, saya dikejutkan dengan sedikit “keributan” di timeline Twitter saya. Tiga orang penulis perjalanan (travel writer) yang saya ikuti saling berkicau berbalas-balasan – isi kicauan mereka intinya bersumber pada sebuah posting pada media blog yang mereka anggap isinya menyerang mereka secara membabi buta.

Blog yang mereka resahkan bernama Hifatlobrain (http://www.hifatlobrain.net/p/about.html) – sebuah media yang ditujukan untuk berbagi pengalaman jejalan. Hifatlobrain sendiri mendefinisikan diri mereka sebagai sebuah “institusi travel” (whatever that means :d) dan berbasis di Surabaya. Posting yang mereka bicarakan adalah salah satu blogpost di Hifatlobrain berjudul Dangkal (http://www.hifatlobrain.net/2011/08/dangkal.html). Di tulisan yang cukup pendek itu, sang penulis menyatakan dengan eksplisit bahwa buku-buku panduan perjalanan (travel guide) untuk yang ditujukan untuk pelancong backpackers atau budget travelers itu dangkal, menyesatkan, dan memuakkan. Alasan yang dikemukakan oleh penulis adalah karena buku-buku tersebut (yang biasanya bertajuk Rp 500 Ribu Keliling Singapura, atau Rp 2 Juta Keliling China Selatan dalam 16 Hari, dan yang sejenisnya) tidak memasukkan biaya penginapan dan biaya tak terduga dalam anggaran biaya perjalanan. Si penulis juga menyebutkan bahwa para penulis buku-buku yang dia sebut sebagai buku-buku sesat ini 100% mengandalkan layanan inap gratisan – sehingga mereka bisa menyodorkan anggaran yang (bagi mereka) mustahil itu.

Poin yang disorot dalam postingan blog Hifatlobrain ini memang selalu dianggap poin sesat pada buku-buku panduan budget traveling. Saya sendiri heran, apakah penulis postingan berjudul Dangkal itu memang benar-benar pernah membaca buku-buku panduan travel guide sih..? Kalau memang ia belum pernah membaca buku-buku tersebut, bagaimana mungkin ia bisa melontarkan kritikan..? Dan kalau memang ia sudah pernah membacanya dengan teliti, kok bisa ia menuding bahwa penulis buku-buku panduan budget traveling itu tidak memasukkan biaya penginapan..? Lha wong saya lihat dan saya baca sendiri, buku-buku panduan seperti itu selalu menyajikan informasi tentang biaya penginapan dalam buku-buku mereka. Beberapa para penulis buku perjalanan budget traveling memang menjelaskan bahwa mereka lebih suka menggunakan layanan komunitas backpacker dunia seperti Couchsurfing – yang memang menyediakan social networking untuk para backpacker dengan menyediakan penginapan gratis, dengan syarat-syarat tertentu. Namun, meskipun demikian, penulis buku-buku tersebut selalu menyisipkan informasi tentang anggaran penginapan murah di kota tersebut. Saya jadi berpikir, lha lalu yang disebut-sebut sebagai buku sesat karena tidak menyajikan informasi penginapan dalam anggaran perjalanan itu buku yang mana ya..? Jangan-jangan, kritikannya diucapkan asal bunyi. Coba deh, sebelum melontarkan kritikan pedas dan menyebut buku dengan stempel “sesat”, baca dulu bukunya dengan teliti. Konfirmasilah penulisnya tentang hal-hal yang tidak kita mengerti – diskusi tentu akan membuat segala hal yang tidak jelas menjadi lebih mudah dipahami.

Pertanyaannya, pernahkah orang-orang yang sering menuding penulis buku-buku panduan budget traveling sebagai penulis sesat itu melakukan konfirmasi dan mengajak diskusi dengan para penulis tersebut..? Apakah penulis blogpost berjudul Dangkal itu (yang setahu saya juga mengaku sebagai seorang penulis tapi saya belum pernah lihat atau baca tulisan/buku-buku karyanya) juga pernah melakukan diskusi sendiri dengan penulis buku-buku yang ia anggap sesat itu..? Jangan-jangan, ia menganggap “sesat” itu hanya berdasarkan prinsip “kayaknya” atau “katanya orang lain” saja.

Sebenarnya cercaan dan hinaan kepada penulis buku-buku panduan perjalanan beranggaran rendah seperti ini sudah lama adanya. Hal lain yang sering dicerca adalah masalah judul buku. Judul buku-buku panduan tersebut dianggap menipu dan menyesatkan. Memang, judul buku-buku yang dimaksud terkesan bombastis; misalnya Rp 2 Juta Keliling Thailand, Malaysia, dan Singapura, atau Rp 2 Juta Keliling Makau, Hongkong, dan Shenzhen, atau Rp 2 Jutaan Keliling Vietnam dalam 15 Hari, dan sejenisnya. Banyak orang yang menganggap bahwa tidaklah mungkin seseorang bisa bepergian keliling Singapura dalam 3 hari 2 malam dengan biaya Rp 500 ribu, atau melancong keliling China Selatan dalam 16 hari dengan biaya hanya Rp 2 juta (tidak termasuk pesawat), atau berjalan-jalan keliling India dalam 8 hari dengan biaya hanya Rp 3 juta (tidak termasuk pesawat). Padahal, mereka semua lupa bahwa ketika mereka bilang “tidak mungkin” itu mereka menggunakan standar biaya sesuai kebiasaan traveling mereka sendiri, dan tidak mengacu pada standar biaya yang diajukan si penulis buku-buku tersebut.

Buku-buku tersebut jarang memasukkan biaya tiket pesawat dalam perhitungan yang mereka sebut dalam judul. Jadi, perhitungan 2 juta keliling Thailand, Malaysia, dan Singapura itu ya hanya mencakup biaya penginapan, biaya makan, transport darat, dan biaya lain-lain. Saya sudah beberapa kali berjalan-jalan ke luar negeri dengan berbagai gaya traveling, dan bagi saya uang senilai Rp 2 juta untuk perjalanan keliling Thailand, Malaysia, dan Singapura selama 10 hari itu mungkin saja dilakukan – tentu saja, kalau perjalanannya dilakukan dengan gaya Claudia Kaunang; si penulis buku itu. Begitu juga Rp 2 Juta berkeliling Vietnam selama 15 hari, atau perjalanan sejenisnya. Bagi saya, tips dan panduan di buku itu tidaklah menipu. Dan sama sekali tidak menyesatkan. Mengapa? Ya, karena memang anggaran seperti itu memang sangat mungkin dilakukan, tentu saja dengan catatan, gaya perjalanan kita harus meniru cara para penulis buku tersebut melakoni perjalanan mereka. Lah kalau saya – atau orang lain – membutuhkan gaya traveling yang lebih nyaman, butuh hotel yang lebih bagus, butuh alat transportasi dalam kota yang lebih cepat, tentu saja anggaran yang diajukan para penulis tersebut harus disesuaikan. Ketika seseorang selalu menginap di hotel berbintang di tengah kota ketika menginap di luar negeri, ya tentu saja perhitungan anggaran perjalanannya akan berbeda dengan penulis buku budget traveling yang lebih menyarankan untuk menginap di backpacker hostel di kamar dorm yang berisi 4-8 orang dalam satu kamar.

Yang bagi saya agak aneh, orang-orang yang melontarkan cercaan itu kebanyakan justru berasal dari kalangan penulis buku-buku atau artikel perjalanan juga. Meskipun buku-buku yang mereka tulis agak berbeda gaya penulisan. Apa mereka lupa ya, bahwa yang namanya pelancong itu bermacam-macam modelnya. Ada pelancong yang sangat mengutamakan kenyamanan, tapi ada juga yang menghadapi keterbatasan anggaran. Ada pelancong yang suka belanja-belanja, tapi ada yang lebih suka menikmati suasana yang berbeda. Dan, perbedaan-perbedaan itulah yang mendorong munculnya berbagai segmen pelancong dengan kebutuhan dan keinginan yang berbeda-beda. Sederhana saja, kok. Kenapa penjelasan sederhana ini nggak bisa mereka terima, sih..? 

Buku-buku tentang traveling itu bermacam-macam jenisnya. Ada buku panduan ala budget traveler yang kita diskusikan di sini, ada juga buku-buku panduan perjalanan tradisional yang bersifat lebih umum (seperti buku-buku terbitan Lonely Planet atau Frommers), ada buku-buku catatan perjalanan (travelogue) yang biasanya lebih sastrawi (seperti Eat, Pray, Love, atau Lupakan Palermo-nya Gama Harjono), dan ada juga buku-buku perjalanan berjenis travel features yang mengupas sisi spesifik sebuah perjalanan (misal, buku traveling legendaris The Naked Traveler karya Trinity, atau sebuah buku terbitan Malaysia berjudul Hotel Tales). Dan tiap jenis buku yang saya sebut itu memiliki target market sendiri-sendiri. Saya ulangi ya, masing-masing jenis buku yang saya sebut di atas memiliki konsumen atau pembaca sendiri-sendiri.

Buku-buku terbitan Lonely Planet, DK, Fodors atau Frommers lebih banyak digunakan oleh pelancong yang ingin mengeksplorasi satu area yang cukup luas dalam waktu yang cukup lama, karena buku-buku ini memuat informasi yang lengkap namun ringkas tentang banyak hal tentang daerah wisata tertentu. Ini hampir sama dengan buku-buku panduan untuk budget traveling yang lebih fokus pada pelancong backpackers. Dua jenis buku ini amat berbeda dengan travelogue atau travel features. Buku-buku travelogue sama sekali bukanlah buku panduan, karena buku ini bercerita tentang satu aspek spesifik tentang sebuah perjalanan. Travelogue lebih banyak disajikan dalam bentuk fiksi dan travel features disuguhkan dengan gaya bahasa yang ringan tapi sangat fokus pada aspek-aspek tertentu saja. Karena itulah dua jenis buku ini lebih banyak dinikmati sebagai teman menghabiskan waktu luang atau sebagai sumber inspirasi sebuah perjalanan – dan tidak digunakan sebagai  panduan atau sumber informasi.

Ketika saya menjelajah Eropa selama 28 hari, saya beli dan baca buku-buku terbitan Frommers dan juga buku-buku ala budget travel (seperti Europe on a Shoe String terbitan Lonely Planet) atau buku panduan lain seperti Europe for Dummies. Buku-buku ini saya gunakan untuk memahami bagaimana situasi dan kondisi Eropa – terutama negara-negara dan kota-kota yang saya kunjungi, bagaimana saya bisa menuju ke pusat kota dari stasiun kereta atau dari bandara, bagaimana cuaca di kota-kota tersebut sepanjang tahun, dan apa saja hal-hal kecil tapi penting yang perlu saya perhatikan. Karena buku-buku tersebut juga menyajikan informasi tentang tarif hotel dan hostel paling murah sampai paling mahal, standar makan di food hawkers dan di restoran fast food seperti McDonalds, atau standar tarif transportasi lokal di sana, dan informasi lain tentang biaya dan harga, maka buku-buku tersebut juga sangat bermanfaat bagi saya untuk merancang anggaran perjalanan saya. Di sisi lain, saya juga dengan bergairah membaca buku travelogue Lupakan Palermo-nya Gama Harjono yang benar-benar membangkitkan gairah saya untuk mampir ke Milan dan Venesia; atau buku Negeri Van Oranje karangan Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi, dan Rizki Pandu Permana yang membuat saya mengubah itinerary saya, yang tadinya hanya berencana hanya 2 malam di Belanda menjadi menghabiskan 7 malam. Intinya apa, buku-buku travel yang berbeda genre itu dibaca pelancong untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda. 

Nah, kalau para penulis travelogue dengan seenaknya mencerca penulis buku-buku panduan untuk budget traveling – dan menyebut buku-buku tersebut sebagai buku sesat, bukankah itu tidak adil..? Mengapa..? Ya, karena buku mereka memang berbeda genre. Hal ini tak ada bedanya seorang musisi jazz menganggap semua musik dangdut itu kampungan, atau artis film-film drama merendahkan semua film-film sci-fi yang mereka anggap tidak memiliki tantangan berakting bagi pemerannya.

Catatan ini hanya sekedar ungkapan “protes” atas ketidakadilan yang dialami teman-teman penulis buku-buku panduan untuk budget traveling – yang notabene lebih banyak dibeli daripada buku-buku karangan para pencerca itu. Saya sendiri sebetulnya tidak terlalu suka melakukan budget traveling – karena saya sangat menyukai kenyamanan – tapi bagi saya, buku-buku panduan untuk budget travel (yang meminjam istilah penulis blogpost di Hifatlobrain berjudul Dahsyat itu, buku ber-genre sekian-juta-keliling-semesta) itu sangat bermanfaat. Bukan hanya bermanfaat bagi pelancong pemula yang masih bingung bahkan untuk sekedar menetapkan tujuan jalan-jalan, namun juga bermanfaat bagi pelancong berpengalaman yang kebetulan belum pernah menjelajah daerah yang dibahas di buku-buku tersebut. Tudingan sesat dan penipuan yang dicetuskan oleh beberapa orang – yang sebagian besar di antaranya adalah penikmat luxurious traveling dan penulis travelogue – adalah tudingan yang bukan hanya arogan, tapi juga tuduhan yang asal bunyi dan salah sasaran (karena mereka bukanlah target market buku perjalanan gaya ini).
Saya hanya ingin bertanya kepada orang-orang – terutama para penulis buku perjalanan (yang bukunya nggak terlalu laris) yang tak henti-hentinya mencerca para penulis yang mereka sebut sebagai penulis buku sesat itu, memangnya sudah berapa banyak buku “bermutu” yang sudah mereka tulis sih..? Dan, apakah semua buku/tulisan mereka memang disukai dan disambut oleh SEMUA ORANG di muka bumi ini..? Pasti tidak, kan..! Kalau memang mereka adalah pelancong sejati, pasti mereka akan paham bahwa para pelancong itu memiliki kebutuhan, keinginan, dan preferensi yang berbeda-beda, dan kita tidak bisa mengatakan bahwa pilihan gaya traveling kita itu lebih baik daripada gaya traveling orang lain. Dan kalau mereka – para pencerca itu – memang seorang penulis yang sejati, penulis yang benar-benar sukses dan rendah hati, maka mereka sama sekali tidak akan merendahkan penulis bergenre lain – yang kebetulan buku-bukunya lebih laris dibandingkan buku-buku mereka sendiri.

Guide Books adalah buku sesat? (part 1-my version)

Capek sebenarnya harus mengulang persoalan yang sama. Isu tentang "Against Guide Books" sebenarnya sudah muncul sejak mungkin lima tahun terakhir, saat tren traveling mulai melanda, khususnya traveling murah. Dan bukan sekali dua kali kami "dihajar" orang atau sesama penulis tentang buku-buku kami. Sampai saya, Claudia Kaunang, Rini Raharjanti, dan temen-temen penulis lain kadang  geleng-geleng kepala. Hebat bener ini ya para haters. Saya tahu perasaan teman-teman penulis lainnya, tapi saya tidak berhak mewakili apa yang mereka rasakan untuk dituangkan di sini. Yang saya rasakan, saya tidak pernah benar-benar mengerti dengan alasan-alasan yang super ajaib yang dilakukan penyerang untuk menyerang buku saya.

Pertama kali berseteru, karena buku saya dihujat habis-habisan oleh penulis perjalanan belanja-belanji sampai mati ke berbagai negara. Saya akan menerima situasi di mana orang tidak suka buku saya. It is not a book for everyone. Tapi setidaknya, lakukan dengan cara bijak dan membaca bukunya dulu. Bukan covernya, atau bukan halaman pertama ya. Be smart. Kalau orang bersikap pintar dalam menilai buku-buku saya, saya akan menerima itu sebagai review yang konstruktif untuk next book. Tapi kalau cuma menghujat dan menghujat tanpa tahu apa yang dibicarakan, mohon maaf saya akan melawan.

Saya ingat perseteruan saya dengan penulis itu. Si Ibu yang doyan nulis buku belanja itu, dalam kategori saya memang mengambil cara traveling yang berbeda dengan saya. Dia menggunakan "traveling cantik", dengan destinasi yang berbeda tentunya. Saya ada masalah dengan itu? Tidak. Sangat tidak. Karena bagi saya, itu hak dia menulis dan bertraveling dengan gaya cantik. Saya anggap itu keberagaman dan biarkan pembaca memilih mana yang cocok buat dibaca sesuai dengan life style mereka. Saya memilih bertraveling dengan gaya murah (super murah) kok dia menghujat ya? Kata teman "Karena dia nulis soal negara yang sama dengan budget tinggi, sementara kau budget rendah." Sampai di sini saya berpikir, oh serem juga ya persaingan di dunia penerbitan buku, khususnya buku-buku perjalanan.

Kedua, saya bertemu dengan seorang penulis buku perjalanan yang saya kagumi. Tulisannya luar biasa. Saya berpikir, dia adalah orang yang pandai dan pantas saya kagumi. Sampai kemudian ada satu situasi di mana saya menemukan dia bukanlah orang yang bijak seperti yang saya bayangkan. Dengan lugas mengatakan tidak menyukai guide book dan para penulisnya harus bertanggung jawab atas kerusakan sumber alam/pariwisata akibat banyaknya wisatawan yang datang setelah membaca guide book. So silly. Kenapa menyalahkan guide books ? Kenapa tidak menuntut pembubaran kementerian pariwisata saja sekalian? Stop iklan komersial wisata Indonesia di banyak media. Jangan ada kampus pariwisata. Tutup pasar-pasar souvenir di lokasi wisata. Dan lain sebagainya. Kalau berbicara kerusakan, bukankah justru menyetop industrialisasi pariwisata adalah sebuah tindakan yang menimbulkan kerusakan massif? berapa juta orang Indonesia akan kehilangan mata pencariannya? You tell me. 
Yang saya tahu, penulis besar yang dulu jadi kebanggaan saya itu masih melakukan "kampanye" against guide books. Semoga materi kampanye dia berikutnya lebih pintar dari yang dia sampaikan sebelumnya di banyak forum/media.
Ketiga, suatu saat teman saya memberitahu soal blog yang bener-bener sudah eneg dengan buku-buku kami para penulis guide books dan menyebut buku-buku ini buku-buku sesat. Eneg boleh. Just don't buy it.  Lalu disenggollah salah satu materi di buku saya. Mereka mempermasalahkan soal saya menggunakan Couchsurfing dan HospitalityClub dalam salah satu buku saya. Yang lain menyebut ini sebagai penipuan.

"Pertanyaan saya, apakah itu ilegal? menggunakan Couchsurfing dan HospitalityClub?"

Let me tell you something. Buku-buku guide dengan gaya traveling on budget adalah buku panduan, how to. Bisa jadi how to macam-macam: how to get here, how to get there, how to get free accommodation, how to get free food, how to get cheap hostel. Nah, Couchsurfing dan HospitalityClub adalah salah satu cara untuk mendapatkan itu untuk memenuhi prinsip traveling berbiaya rendah. Artinya, saya sharing  pengalaman "how to" dengan cara ini.
Perlu saya tegaskan, Couchsurfing dan HospitalityClub adalah organisasi traveler yang terbuka, TIDAK BERBAYAR, dan semua bisa menjadi bagiannya. Kalau Anda mau mengikuti cara saya, ya silakan. Kalau Anda tidak cocok, ya saya punya solusi lain. Apakah solusi lain itu? saya menuliskan beberapa hostel murah bila memang Anda tidak mau dengan cara Couchsurfing atau HospitalityClub. Adil kan?

Jadi kalau kemudian ada orang menyebut saya menipu karena saya pake jasa Couchsurfing/HospitalityClub...ya tidak bisa. Perlu saya tegaskan lagi, orang-orang yang menampung saya (hanya 2 orang dari total 16 hari perjalanan) bukanlah teman saya. Saya kenal mereka setelah ketemu dengan mereka, sebelumnya kayak lotere mencari teman yang mau menampung. So, bukan karena saya teman mereka sebelumnya. Semua orang bisa mengikuti jejak saya ini demi prinsip traveling murah. Dan ini semua saya jelaskan dengan gamblang di buku. Dua orang membantu saya dengan Couchsurfing dari total  16 hari perjalanan dan tiba-tiba saja saya dituding sesat. Jadi sekarang ini mudah sekali menunjuk ke arah orang: oh kamu sesat, kamu bukan.

Playing God!

Guys, sebut saya reaktif. Tapi come on...be smart. Review-lah buku saya dengan cara cerdas dan bukan berdasar prasangka. Kalau jelek, bilang jelek tapi bukan menuduh dan menghujat. Tapi kalau kemudian semua yang disampaikan itu tendensius dan hanya berdasar cemburu atau persaingan di industri buku, well...saya harus bilang : shame on you!

Regards,

A

Monday, April 23, 2012

Taman Buaya , Penangkaran Buaya Terbesar di Asia


Medan memiliki atraksi menarik yang terkait dengan fauna. Ada banyak pilihan menarik untuk mengeksplorasi Kota Medan. Kali ini, kita akan berkunjung ke beberapa spot terkait fauna, yang memang menjadi andalan wisata kota ini. Highlight kami adalah jatuh pada penangkaran buaya (Crocodile Farm) yang dikenal dengan nama Taman Buaya. Rasa penasaran kami atas lokasi ini sudah di ubun-ubun. Apalagi teasing yang selalu dibisikkan kepada kami tentang penangkaran ini adalah: Inilah penangkaran buaya terbesar di Asia !! Konon bahkan salah satu yang terbesar di dunia. Hollaaa…

Taman Buaya berada di Jl Bunga Raya 2, No 54, Sunggal, Medan, daerah Asam Kumbang, sekitar 10 km dari pusat Kota Medan, yaitu di Medan Selayang. Memang agak jauh ke luar kota, namun cukup mudah menemukannya karena banyak orang yang tahu. Bila Anda naik transportasi umum, maka dari jalan utama di kawasan Asam Kumbang, Anda akan berhenti di depan gapura dengan papan petunjuk menuju ke Taman Buaya. Dari gapura ini, kita tinggal jalan kaki sekitar 100 meter menuju ke lokasi. Taman Buaya adalah penangkaran yang dikelola keluarga penduduk lokal. Dari depan tampak seperti rumah biasa, dengan warung di bagian muka. Warung ini sekaligus tempat kita membeli tiket dan Anda juga bisa membeli minuman ataupun souvenir miniature buaya dari plastik. Setelah membayar tiket, kita akan masuk ke bagian samping rumah, dan dimulailah petualangan ala Crocodile Dundee !!

Beberapa kolam utama akan menyambut kita. Kolam kering ini menampung beberapa buaya disesuaikan umurnya. Mulai dari beberapa bulan, hingga berumur 25 tahun lebih. Selain kolam kering, di belakang akan kita temukan rawa luas dengan permukaan berlumut hijau. Beberapa buaya sepanjang dua kali tubuh manusia tampak berjemur, yang lain akan mengambang diam tanpa gerak, atau terkadang dengan gerakan slow motion. Menarik sekali mengamati tingkah mereka. Buaya-buaya ini bergerak sangat lamban, tetapi sekali kita mendapatkan momentum, begitu mereka bergerak kita akan mendapatkan foto yang cantik. Oya, pengunjung juga bisa berfoto dengan buaya, seorang pawang akan mengeluarkan salah satu buaya ukuran sedang dari kolam kering, lalu dimulailah aksi potret memotret bersama sang buaya. Untuk berfoto, dikenakan biaya, sekitar Rp 20.000 dan diserahkan langsung ke sang pawang. Selain itu, pengunjung juga bisa memberi makan buaya dengan membeli makanan buaya berupa unggas (ayam atau bebek) yang disediakan pengelola. 



Merunut eksistensinya, tersebutlah nama Lo Than Mok, dialah pemilik ribuan buaya ini, dan memulai memelihara buaya sejak tahun 1959. Total buaya di lokasi ini mencapai 2.500 ekor lebih, dengan kebutuhan pangan setiap harinya mencapai 1 ton dan berada di lokasi seluas 2 hektare. Taman Buaya mengenakan tiket murah kok, cuma Rp 3.000 per orang, buka dari jam 09.00 WIB - 17.00 WIB.

Bagaimana menuju ke Taman Buaya: 
Naik Angkot 64 turun di Kampung Lalang (pemberhentian terakhir Angkot sebelum masuk ke Terminal Pinang Baris). Lalu ganti Angkot ke arah Taman Buaya (dari perempatan Kampung Lalang belok kiri searah ke Terminal Pinang Baris. Ada banyak Angkot). Pulang, gunakan Angkot dari arah berlawanan kembali ke Kampung Lalang, lalu ambil Angkot nomor 23 untuk menuju ke Medan Kota.


Cerita soal perjalanan saya di Medan bersama travelmate saya Ajie Hatadji, bisa Anda nikmati secara lengkap di buku Travelicious Medan; Jalan Hemat Jajan Nikmat, terbitan B-First (Bentang Pustaka). 

Have a nice trip! :)

A

Nikmatnya Es Krim Ndeso di Solo

Beberapa hari lalu saya iseng jalan-jalan ke Pasar Antik Triwindu, Solo. Ini karena saya lagi nggak ada kerjaan dan bingung mau kemana. Pasar Triwindu berada di Jl Diponegoro atau yang terkenal dengan sebutan Ngarsopuro.
Tapi saya bukan mau ngomong soal Pasar Triwindu. Saya mau ngomong soal es krim ndeso yang bagi saya udah kayak souvenir masa lalu saja. Apa hubungannya dengan Pasar Triwindu? Ya karena kebetulan yang jual ada di depan tuh pasar dan sepanjang Ngarsopuro.
Beberapa orang di Jawa menyebutnya Es Dungdung (sampai kata ini juga diadopsi sebagai salah satu nama produk es krim brand terkenal). Tetapi, kalau pemahaman saya yang lahir dan besar di lingkungan Jawa (kampung), Es Dungdung itu es krim yang pake con (contong kerucut yang bisa dimakan). Nah, kalau jaman saya kecil, versi yang pake gelas kayak gini hanya untuk orang kaya. 
Seiring perkembangan jaman, maraknya produk es krim yang dikemas dalam wadah dan bentuk cantik, es krim kayak gini terpinggirkan. 
Kangen dengan rasa es krim ndeso ini, saya pun pesan satu. Satu gelas seperti dalam gambar dihargai Rp 3.000 saja, lengkap dengan tape ketan hijau dan mutiara merah. Tampilannya cantik kan? Bagaimana rasanya? Oh nikmat. Ponakan saya yang cowok, Lintang,  berumur 7 tahun yang notabene produk jaman akhir sangat tergila-gila sama es krim ini "Om....enak banget lho. Aku mau nambah" kata dia.
Es krim ini bahan dasarnya utamanya adalah santan kelapa kental dan gula pasir. Tanpa bahan pengawet, bahan-bahan dimasukkan dalam tabung (kayak termos es tinggi). Cara membuatnya, tabung itu diletakkan di tengah batu es besar-besar yang sudah dicampur dengan garam krasak (garam jelek yang butirannya gede-gede). Kemudian tabung itu diputar, tergesek dengan batu es dan garam. Kata yang jual, proses ini membuat santan mengental yang akhirnya membentuk adonan es krim itu. Proses memutar antara 30 menit hingga satu jam saja sudah jadi.
Rasa es krim ini gurih nikmat karena kelapanya. Kemudian teksturnya tidak selembut es krim yang dibuat dengan mesin, jadi sedikit lebih kasar. Enaknya lagi, beberapa memasukkan potongan kelapa muda kecil-kecil, sehingga kalau kita menikmatinya, akan menemukan kelapa muda kenyal di sela-sela es krim. Beberapa orang suka es krim tanpa topping apapun, tetapi kalau saya suka banget dengan tambahan tape ketan hijau dan mutiara (yang biasanya dibuat bubur/jenang mutiara). Tampilannya pun juga heboh, off white bahan utama es krimnya, ditambah hijau muda tape ketan dan merah menyala butiran mutiara. Slrrrrrppppp....
Kekhasan lain, yang jual kalau dulu biasanya pakai topi cowboy kecil, kayak topinya Tompi hehehehe. Sekarang sih hanya beberapa yang masih mengenakan kostum kebesaran itu. Mereka mendorong gerobak kecil dengan gelas tergantung di bagian depan serta bungkusan tapi ketan dari daun pisang. Salah satu penjual yang sempet saya ajak ngobrol mengatakan, saat ini es krim ndeso macam gini mulai dinikmati lagi. Pernah hilang beberapa saat, tetapi tidak sepenuhnya hilang. Untuk hajatan/resepsi mereka masih melayani pesanan, satu tabung dihargai Rp 300.000 dan bisa untuk 300 porsi. Nah, kalau mampir ke Solo, jangan lupa ke Ngarsopuro. Beberapa gerobak es krim ini bisa didapatkan dari siang hingga malam hari. 

Selamat menikmati,

A

Monday, April 16, 2012

Pantang Boros Buat Makan (Tips Hemat Traveling)

foto:imageshack.us
Salah satu hal yang penting yang perlu diperhatikan dalam budgeting untuk traveling adalah makanan. Ini adalah hal utama yang tidak bisa diabaikan. Beberapa orang membuat budget makan secara berlebih, namun di sisi lain memiliki budget minim untuk keseluruhan tripnya.
Saya mendapatkan pertanyaan dari beberapa pembaca soal makanan ini sejak buku pertama saya terbit. 
"Pantesan saja budget-nya bisa minim, setiap hari makan mie terus."
Itu salah satu yang keluar dari penilaian pembaca saya, saat membaca buku China. Padahal, saya makan mie di China itu bukannya mie instant itu, tetapi mie yang layaknya nasi, fungsinya sebagai bahan makanan pokok. Jangan lupa, di beberapa negara, mie itu juga makanan pokok lho, selain nasi. Ini misalnya di China atau di Suriname (kalo ini hasil ngutip kata Dubes Suriname di sebuah stasiun TV). Jadi jangan membayangkan mie itu selalu identik dengan mie instant.
Terlepas dari itu, kelihatan banget memang makanan adalah salah satu hal yang menjadi perhatian. Saya tidak akan berteori banyak, karena saya tahu standar masing-masing orang dalam hal makan dan memilih makanan tentu beda. Saya hanya akan memberikan tips berdasarkan pengalaman saya dalam menghemat budget untuk makan saat traveling. Syukur kalau berguna buat Anda, kalau kagak...anggap tulisan ini angin lalu.

1). Saya akan melakukan riset terlebih dahulu ke mana saya traveling, kemudian melihat biaya makan di sana rata-rata berapa. Singapore misalnya, sekali makan minim bisa 2,5 SGD atau dengan asumsi 1 SGD = Rp 7.000, maka sekali makan Rp 17.500. Itu belum pakai minum. Kalau tambah minum, sekitar 1-1.2SGD atau kurang lebih Rp 8.000-an. Di Malaysia, sekali makan yang murah bisa 3 RM dengan asumsi 1 RM = Rp 3.000, maka dapat deh makanan Rp 9.000. Tetapi, untuk mencari makan dengan harga 3 RM di Malaysia gak gampang. Mungkin di daerah pinggiran, atau warung kecil. Rata-rata 5 - 7 RM atau Rp 15.000 - Rp 21.000-an. Belum minumnya sekitar 1,5 RM atau hampir Rp 4.000-an.Di Thailand bisa dapat sekali makan 25 Baht dengan asumsi 1 Baht = Rp 300, jadi cuma bayar Rp 7.500, minum/buah bisa dapat 10 Baht saja. Nah dari riset-riset semacam itu, saya bisa memastikan, budget makan saya di Singapore/Malaysia harus lebih tinggi dibandingkan dibandingkan dengan Thailand.

2).Dari riset itu, saya biasanya menetapkan batas maksimal. Di Singapore, kalaupun tidak nemu hawker yang jual makanan 2.5 SGD, maka maksimal saya akan makan 5 SGD, tidak boleh lebih dari itu. Ini juga berlaku untuk negara lain dengan variabel harga berbeda tentu saja. Dan saya harus committed dengan aturan yang saya buat sendiri ini. 

3). Saya menghindari makan di jaringan fastfood terkenal seperti KFC, McDonald, Burger King, dan lain sebagainya. Pilihan saya selalu food street. Selain soal murah, mengeksplorasi food street itu juga menyenangkan. Ada bagian dari aktivitas ini yang saya suka, yaitu menemukan makanan-makanan baru, khas setempat, yang tidak saya temukan di Indonesia.

4). Saya selalu tinggal di hostel yang menyediakan free breakfast. Tetapi saya juga perlu tegaskan nih, saya bukan orang yang harus makan  3x sehari. Ini subyektif. Perlu saya garis bawahi, karena saya jarang banget sarapan. Sudah terbiasa sejak jaman sekolah, karena kalau sarapan perut malah sakit. Tetapi saat traveling, saya melakukan beberapa hal untuk kompromi, karena bagaimana pun saya perlu tenaga buat jalan-jalan. Nah, jatah sarapan di hostel (biasanya roti selai) tetap saya ambil. Bahkan saya sering ambil dobel (di Singapore saya lakukan ini untuk menghemat). Nah, jatah itu menjadi bekal makan saya buat jalan-jalan dan kadang makan siang. Tidak bergizi? siapa bilang....saya pikir kandungan gizinya juga sama kok. Dari langkah ini, saya menghemat uang untuk beli sarapan, bahkan untuk makan siang.

5). Sekarang soal lunch/dinner . Saya sering banget memanfaatkan 7/11 atau toko-toko roti untuk memenuhi jatah makan siang saya saat di Thailand. Dengan sandwich gemuk seharga 12 Baht kurang lebih, sudah membuat saya kenyang. Di China misalnya, makan biasa minimal 6 CNY dengan asumsi 1 CNY = Rp 1.300, nah di toko-toko roti, saya bisa mendapatkan roti wijen segede anak Kingkong dengan hanya 2 CNY. Di Kuala Lumpur, saya juga jatuh hati dengan Bread History di Berjaya, Time Square, yang menjual roti-roti gede dan tahan hingga tiga hari dengan harga 5 RM more less, bisa buat beberapa kali jatah makan. Tetapi ini tidak selalu saya lakukan lho...cuma untuk improvisasi menghemat biaya. Banyak toko roti lezat dan murah yang bisa kita manfaatkan untuk makan siang/malam. Makan kan tidak harus nasi sayur dan lauk ya? itu kalau versi saya hehehe.

6). Minuman sedikit demi sedikit juga menggerogoti kantong. Di Singapore, ampun-ampunan mahalnya air putih, mana minumnya sudah kayak onta...cegluks...cegluks...cegluks...tanpa berhenti.. Makanya saya selalu sedia botol bekal minum, lalu diisi penuh saat di hostel, atau di tempat umum yang memiliki kran air drinkable. Di Malaysia, satu hostel tempat saya menginap menjual minuman soda dan air mineral dengan harga miring, bahkan lebih murah dibanding 7/11. Di depan lemari pendinginnya mereka menempelkan tulisan itu hehehe. Saat saya cek dengan harga 7/11, iya memang benar lebih murah. Aneka jus di pinggir jalan di KL juga murah dibanding kita beli minum di food court barengan dengan beli makan. Aneka jus ini hanya 1,5 RM. Jangan khawatir, membawa minuman ke food court gak apa-apa kok. Meskipun misalnya ada larangan, saya belum pernah diusir gara-gara hanya pesan makanan.

7). Saya suka sekali buah. Ini cara ampuh untuk mengganjal mulut yang suka ngemil, sekaligus mengirit minum. Di Thailand, saya suka sekali buah potong yang segar-segar seharga 10 Baht satu plastik kecil atau Rp 3.000. Buah-buahan ini mampu mengerem mulut saya untuk ngemil yang lain, sekaligus menambah pasokan air ke dalam tubuh saya. Kalau ngemil makanan lain, maka dipastikan akan mahal dan boros air hehehehe.

8).  Saya ke Singapore pernah bawa 5 cup mie instant. Rencana saya sih cuma buat makan malam saja, dan idenya bukan buat menghemat. Saya membawa ini sebenarnya karena sering merasa tidak cocok dengan makanan setempat. Jadi untuk menambal kangen saya akan makanan Indonesia, saya bawa itu. Eh...malah kemudian ini mampu menghemat biaya cukup banyak.

9). Kalau Anda traveling bersama teman, coba deh saat pesan makanan jangan langsung masing-masing pesan. Pertama, pesen satu dulu, lihat ukuran porsinya. Sepanjang pengalaman, porsi makan orang di negara lain gede-gede banget, bisa buat berdua. Nah, kalau Anda makannya gak banyak, sayang kan kalau sisa? Lebih baik sepiring berdua. Kedua, belum tentu setelah pesen langsung doyan kan? Nah mending pesen satu, lalu diicip-icip. Kalau cocok, baru pesen lagi. Kalau nggak cocok, risiko ditanggung bareng, satu porsi itu dibayar berdua. Hemat kan :)

10).Jangan malu untuk menanyakan harga makanan. Itulah kenapa di sepanjang Malioboro, Yogyakarta pemerintah daerah setempat memberikan pengumuman yang ditempel, agar pembeli menanyakan harga. Karena di wilayah-wilayah turis memang banyak jebakan. Tidak sedikit turis yang melayangkan surat pembaca di media yang mengeluhkan "jebakan" di lesehan Malioboro. Karena tiba-tiba saja kelar makan langsung hantam kromo sekian puluh ribu.

11). Carilah warung makan di wilayah yang tidak termasuk touristy places. Agak ke kampung, wilayah sekolah, kampus, pasar tradisional, biasanya menjual makanan dengan harga murah. 

Point-point di atas setidaknya cukup menghemat biaya traveling saya. Mungkin ada beberapa yang Anda cocok, namun ada juga yang tidak, silakan sesuaikan saja. Semoga berguna :)

Regards,

A

Tuesday, April 10, 2012

First Time Traveler, kuncinya niat dan nyali

foto: travelinsurance.org.uk
Bukan sekali dua kali saya mendengar kekhawatiran traveler soal melakukan perjalanan solo traveling, atau bahkan ada teman sekalipun, bahwa mereka tetap saja takut untuk memulai perjalanan itu. Kebanyakan adalah first time traveler. Banyak aspek yang membuat mereka takut, mulai bagaimana nanti kalau tersesat, bagaimana cara mencari hotel/hostel, bagaimana nanti kalau begini...bagaimana nanti kalau begitu. Beberapa pertanyaan lucu yang disampaikan ke saya,  yang muncul akibat kekhawatiran berlebihan itu, misalnya:

"Mas, di Thailand ada jambret nggak? Bagaimana nanti kalau saya dijambret ?"

"Bagaimana kalau saya dirampok saat dalam perjalanan?"

"Mas, di Amphawa ada toilet nggak sih? Takutnya nggak ada, kacau kalau pas diare."

Kenyataannya, kebanyakan first time traveler bahkan sudah membeli aneka guide book sebelum memulai perjalanan mereka. Kenyataan lainnya, mereka juga sudah melakukan riset di internet, googling, dan lain sebagainya. Tetapi semua bekal itu sepertinya tidak cukup untuk membuat mereka tenang memulai perjalanan.

Saya ingin cerita dulu tentang perjalanan saya ke China tahun 2010 lalu. Dari rangkaian perjalanan itu, saya tiba di Kunming, ibukota Provinsi Yunnan, China. Saya menginap di Cloudland Youth Hostel, dan memilih kamar dorm. Dalam dorm yang berisi dua tempat tidur bertingkat itu, terdapat seorang warga Negara Amerika Serikat, satu cewek Jepang, dan saya. Satu tempat tidur lagi kosong, sebelum keesokan harinya diisi traveler lokal dari Beijing.
Saya akan bercerita soal Robin, 23 tahun, cewek asal Amerika Serikat yang satu kamar dengan saya. Dalam satu kesempatan, kami ngobrol saling bertukar makanan. Lalu saya tanya dengan siapa dia traveling?

"Saya traveling sendirian. Menyenangkan. Saudara laki-laki saya sekarang sedang traveling juga. Tapi dia berada di Eropa," cerita Robin.

Umur 23 tahun, cewek, sendirian bermil-mil jauhnya dari rumah. Robin bukanlah cewek pertama yang saya kenal. Sebelumnya saya juga mengenal Sandra Wittwer yang tinggal di rumah saya selama tiga hari. Dia adalah cewek asal Swiss yang melanglang buana sendirian dengan tas punggung segede bagong. Terakhir saya chatting dengan dia, Sandra tengah berada di wilayah South America.

Saya banyak membaca referensi, kemudian membandingkan dengan fakta di lapangan. Dalam hemat saya, memang mentalitas traveler Indonesia (mungkin Asia), lebih lambat matangnya. Mungkin banyak aspek yang mempengaruhinya. Di luar negeri, umur 18 tahun mungkin sudah harus berpisah dari orang tuanya, dan agak aneh melihat orang umur 20 tahun ke atas masih tinggal bersama orang tua.Di Indonesia? sudah beranak pinak pun tidak masalah tinggal di rumah orang tua.

Sikap mandiri kita, menurut saya memang telat. Ini pula yang mempengaruhi mentalitas traveler kita. Saya cukup terkejut saat tahu ada teman yang baru pertama kali naik bus antarkota saat dia semester akhir kuliah. Saya sendiri merasa terlambat, meskipun sejak kuliah saya sudah mbolang ke sana ke mari di kota Jawa Tengah. Perjalanan ke luar negeri saya yang pertama bahkan baru terjadi 2009 lalu. Dalam hal ini faktor utama penghambatnya adalah finansial.

But still, perjalanan ke luar negeri pertama saya adalah perjalanan yang membuat saya gugup. Saya harus mengumpulkan keberanian setengah tahun lebih, riset tiga bulan sebelumnya, dan itu pun belum mampu menghapuskan gugup saya. Jadi menurut saya, kalau kemudian banyak first time traveler cemas, ya wajar saja. Kita tidak biasa jalan jauh, tiba-tiba harus melakukan perjalanan di mana kita hanya mampu mengandalkan kekuatan diri kita.

Pada akhirnya, semua itu berujung pada NIAT dan NYALI. Percayalah, travel writer seperti saya mungkin hanya akan memberikan motivasi, inspirasi dan menjadi penyaksi serta "kelinci percobaan" bahwa perjalanan yang akan dilakukan pembacanya aman-aman saja. Karena kalau untuk alasan info, Google akan menjawab semua. Bahkan ketika seluruh travel writers di Indonesia dikumpulkan, kekuatan mereka tidak akan mampu mengalahkan Google.

Lalu bagaimana saya mengatasi kegugupan mempersiapkan perjalanan pertama saya? jawabnya adalah : DON'T LISTEN, JUST GO! Saya ingat sekali saat pertama kali mau ke luar negeri, kumpulan artikel yang saya googling justru semakin membuat saya gugup dan banyak informasi yang saling bertentangan. Misalnya saat saya ingin membuat visa China, info yang saya dapatkan di internet serem-serem euy. Yang ditolak-lah, yang harus mempersiapkan rekening Rp 20 juta untuk ditunjukkanlah, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Yang saya lakukan kemudian adalah, membuktikan sendiri dengan mencoba mengurusnya. Saya tutup kuping dan mata saja, biar kenyataan yang berbicara. Dan bagaimanakah kenyataannya? Oh...indah sekali. Saya hanya harus membawa paspor asli dan dua pasfoto, bayar murah, dan jadilah visa China saya dalam seminggu saja.

Itu analogi sederhana bahwa terlalu banyak pertimbangan tidak akan membawa Anda kemana-mana. WORRYING GETS YOU NOWHERE !. Segala cerita serem, permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul bukan untuk ditakuti, tetapi untuk diwaspadai, ditanggulangi. Riset perlu, bahkan harus. Ini prinsip utamanya. Setelah riset, ya dibikin santai saja hingga keberangkatan. Fokuslah pada kesenangan yang akan Anda peroleh dalam perjalanan nanti, bukan persoalan yang akan timbul. Energi negatif akan membawa Anda ke hal negatif. Percaya atau tidak, teman saya yang bertanya apakah di Thailand ada jambret atau tidak, sepulang dari Thailand cerita bahwa dia kecopetan. Nah lho???  percaya tidak percaya kan? So, stay positive. 

Saya pernah ditanya, pernahkah mengalami persoalan di jalan? saya bilang pernah. Tetapi apakah itu membuat saya jera untuk traveling? Tidak. Banyaknya pengalaman, buruk atau bagus, bagi saya adalah souvenir terindah untuk diceritakan kepada teman dan keluarga. Bukan berarti saya menginginkan kejadian buruk akan menimpa saja, tetapi saya melihat dari perspektif berbeda, bahwa dalam sebuah kejadian buruk pasti ada hikmah yang bisa diambil.

Jadi kalau Anda suka traveling dan mengaku itu adalah hobi Anda, atau passion Anda, maka tidak ada waktu untuk khawatir akan sebuah perjalanan sepanjang semua persiapan dilakukan secara rapi, punya niat dan nyali. Percayalah, setelah perjalanan pertama, maka selanjutnya akan terasa jauh lebih mudah dan jauh lebih menyenangkan. Dan kata kunci dari traveling adalah "Menyenangkan". Fokus pada itu.

Traveling is a good place to find yourself. Anda akan terkaget-kaget ternyata diri Anda lebih kuat dari apa yang Anda perkirakan, atau Anda akan menemukan betapa lemahnya diri Anda. So, pack your backpack now !!

regards,

A