...Laki-laki itu kemudian mengetuk pintu,
dan seorang petugas perempuan yang gemuk dan serupa emak-emak,
berseragam imigrasi (biru dongker), keluar. Lalu berbicara dengan
laki-laki itu sebelum kemudian menggiring saya masuk ke ruangan itu
sambil berteriak meracau....Di jemarinya yang gemuk-gemuk tergenggam
paspor saya.
"Indon lagiiii...Indon lagiiiii...." diikuti semacam sumpah serampah yang saya nggak ngerti.
Saya terdiam di ruangan itu. Sebuah ruang sempit berukuran sekitar 3 x 7 meter dan disekat tiga bagian. Sempit sekali, karena di sana ada sekitar 15 orang lainnya yang bernasib seperti saya...entah menunggu apa. Saya mulai nervous.....
Ya Tuhan, jangan kirim saya balik ke Indonesia...saya kan belum sampai Vietnam...
Saya sedih karena dia berteriak-teriak "Indon lagiii...indon lagiii..." seolah orang Indonesia yang masuk ke sana selalu berbuat ulah. Saya bener-bener merasa seperti warga negara dunia kelas 2. Sebutan indon, konotasinya negatif, sama ketika orang Malaysia menyebut orang Indonesia dengan Indon.
Di dalam ruangan itu, sudah tidak ada tempat duduk lagi. Ada sekitar empat atau lima orang yang berdiri, termasuk saya, lengkap dengan bawaannya masing-masing. Tidak ada orang kulit putih di sana dan mayoritas adalah cewek. Saya bertemu dengan seorang cewek yang mengaku dari Bekasi. Jadi sebelum saya masuk, di sana sudah ada dua orang cewek Indonesia yang bernasib sama. Mereka menunggu antrean untuk diinterogasi.
Saya juga ingin menggarisbawahi, ada anggapan bahwa yang biasanya kena problem begini adalah mereka yang penampilannya lecek, kumel, seperti anggapan beberapa orang. Salah besar. Setidaknya yang saya lihat di ruangan itu, mereka berpakaian bagus, bersepatu rapi. Tidak ada yang kumel. Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri apakah saya kumel atau tidak. Tetapi saya pastikan, setiap kali berangkat keluar dan kembali masuk ke Indonesia, saya selalu menggunakan sepatu terbaik saya (tidak pernah sandal jepit atau sandal gunung sekalipun), kadang berkemeja rapi atau setidaknya kaos berkerah. Saya menggunakan sandal jepit atau sandal gunung ketika sudah jalan-jalan di suatu negara, bukan saat masuk negara itu. Jadi sekali lagi, saya tidak melihat alasan kami kena problem adalah karena look kami yang kumel. I don't think so. Lagian pas dari meja imigrasi kemudian digiring ke ruangan itu, mata petugas imigrasi tidak menelanjangi saya dari ubun-ubun sampai ke kaki. Setahu saya, setelah melihat passport saya, dia memanggil petugas lain. So, dalam asumsi saya, ada sesuatu yang mencurigakan di passport saya, bukan soal look.
Si cewek Bekasi itu, saya lupa menanyakan namanya, juga mengaku tidak tahu apa kesalahannya. Tetapi situasinya tambah sulit, karena dia tidak bisa meyakinkan petugas imigrasi bahwa dia sudah booking hotel di Singapura.
"Saya sudah booking hotel via www.hotels.com. Sialnya, saat petugas imigrasi menelepon ke www.hotels.com, tidak ada nama saya di arsip agen hotel itu," tutur cewek itu sambil menunjukkan screenshoot bookingan hotelnya dari hp dia ke saya. Saya cuma bisa tersenyum kecut. Belum sempat ngobrol banyak lagi, nama saya dipanggil. Di dalam ruangan itu ada tiga petugas imigrasi, dua perempuan serupa emak-emak gendut yang tidak pernah berhenti meracau, satu lagi petugas perempuan muda yang lebih banyak diam. Saya menuju arah suara yang memanggil nama saya, dari salah satu sudut sempit di ruangan itu. Sidik jari saya diambil. Setelah itu dia meyuruh saya kembali di sudut semula.
Di ruangan itu, ada beberapa orang Thailand, beberapa orang Srilanka, beberapa orang China, sisanya saya tidak ngerti dari negara mana. Mayoritas bahasa Inggrisnya jelek, yang semakin membuat mereka terpojok. Saya menunggu lagi sambil berdiri. Di belakang saya, ada ruangan sempit tak lebih dari 1,5 meter x 2 meter bercat kuning dengan kamera CCTV di atas. pojok. Semacam ruang interogasi mungkin, entahlah.
"Tadi ada cewek Indonesia yang udah keluar dari sini sambil nangis. Si petugas membentak-bentak, jangan pernah datang lagi ke Singapura, karena dia bisa memasukkan cewek itu ke penjara," cerita cewek Bekasi itu setelah saya kembali dari pengambilan sidik jari. Haiisssshhh...serem amat!
Jadi saking sempitnya ruangan itu, tiga petugas imigrasi itu menginterogasi kami secara terbuka. Tidak private. Mereka menggunakan bahasa Melayu campur Inggris Singlish. Sedih saya melihat satu cewek Thailand yang tidak bisa bahasa Inggris sama sekali, diinterogasi sedemikian rupa. Salah seorang yang "ketangkep" lainnya dari Thailand akhirnya membantu karena kebetulan dia bisa berbahasa Inggris. Sekilas saya mendengar, bahwa cewek itu datang sendirian ke Singapura, untuk bertemu dengan pacarnya yang sudah berada di Singapura. Lalu emak-emak petugas imigrasi itu meminta si cewek mengeluarkan semua uang cash yang dia punya. Si cewek mengeluarkan uang 26.000 Baht atau dalam rupiah sekitar Rp 10 juta. Angka yang besar bila dia hanya traveling beberapa hari saja.
Petugas lain masih juga teriak-teriak mengurusi yang lain. Ruangan itu auranya negatif banget. Kami dibawa masuk ke dalam ruangan itu saja sudah nervous, masih harus mendengar teriakan-teriakan nggak jelas itu. Saya melalui proses itu hampir 45 menit. Berdiri pegal dan melihat drama dari masing-masing mereka yang "ditangkap". Sampai kemudian pintu diketuk.
Perlu diketahui, pintu itu hanya bisa dibuka dengan access card yang dimiliki oleh petugas imigrasi. Jadi lupakan ide mlipir kabur hahahaha. Seorang petugas imigrasi membuka pintu, lalu muncullah laki-laki itu, seorang petugas berpakaian sipil, entah dia petugas imigrasi atau polisi, saya tidak tahu. Yang saya tahu, beberapa menit kemudian nama saya dipanggil, dan saya diserahkan ke petugas itu. Saya pikir, saya akan dibawa ke ruangan lain. Ternyata saya hanya diajak ngobrol di depan ruangan itu (dengan pintu terbuka).
Taktik yang selalu saya gunakan adalah, saya selalu berbicara dalam bahasa Inggris (dengan semampu saya). Ini selalu berhasil untuk membuat mereka setidaknya tidak underestimate kepada saya. Demikian juga yang saya lakukan terhadap laki-laki itu.
"So, what is the problem, Sir ?" tanya saya mencoba membuka percakapan.
"Actually...we don't really know yet..." jawab dia sambil masih berdiri di depan pintu. Saya meminta untuk bergeser agak keluar, karena kami benar-benar berbicara tepat di depan pintu. Tapi dengan tegas dia menjawab tidak.
"Don't move...step back..." jawabnya agak tegas.
"Ohh...okay...." galak amat batin saya. Saya nggak mungkin kabur juga.
Tapi dalam perkembangannya, laki-laki ini justru berbicara dengan cara yang lebih baik daripada dua emak-emak berseragam imigrasi yang ada di dalam ruangan. Dia menginterogasi saya -yes dengan masih berdiri di depan pintu- secara sopan dan how to say-nya bagus. Dia sempat mempersoalkan kenapa passport saya menggunakan sampul warna merah ? Saya jawab, ini hanya sampul...hellooo...banyak orang menggunakan passport case supaya paspornya tidak mudah rusak atau sobek. Bukan ada kepentingan untuk mengelabui.
"Saya penasaran, kenapa kamu tidak terbang langsung dari...let me see...hhmmm...Solo ke Singapore ? Kenapa harus lewat Malaysia?"
Lalu dengan semangat empat lima saya menjelaskan soal tiket pesawat AirAsia Solo-Singapura yang dibatalkan, padahal saya sudah membeli tiket terusan dengan TigerAirways dari Singapura ke Ho Chi Minh City, sehingga mau tidak mau saya harus ke Singapura melalui jalan lain. Kebetulan saya mengarsip semua di hape, jadi tinggal tunjukin saja tiket AirAsia saya yang dibatalkan secara sepihak oleh AirAsia, kemudian saya tunjukkan tiket TigerAirways. Dia masih mengejar kenapa saya tidak terbang langsung dari Solo ke Ho Chi Minh City...saya jawab, Solo hanyalah kota kecil yang memiliki segelintir saja rute penerbangan internasional.
"Apa alasan penerbangan dibatalkan? kejar dia.
Saya jawab tidak ada alasan. Silakan tanya AirAsia.Yang kayak begini-begini mana dipikirin oleh maskapai pas membatalkan penerbangan. Yang penting mereka nggak rugi, urusan hak-hak penumpang yang masa bodo kan?
Dia mangut-mangut. "Apa pekerjaanmu?"
Saya menjawab bahwa saya travel writer. Dalam banyak hal ini sangat membantu. Saya juga bilang saya adalah kontributor majalah travel. Lalu dia mengejar apakah ini semacam jurnalis freelance, saya iyain saja. Biasanya kalau udah menyebut jurnalis ampuh tuh. Lalu saya serahkan kartu nama saya, yang memang saya selalu bawa untuk hal-hal penting seperti ini. Dia mengangguk. Lalu dia menginterogasi lebih lanjut tentang teknis bagaimana saya bekerja, apa yang saya tulis, dan lain sebagainya.
"Kamu tahu situasi ini sulit bagi kami?"
"Maksudnya?"
"Banyak orang Indonesia bergabung dengan ISIS....dan perjalanan kamu ini tidak biasa. Kamu masuk ke Singapura berulang kali. Sekarang kamu masuk dengan cara tidak biasa."
"Oh...I see..."
Jadi saya digiring ke sini karena saya dicurigai bagian dari ISIS? atau berpotensi menjadi orang yang mungkin melakukan kegiatan berkaitan dengan itu? Saya melihat imigrasi memang agak paranoid setelah kasus bom di Perancis. Keberangkatan saya kebetulan hanya beberapa hari setelah bom di Perancis. Bagi saya, kalau memang itu pemeriksaan standar sebagai bagian dari pencegahan teroris, ya saya akan maklum. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, kenapa dengan saya? Wajah serupa teroris?
"Your name...kami punya daftar yang namanya sama dengan nama kamu," ujarnya. Entah serius atau tidak.
"Oh really ? ada banyak nama Ariyanto di Indonesia. Googling it, ribuan..." jawab saya.
Lalu laki-laki itu kembali bertanya tentang aktivitas saya. Tiba-tiba terlintas untuk membuka arsip di hape dan social media. Saya tunjukkan buku-buku saya, berapa buku yang saya tulis, sampai cover-cover buku itu, buku terakhir kapan, serta aktivitas saya di social media.
"Yes, I need that. You have to convince me...bahwa kamu adalah seorang penulis. Saya tidak bisa hanya menggunakan kartu nama untuk mempercayaimu."
Saya sempat bertanya, apa solusi bagi saya terkait masalah ini? dia menjawab, tidak ada solusi. Lalu dalam bayangan saya, dalam hitungan beberapa jam lagi saya mungkin akan dideportasi. Matiik!
Setelah itu saya kembali dimasukkan ke dalam ruangan. Masih dengan teriakan para emak-emak imigrasi yang mungkin sudah terlalu capek bekerja hingga malam. Jumlah yang ada di dalam sana belum berkurang. Belum ada yang dilepaskan. Malah tidak beberapa lama, masuk lagi satu cowok yang digiring petugas imigrasi. Sepertinya cowok itu dari India.
Tidak terasa hampir 1,5 jam saya diperiksa di sana. Setelah itu, drama-drama para traveler yang diinterogasi petugas imigrasi kembali saya nikmati. Wajah-wajah lelah para traveler yang mungkin seharusnya sudah berada di hotel, bertemu kawan atau keluarga mereka di Singapura, tetapi masih tertahan di sini. Saya mengerti sekali kekhawatiran mereka, seperti saya khawatir dengan nasib saya sendiri.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, pintu ruangan itu kembali dibuka, dan masuklah lelaki yang menginterogasi saya tadi. Menyerahkan passport saya kepada petugas imigrasi perempuan. Setelah itu, petugas imigrasi perempuan memanggil saya. Sebelum lelaki itu berlalu, dia sempat berujar kepada perempuan itu "No record...FBI tidak juga.."Deuh...apakah itu berarti mereka mengecek juga nama saya di daftarnya FBI? Serem amat. Wakakakakak. Lalu dia sempat menengok ke saya. "I believe in you...you speak English well..." kata dia tanpa senyum. Oh...okay, terima kasih, batinku. Bahasa Inggrisku yang acak kadut pun ternyata berguna.
Yang saya tahu kemudian, dalam beberapa menit itu, terjadi serah terima tiga kali. Dari si lelaki itu ke petugas imigrasi, lalu saya digiring petugas imigrasi ke petugas lelaki lain, lalu saya diminta masuk ke line passport control paling ujung dan tidak ada antrean siapapun. Di meja imigrasi ini, seorang petugas imigrasi lelaki menyetempel paspor saya dengan cepat tanpa melakukan pengecekan secara detil. Saya yakin dia sudah mendapatkan informasi tentang saya dari petugas sebelumnya. Ibaratnya, sudah dicek komplit sekomplit-komplitnya.
"Cepat sangat berkunjung?" tanya dia sambil tersenyum ramah sambil menyerahkan kembali paspor saya yang sudah distempel.
"Iya, transit saja." Jawab saya pendek. Cepat sangat gundulmu! Dua jam dalam interogasi mana cepat.
Tetapi yang saya heran, mereka kok berubah menjadi ramah ya? Mungkin karena saya memang tidak terbukti melakukan sesuatu atau sedang dalam misi seperti yang mereka curigai. Apapun, rasanya lega sekali melewati meja itu. Dengan langkah cepat saya berlalu menuju pintu keluar Terminal 1. Sejujurnya, ini sangat mempengaruhi mood saya. Tetapi saya mencoba untuk menikmatinya meskipun nggak gampang. Don't let stress ruin my holiday...pfhhhh...pfffhhh....ambil napas dalam-dalam.
Tetapi yang saya heran, mereka kok berubah menjadi ramah ya? Mungkin karena saya memang tidak terbukti melakukan sesuatu atau sedang dalam misi seperti yang mereka curigai. Apapun, rasanya lega sekali melewati meja itu. Dengan langkah cepat saya berlalu menuju pintu keluar Terminal 1. Sejujurnya, ini sangat mempengaruhi mood saya. Tetapi saya mencoba untuk menikmatinya meskipun nggak gampang. Don't let stress ruin my holiday...pfhhhh...pfffhhh....ambil napas dalam-dalam.
Tetapi satu hal, saya akan berpikir ulang untuk berkunjung ke Singapura, seheboh apapun godaan mereka melalui iklan-iklan wisatanya. Saya juga berpikir ulang untuk transit di Singapura untuk next traveling, karena saya tidak mau direpotkan dengan hal-hal beginian lagi. Masih ada Kuala Lumpur yang bisa jadi tempat untuk transit, atau Jakarta akan lebih ramah buat warga negara Indonesia. Meskipun tidak terbukti, tetapi menjadi tertuduh dengan sekian jam pemeriksaan cukup bikin stress, apalagi di awal perjalanan. Untungnya, setelah keluar dari Singapura, masuk ke Ho Chi Minh City, Vietnam...saya tidak ada masalah sama sekali. Pemeriksaan di imigrasinya tidak lebih dari 2 menit, tidak ada problem...itu yang sedikit banyak menaikkan mood saya...
Cheers :)
Ariy