Satu bulan terakhir adalah masa-masa yang berat. Fisik mental seperti diuji banget. It's been a rollercoaster ride. A tough month. Dan ini membawa banyak perubahan besar.
Banjir yang sempat memporakporandakan rumah beberapa waktu lalu membuka awal bagaimana hiruk pikuk hidup itu dimulai. Mulai dari tidur di luar beralas jas hujan beratap terpal, dingin, hingga seminggu penuh mencuci rumah. Ini luar biasa hebat untuk apa yang telah terjadi di keluarga kami. Bagaimana Bapak dan Ibu yang sudah tua harus menghadapi ini. Yeah, kami akan selalu menjaganya. Tetapi kami juga tahu, apapun yang kami lakukan, fisik dan mental mereka tetap saja ngedrop se-ngedropnya.
Rumah sangat dingin. Lantai keramik seperti freezer yang menempel di kaki dan tembok rumah. Ini yang mungkin membuat Bapak tidak kuat. Fisiknya terlalu lemah, sehingga suatu hari kena diare hebat. Beberapa hari berikutnya harus dievakuasi ke rumah sakit karena tidak ada sesuatu pun yang bisa masuk ke mulut.
Rumah sakit belum jawaban, karena meskipun secara fisik sudah ada pasokan ke tubuh bapak, tetapi mentalnya benar-benar tidak ada perbaikan. Di rumah sakit adanya marah terus. Bagaimana aku harus menenangkannya di dini hari saat tiba-tiba ngamuk karena pengen pulang. Valium tak mempan. Aku dan ibu hanya bisa berpandangan tak tahu harus bagaimana kecuali menjaganya untuk tetap berada di tempat tidur rumah sakit.
Bapak pulang paksa. Itu subjudulnya. Kami terpaksa membawa Bapak pulang karena ibu mengaku tak mungkin lagi bisa tahan dengan kondisi bapak yang selalu ngamuk di rumah sakit. Ya sudah, permintaan dipenuhi dengan mengisi form pulang paksa (ternyata ada lho form pulang paksa). Pfffhhh....
Untunglah, di rumah Bapak lebih tenang, dan mau makan dan minum. Obat jalan terus diberikan. Ibu sering berbicara tentang bagaimana kondisi Bapak yang sudah tua. Kami tidak pernah berbicara kematian, tetapi kami sadari bahwa Bapak terlalu tua. Apapun yang terjadi bagi Bapak, kami siap menerima, karena itu yang terbaik pastinya.
Untungnya lagi, aku memiliki ibu yang tangguh. Ibu ? beliau tak kalah tuanya dengan Bapak. Tapi jangan salah, ibu berfisik hebat. Dia juga pintar. Yang istimewa lagi, ibu itu sosok yang telaten terhadap anak dan suaminya.
Suatu hari di rumah sakit, aku sempat belajar satu hal dari ibu. Banyaknya pembezuk membuat makanan di rumah sakit berlimpah. Sangat banyak meskipun sebagian sudah dibawa pulang. Tidak tahu kenapa, suatu saat ibu meminta adikku untuk membawa sebagian makanan itu ke rumah salah seorang temannya yang dulu jadi tetangga kami. Namanya Pak Warsono. Usianya jauh di bawah ibu alias masih lebih muda. Tetapi fisiknya jauh juga di bawah ibu. Kesakitan dan kemiskinan menderanya.
Aku bahkan tak memikirkan hal itu. Karena Pak Warsono ini sudah pindah dari kampung sejak lama. Bahkan dia juga jarang bertemu dengan keluargaku. Dia tinggal bersama isterinya yang sakit juga dan anak perempuannya.
"Bawa ini ke Warsono," itu amanat ibu sambil menyerahkan tas berisi makanan.
Ibu lalu bilang ke aku. Bahwa kami lebih beruntung. Bapak sakit masih bisa dirawat di rumah sakit meskipun di kamar kelas 2. Kami juga beruntung banyak yang membezuk, bahkan beberapa saudara dekat memberi ibu uang. Bagaimana dengan Pak Warsono ? berobat saja tak mampu. Tidak bekerja, isteri juga sakit. Lalu makan apa ? jangan berpikir obat. Berpikirnya adalah makan apa ?
Tidak pernah terbersit bahwa ibu masih memikirkan kesakitan orang lain di saat Bapak sakit dan kami pontang-panting fisik dan hati. Tapi ini membuat aku bangga. Ibuku mungkin tidak lulus SD, tapi hatinya seperti hasil sekolah seumur hidup.
It's been a rollercoaster ride...
Karena dengan sepenuh hati, kami harus menata hati dan pikiran. Ini saatnya untuk keluarga, ini saatnya berpikir kerja, rutinitas hidup lain, cari makan, bayar tagihan listrik, telepon, mengurus pensiun bapak, dan tentu tak boleh lupa berpikir bagaimana mengendorkan sekrup-sekrup di otak dan hati. Ini sama saja bagi aku, adikku, ataupun kakak-kakakku. Mereka harus membagi pikiran sama beratnya. Ibu apalagi.
Tetapi, semua selalu ada hikmahnya. Seorang teman bilang, dia kagum cara kami sekeluarga melewatinya. Bahkan di facebook pun masih bisa berha-ha hihi. Aku, bahkan tak menyadari betapa kami sekeluarga menjadi semakin lebih dekat setelah saat-saat berat yang kami lalui dalam satu bulan terakhir. Ibu membuka mataku, seberat-beratnya hidup kami, kami masih sangat beruntung. Maka bersyukurlah.
regards,
A
Banjir yang sempat memporakporandakan rumah beberapa waktu lalu membuka awal bagaimana hiruk pikuk hidup itu dimulai. Mulai dari tidur di luar beralas jas hujan beratap terpal, dingin, hingga seminggu penuh mencuci rumah. Ini luar biasa hebat untuk apa yang telah terjadi di keluarga kami. Bagaimana Bapak dan Ibu yang sudah tua harus menghadapi ini. Yeah, kami akan selalu menjaganya. Tetapi kami juga tahu, apapun yang kami lakukan, fisik dan mental mereka tetap saja ngedrop se-ngedropnya.
Rumah sangat dingin. Lantai keramik seperti freezer yang menempel di kaki dan tembok rumah. Ini yang mungkin membuat Bapak tidak kuat. Fisiknya terlalu lemah, sehingga suatu hari kena diare hebat. Beberapa hari berikutnya harus dievakuasi ke rumah sakit karena tidak ada sesuatu pun yang bisa masuk ke mulut.
Rumah sakit belum jawaban, karena meskipun secara fisik sudah ada pasokan ke tubuh bapak, tetapi mentalnya benar-benar tidak ada perbaikan. Di rumah sakit adanya marah terus. Bagaimana aku harus menenangkannya di dini hari saat tiba-tiba ngamuk karena pengen pulang. Valium tak mempan. Aku dan ibu hanya bisa berpandangan tak tahu harus bagaimana kecuali menjaganya untuk tetap berada di tempat tidur rumah sakit.
Bapak pulang paksa. Itu subjudulnya. Kami terpaksa membawa Bapak pulang karena ibu mengaku tak mungkin lagi bisa tahan dengan kondisi bapak yang selalu ngamuk di rumah sakit. Ya sudah, permintaan dipenuhi dengan mengisi form pulang paksa (ternyata ada lho form pulang paksa). Pfffhhh....
Untunglah, di rumah Bapak lebih tenang, dan mau makan dan minum. Obat jalan terus diberikan. Ibu sering berbicara tentang bagaimana kondisi Bapak yang sudah tua. Kami tidak pernah berbicara kematian, tetapi kami sadari bahwa Bapak terlalu tua. Apapun yang terjadi bagi Bapak, kami siap menerima, karena itu yang terbaik pastinya.
Untungnya lagi, aku memiliki ibu yang tangguh. Ibu ? beliau tak kalah tuanya dengan Bapak. Tapi jangan salah, ibu berfisik hebat. Dia juga pintar. Yang istimewa lagi, ibu itu sosok yang telaten terhadap anak dan suaminya.
Suatu hari di rumah sakit, aku sempat belajar satu hal dari ibu. Banyaknya pembezuk membuat makanan di rumah sakit berlimpah. Sangat banyak meskipun sebagian sudah dibawa pulang. Tidak tahu kenapa, suatu saat ibu meminta adikku untuk membawa sebagian makanan itu ke rumah salah seorang temannya yang dulu jadi tetangga kami. Namanya Pak Warsono. Usianya jauh di bawah ibu alias masih lebih muda. Tetapi fisiknya jauh juga di bawah ibu. Kesakitan dan kemiskinan menderanya.
Aku bahkan tak memikirkan hal itu. Karena Pak Warsono ini sudah pindah dari kampung sejak lama. Bahkan dia juga jarang bertemu dengan keluargaku. Dia tinggal bersama isterinya yang sakit juga dan anak perempuannya.
"Bawa ini ke Warsono," itu amanat ibu sambil menyerahkan tas berisi makanan.
Ibu lalu bilang ke aku. Bahwa kami lebih beruntung. Bapak sakit masih bisa dirawat di rumah sakit meskipun di kamar kelas 2. Kami juga beruntung banyak yang membezuk, bahkan beberapa saudara dekat memberi ibu uang. Bagaimana dengan Pak Warsono ? berobat saja tak mampu. Tidak bekerja, isteri juga sakit. Lalu makan apa ? jangan berpikir obat. Berpikirnya adalah makan apa ?
Tidak pernah terbersit bahwa ibu masih memikirkan kesakitan orang lain di saat Bapak sakit dan kami pontang-panting fisik dan hati. Tapi ini membuat aku bangga. Ibuku mungkin tidak lulus SD, tapi hatinya seperti hasil sekolah seumur hidup.
It's been a rollercoaster ride...
Karena dengan sepenuh hati, kami harus menata hati dan pikiran. Ini saatnya untuk keluarga, ini saatnya berpikir kerja, rutinitas hidup lain, cari makan, bayar tagihan listrik, telepon, mengurus pensiun bapak, dan tentu tak boleh lupa berpikir bagaimana mengendorkan sekrup-sekrup di otak dan hati. Ini sama saja bagi aku, adikku, ataupun kakak-kakakku. Mereka harus membagi pikiran sama beratnya. Ibu apalagi.
Tetapi, semua selalu ada hikmahnya. Seorang teman bilang, dia kagum cara kami sekeluarga melewatinya. Bahkan di facebook pun masih bisa berha-ha hihi. Aku, bahkan tak menyadari betapa kami sekeluarga menjadi semakin lebih dekat setelah saat-saat berat yang kami lalui dalam satu bulan terakhir. Ibu membuka mataku, seberat-beratnya hidup kami, kami masih sangat beruntung. Maka bersyukurlah.
regards,
A