Wednesday, February 29, 2012

"Ditangkap" Polisi di Malaysia


17 Februari 2012, Jumat itu sebenarnya saya tinggal menghitung hari saja sebelum kepulangan saya ke Indonesia. Tanggal 19 Februari pagi-pagi saya sudah harus terbang dari Kuala Lumpur ke Semarang. Secara keseluruhan, saya juga telah menyelesaikan trip ke Malaysia ini, dan dua hari terakhir saya ingin bersantai saja di Kuala Lumpur.
Sejak kepulangan saya dari Melaka, saya sudah browsing, kira-kira saya akan menginap di mana malam itu. Saya memutuskan untuk menuju ke kawasan sekitar Masjid Jamek. Pilihan pertama adalah kembali ke Serai Inn di mana saya menginap di hari pertama, tetapi di sisi lain, saya melihat beberapa hotel murah di sekitar Serai Inn juga, yang ingin saya coba. Kebiasaan saya adalah, mencoba hotel-hotel murah meskipun misalnya saya sebelumnya telah menemukan tempat yang nyaman.

Saya melihat Cintamani Lodge cukup bagus, berada di pinggir jalan, dan jalan kaki lima menit dari Stasiun LRT Masjid Jamek yang menjadi interchange sejumlah jalur LRT, sehingga memudahkan saya ke mana-mana. Malam itu, saya memutuskan mengambil kamar dorm di Cintamani Lodge. Saya mendapatkan harga 20 RM (Rp 60.000) untuk satu bed di kamar yang diisi tiga bunk beds atau tempat tidur tingkat. Hanya diisi tiga penghuni malam itu, termasuk saya.

Setelah mandi dan beristirahat sejenak, saya kemudian memutuskan untuk mencari makan malam. Saya teringat food court di Central Market yang cukup komplet. Pukul 20.30 saya pun memutuskan untuk menuju Central Market. Untuk menuju ke sana, saya harus mengambil LRT dari Stasiun LRT Masjid Jamek menuju ke Stasiun LRT Pasar Seni. Tidak jauh, hanya sekali jalan dan tidak lebih dari lima menit saja.Sudah tidak terhitung berapa kali saya turun di Stasiun LRT Pasar Seni, karena memang saya sering makan di food court Central Market. Pasar Seni juga sebuah kawasan yang asyik untuk dikunjungi, karena komplet. Di sini kita bisa mendapatkan makanan, souvenir, dan lain sebagainya dengan harga yang cukup murah. Selain itu, untuk menuju ke Petaling Street yang terkenal itu, yang berada di kawasan Chinatown, juga tidaklah jauh dari Pasar Seni.

Singkat kata, naiklah saya di LRT menuju Stasiun Pasar Seni. Turun di stasiun, saya pun menuruni eskalator untuk menuju ke jalan besar. Nah, dari pintu keluar/masuk Stasiun LRT Pasar Seni ini kita bisa mencapai Central Market dengan melalui semacam koridor sekitar 50 meter, kemudian menyeberang jalan, sampailah di Central Market. Koridor ini cukup ramai dengan pejalan kaki, penjualan makanan dan minuman, hingga pengemis. Beberapa kali saya juga pernah duduk di sisi koridor sambil makan bekal roti.
Oya, malam itu gerimis...sejak sore memang hujan. Sejak check in di hotel, saya memutuskan untuk mengganti sepatu dengan sandal jepit kesayangan. Menurut saya lebih simple dan saya tidak ingin sepatu saya basah terkena genangan air di jalan. Jeans belel, t-shirt hitam, sandal jepit, tak lupa daily bag yang selalu menemani saya kemana-mana berisi netbook dan dokumen-dokumen penting.
Melengganglah saya keluar dari Stasiun LRT Pasar Seni, santai dan berbaur dengan orang-orang. Berjalanlah saya di koridor. Karena koridor penuh, saya pun minggir berjalan agak keluar dari koridor untuk segera menyeberang jalan. Saya melihat dua polisi Malaysia di ujung koridor, dan merasa tidak ada sesuatu yang aneh. Sampai kemudian....
"Heyyyyyyy !!"
Sebuah teriakan cukup keras membuat saya memalingkan muka ke arah sumber suara. Salah satu polisi yang merupakan keturunan India melihat ke saya, sambil terus berteriak "Heyyy....!!"Saya tengok kanan kiri, banyak orang di sekitar saya. Tapi telunjuk polisi itu tepat ke arah saya. Polisi India berkumis segede tempe itu menuju ke arah saya.
"IC....IC....!!!"

dohh...keras nian. Santai saja kenapa. "Sorry?" saya berhenti.

"Ya...mau kemana?"
"Something wrong Sir?" tanya saya keheranan. Pikiran saya sudah beraneka warna, bermacam rupa.

"Heei !! saya cakap Malaysia you cakap English !!" hardik polisi itu ke saya.
"I'm so sorry. But it's not easy for me to catch the words when you're talking in Malay," jawabku sekenanya. Saat itu, saya mulai emosi. Bahkan di Indonesia saja, polisi menghentikan orang selalu dengan memberi hormat, ini main teriak saja.
"Kamu kerja apa?" hardiknya lagi. "Boleh saya duduk?" sahut saya mengabaikan pertanyaannya. Saya berpikir akan lebih baik saya duduk di tempat terang, berbicara dengan suasana yang lebih layak, daripada berdiri di tengah jalan dihardik polisi dan menjadi tontonan orang. Saya pun beringsut ke sisi koridor yang lebih terang, dan duduk di sana. Polisi India yang sepertinya berangkat kerja tidak pakai deodorant itu mengikuti saya dari belakang.

"Passport!!"
"Okay Sir, calm down." 

Tangan saya langsung mengaduk-aduk isi daily bag. Duh, saya sudah komat-kamit saja, mana paspor...mana paspor. Semoga tidak ketinggalan. Mampus saja kalau paspor ketinggalan. Saya tidak tahu masalah apa yang saya hadapi, tetapi saya percaya paspor adalah tiket saya untuk keluar dari persoalan ini. Gotcha!!

Paspor saya serahkan. Dibuka, dibolak-balik oleh si kumis tempe ini. Sementara polisi satunya yang merupakan orang Melayu mendatangi kami. Si India kembali bertanya "Apa pekerjaanmu?"


"I'm travel writer!" Saya sengaja selalu berbicara dengan bahasa Inggris kepada si India ini karena jengkel.


Lalu si polisi Melayu bertanya, "Kerja di mana?"


"Saya bekerja di Jakarta."


Tiba-tiba si polisi India berteriak ke arah saya, "Kau bisa bahasa Melayu sekarang? hah?!!" mungkin dia jengkel karena dari awal berbicara dengan dia saya selalu berbahasa Inggris. 


Sejujurnya, saya sangat-sangat tidak bisa menerima perlakuan para polisi ini. Saya adalah wisatawan yang datang untuk berlibur, memberikan devisa kepada negara mereka, dan saya diperlakukan dengan sangat tidak sopan. Ini sebuah tindakan yang sangat tidak bisa saya terima, untuk alasan apapun. Mau tahu versi sopan yang bisa mereka lakukan bila memang mereka harus bertugas memeriksa orang. Begini caranya:

1.Sapa saya baik-baik. Bilang, minta maaf mereka harus mengganggu saya sebentar untuk keperluan pemeriksaan rutin. Misalnya terkait antisipasi imigran gelap atau illegal workers. Minta waktu sebentar.

2. Lalu saya akan tersenyum manis, memberikan paspor saya dengan baik-baik. Lalu mereka mengecek.
3. Bila memang sudah sesuai aturan, mereka bilang mohon maaf atas ketidaknyamanan dan terima kasih telah meluangkan waktu untuk pemeriksaan tersebut. Tak lupa mengucapkan "Selamat berlibur, enjoy Malaysia"

Itu yang harus dilakukan orang berpendidikan dan tahu sopan santun. Bukan main teriak main gertak. Makanya saya tidak bisa terima, saat mereka nyolot saya pun balas nyolot. Saya tahu, polisi India itu pasti sebel dengan tingkah saya. Tapi siapa yang mengganggu siapa? Bukankah saya harusnya yang lebih sebel? Saya melet saja saya si polisi India memeriksa paspor. Sudah 15 lembar terisi dengan stempel banyak, mau apa kau? masih menuduh yang macam-macam? Paspor diserahkan ke saya. Si polisi Melayu meminta saya pergi.


KEDUANYA SAMA SEKALI TIDAK MENGUCAPKAN KATA MAAF ATAS KETIDAKNYAMANAN YANG SAYA ALAMI.


Saya diam saja, saya pandangi polisi Melayu itu (saya bahkan sudah malas memandang polisi India yang masih di samping saya)

"Why are you doing this to me?" tanya saya dengan nada lunak. Saya tidak mau nyolot. Saya hanya butuh alasan kenapa mereka melakukan itu kepada saya. Jawab saja itu pemeriksaan rutin yang menjadi tugas mereka, dan memilih orang di jalan secara random, maka saya akan pergi. Tenang, saya tidak akan berharap kata maaf lagi.Si polisi Melayu diam sejenak. Si polisi India matanya jelalatan kemana-mana, mengabaikan pertanyaan saya.


"Apakah ini yang selalu dilakukan terhadap turis?" tanya saya lagi.


"Okay...okay...you...just go," jawab si polisi Melayu.
"So...this is how you treat tourist?" saya tersenyum nyinyir. Saya bahkan lupa saya sedang berbicara dengan polisi negara lain. Sekali tampol, pingsan saya. Atau bisa saja mereka menangkap saya atas pasal penghinaan yang mungkin ada di aturan hukum mereka. Tapi sebodo amat, saya sudah jengkel.
"Okay...you...go," kembali si polisi Melayu berkata. Lebih lunak.
Saya tersenyum ke arahnya. Sinis. Si polisi India? saya tidak berselera memandang wajahnya. Seperti selera makan saya yang tiba-tiba hilang kemana. Saya pun berlalu, menyeberang jalan menuju Central Market. Saran saya, kalau jalan-jalan di Malaysia, jangan berada di tempat umum seperti terminal, stastion LRT atau yang lainnya pada malam hari, paling lambat jam 22.00 sudah masuk ke hotel/penginapan. Kalau di sekitar spot touristy places masih cukup aman. Bawa paspor kemanapun Anda pergi. Dokumen ini adalah penyelamat Anda, karena aparat keamanan di Malaysia ini sangat parno dengan illegal workers yang banyak di antaranya dari Indonesia. Saya pribadi sering menggunakan bahasa Inggris saat di Malaysia, check point di imigrasi atau urusan lainnya, karena saya tidak suka respons yang intimidatif. Tampang Indonesia saya sangat bully-able alias sasaran empuk buat di-bully.


Saya masih emosi sekali dengan kejadian itu, meski saya sudah berada di Central Market. Batal makan, beli air minum, lalu balik lagi ke Stasiun LRT Pasar Seni. Saya akan melewati koridor itu lagi dan berharap bertemu dua polisi itu lagi. Saya sudah berpikir, kalau sempat bertemu mereka lagi (khususnya si polisi India itu) saya akan bilang:
"Hey, mau periksa saya lagi?!"  SCREW YOU !!

Thursday, February 23, 2012

Trip to George Town (Penang part 3)

Trip ke George Town ini sebenarnya adalah balas dendam saya, setelah kunjungan pertama saya ke Penang tahun 2009 belum menyentuh George Town. Setelah menempuh perjalanan semalam dengan KA Senandung Mutiara dari KL-Butterworth, lalu dilanjut menyeberang dengan Fery ke George Town, sampailah saya ke kawasan nan cantik yang tercatat sebagai kawasan warisan dunia oleh UNESCO ini.

George Town itu semacam mesin waktu yang berpadu dengan moderenitas. Kita akan melihat gedung-gedung bergaya kolonial yang tersembul di antara skycrapers, Bangunan-bangunan tua bergaya kolonial itu saat ini masih berfungsi untuk gedung perkantoran, restaurant, dan lain sebagainya.

George Town (Penang secara umum) kota yang panas. Jadi kalau ke sini, pakai saja kaos katun yang tipis dan menyerap keringat . Jangan pakai warna hitam kalau tidak mau semakin terpanggang :) (Tips!)

George Town dideklarasikan sebagai UNESCO World Heritage Site pada tahun 2008. George Town mempunyai sejarah panjang lebih dari 200 tahun. George Town, in my opinion, it's a melting pot. India, Arab, Jawa, China, dan sisa-sisa kolonialisme melebur menjadi satu dalam kuali besar secara harmonis.
Setelah mengambil peta di kantor tourist information, saya mulai menentukan kemana dulu nih saya akan berjalan-jalan. Saya tidak akan menggunakan bus, begitu melihat kawasan heritage ini cuma satu area saja yang susah kalau dijangkau pakai bus karena akan banyak naik turunnya.
Tujuan pertama saya adalah ke kantor pos. Hehehe. Saya mulai suka ke kantor pos di daerah yang saya kunjungi karena ketularan teman. Di kantor pos, saya beli perangko 20 sen untuk mengirimkan kartu pos ke semua negara. Saya kirim dua, satu buat Ibu di rumah, satu buat teman baik saya di Perancis. Setelah menerima kartu pos (dengan perangko dari negara berbeda), teman saya dari Perancis ini pasti akan kirim SMS atau email: "You're Lucky Bastard!" hahahaha...saking ngirinya dia ngelihat saya jalan-jalan terus.

Kelar dari kantor pos, tujuan pertama adalah Fort Cornwallis. Ini adalah benteng yang didirikan pada tahun 1786. Awalnya adalah benteng kayu yang kemudian diubah ke dalam benteng berstruktur batu bata pada tahun 1804. Beberapa meriamnya di pasang di atas benteng menghadap ke laut, karena memang lokasinya di sisi laut.

Harga tiket masuknya 2 RM. Sebenarnya, menurut saya benteng ini tidak terlalu istimewa. Kita masuk benteng ini, akan menemukan patung, kemudian gereja kecil nan pengap, setelah itu semacam kamar-kamar tanpa pintu yang di dalamnya diisi aneka koleksi sejarah (semacam museum). Sayangnya koleksi ini tidak terurus, berantakan, berdebu, dan lebih tepatnya ini semacam gudang.
Di tengah kawasan yang dikelilingi tembok, hanya serupa tanah lapang, dengan banyak burung gagak yang berkeliaran. Naik ke bagian yang menghadap ke laut, ada beberapa meriam. Turun sedikit ada penjual minuman (satu-satunya). So far, tidak istimewa. Tapi karena murah ya saya gak masalah :).
Gereja kecil dan kuno di kawasan Fort Cornwallis
Oya, di sini saya juga menemukan "my lady" hahaha...satu-satunya hiburan saya di dalam kawasan benteng ini hanyalah berfoto konyol dengan gambar seorang lady dengan kostum ala ningrat Inggris.
Di depan pintu masuk benteng ini terdapat Taman Kota Lama. Standar saja, seperti sebuah alun-alun. Nah, sejauh mata memandang akan tampak Town Hall dan City Hall, bangunan gagah ala kolonial bercat kuning gading.
Saya menyusuri jalur tersebut kemudian belok ke kiri (sesuai arus lalu lintas). Maka kita akan Jalan Masjid Kapitan Keling. Di sini banyak sekali tersebar situs-situs warisan dunia. Mau jujur nih? Sebenarnya tidak terlalu istimewa. Kita banyak memiliki sisa-sisa peninggalan sejarah. Di Surabaya misalnya, saya membayangkan kota lama di Penang ini seperti kawasan Kembang Jepun atau Jalan Cokelat dengan gedung sembahyang milik warga keturunan Tionghoa. Jadi semacam itu saja. Ada juga Masjid Kapitan Keling...mesjidnya bagus, tapi kita banyak memiliki mesjid bagus, di Surabaya ada Masjid Cheng Ho, etc. Pertanyaan saya setelah keliling kawasan ini, kalau George Town bisa masuk daftar UNESCO, kenapa beberapa wilayah di Indonesia yang sebenarnya mempunyai potensi tidak bisa? Ini kembali kepada kemauan pemerintah daerah setempat sih.

Kami keliling masuk klenteng, keluar ke jalan, masuk masjid, keluar lagi. Banyak sekali turis asing di sini, sebagian besar dengan "senjata" kamera-kamera bermoncong panjang dan besar. Memang, George Town sangat tepat buat hunting foto bagus. 
Yang nggak nahan itu panasssnyaaa....padahal perasaan saya sudah biasa dengan panasnya Bangkok, Surabaya, Semarang. Oya, jangan lupa...kalau George Town menjadi pilihan Anda untuk tinggal selama di Penang, di Jalan Masjid Kapitan Keling ini banyak sekali hostel dan budget hotel. Kalau mau ke kota juga gampang, naik aja bus dengan tarif more less 2.5 RM. 
Naik bus kota di Penang itu kenikmatan. Karena begitu masuk ke dalam bus, badan seperti diguyur air es...clesssss......Thanks God untuk penemu AC!
Usai keliling-keliling George Town (sebenarnya belum semua nih), saya langsung ke Komtar (ini kawasan kotanya). Jadi sebelumnya nih, George Town itu suatu kawasan di pinggir pulau-lah. Tetapi ada bagian lain dari pulau ini yang menjadi downtown-nya, di mana kita bisa menemukan kemoderenitasan Penang.

Masjid Kapitan Keling, George Town

Kalau saya rangkum soal Penang, ada tiga area besar yang menurut saya bisa dijelajahi:

1. Penang pesisir (George Town dengan world heritage-nya), kemudian ada juga kawasan pantai, yang paling happening adalah Batu Feringghi dengan pantai, hotel, kawasan sidewalk bazaar dst. Kalau beli souvenir di kawasan Batu Feringghi nanya dulu yak, jangan-jangan di bawa dari Yogyakarta, Solo atau Bali :) . Pengalaman sih nanya-nanya ke pedagangnya hehehe.

2. Penang atas: ini favorit saya. Ada Bukit Bendera (Penang Hill-Baca di "I do Love Penang") , Kuil Kek Lok Si yang cakep, Penang Butterfly Farm (hiks...saya belum sampai ke sini), serta Penang National Park atau botanical garden yang oughhh...mantaps, pengen ke sana lagi.

3. Penang downtown. Di kawasan kota. Terdapat banyak mall dan lain sebagainya. 

Hemat saya, paling tidak butuh minimal dua hari untuk mengunjungi wilayah-wilayah itu. Setahu saya, dari ngecek timetable bus kota di terminal, semua spot wisata ini bisa dicapai dengan bus kota. Maaf bila saya tidak terlalu spesifik memberikan arahan, karena separuh perjalanan saya (khususnya ke Penang atas) diantar teman pakai mobil. Jadi berasa buta saja...tiba-tiba sudah sampai.
Setelah puas berkeliling di George Town, saya siap pulang ke KL. Nah, karena kalau balik ke KL harus menunggu malam hari, sementara saat itu masih sore, maka saya pun memutuskan naik bus. Cara mendapatkan bus, dari George Town naik bus kota ke Komtar dulu. FYI, semua bus kota pasti ke Komtar, ada semacam terminal kecil di sini. Nah, turun di sini, lalu ambil platform nomor 4 (kalau sudah ganti, tinggal baca saja di papan petunjuk, bus yang menuju ke Terminal Bus Sungai Nibong. Lumayan jauh sih, sekitar 20 menitan.
 Tiba di Terminal Bus Sungai Nibong, langsung saja naik ke lantai 2, tempat di mana counter-counter tiket. Saya belajar satu hal, saat tiba beberapa orang membuntuti saya terus sambil menawarkan tiket. Harga yang mereka tawarkan untuk George Town - KL adalah 35 RM. Saya menolak dan menyelamatkan diri di counter roti. Saya berpikir mereka calo dan pasti harganya mahal atau lebih tinggi. Tapi saya keliru. Saat mengecek ke counter-counter lain, saya baru tahu ternyata harganya sama, bahkan ada yang ekstra 20 sen untuk bayar skim Lindungan Mesra alias asuransi. Baru saya sadar, sistem penjualan tiket di Malaysia sebagian besar adalah dengan konsorsium, artinya harga tiket sama 35 RM, hanya berbeda perusahaan otomotifnya. Jadi dalam hemat saya, yang "ngejar-ngejar" saya tadi bukanlah calo tetapi agen pemasaran. Mungkin mereka ditarget atau mendapatkan komisi dari penjualan yang diperoleh.
Saya belajar lagi, naik bus ke KL dengan melewati Penang Bridge, lebih cepat daripada naik kereta api. Busnya nyaman pula. Kereta api memakan waktu perjalanan hampir 7 jam, sementara dengan bus saya mampu mencapai KL dalam 5 jam saja (Tips!)

Nah, bagi yang mau ke Penang, semoga cerita saya berguna. Mari lihat dunia!

regards,

A

Wednesday, February 22, 2012

Trip to George Town (Penang part 2)

Ini adalah trip saya kedua kalinya ke Penang. Tahun 2009, saya mengunjungi pulau ini (baca:I do love Penang), dan waktu itu saya hanya melakukan trip sehari ke sisi "atas" Penang. Saya belum sampai menginjakkan kaki di kawasan heritage di pulau itu, yaitu George Town. Saya berjanji, akan ke sana lagi suatu hari.

Tanggal 11-19 Februari 2012 kemarin niat itu terlaksana. Kebetulan saya ngetrip lagi ke Malaysia. Saya sudah menginjakkan kaki berkali-kali ke negeri jiran ini, namun saya belum pernah benar-benar ngeteng menuju ke satu destinasi ke destinasi lain. Sebelum ini, selalu ada teman yang menjemput dengan mobil dan mengantar saya kemana-mana. Tapi kali ini saya bertekad akan ngeteng saja, pun saat seorang kawan dari Malaysia menawarkan akan mengantarkan saya jalan-jalan, saya tolak dengan hormat.
Tanggal 11 Februari, saya sudah tiba di Kuala Lumpur, masuk melalui LCCT. Hari pertama saya sudah booking kamar di Serai Inn, penginapan yang berada tak jauh dari Stasiun LRT Masjid Jamek (tentang penginapan akan saya ceritakan di bagian tersendiri nanti). Tak banyak yang saya lakukan di hari pertama, kecuali pengenalan medan saja. Hari kedua, 12 Februari, saya sudah janjian dengan seorang teman di KL Sentral. KL Sentral adalah stasiun kereta api yang menjadi stasiun hub untuk transportasi dalam kota, antarkota, hingga antarnegara. Saya janjian dengan seorang teman di sini, dan rencananya akan membeli tiket kereta api menuju Butterworth sebelum masuk ke George Town (Penang).

Saya sudah melihat-lihat timetable kereta api ke Penang dari Kuala Lumpur (KL Sentral):

1. KA Sinaran Utara dari KL Sentral - Butterworth berangkat jam 08.45 tiba jam 16.15. 
2. KA Senandung Mutiara dari KL Sentral - Butterworth berangkat jam 23.00 tiba jam 06.30

Setelah berdiskusi dengan teman saya, kami memutuskan mengambil kereta api malam. Apalagi kalau bukan untuk alasan ngirit penginapan karena semalaman kami akan bisa tidur di dalam kereta (Tips!). Harga tiket yang harus kami bayar adalah 34 RM (Rp 102.000).
(Penting!)Oya, kalau bingung beli tiketnya di mana mengingat KL Sentral itu crowded dan luas banget. Gampang. Kalau tiba di KL Sentral dengan taksi, berarti Anda masuk dari pintu depan, begitu masuk maka kita akan segera melihat desk informasi. Nah, langsung ambil kiri. Di sudut ini, akan terlihat loket berjajar. Ciri lain, kita akan lihat tempat penitipan tas (left luggage). Masih bingung? nanya petugas informasi di desk informasi.
Kalau datang dengan shuttlebus dari LCCT, itu berarti Anda akan masuk KL Sentral dari pintu belakang. Nah, langsung aja masuk kemudian naik eskalator ke level 2. Anda akan menemukan desk informasi. Beloklah kanan, akan terlihat loket-loket berjajar. 
Kalau datang dengan LRT, turun dulu untuk masuk ke KL Sentral, Anda akan tiba di level 1, naik eskalator ke level 2, maka Anda akan bertemu desk informasi, beloklah kanan.

Balik lagi ke rencana menuju George Town, Penang, setelah beli tiket, kami akan menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dulu di KL sampai malam. Kami sengaja tidak membeli tiket balik, karena kemungkinan akan memilih pulang ke KL naik bus. Skip cerita, kami kembali ke KL Sentral jam 21.30. Kereta ke Butterworth akan berangkat jam 23.00. Nah, yang agak membingungkan adalah, di mana peron tempat kami akan menunggu? Ternyata peron tempat menunggu adalah sama dengan area waiting room  di KL Sentral yang bercampur dengan pengunjung lain dan juga penikmat KFC, jadi seperti bukan tengah menunggu kereta api. Untuk perjalanan ke Butterworth, kita harus menunggu di depan KFC level 2. Di sana ada kursi tunggu. Sementara di samping KFC ada eskalator menuju ke basement. Nah, eskalator inilah akses kita menuju ke kereta yang akan membawa kita ke Butterworth. Tetapi sebelum kereta tiba, kita tidak boleh turun dan akses dibatasi dengan tali pembatas. Begitu kereta api tiba, semua penumpang baru digiring turun menuju ke basement untuk naik ke kereta api.
Saya naik ke gerbong M3 KA Senandung Mutiara. Dari luar, tampak biasa saja seperti kereta api kita. Begitu masuk, hmm...lumayan juga. Bersih lho, dengan kursi empuk, dua televisi layar datar di masing-masing sudut, dan AC-nya dingin. Saran, sediakan jaket penghalau dingin (Tips!)
Kereta yang saya tumpangi malam itu tidak penuh penumpang. Banyak kursi kosong. Cukup lega. Oya, saya juga sudah mencoba toiletnya. Seumur-umur, naik kereta api, belum pernah yang namanya saya menggunakan toilet, dan memilih menahan diri. Tetapi kali ini, saya mencoba toilet kereta api ini, bagus, gak bau, toilet duduk, air mengalir lancar, ada tisu juga. Nah, di Indonesia bagaimana?

Perjalanan lebih lama dari yang kami perkirakan. Karena ada sekitar satu jam kereta berhenti entah untuk alasan apa.
Tetapi so far, tidak terlalu mengganggu karena kami menghabiskan waktu dengan tidur. FYI saja, kereta ini juga yang bisa membawa kita ke Bangkok. Rutenya KL-Butterworth-Hatyai-Bangkok. Tetapi perjalanannya dijamin bakal bikin pantat berasap :).

Jam 06.30 seharusnya masih serupa Subuh. Tapi pagi itu sudah terang, meskipun Matahari belum bersinar. Ini karena memang kereta terlambat. Kami akhirnya tiba di Butterworth. Stasiun yang kami datangi masih sementara, ada semacam kegiatan pembangunan yang tengah dilakukan. Nah, Butterworth sendiri sebenarnya bagian terpisah dari Pulau Penang. Untuk menuju ke Penang, kita harus naik Fery ke Pelabuhan di George Town. Caranya? gampang, dari pintu keluar stasiun, ikuti papan petunjuk menuju pelabuhan. Jalan kaki saja, tak lebih dari 5 menit. Ini karena lokasi stasiun tak jauh dari pelabuhan penyeberangan. Nah, tiket Fery di sini juga murah, hanya 1.5 RM. Pakai uang pas, kalau nggak punya, tuker saja di booth penukaran di samping pintu masuk. Kapal Fery ini mengingatkan saya akan kapal serupa yang membawa saya melintasi Selat Madura atau menyeberangi Danau Toba menuju ke Pulau Samosir. Beruntungnya naik kereta malam adalah, tiba pagi dan kalau beruntung, kita bisa melihat sunrise saat menyeberang menuju ke George Town seperti yang saya alami.

Sunrise dalam penyeberangan Butterworth-George Town

Perjalanan tidak begitu lama, sekitar 15-20 menit. Kemudian kita akan tiba di Pelabuhan George Town. Pelabuhan yang cantik yang langsung menghubungkan kita dengan sebuah terminal bus kecil. Di terminal inilah kita bisa mencari bus ke mana saja. Namun, kalau cuma mau keliling George Town, langsung saja keluar terminal dan tunggu Cat Shuttle yang akan berhenti di halte bus depan terminal. Cat Shuttle adalah bus gratis yang akan membawa kita keliling George Town.

Pelabuhan George Town yang cantik seperti pelabuhan-pelabuhan kecil di Eropa




Kami memilih untuk naik Cat Shuttle menuju ke kota. Dari yang kami pelajari di terminal, bus ini juga akan melintasi Core Zone The Historic City of George Town atau kawasan heritage-nya. Bus-nya sangat nyaman dan seperti yang kami duga, bus ini bakal penuh. Saat itu masih sangat pagi saja sudah penuh, apalagi kalau siang hari. Tetapi kami mendapatkan tempat duduk, AC nyaman, dan bus-nya juga bersih. Perfect!
Cat Shuttle
Bus melaju, sekitar 10 menitan kemudian menyusuri Lebuh Pantai (nama jalan), saat kami melihat ada plang bertuliskan tourist information, kami sepakat turun. Tujuan utama sebenarnya adalah mencari toilet, mungkin bisa sekaligus mandi (kalau memungkinkan) atau sekadar gosok gigi, cuci muka, dan lain sebagainya.
Tetapi ternyata, kantor tourist information itu belum buka. Kami memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu. Tak jauh dari lokasi itu, terdapat sebuah food court yang berada di seberang jalan. Bagi saya, Penang selalu menawarkan kelezatan makananya, dan entah kenapa lidah saya selalu cocok. Maka, kami pun mencoba masuk ke dalam food court yang belum terlalu padat pengunjung pagi itu. Di bagian depan terdapat penjual nasi bungkus. Sebenarnya hampir sama dengan nasi bungkus di Indonesia. Isinya nasi, sayur/sambal, dengan lauk beberapa pilihan, yaitu telur atau ayam. Di food court ini terdapat aneka menu masakan, mulai dari masakan khas Penang, Thailand, Mie Jawa, Jepang, maupun Chinese Food. Kami tidak memilih masakan Penang, tetapi lebih tergoda dengan presentasi masakan Thailand, dan akhirnya memilih Nasi Goreng Seafood Thailand, yang seperti gambarnya dan dugaan kami: LEZAT!

Selepas sarapan, kamipun menuju ke tourist information lagi. Kali ini sudah buka. Mbak-mbak yang jaga super ramah. Dia menanyakan apa yang ingin kami eksplorasi, berapa hari kami di Penang, dan lain sebagainya. 
Lalu tibalah pada tujuan utama kami: Toilet! Dia langsung mempersilakan kami menuju ke lantai dua, di sana ada toilet komplet, cuma tidak ada shower untuk mandi sih. Tapi lumayan lho, buat bersihin muka, gosok gigi dan ritual lainnya, mengingat kami semalaman berada di kereta api dan belum mandi atau membersihkan diri.
Oya, gedung tourist information ini sendiri sebenarnya bagian dari peninggalan sejarah. Gedungnya kuno, dan kayaknya bagus juga tuh buat foto-foto pre-wed (langsung menerawang...:hmmm). Gedung ini juga terintegrasi dengan Old Town White Coffee, salah satu tempat ngopi yang punya banyak cabang di Malaysia, selain juga ada beberapa restauran lain. Usai membersihkan diri, kami sempat memotret beberapa bagian dari gedung, untuk selanjutnya keliling George Town dengan jalan kaki. Tunggu yaa tulisan selanjutnya di bagian ketiga....:)