Saturday, December 5, 2020

Novel "Yu Limbuk" (Pemenang Kompetisi Novel #Comfortfood Storial Kategori Premis Terbaik)

 

Saya telah menulis lebih dari 10 buku genre travel, tetapi banyak yang tidak tahu sebenarnya saya adalah lulusan Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Sejak sebelum menulis di genre travel, saya sudah menyukai penulisan jenis fiksi. Ketertarikan saya dengan dunia fiksi timbul karena sejak SD saya suka sekali baca, apapun! novel (anak - dewasa), komik, majalah, you name it. 

Saat kelas 3 SMA di SMAN 2 Solo, saya pernah memenangkan lomba penulisan Cerpen tingkat Jawa Tengah sebagai juara 1 dan panitianya adalah sebuah komunitas literasi di Purwokerto. Saya diundang ke sana, tapi tidak datang karena surat pemberitahuan datang terlambat. Selain itu, saat itu saya merasa berjuang sendiri, tanpa ada yang tahu, pun sekolah. Padahal lomba itu diadakan bekerja sama dengan majalah bulanan pelajar di Jawa Tengah, yang didistribusikan ke seluruh SMA se-Jawa Tengah, termasuk sekolah saya. 

Kemenangan itu membawa saya mantap untuk kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, UNS. Sayangnya, saat kuliah ini malah saya nyaris tidak pernah menulis. Sejak semester 2 hingga lulus, saya sibuk siaran di radio, yang membuat saya lupa akan "fitrah" belajar menulis. Baru beberapa tahun setelah lulus, saya ingat kembali akan apa yang saya inginkan, yaitu menulis. Ini bersamaan dengan saya bekerja sebagai jurnalis di Harian Umum Solopos. 

Tapi dunia menulis kejam saudara-saudara. Mudah sekali untuk patah hati karena penolakan-penolakan dari penerbit. Saat itu industri penerbitan masih jaya ya, dan saya adalah salah satu orang yang ingin sekali bukunya diterbitkan di penerbit mayor, utamanya adalah Gramedia Pustaka Utama. Tetapi sepertinya naskah saya tak layak cetak, selalu dikembalikan. Saya juga ikut banyak kompetisi, tapi tidak pernah berhasil.

2009, Saya baca ada kompetisi penulisan buku traveling yang diadakan Bentang Pustaka, salah satu penerbit mayor yang juga lagi naik daun. Ikutlah saya, bodo amat genre-nya apa. Kita disuruh bikin itinerary jalan kemana pun kita mau, lalu kalau terpilih akan diberangkatkan. Serem kan? hahaha. Eh lha kok nyantol. Saya pilih negara China dan akhirnya terbang ke sini.

Singkat cerita, ditambah buku-buku hasil kolaborasi dan antologi, total ada 12 buku saya yang telah diterbitkan di penerbit mayor, dengan genre travel semua. Sampai pada suatu titik saya merasa capek. Lalu teringat kembali apa sebenarnya yang saya inginkan. Setelah melalui proses hibernasi beberapa tahun, tahun 2020 saya ingin kembali mewujudkan cita-cita jadi penulis novel. Kembali ke akar, kembali ke kata hati. Sayangnya pada saat yang sama industri buku juga lagi memble. Hingga kemudian saya melirik platform digital. Saya mencoba Wattpad...lumayan sih, novel saya sudah dibaca 500 kali (padahal penulis lain dibaca jutaan wakakaka). Tapi nggak tahu kenapa saya tidak merasa cocok dengan Wattpad. Akhirnya pindah ke Bookslife. Ini pun saya tidak terlalu mendapatkan atmosfer nulis yang bikin "gembregah" atau semacam membuat kita antusias, on fire. Hingga kemudian saya memilih Storial.

Saya suka Storial karena menurut saya aplikasi atau web ini sangat dinamis (meskipun secara teknis menurut saya aplikasinya memble hahaha). Genre yang muncul juga beragam, tidak dominan novel teenlit misalnya. Saya menemukan banyak novel serius, penulis dengan ide-ide dan cerita kreatif, yang membuat saya bisa belajar untuk lebih baik. Oya, di Storial nyaris setiap bulan juga ada kompetisi lho. Bagi saya, kompetisi menulis ini penting, karena membuat penulis memiliki goal yang jelas buat apa dia nulis. Mau alasan karena ingin dibaca kek, atau ingin dapat hadiah uang yang mencapai jutaan, bagi saya tidak masalah. Ketika kita memiliki motivasi tertentu dan kuat, maka kita akan melakukannya sepenuh hati. Ini menurut saya penting dalam kita  belajar menulis. Yang kedua, mengikuti kompetisi membuat kita taat deadline, sehingga tergerak untuk segera menyelesaikan tulisan kita. Yang ketiga, dengan berkompetisi, membuat kita ingin menampilkan kemampuan terbaik kita. Begitu kira-kira.

Nah, periode Juli-Agustus 2020 lalu Storial menggelar kompetisi menulis novel dengan tema #Comfortfood. Novel harus menceritakan sebuah kisah dengan latar belakang kuliner Nusantara. Menarik bagi saya sejak saya adalah penikmat makanan dan suka jajan. Ikutlah saya ke kompetisi ini. Novel yang saya tulis adalah "Yu Limbuk", berkisah tentang ikon kuliner di Solo, yaitu Yu Limbuk dengan gudeg andalannya. Di usia senja, eksistensi Yu Limbuk makin naik. Tetapi di sisi lain, cobaan semakin menjadi. Hingga saat Yu Limbuk meninggal, tujuh orang anaknya menjadi benteng terakhir eksistensi ikon kuliner Solo ini, apakah akan tetap berdiri atau hilang ditelan jaman (juga karena intrik pesaingnya). 

Saya menulis dengan senang hati dan menikmati prosesnya. Hal ini karena saya penyuka gudeg (yang kering) dengan suwir ayam dan cecek (krecek) dan areh yang banyak. Saya juga mencoba agak sedikit nakal dengan melekatkan gudeg dengan nama Solo, bukannya nasi liwet, bukan pula Selat Solo atau Tengkleng. Saya pakai pertimbangan sederhana saja, bahwa bahkan sejak saya belum tahu gudeg itu identik dengan Jogja, saya sudah makan gudeg di Solo. Artinya, di Solo pun banyak dijual gudeg enak dan legendaris. 

Singkat kata, novel "Yu Limbuk" diganjar sebagai pemenang untuk kategori Premis Terbaik. Jadi di kompetisi ini ada juara 1, 2, 3, lalu pemenang favorit juri, premis terbaik dan terakhir kategori karakter terunik. Ada enam pemenang dari ratusan novel yang masuk. Nah, bagusnya di platform digital, kita tahu tuh siapa saja pesertanya dan jumlah pesaing kita, bukunya judulnya apa sekaligus bisa baca, karena memang didaftarkan secara terbuka.

Sebenarnya sebelum "Yu Limbuk" ini saya sudah memiliki novel genre horor yang terdaftar di Storial dan sudah dipinang Storial sebagai novel premium (artinya sudah dimonetisasi). Nanti saya ceritakan di tulisan lain. Novel "Yu Limbuk" membuat saya yakin akan kemampuan nulis saya di genre fiksi setelah sekian lama saya merasa tidak percaya diri.

Buat yang mau baca, bisa buka di web atau apk-nya Storial atau klik link ini: 

https://storialco.page.link/jBsv

Ditunggu kritik sarannya ya...


Saturday, October 10, 2020

Setelah Sekian Lama...

Gila, saya bahkan nyaris lupa punya blog ini.

Sampai kemudian pas goleran nggak ada kerjaan dan main laptop, inget dengan blog ini. Mengingat kembali apa yang pernah terjadi dengan hidup saya melalui blog ini terasa sangat menyenangkan. Jadi kayak kembali saat masih SD, ingetnya main mulu...problem terberat hanyalah PR matematika!

Kemana saja saya? Saat ini posisi di Solo setelah melepas kerjaan di Semarang. Kalau traveling, saya tidak ingat kapan persisnya terakhir jalan saking kelamaan nggak jalan. Tetapi terakhir kali saya jalan ke luar negeri adalah ke Vietnam - Kamboja- Thailand (lagi). Vietnam dan Kamboja adalah salah satu keinginan saya sejak lama untuk mampir ke sana. Kalau Thailand, memang selain pijakan untuk balik Indonesia atas nama tiket murah, juga karena pengen nyantai di ujung perjalanan di Chiang Mai.

Dulu, saya tidak menyangka akan sejauh ini. Inget sekali saat masih kerja di koran, tiba-tiba telepon di meja saya bunyi. Seorang teman menawari saya tiket pp Solo-Singapore gratis dan voucher SGD 100. Saya iyain itu. Super excited, karena saya belum pernah ke luar negeri. Itu tahun berapa ya, sekitar awal 2009 kalau nggak salah. Tiket akhirnya hangus karena saya terlalu banyak pertimbangan, maklum belum pernah ke luar negeri. Tapi voucher belanja bisa kepakai pada kunjungan saya pertama ke Singapore. Pada akhirnya, saya tetap berangkat di bulan Oktober tahun 2009. Sejarah perjalanan pertama saya adalah: Singapore sebagai negara pertama yang saya kunjungi, lalu Malaysia, Thailand, serta Myanmar. Sekarang alhamdulillah sudah tambah China, Vietnam, Kamboja. Kalau ke Singapore dan Malaysia sudah bolak-balik, karena pernah jualan trip juga. Kalau Thailand sudah tiga kali. Nggak pernah kepikiran sebelumnya bakal jalan ke luar negeri.

Kalau dalam negeri sepertinya terakhir kali ke Lombok atau Lasem (?) saya lupa-lupa ingat mana yang lebih dulu. Setelah itu saya lebih banyak di Solo. Ngapain? ya nggak ngapa-ngapain. Hidup kan tidak melulu soal traveling. Ya ada kerja, berkumpul sama keluarga, nongkrong sama temen, goleran di rumah. Tapi emang, orang berubah, prioritas berubah, persoalan baru, dan lain sebagainya. Demikian juga saya.

Tetapi memang ada titik balik dalam hidup saya, terkait soal aktivitas di dunia traveling dan bagaimana saya memandangnya. Sejak sebelum perjalanan ke Vietnam dan Kamboja, saya sudah merasa ada yang salah dengan apa yang saya lakukan. Saya seperti melakukan traveling untuk target tertentu, misalnya untuk konten buku, blog, atau sekadar berbagi di sosial media. Dan itu mulai membuat saya "capek". Kadang esensi jalan-jalan buat bener menikmati perjalanan juga ilang. Memang tidak semua, tapi di kasus saya sering terjadi.

Sebelum ke Vietnam dan Kamboja, seseorang menghubungi saya dengan penawaran yang mungkin kalau ditawarkan waktu saya lagi excited dengan traveling pasti saya terima. Tetapi dia datang di saat yang tidak tepat: saat saya merasa "capek". 

Jadi ada lomba membuat semacam rencana perjalanan ke Eropa. Saya dihubungi penyelenggara untuk ikut, dengan iming-iming akan dimenangkan. Saya bilang nggak bisa dong. Lalu yang bersangkutan bilang, ya sudah nggak usah jadi peserta tapi bikin rencana perjalanan nanti akan di-ACC. Tentu ini masih terkait lomba, yang entah bagaimana caranya mungkin akan dikemas sedemikian rupa seolah bagian dari lomba? entahlah. Yang jelas saya menolak. Saat diiming-imingi USD 1.000 sebagai uang saku pun saya menolak. Ada beberapa alasan:

1. Nafsu traveling saya lagi rendah.

2. Sejujurnya saya bukan orang yang pengen ke Eropa (saat itu...dan saat ini), karena realistis saja, meskipun dapat uang saku, bakal keluar duit sendiri juga. Sementara saya lagi nabung dan butuh modal untuk usaha yang sudah mulai jalan. Jadi sudah beda prioritas. Sudah mikir, sayang juga ya duit segitu hanya habis buat sekian hari doang.

3. Harus bikin buku, dengan konsekuensi saya jalan pun nggak menikmati karena sibuk cari data, observasi, kumpulin foto, dan lain sebagainya, pulang pun masih dikejar target. Saya sudah bikin beberapa buku traveling, mungkin karena itulah sudah berkurang excitement-nya.

Bagi traveler lain mungkin kesempatan itu bakal disambar dengan suka cita. Anggap aja dapat tiket pp gratis ke Eropa dengan uang saku itu, Tapi ya itu, saya sendiri sudah "capek". Ini sebenarnya peluang bagi traveler lain ya. Jadi sekadar gosip nih, penyelenggara ini kenal baik dengan saya. Tetapi berdasarkan pengalaman, kalau bikin lomba traveling susah sekali menemukan orang yang komitmen untuk menyelesaikan kewajibannya (karena kebetulan travelingnya harus independen alias jalan sendiri). Pernah nih, dulu bikin lomba, sudah nemu pemenang, sudah ditransfer duit untuk melakukan perjalanan, eh anaknya menghilang. Duit nggak balik, kewajiban sebagai pemenang tidak dijalankan. Nah, lho...

Makanya mereka rada-rada waswas kalau bikin lomba. Kebetulan karena saya pernah menang, ngerjain tugas dengan tuntas tunai lunas, mereka seneng. Tapi ya itu tadi, kebetulan saja sekarang lagi "capek".

Sebelum ke Vietnam dan Kamboja itu pun saya mendapatkan undangan untuk ngisi acara di Balaikota Bandung (itu yang dibilang panitia dari sebuah universitas di Bandung). Semacam talkshow traveling bareng Jebraw Jalan-Jalan Men. Dengan yakin saya menolak. Karena memang saya tahu diri, sudah mulai jarang traveling dan merasa rada kurang relevan dengan dunia pertravelingan sekarang. Padahal teman-teman menyemangati "Kamu tuh masih relevan."  Okelah, taruhlah saya ngerti bagaimana cara traveling on budget, ngakalinya, dan lain sebagainya. Tetapi jam terbang saya kan juga nggak banyak. Di luar sana, banyak banget yang jam terbang tinggi. Jadi ya saya pikir, cukuplah yang kemarin-kemarin itu. Kecuali, ada kecualinya nih...kecuali ada momentum saya meluncurkan buku baru dan saya cerita soal buku itu. Nah, kalau begitu lain cerita ya. Kekuatan saya emang saya lebih banyak bikin buku. Tetapi kalau jam terbang traveling, banyak yang jauh lebih tinggi.

Di tengah rasa "capek" itulah, saya dapet rejeki dari usaha yang saya rintis. Kebetulan karena longgar, saya pun jalan menuntaskan keinginan saya untuk traveling Vietnam dan Kamboja. Tidak ada target. Pokoknya dua minggu yang bodo amat yang penting saya happy. Hidup saya memang bebas, nggak ada bos atau kantor yang ngatur, keluarga yang "terserah kamu asal nggak merugikan keluarga", tidak ada penerbit yang menunggu naskah setelah perjalanan, no credit card....saya waktu itu memang mulai meminimalisasi ini (Alhamdulillah 2018 saya benar-benar tidak punya Credit Card lagi). Saya pernah sih begini, dua minggu di Kuala Lumpur nggak ada tujuan, cuma menikmati tinggal di sana, lebih banyak ongkang-ongkang, kalau pengen ya jalan ke tujuan wisata. 

Saya benar-benar mengenolkan hidup saya. Menikmati saja. Sudah. Dan ternyata itu menyenangkan! Pulang ke Indonesia pun lebih rileks, beda dengan dulu kalau pulang traveling langsung bingung ngerapiin foto, milih foto, update blog, update sosmed. Yang kali ini saya setel kendo kalau kata orang Jawa. Dibikin santai, nulis di blog pun ya jaraknya mungkin sudah lama dari saat pulang traveling dan sesempetnya aja, atau kalau nggak pengen ya nggak usah ditulis. Banyak materi yang tidak saya tulis. Kalau sosmed lebih simple, nggak butuh banyak effort, beda dengan blog.

#Ini tentu tidak berlaku bagi mereka yang menjadikan ngeblog sebagai pekerjaan dan hajat hidup mereka. Kebetulan memang saya tidak menjadikannya sebagai pekerjaan. 

Ya begitulah. Sejak itu saya tidak ingin punya target ini itu. Meskipun kemudian ada aja teman yang bilang "Makanya nggak sukses." atau "Gimana mau kaya kalau kayak gitu." Dan lain sebagainya. Terserah sih karena perspektif orang macam-macam, pun pendapatnya. Kalau saya, merasa nyaman dan aman dengan hidup saya, bagi saya itu sudah termasuk sukses. Dunia ini kan macam-macam, yang kaya tapi bunuh diri juga ada. Yang kaya merasa hampa juga ada. Yang miskin merasa bahagia pun ada. Memakaikan baju kita ke orang lain belum tentu pas, kadang kedodoran atau kadang kesempitan. Kenapa? ya karena beda ukuran. Begitulah hidup.

#Sudah tidak jalan-jalan lagi?

Itu pertanyaan yang paling sering ditanyakan ke saya. Nggak salah sih karena kebanyakan yang nanya adalah teman yang saya kenal dari dunia traveling. Ya jawaban saya standar aja, ya masak iya orang hidup nggak pakai jalan-jalan? iya tentu masih jalan-jalan, meskipun tipis-tipis misalnya. Tapi bukan traveling yang kemudian jadi kewajiban dan "kewajiban". Kalau ada duit dan pengen jalan ya traveling, kalau nggak ada duit ya nggak usah maksa sampai ngutang buat traveling, atau nguras tabungan yang sebenarnya buat tujuan lain. Emang pernah ngutang buat traveling? Lha emang credit card bukannya utang juga ya? Kan dulu pernah pake credit card juga. *Habis ini dirajam pemakai credit card. Nggak sih, konteks ini bener-bener buat diri saya sendiri, mengingat saya pekerja informal, ya menurut saya nggak usah main credit card. Noted: saya bukan pejuang antiriba, jadi nyantai aja.

Mungkin karena semakin tua ya jadinya berubah. Sekarang saya menyibukkan diri untuk menjalankan usaha. Kadang pengen jalan, tapi malasnyaaaa...kalau sudah goleran di kamar apalagi. Nulis tetap lanjut, tetapi memang saya ingin melepas citra sebagai travel writer. Saya lulusan Sastra Indonesia yang dulu kuliah diajarin nulis, jadi sepertinya nggak bakal jauh-jauh dari hal itu. Emang kesukaan saya sebenernya di nulis, kemudian karena terbuka kesempatan nulis soal traveling ya udah diambil. Tetapi, pada dasarnya nulis dulu, travelingnya belakangan. Sekarang lagi belajar nulis novel, memanfaatkan platform digital semacam Storial, Kwikku, dan lain-lain, Carilah kalau kebetulan punya akun di sana, akun saya @ariy.

Begitulah curhat saya...

Setelah sekian lama, apa kabarmu? Semoga sehat-sehat saja di masa-masa berat sekarang ini. Nahan diri buat nggak traveling dulu kali ya...

Salam.

Ariy