Thursday, June 30, 2011

Kemewahan hotel Rp 65.000 ala Sumenep

Penginapan kerap menjadi persoalan substansial saat kita traveling. Apalagi kalau destinasi kita adalah kota kecil, atau daerah yang bukan termasuk kategori kota besar. Saya sudah membayangkan, saya akan tidur di sebuah hotel murah dengan bangunan kuno, kasur lepek dengan berbagai macam noda (yaiks !!) dan toilet yang kotor, saat mengunjungi Sumenep, Madura beberapa waktu lalu. Bukan, ini bukan persoalan di Madura saja, hampir semua kota kecil begitu. Apalagi kalau mencari hotel murah.
Di Pacitan saya menginap di hotel yang super jorok, sehingga tidur pun saya harus beralaskan baju-baju kering saya dan tidak berani masuk ke kamar mandi (saking joroknya) berlama-lama. Di Cirebon, saya juga menemukan hal sama. Di Solo, juga, bahkan juga di Jogja. Lalu kenapa tetap menginap? Harga murah jawabannya.
Memang itulah salah satu masalah yang harus dihadapi saat kita backpacking. Kalau di luar negeri, saya memilih tidur di bandara yang jauuuuuh lebih bersih daripada hotel di Pacitan atau kota-kota kecil lainya itu hehehe, toiletnya sekalipun. Nah, kembali ke Sumenep, saat itu saya sudah berencana menginap semalam. Ada banyak daftar hotel yang sudah saya catat. Rencana saya, akan menyurvei satu persatu, kemudian menentukan pilihan. Hotel sasaran saya adalah hotel di bawah harga Rp 100.000/ per malam.
Masuk ke gerbang pusat kota Sumenep, di arah kiri saya tiba-tiba saya ada neon box biru bertulisan hotel murah dengan rate Rp 35.000 per malem. Serius? awalnya saya sangsi. Apalagi neon box itu berada di depan sebuah bangunan cukup megah bercat putih. Tanpa ba-bi-bu lagi saya mampir. Nama hotelnya adalah Hotel Mitra Land, Jl Trunojoyo 191, Gedungan, Sumenep. Telp-nya? nih saya kasih sekalian 081216409991. Jangan salah ya, saya tidak diendorse pihak hotel, jadi ini artikel tidak berbayar hehehe.
Saya terkesima lho dengan harganya. Sumpah. Saat jalan-jalan, kalau memilih tinggal di penginapan atau hotel, saya selalu mencari harga termurah. Namun demi melihat harga termurah di hotel ini sudah sangat rendah, saya sudah sok aja naikin budget, milih harga yang lebih tinggi. Berapa harga yang lebih tinggi versi saya itu? Rp 65.000 !!! hahaha...sebuah kemewahan.

Padahal, dalam situasi berbeda, saya pasti akan mencari harga termurah. Dan harga termurah di hotel itu sebenarnya fasilitasnya cukup memadai bagi backpacker: Rp 30.000, kamar dengan fan, ada TV lho, hanya kamar mandi di luar. Lebih dari cukup bagi saya yang sudah terbiasa tidur di bandara dan stasiun kereta api Di atas itu ada kamar seharga Rp 40.000/ malam, Rp 50.000/malam. Jangan membayangkan kamar yang jorok, bangunan kuno, mebel jadul kepaksa (artinya bukan karena mebel antik), AC ngorok, dan lain sebagainya. Ini hotel model bangunan modern bercat putih bersih, bangunannya baru, kamarnya juga bersih dengan banyak matahari masuk. AC-nya? kenceng dan AC model baru. TV-nya? berwarna pastilah, cuma ukurannya kecil (kita jalan-jalan bukan mau nonton tivi kan? LOL). Bagaimana kasurnya? bagus, dengan bed yang masih empuk padat, sprei putih bersih. Kalau interiornya? simply beautiful Sederhana, tapi rapi dengan gaya minimalis. Bagaimana toiletnya? meski tidak western toilet, tapi tetap bersih kok. Gak ada tuh kerak-kerak menjijikan dan lain sebagainya.
Di resepsionis kita bisa membeli snack murah seperti emping melinjo, kacang mete, dan berbagai macam keripik dengan harga mulai Rp2.000,00 per bungkusnya. Lokasinya juga gampang ke spot-spot utama di Sumenep. Sayangnya hanya satu, tidak disediakan minum dan sarapan. Tapi come on....murah ini masih mau "kemewahan" lagi?  Singkat kata, ini hotel paling best-lah buat backpacker. Sudah the best, masih pakai paling lagi.

Terus kenapa saya mati-matian merekomendasikan hotel ini? Karena itulah ganjaran yang harus diterima pemilik dan pengelola Hotel Mitra Land Sumenep saat mereka memberikan harga terbaik dan fasilitas maksimal bagi backpacker. Bisa jadi contoh tuh buat pengelola hotel lainnya. :)

Monday, June 27, 2011

Cara ngeteng ke Gunung Bromo

Inilah gunung yang ketenarannya sudah mendunia. Muncul menjadi bahasan guide books kelas dunia, dan menjadi dambaan traveler dunia untuk menjamahnya. Tak heran, begitu masuk Probolinggo, kota kecil yang nota bene bukan kota pariwisata yang terkenal, kita bisa menemukan banyak turis berkeliaran. Apalagi kalau bukan untuk menuju Bromo.
Gunung Bromo adalah gunung yang masih aktif dan secara teratur mengeluarkan asap dengan ketinggian mencapai 2.392 meter dpl. Dalam kondisi normal, kita bisa berada di tepi kawah Bromo dengan naik anak tangga berjumlah 249 buah. Namun, saat saya berkunjung ke sana, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru masih ditutup untuk umum karena statusnya masih membahayakan. Jarak aman adalah dua kilometer dari puncak Bromo. Dalam kondisi normal, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dibuka untuk umum, inilah tiket masuk yang harus Anda bayar:

 Wisatawan lokal Rp6.000,00
 Wisatawan asing Rp25.000,00
*tiket sudah termasuk asuransi.
Saya beruntung tidak harus membayar karena loket tutup dan lokasi sebenarnya belum dibuka untuk umum karena status Gunung Bromo aktif. Beberapa kali terdengar deru keras seperti suara pesawat terbang dari jarak dekat, kemudian disusul asap tebal hitam membubung. Walaupun begitu, situasi itu masih relatif aman.
Saya juga menikmati Bromo dari Penanjakan II. Penanjakan adalah view point yang paling bagus untuk menunggu matahari terbit atau sunrise. Ada dua Penanjakan, yaitu Penanjakan II dan I. Yang paling tinggi adalah Penanjakan I. Jarak dari Cemoro Lawang ke Penanjakan II sekitar lima kilometer. Jalan santai sekitar dua jam dari Cemoro Lawang. Namun, ada alternatif untuk menuju sana dengan mudah, yaitu sebagai berikut.
 Dari Cemoro Lawang Anda bisa naik ojek motor, biasanya ditawarkan penduduk sekitar. Harga mulai sekitar Rp15.000,00–Rp25.000,00. Anda bisa mendapatkan harga Rp30.000,00 untuk antar-jemput. Motor hanya akan mengantarkan Anda dari Cemoro Lawang hingga titik akhir di area parkiran tempat mangkal mobil jeep dan motor. Anda masih harus jalan kaki ke puncak Penanjakan dengan kondisi jalur berupa tanah biasa, dan terakhir adalah jalur berupa anak tangga. Bila Anda tidak kuat, Anda bisa naik ke puncak Penanjakan II dengan naik kuda, rata-rata tarifnya Rp50.000,00/sekali jalan.
TIPS
Bila ingin mendapatkan sunrise, berangkatlah pagi-pagi benar menuju puncak Penanjakan. Bila ingin lebih santai, Anda bisa naik ke puncak Penanjakan pukul 3.00 WIB. Paling telat pukul 3.30 WIB Anda sudah harus jalan. Jangan khawatir karena jalur yang akan dilalui sangat ramai pengunjung, dan warga yang menawarkan ojek, jeep, hingga kuda.

Bila Anda beruntung cuaca cerah dan tidak berkabut, Bromo akan terlihat sempurna dari puncak Penanjakan ini. Turun dari puncak Penanjakan akan lebih nikmat lagi, tidak capek. Dari sini kita bisa sarapan dulu di beberapa warung yang ada di Cemoro Lawang. Selanjutnya, bisa jalan menuju ke view point yang ada di lokasi resmi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, dan turun ke Lautan Pasir. Apakah Lautan Pasir itu? Ini merupakan suatu kaldera hasil letusan Gunung Tengger Purba, dengan luas mencapai 5.250 hektar, berbentuk lingkaran dengan garis tengah terpanjang delapan kilometer dan terpendek enam kilometer. Nah, di atas hamparan Lautan Pasir ini terdapat beberapa gunung yang menambah kecantikan kawasan Bromo, yaitu Gunung Batok (2.440 meter dpl), Gunung Kursi (2.581 meter dpl), Gunung Widodaren (2.614 meter dpl), dan Gunung Watangan (2.601 meter dpl). Anda bisa menuju pura yang biasanya digelar upacara Kasodo menggunakan kuda sewaan seharga Rp50.000,00. Sensasinya luar biasa

Cara Menuju Bromo dari Terminal Bayu Angga Probolinggo
1. Naik ojek. Rp50.000,00 sekali jalan. Nilai plusnya adalah, Anda bisa langsung diantar saat itu juga, tidak wasting time.Minusnya adalah, Anda membayar dua kali lipat ongkos
transportasi biasa. Selain itu, bila cuaca nggak jelas seperti sekarang ini, bisa-bisa Anda basah di perjalanan karena kehujanan.
2. Naik mobil Isuzu Bison. Cari mobil yang ngetem di depan Pujasera Terminal Bayu Angga. Keluar dari pintu utama terminal, belok kiri. Nanti Anda akan lihat banyak mobil
Isuzu Bison (mayoritas warna hijau) terparkir. Harga normal adalah Rp25.000,00 per orang. Nilai plusnya selain tidak kehujanan, tentu saja murah. Nilai minusnya, Anda mungkin akan menunggu lama … pengalaman saya, sudah seperti penantian tiada akhir karena tidak juga diberangkatkan. Padahal, sudah menunggu di lokasi ngetem selama tiga jam, dan sang sopir asyik kongkow!

Rute yang dilalui adalah:
Dari Terminal Bayu Angga, Probolinggo menuju Desa Sukapura sejauh 30 kilometer, kemudian menuju Desa Ngadisari sekitar 24 kilometer, kemudian ke Cemoro Lawang 2,5 kilometer. Cemoro Lawang terletak tak lebih dari 2,5 kilometer dari Bromo. Tiba di Bromo, ada beberapa hotel dan homestay yang bisa Anda gunakan untuk menginap semalam.
 Jalur Lain Menuju Bromo
1. Malang–Bromo
Malang–Tumpang : 18 km
Tumpang–Gubuklakah : 12 km
Gubuklakah–Ngadas : 16 km
Ngadas–Jemplang : 1 km
Jemplang–Bromo : 10 km

2. Pasuruan–Bromo
Pasuruan–Warung Dowo : 4 km
Warung Dowo–Tosari : 36 km
Tosari–Wonokitri : 3 km
Wonokitri–Dingklik : 6 km
Dingklik–Penanjakan : 4 km
Dingklik–Bromo : 7 km

3. Lumajang–Bromo:
Lumajang–Senduro : 22 km
Senduro–Ranu Pani : 26 km
Ranu Pani–Jemplang : 6 km
Jemplang–Bromo : 10 km

Saturday, June 18, 2011

Laki-Laki Libya [penolong 2]

Terjebak di Guangzhou selama Tahun Baru China 2010 adalah situasi yang tak terelakkan. Sudah sejak jauh-jauh hari saya diingatkan untuk beli tiket in advance, tapi tidak juga melakukan. Bagi saya, beli in advance atau tidak sama saja, tidak bisa booking online, kalau tidak booking online harus mengantre mengular yang panjangnya luar biasa, bak ular kehilangan ekornya, karena ekornya entah berada di ujung mana halaman stasiun itu. Maka, berharap keajaiban bahwa orang baik pasti ada di mana-mana...nikmatilah Guangzhou lebih lama.

Malam itu, saya berpikir untuk makan di suatu kawasan Taojin. Di sana ada beberapa rumah makan muslim yang cukup murah dan enak. Saya makan di sana sebelumnya bersama Dani Fulop, teman saya dari Hongaria. Menuju ke Taojin dari apartemen Pietro Mincuzzi, teman Italia saya, harus menggunakan kereta api bawah tanah. Cukup cepat, tak lebih 15 menit, dan saya selalu merindukan hangatnya saya menuruni eskalator menuju stasiun bawah tanah. Teman saya dari Jakarta yang berjilbab, mengikuti saja kemana tujuan saya. 
Keluar dari stasiun kereta api bawah tanah di Taojin, kami berjalan kaki beberapa saat menuju rumah makan yang saya tuju. Malam dan buliran hujan masih menjadi teman akrab kami. Wilayah Taojin memang banyak warga muslim. Selain dari China sendiri, banyak warga dari Timur Tengah tinggal di kawasan ini. Banyak dari mereka yang sukses berdagang. Tak heran saya melihat banyak orang-orang dengan hidung mancung berkeliaran.
Kami berjalan di belakang dua orang anak laki-laki keturunan timur tengah yang bermain klethekan benang diikat senar layang-layang. Entah mainan apa itu, tapi satu benang membuat membebat kaki saya dan langkah saya berhenti. Lalu, laki-laki ini berteriak kepada kedua anak itu, dan kedua anak itu berhamburan sambil cekikikan. 

Malam tetap dingin dan buliran hujan masih juga luruh. Tak peduli keribetan kami.

"Assalamualaikum..." laki-laki itu menyapa. Wajahnya khas timur tengah, tapi sangat kasual dan modern. Celana jeans biru, jaket kulit hitam necis. Kali ini saya tidak berprasangka baik. Saya sudah waswas saja. Malam, kadang terlalu sempurna menyembunyikan niat jahat seseorang.

"Salam," jawab saya. Teman saya berjilbab berdiri di samping saya. 
"Are you moslem?" tanya dia demi melihat teman saya yang berjilbab. Saya mengangguk. Dan tak butuh hitungan menit, dia menghampiri kami, dan menyalami saya. "Hey brother...nice to meet you," bahasa Inggris standar keluar dari mulutnya.

Sejujurnya, saya khawatir. Saya sudah membayangkan scene-scene di film Hollywood ber-setting di jalanan The Bronx. Nah, mereka kan selalu memanggil musuh atau kawan dengan brother juga. Tetapi, saya tanggapi saja standar. Toh mau apa juga dia, ini jalanan ramai, polisi atau sekuriti juga mudah ditemui. Teriak saja keras-keras, maka sirene polisi akan menyahut dengan kencengnya. Tapi kalau dia tiba-tiba mengeluarkan pisau dan menempelkan di dada saya, sambil berbisik "Give me your money. Slowly !" gimana coba? Sekali teriak, pisau di angan-angan saya itu pasti akan segera menghujam.


Okay, stop it !!

Tiba-tiba saja dia sangat akrab. Dia bertanya kemana tujuan kami, saya bilang kami akan mencari makanan halal. Lalu dia menunjuk rumah makan yang saya maksud. Saya bilang, iya saya pernah ke sana. Lalu dia kembali menegaskan "We're brother!" dan saya jawab "Sure !" berulang-ulang. Dia bilang, dia ada keperluan tertentu, dan tidak bisa menemani. Tapi mungkin dia akan menemani kami makan.

Well, baiklah.

Kami berpisah. Saya sedikit lega, karena pikiran-pikiran buruk itu hilang sudah. Kami memasuki rumah makan itu. Seperti kemarin, saya kembali menemukan wajah-wajah lucu anak pemilik warung. Berusia antara 7 hingga 15 tahun. Anak perempuan sipit berjilbab, anak laki-laki sipit berkopiah. Demikian juga kedua orang tuanya. Semua mengenakan jeans, dan atasannya adalah jaket warna-warni tebal. Seperti biasa, saya memesan mi ayam serta nasi goreng ala China. Susah bagi saya mendeskripsikan jenis makanan kami, karena saya tidak terlalu mengenal bahan makanan yang dimasak itu, kecuali mi, nasi, ayam, dan beberapa sayuran entah apa. Kami menikmatinya. Sampai...

"Hello my friends...." laki-laki muda berjaket kulit itu tiba-tiba hadir sebagai orang ketiga.

Saya, sejujurnya senang making friends. Siapapun itu, di mana pun itu. Tetapi saya berharap perkenalan yang lebih wajar daripada saling sapa di jalan, di cuaca dingin dan hujan. Sejujurnya, saya selalu berprasangka buruk dengan segala kebetulan. Tetapi laki-laki itu sudah berada di depan meja kami. Hebatnya, teman perempuan saya ingin kencing dan minta ditunjukkan di mana toilet. Rumah makan itu tidak memiliki toilet. Mereka berdua kemudian keluar, dan saya menunggu dengan hati dag dig dug, sambil melototi dua piring makanan yang hampir habis.
Skenario terburuk adalah, teman saya akan dilucuti perhiasan dan duitnya. Maka setelah itu, kami akan menuju ke kantor polisi. Atau kalau teman saya ikhlas, kami akan pulang ke apartemen Pietro seperti tidak terjadi sesuatu apapun.

Cukup lama, sampai kemudian saya menemukan keduanya sudah di depan saya. Huaaaaaaah....what the heck !!.  Baiklah, kita sudahi ini. Usai makan, saya semakin parno saja saat laki-laki itu, yang kemudian mengenalkan diri sebagai orang Libya, menawarkan apartemennya bagi kami. Saya terdiam antara ingin menerima tawaran itu dan mempertimbangkan bahwa kami baru kenalan beberapa jam lalu di sudut jalan di Taojin. Di sisi lain, jatah kami tinggal di apartemen Pietro juga sudah hampir habis, mengingat Pietro akan menampung tamu lainnya dan kamarnya akan dipakai.

Teman saya perempuan memberi tanda, berani mengambil risiko. Baiklah, kami akan lihat apa sebenarnya yang dimaui laki-laki Libya ini. Kami sepakat akan tinggal di apartemennya. Kami akan diantar ke apartemen Pietro dengan naik taksi (hal yang tabu kami lakukan karena mahal) untuk mengambil barang-barang kemudian menuju ke apartemen laki-laki Libya ini. Laki-laki Libya itu berkeras membayar makan malam kami, yang bahkan dia tidak menyentuh satu biji beras pun di nasi goreng yang kami pesan.

Beberapa jam kemudian, kami sudah tiba di apartemen laki-laki Libya itu. Megah, besar, penuh kaca, penuh guci, dan bau uang di arealnya, Orang Kaya !! Lalu kami masuk ke dalam apartemen laki-laki Libya itu. Lukisan Mesir terpampang di dinding, gorden indah menjuntai menutup jendela kacanya. Indah. Ada tiga kamar, saya dan teman mendapatkan masing-masing satu kamar.

Tetapi parno saya belum juga hilang. Sampai....

Beberapa waktu kemudian dia mengingatkan kami untuk sholat. Lemes saya. Langsung saya seperti disambar kereta api. Glek. Saya diam tak bisa berkata apa-apa. Demi Allah, orang yang mengajak saya sholat, pasti bukanlah orang jahat yang akan membahayakan kami, seperti angan-angan busuk di otak saya.

Saya bersiap mengambil air wudhlu di toilet pribadinya yang sangat bersih. Tetapi dia menarik saya keluar dari apartemen, dan menyuruh saya diam di dekat tangga di luar apartemennya. "Wait a second" kata dia. Saya cuma diam seperti kebo dicucuk hidungnya. Beberapa menit kemudian, dia sudah keluar membawa baskom berisi air hangat, untuk saya berwudhlu. Kata dia, membersihkan diri untuk menghadap Tuhan tidak boleh dilakukan di toilet. Toilet itu kotor, sebersih apapun kondisinya. Saya terdiam.

Kebaikannya seakan mengalir deras tanpa bisa saya cegah.

Sebuah toblerone big size diberikan buat saya dan teman saya. Lalu kami dipersilakan bila ingin memasak, tersedia telur, roti ala timur tengah yang entah apa namanya, daging, dan lain sebagainya. Kami berbincang akrab malam itu. Saya, seperti sudah lupa bahwa kami baru bertemu beberapa jam lalu. Dia sudah seperti teman sepermainan di kampung saya. Sementara teman saya, juga sangat menikmati kebaikan laki-laki Libya itu.

Besoknya, kami bangun pagi. Rencananya, dia akan mengantarkan kami menuju ke stasiun kereta api untuk berangkat menuju ke Kota Nanning, Provinsi Guandong. Dia, bertanya kepada saya, apakah saya mau menerima pemberiannya? satu buah kaos lengan panjang warna biru muda dan syal penghangat tubuh keren warna biru bergaris hitam sudah siap diberikan kepada saya. Saya menerima itu, karena sepertinya dia ingin sekali saya menerimanya.

Siang itu, dengan taksi (yang lagi-lagi dia bayar), kami diantar ke stasiun kereta api. Meluncur tak pernah henti kata-kata terima kasih dari saya maupun teman saya.
"Jangan lupa sholat," pesan laki-laki Libya itu kepada kami.

Lalu saya tahu, ribuan ucapan terima kasih tidak pernah cukup untuk membalas kebaikan dia. Tak juga mampu menghapus prasangka buruk saya ke dia sebelumnya. Saya juga tahu, adalah hak prerogatif Tuhan untuk mengirimkan malaikatnya dalam bentuk apapun, pun orang berwarga negara manapun. Dan saya beruntung menemukan satu, berwarga negara Libya.

Laki-Laki China [penolong 1]

Angin menerpa saya cukup keras. Hujan luruh adalah kombinasi sempurna musim dingin di China. Lumayan membuat tubuh saya tergagap-gagap, tapi tak mengapa. Toh di Indonesia saya tidak akan menemukan musim dingin. Hari itu, 13 Februari 2010, saya menuju ke Temple of Six Banyan Trees atau yang biasa disebut Liurong Temple karena terletak di Liurong Road.
Liurong temple memiliki sejarah yang cukup panjang, hampir 1.400 tahun, dan merupakan satu dari empat kuil Buddha terbaik di Guangzhou. Dinginnya hari, tak mengurangi orang untuk datang ke kuil itu. Sebagian berdoa, sebagian berwisata. Dan saya, adalah bagian dari mereka yang hanya menikmati rumah para dewa ini tanpa berdoa.
China bukanlah negara mudah bagi saya. Kendala bahasa membuat saya tersesat di mana-mana. Tidak di bandara, ujung jalan tanpa nama, tak juga di tempat wisata. China bukanlah negara yang mudah bagi saya, sejak saya datang di musim dingin, udara ini tidak hanya menusuk, tapi mencengkeram kuat tulang-tulang saya selama perjalanan. Angin tak cukup cukup membelai rambut saya, tapi juga menampar berlebih.
Maka yang membuat semuanya menjadi nyaman adalah, prasangka baik saya. Seperti di Liurong Temple, saya sudah berprasangka baik, apapun masalah saya nanti, pasti akan ada jalan keluarnya. Saat itu, problem hidup saya seperti sudah berat sekali, hidup saya seperti paling merana saja, hanya gara-gara saya bingung bagaimana saya mendapatkan tiket kereta api ke Nanning !!  Huah.
Dan prasangka baik kembali membuat saya merasa nyaman. Saya berpikir, pasti di rumah para dewa akan ada banyak kebaikan. Apakah prasangka baik saya terbukti? Iya. Di depan gerbang Liurong Temple ini saya disapa laki-laki tua ini. Dia menyebutkan namanya, dan kurang ajarnya sekarang saya lupa nama laki-laki itu.
"Dari Indonesia?" aksen aneh menyapa saya.
"Iya..."
Dan tiba-tiba kami sudah terlibat pembicaraan yang seru. Dia mengeluarkan sebungkus rokok, Gudang Garam. "Keponakan saya selalu mengirimkan rokok dari Jakarta." Laki-laki ini dulunya warga Negara Indonesia. Namun sejak situasi politik tidak berpihak pada minoritas China, dia melarikan diri ke Guangzhou dengan menumpang kapal dagang. Saat itu umurnya 17 tahun. Sejak itu, Indonesia hanyalah masa lalunya. Sama seperti beberapa batang Gudang Garam itu, dihisapnya dalam-dalam, dan mengeluarkan kembali dari lubang hidungnya, seperti tak terjadi apa-apa. Hanya bau kretek Jawa yang ada.
"Rokok?"
Oh dengan senang hati, batin saya, demi cuaca dingin sehebat ini. Tapi saya urungkan menikmati surga sesaat itu, karena saya tau, beberapa batang Gudang Garam berikutnya mungkin harus dia dapatkan dua bulan kemudian menunggu kiriman dari Jakarta. Itu juga kalau dikirim.
Bahasa Indonesianya patah-patah. Saya terkadang harus tersesat di beberapa kalimat. Saat itu, dia pasti langsung meminta maaf soal bahasa Indonesianya yang tidak bagus. "Saya mulai lupa, karena sudah lama tidak menggunakannya," tuturnya.
Saya sudah berprasangka baik saja, jangan-jangan dia ada untuk menolong saya. Dia menawarkan mencarikan tiket kereta api ke Nanning. Sebelumnya, dia menemani saya makan siang. "Tas didekap di dada saja. Banyak pencopet," sarannya.
Dari Liurong Temple, kami makan siang di rumah makan muslim. Lalu, dia mengantarkanku menuju ke Guangzhou Railway Station, untuk membeli tiket kereta api ke Nanning. Dan perkiraan saya terbukti, bahwa tanpa dia, saya akan kesulitan untuk mendapatkan tiket. Ada lebih dari 15 loket, dengan semua loket bertuliskan tulisan huruf China. Setiap loket, antreannya lebih dari 5 orang. Beberapa malam mengular hingga ke halaman depan. Tugas saya adalah, menemukan loket yang melayani perjalanan menuju Nanning. Dan saya tidak akan berhasil tanpa laki-laki itu.
Laki-laki itu mewujudkannya. Tiket Nanning saya pegang di tangan. Dan dia tersenyum, meminta saya berhati-hati di perjalanan yang akan dimulai nanti malam. Sebelumnya dia bertanya, "Kalau saya ke Jakarta, apakah kamu mau bertemu saya?" tentu saya mengangguk. Saya tuliskan alamat dan nomor hp saya. Beberapa saat kemudian dia pamitan karena harus bertemu anaknya segera. Beberapa foto sempat kami abadikan. Ditutup dengan satu pelukan terima kasih saya.

Dingin masih juga mendekap erat saya. Sedikit tidak terasa, demi melihat kebaikan laki-laki itu. Hmmm...saya selalu merasa jadi orang kurang ajar bila melihat-lihat kembali foto-foto perjalanan saya di Guangzhou, dan kemudian berhenti di laki-laki itu. Damn, saya lupa namanya!! Terkutuklah saya.

Friday, June 17, 2011

Majestic Guangzhou: Five Goats, A Thousand Charms


       With the help of a gift of five goats from the gods, merchants magically transformed Guangzhou from a destitute region into one of the most important commercial cities in the south of China. A pleasure boat floats tourists along the Pearl River, which flows through the middle of the city, whilst colourful flowers spread brightness over the green hills at the foot of Mount Yuexiu. Ariyanto, author of the book Sixteen Days in South China on Two Million Rupiah, shares some of his adventures.
         The rooftops of houses in Sakai are colorfully impressive.– Gathot SubrotoOf the various kinds of New Year recognised around the world, the one that the population of Guangzhou most look forward to is, of course, the Chinese New Year.
        As I strolled through town, the same rain that was falling in little droplets and gusts of wind that were blowing through my hair, were making the ten million citizens of Guangzhou fold their arms tightly across their chests and snuggle inside their thick coats. It was certainly cold, but things carry on as normal. Winter, which comes early in the year, doesn’t erase people’s smiles, in fact it makes them smile all the more as they await the Chinese New Year.
        The charms of Guangzhou are not diminished by falling temperatures. Rather than spend the days shut up indoors, its citizens like to be festive and outgoing when celebrating the turn of the year, as according to the Chinese calendar. This is also a time when, in keeping with their culture, family members sit around the dining table and children, mothers, fathers and relatives from all corners of the city gather in their homes. It’s a spiritual period during which millions of Guangzhou’s citizens also meet up and travel together.
      These days, Guangzhou is an industrial city packed with tall buildings, factories and large shopping centres. It’s not primarily a tourist destination, or at least that’s the assumption that tourists often make and not entirely without justification. However if one gets to know Guangzhou a little better, one will encounter a city covering 7,400 square kilometres that is truly able to charm any traveller.
     The story goes that, long before the skyscrapers appeared, Guangzhou, or Panyu as it was called at the time, was a poverty stricken region. Its soil was arid and its people were hungry. Fortunately though five gods descended from the heavens, riding on five goats, and gave the local people five wheat seeds. As it turned out, these gifts from the gods had a telling effect: poverty decreased and commerce grew. This legend lies behind the erection of the Statue of the Five Rams, which can be found down in Yuexiu Park.
       The rooftops of houses in Sakai are colorfully impressive.– Gathot SubrotoLeaving myths aside, several archaeological findings dating from the Tang Dynasty (618-609 BC) show that the city was a magnet for merchants from Arabia, India and Persia. This mercantile momentum heralded the development of Panyu as a business centre, while also corroborating the bequest of the gods, who sat astride their rams. During the sixteenth century, merchants from the West also began to feel the pull of trade in the city and eventually, in 1918, the name Panyu was officially changed to Guangzhou.
        What with the presence of its iconic statue, Guangzhou also boasts the title Wuyangcheng, or the City of Five Rams. It is also known as the City of Flowers, due to the beautiful blooms that can be found all over its surrounding districts.
      A visit to Guangzhou takes in modernity on one hand and the legacies of antiquity on the other. Guangzhou Baiyun International Airport, with its modern architecture, is the main gateway for foreign tourists. Travelling around the city is a breeze and buses and underground train run along routes that extend all over town. Fares typically cost between CNY 2 and CNY 12 (IDR 2,700-16,000). Guangzhou is also a key hub for travel to other cities in China, from Nanning in the south to Xinjiang in the north, and also acts as a regional hub for travel to Southeast Asia, the Middle East, India and Africa.
        Often referred to as Canton, the city has successfully exploited its position as a transit point and regional hub. All tourists’ needs are catered for, and this goes for first class travellers as well as for backpackers. A range of traditional and international menus, which include halal cuisine, are easily found and the tourist industry has expanded over the years in tandem with the city’s rapid development. Those who enjoy their package tours will feel pampered, whilst independent travellers will not feel neglected either. Tourism is flourishing in other words and foreign airlines are currently competing to open direct routes to Guangzhou.
       Although starred hotels predominate, cheap and clean accommodation at an affordable nightly rate of around the IDR 80,000 mark is still widely available. There’s no need to break the bank when it comes to eating either. In the Taojin district, for example, large portions of halal foods such as chicken rice and rice noodles will set you back only IDR 8,000, whilst roadside snacks such as baked sesame bread (IDR 2,700) are also very satisfying.
         As with any international city, cosmopolitan culture flourishes in Guangzhou and its citizens exhibit a high degree of tolerance. The city is home to 52 ethnic minorities and Muslims mingle freely with the Buddhist majority. Its long history trade with the Middle East has given also given rise to a small community of Arab Muslims.
        Shopping enthusiasts can truly immerse themselves in Guangzhou and all sorts of local products can be found alongside top international brands in the city’s many shopping centres. Local brands can be found in particular abundance down in the famous Beijing Lu shopping district, an impressive pedestrian precinct that is free of motor vehicles.
        In several spots in Beijing Lu, old rocks and stones handed down from the era of the kingdoms can be seen. Fragments of stone, once used to make roads, are cluttered together and framed. Officially, the Beijing Lu district has existed since 1966, however its role as a trade centre dates all the way back to the Nanyue Kingdom (203-111 BC)
        From Beijing Lu, I made my way to the Pearl River, Guangzhou’s biggest waterway. The river’s name derives from the large, pearl-resembling rock that sits in its centre. The main attraction here is sailing up the river in a pleasure boat and taking in the views along its banks and the best time to do this is in the evening, when the lights on the bridges twinkle enticingly.
        I enjoyed a Pearl River cruise on a boat that was also decorated with lovely illuminations. It’s interesting to note that although the Pearl River does not possess clear waters, its surface is free of garbage and pollutants, such as detergents and other chemical substances. How is this possible when Guangzhou is a city crammed with factories spewing out waste day in day out?
        Local people revealed the secret to me. Every year, a traditional boat race is held on the river, as well as a swimming competition that takes place between the companies that are located along the river’s banks. The participants are all the management and staff of these companies. It stands to reason that if the riverbank factories pollute the river with waste, they will simply be poisoning their own workers. This seems like a very smart strategy for tackling pollution!
      The clean river sustains the livelihoods of the communities living along it and keeps the wheels of the economy turning. There are clubs and restaurants offering great dining along its banks, whilst superb river views can be seen everywhere and a veritable army of street artists all offer to immortalise tourists’ faces on canvas.
        Travelling around and exploring Guangzhou is perhaps most enjoyable during the autumn, when the air is relatively cool and which lasts from October to November. Another good time to visit is after the winter, in March or April, as spring blooms. If you want to experience the biggest celebration of the year first hand however, then why not come over for the Chinese New Year (which is this month!) whilst the city is still in the cold embrace of the chilly winter air?
       Whatever season one chooses to visit, Guangzhou’s air is always fresh, thanks to the presence of many forests and gardens within the city limit. On my trip, I also visited Yuexiu Park, a beautiful location in which the citizens of this industrial city like to picnic or hang out together. Visitors to the park can also admire the elegance of Mount Yuexiu, go boating on artificial lakes, hike or just enjoy the pretty flower gardens. And, if you fancy changing your Facebook profile picture to something really special, then the park also offers photo shoots during which you can don traditional, imperial era Chinese costumes.
       The park is 860 square metres in size and comprises an almost perfect blend of human creativity and natural riches. It contains three manmade lakes, Mount Yuexiu’s seven foothills, the city’s iconic Five Rams statue, the Zhenhai Tower, the site of the Ancient City Wall which is a legacy of the Ming Dynasty, and the Square Cannon site.
       Orchid fans can also indulge themselves at the Guangzhou Orchid Garden, which sits opposite the main gate to Yuexiu Park. The garden, which covers 3.9 hectares, is the result of the expansion of the Botanical Garden, which was rebuilt in 1957. Over 200 species of orchid thrive here and the complex can be easily be reached via the city’s subway system.
        I also took the subway to another popular tourist spot, the Sun Yat-Sen Memorial Hall, which is located on the southern slopes of Mount Yuexiu. The complex, which is spread over six hectares, was built in 1929 in honour of Dr. Sun Yat-Sen, a leading Chinese democratic revolutionary. Designed by the renowned architect Lu Yanzhi, the complex houses a statue and a 12,000 square metre meeting hall. Many cities around the globe have nearby mountain ranges in which weary citizens can shake off their fatigue and refresh themselves.
         While Jakartans might take a break up in Puncak, the people of Guangzhou have their fun up at White Cloud Mountain, which lies around 17 kilometres from the city’s northern outskirts. The best time visit the mountain is in the spring, when the flowers bloom in a riot of colour.
        On my visit, I scaled the highest peak and drank in the amazing city panorama which lay before me. I could clearly make out the Pearl River splitting the metropolis neatly in two.
        Those who enjoy a little spiritual tourism should head to Guangzhou’s Buddhist temples. Of the four most impressive temples, the Temple of the Six Banyan Trees is the most famous.
          Located in Liurong Road, this temple is better known as Liurong Temple. It has a long history stretching back about 1,400 years, although its various buildings have been renovated and renamed several times. It was given the Six Banyan Trees name by Su Dongpo, an eminent scholar during the Song Dynasty. A pagoda on stilts and a statue of the Laughing Buddha comprise the main attractions here.
        As I made my way along Liurong Road, I came across a market complex where traditional, intricate Chinese souvenirs were being peddled, and this is well worth a look.. Those of the Muslim faith can also pay a visit to the Huaisheng Mosque, one of the oldest mosques in China, which stands witness to the seventh century spread of Islam to the Land of the Bamboo Curtain.
*) Tulisan ini dimuat dalam Garuda Inflight Magazine sebagai cover story, edisi Januari 2011.

Tuesday, June 14, 2011

Keliling Guangzhou dengan Public Transportation


Pengalaman saya pertama kali menggunakan transportasi publik di Guangzhou, benar-benar heroik (atau mungkin saya bego). Pada malam hari, saya menuju Guangzhou East Railway Station yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari apartemen Pietro (teman saya dari Italia). Tujuan saya adalah ke Taojin untuk bertemu Dani Fulop (teman saya dari Hongaria) yang keesokannya akan ke Nanning bersama. Saya akan naik subway menuju ke Taojin. Persoalan muncul saat masuk ke Guangzhou East Railway Station. Di sana melayani tidak hanya kereta Guangzhou Metro yaitu subway system, tetapi juga kereta regular. Parahnya, saya tidak tahu kemana arah ke subway dan di mana harus membeli tiket. Tidak ada tulisan latin dalam bahasa Inggris yang bisa menjadi pegangan saya. 
Saya seperti orang tolol, tanya satu orang ke orang lain dan tidak mendapatkan jawaban apapun. Kemudian di salah satu loket, saya melihat ada tulisan “English Speaking Counter”. Kelegaan tiba-tiba menyergap. Saya pun bergegas menuju counter itu. Seorang petugas perempuan menyambut saya dengan ramah. Saya pun sok yakin bertanya dengan bahasa Inggris. Dan apa jawabannya, dia nerocos dengan bahasa China! Alamaaakkk, English Speaking Counter? And nobody speak English. Bagusssssss!!.
Saya pun dilempar ke loket lain, dan ternyata tak ada juga yang paham dengan bahasa saya. Saya mencoba ke loket lain lagi dan mencoba berbicara semampu saya. Agak lama, sampai tiba-tiba seseorang berteriak di belakang saya dengan keras. Ketika saya menoleh, di belakangan saya sudah ada antrean calon penumpang cukup banyak. Gilaaa, perasaan tadi saya sendirian. Sampai kemudian mata saya tertuju kepada seorang bule yang berjalan di depan loket. Tanpa berpikir panjang, saya bertanya ke mana saya harus membeli tiket menuju Taojin. Dengan ramah dia menunjukkan arah menuju subway, dan saya tinggal membeli koin untuk naik kereta subway melalui vending machine. Ougghh…akhirnya.


 TIP:
Bila ingin mendapatkan informasi dalam bahasa Inggris, coba bertanya kepada orang asing. Banyak bule yang mahir berbahasa Mandarin. Kebanyakan mereka adalah guru bahasa Inggris di China dan cukup mengenal China. Selain itu, coba bertanya kepada remaja-remaja usia sekolah atau pekerja kantoran. Tidak menjamin memang, tetapi kemungkinan untuk menemukan orang yang bisa berbahasa Inggris lebih besar.
Guangzhou Metro, subway system-nya Kota Guangzhou sebenarnya sangat simple dan memudahkan kita untuk mencapai satu daerah ke daerah lain di Guangzhou. Hanya dengan tarif antara 2 CNY hingga 12 CNY (Rp2.732-Rp16.392), tergantung jauh dekat jaraknya, kita bisa berkeliling Kota Guangzhou. Kita tinggal menuju salah satu station, dan membeli koin di vending machine yang menggunakan layar sentuh.  Ada beberapa line yang dibedakan atas warna. Biru, teal, kuning, hijau, merah, dan oranye.
 

INFO:
  •  Tiket perjalanan satu kali jalan:
Dibeli di mesin penjual tiket otomatis (vending machines). Seperti kebanyakan kota di Asia, tarif berdasarkan jarak. Tarif berkisar antara 2 CNY (beberapa stasiun) hingga 12 CNY (perjalanan terpanjang) atau dalam rupiah Rp2.732-Rp16.392. Tiket berupa contactless hijau (RF) token plastik. Pengguna harus menekan koin hijau itu pada sensor pada tiket penghalang saat memasukkan dan memasukkan ke dalam slot di gerbang keluar dan token reklamasi. Tiket ini berlaku selama tiga jam dari saat  digunakan, yang berarti Anda harus menyelesaikan perjalanan Anda dalam waktu tiga jam.
  • Yang Cheng Tong Card:
Yang Cheng Tong Card adalah contactless smartcard yang dapat digunakan pada kebanyakan metro dan berbagai fasilitas transportasi umum di Guangzhou. Yang Cheng Tong Card menawarkan 5% diskon untuk setiap perjalanan di metro.
  •  Ada tiga jenis karcis bulanan:
• 55 CNY (Rp75.130)  karcis bulanan selama 20 satu perjalanan sebulan
• 88 CNY (Rp120.000) karcis bulanan selama 35 bulan perjalanan tunggal
• 115 CNY (Rp157.000) karcis bulanan untuk 50 tunggal perjalanan sebulan


Menggunakan kereta subway sangat mudah, murah, cepat, dan nyaman. Panduan sederhananya adalah sebagai berikut :
1.    Kita datang ke salah satu stasiun subway. Cari vending machines (mesin untuk mendapatkan koin token warna hijau). Kita bisa memasukkan uang kertas atau uang koin 1 CNY ke dalam mesin. Dalam beberapa kasus, seperti yang saya alami, uang kertas yang lecek kadang tidak berhasil untuk transaksi. Solusinya bila kita tak memiliki koin 1 CNY, silakan menuju ke booth, atau box yang melayani penukaran uang koin.

2.    Pada vending machines akan terpampang layar jalur kereta subway dan line-nya. Pertama, kita lihat posisi kita di line warna apa terlebih dahulu sebelum menentukan tujuan. Setelah kita tahu posisi kita di warna apa, kita mencari tujuan kita. Misalnya kita berada di posisi Guangzhou East Railway Station (line 1 warna kuning), kita ingin menuju ke Jiakou (line 5 warna merah), kita bisa melihat di titik mana kita harus ganti kereta saat tiba di interchange station (transfer ke kereta lain). Setelah itu akan muncul di layar berapa tarifnya. Bila kita ingin membeli dua koin token, tinggal mengganti angka di layar dengan jumlah yang kita inginkan. Masukkan uang, dan selesai. Token hijau akan keluar.

3.    Sama dengan sistem subway di negara lain, bila nominal yang kita bayar kurang dari jumlah yang harus kita bayar untuk jarak yang kita tempuh, maka token tak akan bisa membuka palang di exit gate. Jangan panik, segera ke booth yang ada di setiap exit gate, dan serahkan koin token dan minta petugas recharge token, dan kita akan membayar kekurangannya.

Selamat Datang di Jawa Timur

Kesempatan untuk mengeksplorasi beberapa wilayah di Jawa Timur bersamaan dengan menggebu-gebunya keinginan saya untuk menjelajah sebagian wilayah eksotis di daerah ini. Jawa Timur sebenarnya bukan wilayah yang tidak pernah saya jamah. Sejak kuliah, saya sudah berulang kali berkunjung ke Surabaya. Tapi, ya, cuma dalam urusan-urusan tertentu, dan tidak pernah menyempatkan waktu untuk benar-benar mengenal kota ini.
Lalu, muncul keinginan untuk datang ke Malang akibat gosokan teman-teman saya yang sudah menjamah kota ini. Lalu, muncul lagi keinginan untuk ke Bromo setelah muncul sindiran dari teman-teman backpackers dari luar negeri, “Bagaimana mungkin kau belum pernah ke Bromo? Semua traveler dari penjuru dunia memimpikan untuk datang ke sana, yang hanya beberapa jam dari tempatmu berada. Bagaimana mungkin kau belum pernah ke Bromo?” Lalu, saya bulatkan tekad untuk menuju sana, dan beruntung mendapatkan kesempatan untuk dibukukan oleh B-First.
Selamat Datang di Jawa Timur . Secara statistik, inilah provinsi paling timur di Pulau Jawa dengan luas wilayah mencapai 47.922 km2 dan jumlah penduduk mencapai lebih dari 37 juta jiwa. Inilah provinsi yang memiliki potensi sempurna dalam hal wisata. Mulai sejarah, kuliner, budaya, alam, hingga wisata religi. Inilah provinsi yang karakter penduduknya dinilai kasar, keras, dan lugas, yang dalam kenyataannya saya justru mendapatkan karakter-karakter sebaliknya, yang baik, tulus, dan tidak basi-basi. Inilah wilayah yang banyak memiliki tempat-tempat plesiran indah seperti Malang dan Batu, serta taman-taman wisata modern yang tidak kalah dengan yang ada di Jakarta, misalnya Jatim Park 1 & 2. Inilah provinsi yang memiliki sejumlah pulau tersembunyi, perawan dan menunggu untuk dijamah, seperti Pulau Sempu dan Kepulauan Kangean di Madura. Inilah wilayah yang akan membuat lidah Anda bergoyang dengan kenikmatan kulinernya.
Buku ini memang tidak akan mampu memuaskan rasa penasaran dan menjawab semua pertanyaan Anda tentang berwisata di Jawa Timur. Masih banyak lokasi wisata lain yang mungkin belum terekspos. Namun, setidaknya buku ini akan mampu menjawab pertanyaan awal Anda: “Berwisata ke Jawa Timur itu enak nggak, sih?” Tak diragukan lagi, Indonesia kaya akan potensi wisata. Banyak di antaranya yang belum tergali, sudah ditemukan, tetapi belum terpoles secara sempurna, dan banyak juga di antaranya yang minim kunjungan. Virus traveling yang sengaja kami sebar semoga akan mampu menggiatkan pariwisata Indonesia, khususnya yang masih belum terekspos secara luas. Akhirnya, selamat datang di Jawa Timur.