Foto: www.kereta-api.co.id |
Kereta
api termasuk salah satu alat transportasi favorit saya. Apalagi untuk jarak jauh,
saya lebih memilih menggunakan kereta api daripada bus. Kalau naik kereta api,
berasa lapang dan lega saja. Belum lagi bisa jalan-jalan di gerbong kalau kaki
pegal. Tetapi karena saya termasuk traveler on budget, jadi naiknya pun kelas
ekonomi atau maksimal bisnis. Seumur-umur, baru sekali naik kereta eksekutif. Lagian,
harga tiket kereta eksekutif sekarang bersaing dengan pesawat, jadi kalau pun
ada duit lebih mending naik pesawat.
Sebagai pengguna kereta api sejak
jaman jebot, saya ngerasain gimana kereta api dulu -menurut saya- tidak manusiawi.
Desak-desakan, panas, kalau pun ada kipas angin ada aja yang nggak nyala,
dengan segala tetek bengek bawaan penumpang (plus kalau ada yang masuk angin, campuran bau rheumason dan aroma sarapan yang keluar lagi..yaiks). Sekarang banyak sekali kemajuan
yang dicapai pihak pengelola transportasi jenis ini di negeri kita. Beberapa
“produk” terbaru mereka pun selalu ingin saya coba. Waktu muncul kereta api
ekonomi ber-AC seperti KA Gajahwong atau KA Bogowonto, saya pun juga mencobanya.
Jauh lebih manusiawi. Ademnya dapet, bersihnya juga. Sejauh ini, penasarannya
cuma satu, naik KA Gajayana jurusan Jakarta – Malang via Yogyakarta yang kata
temen, itu paling mahal. Terakhir saya cek, harganya sampai Rp 560.000! *dadah-dadah*
Nah, kalau berbicara tentang
reformasi di bidang perkeretaapian yang mulai jalan, saya melihat persoalan
mendasar adalah mentalitas penumpang. Kalau bicara ini, udah pusing rasanya.
Kalau kata orang tua, ngurusi anake wong
akeh ki yo kudu sabar. Ngurusin anak orang banyak itu butuh kesabaran.
Nyaris sama dengan persoalan lain yang terkait antrean, susah ngajak orang
Indonesia antre tertib di loket. Antre masuk ke gerbong (ngapain rebutan kalau
kursi kita sudah bernomor?), dan lain sebagainya-dan lain sebagainya.
Soal kursi ini memang sangat
menjengkelkan. Pengalaman saya naik kereta api (beberapa kali dengan beberapa
jenis kereta) selalu kursi saya diserobot orang. Kok bisa? Ya karena saya pikir semua tiket sudah bernomor kursi, pastilah masuk ke gerbong kapan pun
nggak akan ada masalah. Saya paling males kalau mau naik gerbong harus
berebutan, sikut-sikutan, sampai ada yang kejengkang. Makanya, biasanya setelah
longgar, saya baru masuk. Tapi ternyata strategi ini salah. Selalu saja kursi saya
dipakai orang.
Kenapa kursi menjadi penting? Karena
ini menjadi kunci nyaman nggaknya perjalanan saya berkereta. Biasanya nyari kursi
yang dekat jendela, biar bisa merem dengan sukses, atau kalau lagi galau bisa
sok-sok menerawang ke luar jendela dengan iringan music mellow di headset
ala-ala scene film romantis hihihi. Kalau eksekutif, ambil seat A atau D. Tapi kalau
ekonomi, ambil aja seat A atau E.
Tetapi ya itu tadi, selalu ada orang yang main serobot. Satu kali pernah naik
KA Gaya Baru Malam Selatan (ekonomi) dan dapat kursi satu bangku bertiga. Waktu
liat tiket ternyata dapat kursi A, udah lega aja rasanya. Artinya, saya bakal
duduk di dekat jendela, meskipun harus empet-empetan sebangku bertiga dengan
dua penumpang lain. Masuklah saya ke gerbong, dan seperti sudah ketebak, ada
manusia sudah teronggok di kursi saya.
“Mas…ini 15 A? Kursi saya,” towel
saya ke seorang pemuda kurus item yang sok pura-pura tidur. Dia diem aja, nggak
mencoba buka mata.
“Mas…ini kursi saya,” kali ini saya
tepuk pundaknya.
Dia berlagak ngolet merenggangkan tangan. Yaelah, ini kereta kan baru mau
berangkat, bagaimana bisa dia sok udah nyenyak tidur.
“Sama saja, Mas,” jawab dia tanpa
memandang.
“Beda Mas, itu kursi saya yang Anda
pakai,” kata saya sambil menyodorkan tiket menunjukkan bukti bahwa dia udah
nyerobot. Eh dia langsung merem aja tanpa mendengarkan omongan saya.
Akhirnya dengan dongkol, saya banting pantat di samping dia. Sekarang saya
terpaksa duduk di kursi 15 B, karena tak berapa lama duduk penumpang lain di 15
C. Posisi saya diapit pemuda kurus belagu itu dan ibu-ibu gemuk. Sesak sekali secara
badan saya juga gede. Itu berlangsung selama 12 jam-an sampai saya terbebas di
Stasiun Purwosari Solo.
Peristiwa itu pelajaran banget.
Setelah itu, saya ikuti ritmenya. Ayo aja kalau memang mau sikut-sikutan masuk
gerbong. Asal bukan orang tua, ayo aja. Next
trip dengan kereta api ekonomi, saya berjuang sekuat tenaga untuk
mendapatkan kursi A tercinta. Setengah lari saya mencoba mendapatkan apa yang
menjadi hak saya. Giliran sampai di gerbong yang bener, yaelah…sudah ada yang
menduduki ! Sial.
Dan seperti dejavu, peristiwa di KA Gaya Baru Malam Selatan terjadi lagi. Saya
dengan bersungut-sungut harus merelakan kursi di samping jendela. Untungnya,
kursi ini bukan untuk bertiga tapi berdua saja. Kali ini yang menduduki adalah
laki-laki separuh baya dan pas saya datang gayanya sudah sok tidur lelap saja.
“Tidur” adalah modus yang sering digunakan biar tidak diusir. Ini justru
memunculkan ide untuk mengambilalih hak saya. Perjalanan panjang, saya
berharap dia sekali atau dua harus pergi ke toilet. Di saat itulah saya akan
melakukan pengambilalihan kekuasaan atas kursi A.
Benar juga, sepertiga perjalanan
saya lihat dia berdiri, minta jalan ke toilet. Saya singkirkan kaki yang
menghalangi jalannya dengan ogah-ogahan. Begitu dia berjalan ke toilet,
langsung saya merangsek ke kursi dia yang berada di dekat jendela. Setelah itu
pura-pura tidur nggak peduli setan lewat.
Pas orang itu balik dari toilet,
beberapa kali dia menowel pundak saya. Mungkin mau minta balik kursinya. Tapi sorry man…ini kursi yang telah kau
rebut. Saya diam dan pura-pura tertidur sampai perjalanan berakhir di Jakarta.
Pasti tuh orang gondok sekali dan nyesel udah ke toilet. Yes!! Kudeta berhasil !!