“My
mom told me to follow my dreams, so I took a nap”
Separah itu saya waktu
itu. Tipikal orang yang menghabiskan waktu untuk bekerja, pulang dan tidur.
Padahal saya sebenarnya punya banyak mimpi sejak saya SMA atau bahkan lebih
muda dari itu. Tapi saya tidak pernah percaya diri untuk mengejar mimpi saya,
lalu memilih tidur. Iya, tidur...literally.
Dalam keluarga saya,
tidak ada yang benar-benar sedang menjalani mimpi mereka. Tidak ada satupun. Saya bahkan sangsi
mereka punya mimpi. Saat itu, semua sibuk untuk mencari uang untuk
kelangsungan hidup. Kami tidak mengenal traveling dan hanya sekali dua ikut
rekreasi bareng warga kampung, itu pun maksimal ke Yogya. Saya mungkin
yang sering kelayapan ke luar kota sendiri atau bersama teman kalau ada sedikit uang sisa. Hampir sebagian
besar hidup kami dihabiskan untuk bekerja. Kami tidak pernah punya uang sisa
untuk traveling secara independen, karena bahkan bisa makan saja sudah bersyukur sekali. Bapak
saya almarhum hanya seorang pensiunan veteran yang mengandalkan uang pensiun
yang tidak seberapa dari pemerintah. Ibu saya (saya bangga dengan beliau) meski
sudah tua masih sibuk cari nafkah dengan jualan alat-alat rumah tangga di pasar
tradisional. Jadi jangan tanya apa kami punya uang untuk traveling, karena
bahkan waktu sisa kami pun hanya habis untuk tidur – bekerja – tidur lagi.
Dibanding adik dan
kakak-kakak, hanya saya mungkin yang memiliki banyak mimpi “liar”. Sejak
SMA, atau bahkan lebih muda dari itu, saya mempunyai dua cita-cita besar. Pertama, saya ingin menjadi penulis. Kedua, saya ingin naik pesawat terbang
ke luar negeri. Saya tidak pernah mengatakan mimpi saya kepada siapapun, karena
malu. Malu diejek, “Orang miskin aja banyak maunya!”
Soal menulis, memang
menjadi hobi saya sejak kecil. Sementara soal naik pesawat terbang ke luar
negeri, itu akibat racun dari kesukaan saya nongkrong di perpustakaan. Saya
bisa berjam-jam membaca aneka buku dan majalah luar negeri di Perpustakaan
Daerah, sampai petugas mengingatkan saya bahwa jam kunjung sudah habis.
Tetapi tahun demi
tahun, hidup saya mulai mengalami perbaikan. Pertengahan 2009, saat saya sudah
bekerja di sebuah koran lokal, mimpi saya untuk menulis buku dan terbang ke
luar negeri masih saya simpan rapat-rapat. Daripada uangnya untuk beli tiket pesawat
yang dalam benak saya waktu itu masih sangat mahal, saya memilih membeli motor
baru secara kredit.
Sampai suatu saat,
seorang teman di kantor menyodori saya sebuah tiket pulang pergi
Yogyakarta-Singapura dari Air Asia
bekerja sama dengan Singapore Tourism
Board. Saya seperti terjengkang dari kursi. Ini serius? Saya bahkan
belum punya paspor tapi langsung mengiyakan saja pemberian itu. Itu bakal
menjadi perjalanan luar negeri saya yang pertama. Saya urus semua
persyaratannya, dan semua sepertinya indah di awal. Sayangnya, ending-nya saya gagal berangkat karena
tidak memperoleh izin libur. Saat itu langsung nge-drop!
Tetapi tiket Air Asia yang hangus itu tidak
sepenuhnya mubazir. Itulah tiket saya sebenarnya untuk menuju impian saya. Dari
situ saya mulai mengenal Air Asia, mengikuti
setiap perkembangannya dan berjanji pada tahun itu juga saya harus terbang ke
luar negeri dengan biaya saya sendiri. Tiket Air Asia yang hangus itu membukakan mata saya bahwa semua orang
bisa terbang karena harganya memang tidak semahal perkiraan saya. Hanya sekitar
tiga bulan kemudian saya mampu mewujudkannya. Saya simpan gaji bulanan saya, ditambah
tunjangan hari raya, ditambah lagi menjelang akhir tahun itu saya mendapatkan
cuti besar satu bulan namun gaji tetap dibayar full di muka. Saya sudah kegirangan...berasa ingin teriak...I am King of The World !! :)
Alhamdulillah. Saat itu
juga saya booking tiket Air Asia rute Yogyakarta – Singapura,
Kuala Lumpur – Chiang Mai, Bangkok – Penang, Kuala Lumpur – Solo. Ini adalah perjalanan
sebenarnya yang menjadi titik balik dalam hidup saya. Saya menuliskan perjalanan backpacking ke empat negara itu (saya
sempat mampir ke Myanmar melalui jalur darat) dalam empat tulisan berseri di
koran lokal tempat saya bekerja. Tulisan itu mendapatkan respons bagus dari
pembaca, banyak yang terinspirasi dan ingin mewujudkan mimpinya ke luar negeri
dengan low budget seperti saya. Tulisan itu jugalah yang mengobarkan semangat saya untuk mewujudkan mimpi saya. Tidak
ada yang tidak mungkin kalau kita benar-benar punya keinginan kuat untuk
mewujudkannya.
Euforia
itu
baru awal, karena saya harus tetap fokus pada mimpi saya yang lain.
Keberhasilan perjalanan saya keliling empat negara dengan low budget membuat saya yakin, bahwa saya mampu melakukan
perjalanan lainnya. Tuhan menjawab mimpi saya. Sebuah kompetisi menulis yang
digelar sebuah penerbit nasional dan saya semangat sekali mengikuti. Saya harus membuat proposal untuk
perjalanan ke sebuah negara dengan budget
rendah. Tanpa adanya Air Asia, mustahil
saya bisa mewujudkan proposal itu. Saya membuat proposal perjalanan berbiaya
rendah ke China, dan lagi-lagi doa saya terkabul! Saya salah satu yang dipilih
penerbit untuk mewujudkan mimpi saya terbang ke China dan membuat buku saya
sendiri! Mimpi saya komplet dijawab serius oleh Tuhan satu persatu. Saya masuk ke China dari
Kuala Lumpur – Guangzhou dan keluar dari China dari Chengdu – Kuala Lumpur,
semua dengan harga tiket promo Air Asia.
Saya bahkan tidak percaya jalan saya sejauh ini.
Sejak itu, hidup saya
berubah total. Saya mengambil risiko untuk meninggalkan pekerjaan saya.
Menjalani hidup sebagai penulis perjalanan, sementara di waktu senggang saya
juga mencari duit dari menjadi travel
planner, membantu mereka yang ingin ke luar negeri dengan harga murah
karena hal itu bukan hal yang mustahil sejak ada Air Asia. Dalam hitungan jarak, sudah tidak terhitung berapa kilometer
saya terbang bersama Air Asia.
Bila ingat itu, dengan
latar belakang kehidupan keluarga yang secara finansial kacrut berat, siapa
sangka saya akan menjalani mimpi saya seperti sekarang ini? Keluarga saya
bangga dengan saya. Di keluarga kami, sampai saat tulisan ini saya buat, hanya
sayalah satu-satunya yang pernah naik pesawat (bahkan sudah tidak terhitung
lagi berapa kali saya terbang), dan...hanya saya pula satu-satunya yang pernah keluarga
negeri. Kebanggaan keluarga saya bertambah, karena sekarang ini saya sudah
menulis sebelas buku perjalanan, tulisan pernah
dimuat di media lokal maupun nasional, beberapa kali di wawancara media, hingga
menjadi pembicara dalam berbagai talkshow
untuk berbagi pengalaman saya.
Jadi kalau Anda
bertanya bagaimana Air Asia mengubah
hidup saya? Air Asia bukan lagi
mengubah hidup saya, tetapi sudah menjungkirbalikkan hidup saya...dari seorang
yang tidur dengan mimpinya, menjadi seorang yang sedang menjalani
mimpi-mimpinya.
So, when your mom told you to follow your dreams...pack your backpack and go catch your dreams !!