Saturday, November 19, 2011

Masih Berpikir Bikin Joke Soal Orangutan adalah Lucu?


September lalu, saya jalan-jalan ke Bukit Lawang dalam satu rangkaian traveling saya ke Sumatera Utara. Bukit Lawang adalah sebuah area yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, lokasi konservasi orangutan. Terletak di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, sekitar 68 km dari Kota Binjai atau 80 km dari Medan.

Interupsi dulu. Kalau Anda membayangkan tulisan ini adalah tulisan jalan-jalan saya ke Bukit Lawang, khas tulisan perjalanan wisata, maka mohon maaf, untuk kali ini Anda salah. Ini tentang kegundahan saya terhadap keberlangsungan hidup orangutan.

Kenapa saya sangat ingin mengunjungi Bukit Lawang? tak lain dan tak bukan karena saya ingin melihat langsung habitat asli orangutan. Akan lebih mudah tentu saja bagi kita untuk melihat orangutan di kandang kebun binatang, tetapi berbeda rasanya bila kita langsung menemukan mereka di habitat aslinya.

Saya bukanlah aktivis pembela hak-hak fauna. Saya hanyalah orang yang suka dengan binatang, dan mengerti sekali bahwa para binatang itu memiliki hak untuk hidup di habitat aslinya, dengan damai.

Ngeri saat saya membaca berita di BBC Indonesia: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/11/111113_orangutan.shtml

Hasil survei yang dilakukan The Nature Conservacy dan 19 organisasi lain seperti WWF, Persatuan Pengamat dan Pakar Primata Indonesia yang dimuat di jurnal PLoSOne menunjukkan hasil mengejutkan.

Survei yang dilakukan dengan mewawancarai 6.983 orang di 687 desa di tiga provinsi Kalimantan itu melaporkan bahwa warga di banyak desa Kalimantan membunuh setidaknya 750 ekor orang utan dalam setahun.

Banyak pihak yang menyebutkan survei itu tidak valid. Tetapi bagi saya, apapun itu, kenyataan di lapangan menyebutkan, banyak orangutan yang dibantai karena dinilai sebagai hama kelapa sawit atau bahkan untuk alasan yang tidak penting lainnya.

Bagi saya, ini kemudian seperti pertanyaan "Manakah yang lebih dulu? Apakah telur atau ayam?" Kenyataannya, banyak orangutan yang masuk ke perkebunan dan mengkonsumsi hasil kebun warga. Tetapi kemudian, ada asap pasti ada api. Mereka masuk ke kebun karena mereka tidak menemukan makanan di habitat asli mereka. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan, sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektare setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar adalah salah satu penyebabnya. Pada akhirnya, banyak fauna yang kehilangan habitat aslinya, terdesak untuk mencari alternatif lain dalam mendapatkan makanan.

Lalu menurut Anda, manakah yang lebih dulu membuat masalah? Apakah orangutan yang cari gara-gara? atau manusianya? Saya serahkan kepada Anda.

Dalam catatan saya saat mengunjungi habitat asli orangutan di Bukit Lawang, saya menemukan fakta, bahwa iya orangutan adalah binatang liar, yang tentu bisa saja menyerang manusia. Tetapi fakta lain yang saya temui adalah, mereka sangat pemalu, cenderung takut pada manusia. Saya ikut naik ke bukit di mana petugas Taman Nasional Gunung Leuser melakukan feeding ke orangutan pada pukul 16.00. Kami menunggu di satu titik, sementara para petugas berada di rumah pohon dengan membawa seember makanan untuk orangutan liar. Satu jam kami menunggu, dan tidak muncul satupun orangutan. Petugas memperingatkan kami untuk tidak berisik, supaya orangutan tidak takut untuk muncul dan mengambil makanan. Beberapa waktu kemudian, kami menemukan satu orangutan yang mendekat secara hati-hati, seperti takut, dan akhirnya mengambil makanan. Hanya satu yang muncul dalam rentang waktu hampir dua jam.

Yang saya dapatkan dari situasi ini adalah, mereka takut dengan manusia. Pertanyaan berikutnya: kenapa kemudian banyak manusia membunuh mereka? Merasa terancam? for fun? atau untuk kepentingan keuntungan finansial ? Silakan Anda ambil kesimpulan.

Sejak dari Bukit Lawang itu, saya memiliki cara pandang terhadap eksistensi hewan langka ini secara berbeda, jauh lebih baik daripada sebelum saya mengenalnya. Miris hati saya melihat foto-foto di media, di mana mereka ditangkap, dibantai, untuk sebuah alasan yang tidak bisa diterima.

Saya sangat mengapresiasi banyaknya pihak, organisasi, personal, artis, public figure, yang menunjukkan kepeduliannya terhadap hak-hak binatang ini. Tulisan ini muncul dari kegelisahan saya, sedih, saat membaca timeline akun twitter seorang public figure, yang juga artis, presenter TV Berita Nasional, orang yang menurut saya well educated, tetapi melakukan kebodohan dengan nge-twitt:

"Kenapa #saveorangutan sih, gak kenal juga, mending kita #saveorangtua byk pahala :)"

1. Iya, saya tahu "it was a joke"
2. Tapi itu adalah joke yang tergaring, tidak lucu, tidak sensitif terhadap kondisi terakhir, yang keluar dari seorang presenter berita, yang televisinya sendiri memberitakan pembunuhan terhadap 750 orangutan di Indonesia. Hello...??? masih berpikir ini lucu?
3. Lalu ada yang membela : "pesan moral dari twitt itu adalah kita harus menyayangi orangtua kita" saya bisa mati ketawa. Karena menurut saya, pembelaan itu adalah kebodohan lain, again, stupid !! Bagi saya ini ngeles yang sangat bodoh. 
4.Come on, menyayangi orang tua dan peduli terhadap orangutan, itu bukan hal setara yang bisa dipersandingkan. Itu lelucon yang menurut saya lahir dari kedangkalan berpikir.
5. Sejujurnya saya terganggu, karena ini keluar dari seorang public figure, dengan followers yang sudah mencapai puluhan ribu orang, dan di-publish di publik, Yang bukan tidak mungkin akan mempengaruhi opini orang. Duh. Well dude, itu gak lucu dan kau sedang mempermalukan dirimu sendiri. But thanks anyway sudah mendelete TL itu. Bagus lagi kalau ada permintaan maaf, sebagai tanggung jawab moral karena kau sedang meracau di atas kerja keras jutaan orang yang concern dan peduli akan keberlangsungan hidup orangutan.  

Watch your thoughts, for they become words
Watch your words, for they become actions
Watch your actions, for they become habits
Watch your habits, for they become character
Watch your character, for it becomes your destiny

Regards,
A

foto:  liberationbc.org

Tuesday, November 15, 2011

Jadi Raja Dua Malam di Bandung

 
have fun di Trans Studio Bandung
Sudah banyak saya bercerita tentang bagaimana mencari dan tinggal di penginapan, hostel, hotel murah atau sekadar tempat berteduh saat saya traveling. Semua bermuara pada prinsip yang sama, semurah mungkin senyaman mungkin. Tetapi selalu saja antara “murah” dan “nyaman” ini susah berteman akrab. Kadang beruntung sih, menemukan keduanya tampak akur. Karena biasanya, nyaman itu akan lebih senang berteman dengan mahal.
Bicara tentang kenyamanan to the max, sejauh ini memang saya baru merasakan kenyamanan di hotel bintang empat, yaitu di salah satu hotel di Senayan, Jakarta. Itu pun saat saya menjadi jurnalis, dan mendapatkan undangan meliput perhelatan kompetisi band-band tingkat nasional yang diselenggarakan salah satu brand rokok terkemuka. Bintang empat lainnya adalah beberapa hotel yang memberikan saya voucher menginap. Bintang lima? Nah, ini yang saya belum pernah.



Kali ini saya akan bercerita tentang liburan saya menginap di hotel bintang lima, haiyaa !!. Nah…nah, bukan, saya bukan sedang dis-orientasi dari seorang budget traveler menjadi flashpacker. Ini sekadar sharing aja. Tetapi gini lho, pada dasarnya manusia itu kan menikmati kenyamanan, dan itu manusiawi. Karena menurut saya, gaya traveling yang on budget itu bisa diakibatkan dua hal, pertama karena kepepet duit cekak, yang kedua punya duit tapi memilih menjadi budget traveler. Dalam konteks pertama, orang yang tidak punya duit dan lebih suka gaya backpacking, tinggal di hostel murah, dorm, dan lain sebagainya, kalaupun ditawari nginap di hotel bintang lima juga pasti tidak nolak kan? :P Sementara yang kondisi kedua, punya duit tapi suka backpacking, bisa jadi once in a while dia juga pernah menginap di hotel bintang lima kan? Nah, inilah yang saya sebut manusiawi. Ini hukum alam.
Itu di atas adalah self defense mechanism saya hahahha. Tapi lebih dari itu, mari hajarrrr saja nginap di bintang lima. Begini, ceritanya temen saya yang travel writer terkenal itu, yang punya blog naked-traveler.com yang paling terkenal itu , iya the one and only Trinity, ngajak saya liburan di Bandung.
bareng Denny, Trinity, Danti, dan kru Trans Studio

“Kasihan kau belum pernah menginap di hotel bintang lima.” Jleb-nya udah menembus ulu hati  saja rasanya hahaha. Tapi siapa nolak juga diajak dia nginap di hotel bintang lima.

Nggak mikir panjang dong, langsung siap sedia, packing. Apalagi sebelum D-day, saya dapat sms dari Trinity, kalau kami akan menginap di executive suite room. Waaaaaa….standard room saja sudah juwara, gimana executive suite room ya? Pasti moyangnya juwara.

D-day tiba. Kami menginap di Executive Suite Room, thepapandayan.com Bandung. Saya sudah diwanti-wanti sama Trinity “Gak boleh pake sandal jepit” dugaan dia benar, saya sudah punya niat jahat: menggunakan alas kaki kebesaran saya “Sandal Jepit” hehehe. Nggak tau kenapa, mungkin karena kebiasaan di manapun saya traveling, saya selalu membawa sandal jepit hitam produk Bata (boleh kok nyebut merek di blog saya :P ) yang super nyaman. Alhasil, saya datang pake sepatu, dengan sandal jepit di dalam backpack, teteup.

Saat saya cerita akan menginap di  The Papandayan Hotel, temen saya yang asli Bandung  langsung nyamber saja “Bukannya sudah tutup?” Nggak kok. Memang dalam dua tahun terakhir, mereka melakukan renovasi gede-gedean. Dan baru buka April 2011 kemarin, dengan fasilitas pelayanan bintang lima. Jadi saya ini termasuk yang beruntung menikmati fasilitas mereka yang lumayan baru. Eh, meskipun masih relatif  baru direnovasi, nggak ada lho bau-bau cat atau material bangunan. 

Begitu masuk, saya langsung diajak makan siang di Pago Restaurant. Makan siang ala buffet, dan saya merutuki nasib, kenapa tadi saya harus makan siang dulu sebelum ke hotel, sekarang perut saya sudah full. Tapi saya sempat mencomot beberapa makanan di sana. Saya sih demen banget sama dim sum-nya. Sayangnya, dim sum ini cepet habis, karena banyak yang suka. Chicken Yakiniku-nya juga enak, atau nasi goreng Jepangnya. Menu yang lain, hidangan penutupnya juga pantas ditunggu, saya suka es krim kopyornya. Ini es krim home made, rasanya lembut, terus di tengah kelembutannya itu saya masih bisa merasakan serat-serat lembut dari kelapa mudanya.

Sampai di sini, saya belum cerita lho tentang kehebohan kamarnya…sebentar yaa. Saya juga dibikin penasaran sama Trinity, soalnya saya belum boleh masuk, bahkan untuk sekadar naruh backpack saya.

Saya harus menyimpan penasaran saya dalam-dalam. Karena begitu kelar lunch, Pak Edi, PR Manager The Papandayan Hotel, sudah menculik saya, Trinity, Danti dan Denny ke transstudiobandung.com Danti dan Denny adalah pasangan suami isteri temannya Trinity juga. Kami pun menuju ke Trans Studio Bandung yang selama ini saya hanya dengar gembar-gembornya di televisi.
Parade Trans Studio setiap jam 17.00

Kami disambut Mbak Tasha dan Mbak Melia, PR Trans Studio Bandung, yang siap mengantar kami untuk menjelajah Trans Studio Bandung (Thanks Mbak2). Kami siap menghajar wahana extreme. Sejujurnya nih, saya dari kecil pengen banget yang namanya naik Roller Coaster. Tapi, jangankan Trans Studio Bandung, ke Dufan Ancol saja saya belum pernah…hihihi, malu-maluin sih. Sudah beberapa kali sih ke Universal Studio, Singapura, tapi cuma sampai halaman depan doang hahaha, nggak rela cyiiin buat bayar tiket masuk yang hampir Rp 500.000 itu !

Nah balik lagi ke Trans Studio, tidak ada waktu buat berleha-leha, begitu nyampai, langsung dihajar Yamaha Coaster. Maaak…sumpah, ini coaster bikin jantung copot. Udah gitu, setelah copot, itu jantung dimasukin lagi ke tempatnya semula….jleeeeeebbb !!!. Kenapa bisa? Iya, karena coaster yang satu ini selain berjalan di rel secara maju kayak coaster lainnya, dia juga mempunyai efek mundur secara cepat yang konon tercepat di dunia tuh. Jadi pas maju….jantung berasa lepasssss…..begitu sampai ujung, langsung mundur super cepat, dan tuh jantung dah balik lagi masuk dada..waaaaaa….so far, puwassssss….
Ini dia Si Vertigo itu
Belum kelar ngumpulin nyawa, saya sudah harus mencoba wahana yang lebih extreme, yaitu Vertigo. Okay, saya beritahu Vertigo itu apa…jadi saya duduk di kursi, dikunci, dan menempel pada sebuah poros. Lalu kursi itu berputar 360 derajat, demikian juga porosnya berputar secara tidak bersamaan, dan kita diayun muterrrrrrrr….sumpaaah sereeeeem. Adrenalin saya berloncatan tidak keruan, sementara mulut tidak berhenti berteriak.
Puas dengan Vertigo, saya butuh waktu beberapa saat untuk menentramkan diri, sebelum harus mencoba Giant Swing. Tenang, ini cuma ayunan biasa kok, yang ke kanan dan ke kiri hihihi…bohong ding. !! Sejujurnya, menaikinya adalah cara sempurna untuk melupakan patah hati. hahaha...seriuss , gak ada waktu mikirin itu. Yang ada mikir, saya bakal mati nggak ya? hahahah. Ini cara kerjanya memang seperti ayunan, tetapi dengan ketinggian yang cukup membuat orang berkeringat dingin. Diayun kanan kiri dengan efek putaran…jantung saya sudah dag dig dug derrrr…berkelebat 200 km/jam. 


Tiga itu saja, saya sudah menyerah. Kalaupun mau mencoba wahana extreme lagi, mungkin harus nunggu esok harinya hahaha. Nah, berikutnya, saya mencoba Sky Pirates. Ini mah cuma untuk relaxing, gak serem, bagus untuk menentramkan diri setelah mencoba wahana extreme. Berupa balon udara berbentuk aneka perahu, lalu bergerak sesuai jalur rel di atas area Trans Studio. Berikutnya, mencoba Niagara, berbasah-basah. Tidak se-extreme wahana sebelumnya, tapi cukup bikin kita teriak-teriak sih.




Dunia Lain adalah uji nyali berikutnya. Tapi bagi saya, tidak menakutkan, karena memang saya lebih takut orang daripada hantu hihihi. Setelah menjelajah Dunia Lain, kami istirahat, menyantap es teller yang bisa dibeli dengan kartu yang bisa di top-up. Usai istirahat, beberapa temen mencoba Negeri Raksasa, wahana yang melempar kita di ketinggian, untuk dihempaskan ke bawah. Saya? Absen dulu, perut gak mau diajak kompromi, takut muntah di atas hahaha. Alasan.
kamar mewahku itu

Kelar dari Trans Studio Bandung, kami balik ke  The Papandayan Hotel. Dan sodara-sodara, inilah saatnya saya tahu seperti apa bentuk kamar saya. Kami tinggal di lantai 5, executive room, kamar 525 dan kamar 531. Begitu sampai di lantai 5, hmmm…lantainya…super empuk. Kok bisa? Yaiyalah, lantainya dibalut dengan karpet bulu yang tebel. Saya berjalan bak di awan. Sempet kepikiran sih, gimana tadi kalo sebelum masuk hotel saya injek tai kuda? Sayang dong karpet ini hahahaha.


Nah, yang kamar 531 itu, seberangnya adalah President Suite. Saya udah berasa pengen mendobrak pintu itu aja, tinggal di dalamnya, dan mengunci pintu rapat-rapat hahahaha. Iya, soalnya President Suite Room itu hanya saya kenal dari film-film Hollywood. Belum pernah tuh yang bisa merasakan aslinya.
Lupakanlah, kembali ke executive room. Pintu pun dibuka…taraaaaaaaaa…satu ruangan terlihat. Kamar mandi tamu ada di samping pintu masuk, lalu kita akan menuju ke sebuah ruangan dengan sofa duduk gede satu, meja panjang dengan aneka buah-buah dan makanan sebagai compliment, di bawahnya ada lemari untuk minibar, lalu di atas meja itu terpasang layar tv flat super besar. 

Ruang tamu ini dilengkapi dengan meja kerja, satu meja set meja makan bundar, serta satu set sofa dengan coffee table yang rendah. Ruangan ini kemudian terhubung dengan ruang tidur, disekat dengan jendela lipat, di dalamnya terdapat bed king size dengan sprei putih rapi, dengan bantal-bantal gendutnya yang minta dipeluk. Sebuah sofa duduk gede menghadap ke televisi. Ya ada dua televise super lebar di dalamnya. Lalu, di kamar ini terdapat kamar mandi yang super komplet, ada bathup super gede, dengan semua keperluan yang diinginkan ada, sampo, sabun susu, conditioner, alat cukur, hair dryer, apapun…pokoknya komplet. Sejujurnya, saya tidak biasa dengan fasilitas-fasilitas ini, jadi memang sedikit gagap. Tapiiiii…It’s Heaven !! 
Kedinginan, wong ndeso masuk hotel bintang 5
Dan, di Bandunglah saya menjadi raja tiga hari dua malam. Makan malam pun saya kalang kabut gak tau caranya. Kata Trinity, makan malam kali ini adalah Ala Carte artinya, kita makan secara memesan. Nah, kalo buffet kan gampang tuh, ambil sesuai pengenan. Kalau Ala Carte, kita makan urut, dari pembuka, utama hingga penutup. Nah..nah…karena saya belum pernah makan model beginian, jadi deh kayak rusa masuk kampung, udiiiiik banget. Gak papa, setidaknya saya belajar. Tapi para staf hotel sangat membantu sekali, keramahannya super deh. Jadi tidak sempat tuh yang tengak tengok gak jelas. 
Minggu siang, berat rasanya meninggalkan The Papandayan Hotel. Karena itu berarti saya juga harus melepaskan mahkota raja saya sampai di sini hahaha. Bener-bener pengalaman seru, nginep di hotel bintang lima pertama kali, nyoba roller coaster pertama kali, dan dinner ala carte pertama kali juga. Thanks Miss T atas liburan mewahnya. Buat yang baca, maap kalau tulisan saya kali ini ndesooo....biarin weks ! :)

Tuesday, November 1, 2011

Kena Sweeping di Thailand

*Tulisan ini dimuat dalam Anthology Blog The Naked Traveler, tanggal 23 Agustus 2011.

 Green Bus membawa saya keluar dari Chiang Mai Arcade Bus Station dengan tujuan ke Chiang Rai. Bus yang bagus, nyaman dengan kaca rendah, sehingga pemandangan di luar terekam sempurna. Menghajar wilayah utara Thailand yang berbatasan dengan Myanmar adalah misi saya. Bus cakep ini akan membawa saya ke Mae Sai, wilayah akhir sebelum mengakses kota kecil miskin dan kumuh yang berada di ujung selatan Myanmar, yaitu Tachileik. Bus pun melaju di jalan bebas hambatan yang bagus, halus dengan pemandangan kanan kiri hutan atau perbukitan, serta permukiman penduduk. Saya sengaja berangkat agak pagi, biar bisa puas melakukan tur sehari di Myanmar.
Semua serba lancar sampai kemudian dinginnya AC bus memaksa saya ke toilet di bus. Untung toiletnya bagus dan tidak bau. Bus belum masuk ke Mae Sai, saat saya memulai ritual buang air kecil. Pintu toilet pun saya tutup. Belum juga tetes terakhir, gedoran berulang di pintu membuat saya kaget. Dengan belum membetulkan ulang celana secara sempurna, saya bergegas membuka pintu. Dalam benak saya, mungkin pagi ini ada yang makan cabe terlalu banyak sehingga seperti kalap ingin menggunakan toilet. Perkiraan saya keliru. Di depan saya berdiri laki-laki berseragam hijau, dengan senjata entah jenis apa di tangan kanannya, dan topi ala tentara Jepang namun tanpa penutup telinga. Ekspresi wajahnya datar saja. Dia adalah tentara!
Chang wesuh kra be wos wus wes!” serentetan kalimat meluncur dengan nada tinggi dari tentara itu tanpa saya tahu artinya. Saya cuma bengong saja menatapnya. Belum juga beberapa detik bengong, dia kembali membentak. Mungkin dia pikir saya orang setempat. “I’m speaking English. I’m Indonesian, Sir,” ujar saya dengan lantang dan intonasi jelas. Seketika dia berhenti membentak. Lalu jarinya memberi kode untuk saya mengikutinya, beranjak dari toilet yang berada di bagian belakang bus. Saya baru sadar, bus ternyata berhenti di pinggir jalan. Di luar, tampak belasan tentara, dua di antaranya telah berada di dalam bus saya. 
Saya mendekati kursi, menatap harap pada teman saya yang orang Thailand untuk mengambil alih situasi. Menyadari situasi, teman saya pun langsung berdiri berbicara dengan tentara yang memepet saya. “Okay! Passport! Passport!” perintahnya begitu kelar berbicara dengan teman saya. Buru-buru saya ambil paspor dan menyerahkan ke tentara itu. Tiga kali dia memandang ke saya dan mencocokkan wajah saya dengan foto di paspor. Beberapa saat kemudian, dia menyerahkan paspor dan berkata sesuatu ke teman saya, sebelum akhirnya pergi, turun dari bus seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Pffh….saya lega bukan alang kepalang. Tetapi, sejujurnya saya tidak tahu situasi apa yang sedang saya hadapi. Saya cuma tidak ingin terlalu lama berurusan dengan tentara, di mana pun saya traveling. Gila apa?!
Saat bus melaju meninggalkan pemeriksaan tentara itu, teman saya bercerita bahwa apa yang baru saja terjadi adalah pemeriksaan tentara yang sweeping imigran gelap dari Myanmar. Bagi penduduk Thailand, tidak akan menjadi masalah, hanya akan dicek identitasnya. Tentara itu curiga kepada saya karena pada saat pemeriksaan saya berada di toilet, wilayah yang sangat mungkin digunakan imigran gelap untuk bersembunyi. “Tambah runyam karena kamu tidak bisa menjawab pertanyaan mereka,” ujar teman saya. “Bagi mereka, wajahmu tak berbeda dengan wajah orang Thailand atau Myanmar. Wajar kalau mereka curiga.”
Imigran gelap dari Myanmar memang menjadi persoalan serius bagi pemerintah Thailand. Organisasi kemanusiaan memperkirakan ada lebih dari 2 juta imigran gelap Myanmar di Thailand yang selalu diburu polisi. Situasi politik yang tidak stabil di wilayah selatan Myanmar juga membuat semakin banyak pelarian warga Myanmar ke Thailand.  Ini seperti sebuah “Impian Thailand”, melintas ke negeri gajah putih demi hidup yang lebih nyaman, meninggalkan kemiskinan dan konflik bersenjata yang mendera warga di wilayah Selatan Myanmar.
Sorenya, puas dengan tur satu hari di Tachileik, saya pun kembali ke Chiang Mai. Lagi-lagi saya bertemu para tentara di sejumlah titik. Mereka memeriksa dengan seksama setiap penumpang. Saya tidak mau berbicara banyak, langsung saja menyodorkan paspor ketika salah satu dari tentara mendekat. Malang bagi seorang gadis yang duduk di kursi depan saya. Dia tidak mampu menunjukkan identitas dan dibentak-bentak. Gadis yang pernampilan sangat sederhana itu tampak panik. Suara bersahutan antara si gadis dan tentara yang tak saya pahami berakhir pada diturunkannya gadis itu dari bus diikuti si tentara. Duh, saya berasa ikut syuting film perang! Sepanjang perjalanan itu pula saya selalu membayangkan, kira-kira apa yang terjadi dengan gadis yang diturunkan dari bus itu ya?