Wednesday, November 18, 2009

Nggembel 4 negara dengan Rp 4 juta (part I)

Selama kurang lebih dua pekan, dari tanggal 9-22 Oktober, saya mencoba melakukan perjalanan murah dengan tujuan empat negara. Uang saku saya hanya Rp 4 juta, sudah termasuk biaya transportasi. Ini adalah perjalanan backpacking saya pertama. Target saya adalah Singapura, Malaysia, Thailand dan Myanmar. Bagi para backpacker, rute saya mungkin masuk level rendah untuk dijelajahi. Artinya dari segi kesulitan tidak terlalu besar. Tetapi bagi saya sebagai pemula, ini sebagai test case sebelumnya masuk level berikutnya.

Perkenalan dengan dunia backpacker sesungguhnya dari membaca artikel di semua media massa nasional. Dari jalur ini, saya temukan situs komunitas traveler dan backpacker dunia www.hospitalityclub.org. Saya kemudian mendapatkan beberapa teman, salah satunya backpacker asal Switzerland, Sven Huber, yang telah melakukan perjalanan "nggembel" di sedikitnya 40 negara. Dia pula yang mengenalkan saya akan kehidupan keras para backpacker dengan solidaritasnya yang luar biasa.

Sven sempat mampir ke Solo, dan tinggal di rumah saya hampir satu pekan, menjadi "wong Solo" yang makan nasi oseng-oseng hingga menggunakan toilet jongkok. Sven membuka jalan saya dengan memperkenalkan komunitas yang lebih populer bagi backpacker, yaitu www.couchsurfing.org atau biasa dikenal sebagai CS. Situs ini memiliki anggota hampir 1,5 juta traveler dan backpacker dari 230 negara dengan bahasa ibu mencapai 256. Di Indonesia, anggotanya saat ini mencapai 5.212 orang. CS telah menjadi liputan media di berbagai belahan dunia, baik media cetak maupun televisi. Terakhir, The Strait Times Singapura menurunkan artikelnya tentang CS pada September lalu.

Ada semacam konvensi tentang arti "prestasi" bagi backpacker. Prestasi adalah saat kita bisa bertahan dengan situasi buruk, sedikit uang, tetapi menghasilkan perjalanan yang luar biasa. Beberapa nama backpacker kemudian menjadi semacam legenda. Beberapa lainnya diingat karena keberaniannya, seperti nama Christopher Johnson McCandless yang melakukan perjalanan liar ke Alaska dengan dukungan makanan dan perlengkapan yang sangat minim. Laki-laki muda ini meninggal karena kelaparan pada pertengahan Agustus 1992, di dekat Denali National Park and Preserve, Alaska. Kisah hidupnya yang dituangkan dalam buku Into the Wild menjadi salah satu buku populer di kalangan backpacker. Kisah ini juga telah difilmkan oleh Sean Penn.

Dengan bergabung di CS, saya kemudian berkontribusi dengan memberikan tumpangan kepada para backpacker yang mengunjungi Solo. Hingga kini, tujuh backpackers dari negara berbeda, yaitu Amerika Serikat, Israel, China, Mesir, Switzerland, pernah tinggal di rumah saya. Dua di antaranya adalah yang pernah tinggal adalah backpacker perempuan. Di Jawa, Solo menjadi salah satu tempat favorit para backpacker untuk singgah, selain Yogyakarta.

Perjalanan empat negara yang saya rancang adalah langkah pertama saya sebagai tamu, setelah beberapa kali menjadi tuan rumah. Saya mengambil rute Yogyakarta-Singapura menggunakan pesawat (tiket Rp 199.000), Singapura-Kuala Lumpur (Malaysia) menggunakan kereta api (tiket SGD34 atau Rp 231.000), Kuala Lumpur-Chiang Mai (Thailand) menggunakan pesawat (tiket 191 Ringgit atau sekitar Rp 560.000), Chiang Mai-Tachileik (Myanmar) menggunakan bus pulang pergi (tiket 424 atau Rp 122.000), Chiang Mai-Bangkok dengan bus (500 bath atau Rp 150.000). Perjalanan pulang dengan rute Bangkok-Penang (Malaysia) dengan pesawat (1.670 bath atau Rp 690.000), pesawat Penang-Kuala Lumpur (57 Ringgit atau Rp 167.000), kemudian kembali ke Solo dari Kuala Lumpur (tiket) 153 Ringgit atau Rp 428.000).

Praktis, separuh budget saya habis untuk transportasi. Namun saya tak perlu memikirkan hotel. Backpacker asal Phillipina, Mark Yu, yang bekerja di Singapura siap menampung saya. Di Malaysia, backpacker setempat, Azrai menawarkan tempat tinggal. Di Chiang Mai dan Bangkok, saya akan ditampung oleh Sakayawat Wongrattanakamon, penulis muda Thailand yang menelurkan buku perjalanan murah ke China dan Laos. Sedang di Myanmar, saya menggunakan visa satu hari (one day tour), sehingga tak perlu tempat menginap.

Departure

Berangkat dari Yogyakarta menuju Singapura pada tanggal 9 Oktober, saya masih diliputi rasa gamang. Apalagi bila mendengarkan omongan sejumlah teman. Mereka menyatakan saya akan sedikit lebih lama berada di meja pemeriksaan imigrasi di bandara. Ini karena paspor saya masih "perawan" atau saya belum pernah ke luar negeri. Saya menangkap pesan itu sebagai, "Hei, kamu akan dapat masalah!"

Menjelang pesawat mendarat di Bandara Changi, Singapura, kekhawatiran saya semakin besar setelah pramugari pesawat menyodori kartu kedatangan yang dikeluarkan imigrasi Singapura. Saya diminta mengisi di mana alamat tempat saya tinggal selama di Singapura. Saya bahkan tidak booking hotel, sehingga tak bisa memasukkan alamat hotel. Parahnya lagi, saya lupa menanyakan alamat Mark Yu, backpacker Phillipina yang akan menampung saya selama di Singapura. Persoalan lain adalah, saya tidak memegang return tiket. Ini karena saya berencana keluar dari Singapura dengan menggunakan kereta api menuju Kuala Lumpur, yang tiketnya bisa dibeli langsung di stasiun. Tanpa return tiket, bisa-bisa imigrasi mengira saya akan menggelandang di Singapura.

Tiba di Bandara Changi saya agak sedikit lega saat satu pesan singkat di handphone muncul, alamat Mark. Saya akan tinggal di Holland ave #18-30, Singapura. Tiba di meja imigrasi, petugas laki-laki setengah baya memeriksa dengan seksama paspor saya, mencocokkan foto dengan wajah saya, lalu...dokk!! Paspor saya distempel dan diserahkan kembali ke saya, tanpa bertanya apapun. Tak lebih dari satu menit. Saat saya cerita hal ini ke salah seorang teman asli Singapura, dia sangat heran dengan kemudahan yang saya dapat. Saya seperti merasakan "keramahan" Singapura pada kesempatan pertama.

Di Singapura saya tidak akan berlama-lama. Saya sudah diperingatkan soal mahalnya negara ini. "Less Singapore!" itu pesan teman saya. Untuk transportasi sehari-hari, saya nebeng mobil teman di Singapura, sisanya naik bus umum. Bagi backpacker, Singapura kurang menarik. Singapura lebih tepat bagi turis berkoper daripada beransel. Meskipun begitu, Singapura tetap memberikan fasilitas bagi backpacker. Mereka memiliki sejumlah hostel (penginapan murah) dengan tarif per malamnya mulai SGD7 atau sekitar Rp 45.000 hingga tak terbatas. Tetapi, dengan SGD7 jangan berharap kamar private. Kita akan bergabung dengan sejumlah backpacker lain di sebuah ruang luas dengan maksimal delapan tempat tidur. Mereka menyebutnya dorm atau asrama. Hostel para backpacker banyak ditemui di daerah China Town.

Seorang teman backpacker dari Palembang, Yus Chairil, mengaku ditolak saat akan check in di hostel backpacker. Gara-garanya, dia membawa koper dan bukan ransel. "Saya ditolak check in gara-gara bawa koper dan bukannya tas ransel," ujar Yus, yang saya temui di perjalanan. Yus juga berencana berangkat ke Thailand tetapi melalui rute yang berbeda dengan saya.
Tuan rumah saya, Mark, tinggal di apartemen sederhana di lantai 18. Mark memuji Indonesia sebagai negara kaya. "Singapura banyak mengandalkan uang dari Indonesia yang dilarikan para koruptor," tutur dia.
Isu Singapura sebagai negara tempat pencucian uang memang isu lama. Tahun 2006, ekonom Kepala Morgan Stanley untuk Asia, Andy Xie, mundur setelah beredar email dirinya yang menyebut Singapura sebagai negara yang tergantung uang haram dari Indonesia dan China. Pantas saja Indonesia dipuji sebagai negara orang-orang kaya. Alasan lainnya, sebagaimana dikutip dari straittimes.com, jumlah WNI yang membelanjakan duitnya di Singapura paling tinggi dibanding negara lain, dengan total pengeluaran lebih dari SGD$1 miliar, diikuti China, Australia dan India.

Di Singapura, saya antara lain mengunjungi East Coast Park dengan pantainya, Esplanade Theater Singapore, ikon Singapura yaitu patung Merlion di Merlion Park, serta Singapore Botanic Gardens. Singapore Flyer (semacam komidi putar besar) serupa kapsul yang berputar 360 derajat dan bisa digunakan untuk melihat keindahan kota dari ketinggian, juga menjadi tempat mampir saya. Benar-benar mampir karena saya tak rela melepas SGD30 atau Rp 200.000 untuk tiketnya. Saya harus berpikir seribu kali untuk menghabiskan uang karena perjalanan saya masih panjang. Saya juga mengunjungi Little India dan China Town sekadar untuk beli gantungan kunci.

Saya sangat bersemangat sekali untuk segera packing dan berangkat ke destinasi berikutnya. Hari itu, 11 Oktober, sekitar pukul 22.00 WIB, saya berangkat ke Kuala Lumpur (KL) dari Tanjong Pagar Rail Station dengan menggunakan Kereta Api Senandung Malam No 12. Sebelum berangkat, saya harus menahan geram dengan "keanehan" harga tiket. Kereta sama, jarak sama, tetapi harga tiket berbeda bak bumi dan langit. Bila membeli tiket di KL, maka harga tiketnya 34 ringgit atau Rp 95.000. Tetapi bila membeli tiket dari Singapore (dengan penjual tiket sama-sama petugas Malaysia), maka harganya SGD34 atau Rp 230.000. Sang petugas tak mampu menjelaskan soal ini. Sejak saat itu, saya harus mulai mempersiapkan diri dengan keanehan-keanehan yang mungkin muncul dalam perjalanan berikutnya.[]

Friday, March 6, 2009

It's been a rollercoaster ride

Satu bulan terakhir adalah masa-masa yang berat. Fisik mental seperti diuji banget. It's been a rollercoaster ride. A tough month. Dan ini membawa banyak perubahan besar.

Banjir yang sempat memporakporandakan rumah beberapa waktu lalu membuka awal bagaimana hiruk pikuk hidup itu dimulai. Mulai dari tidur di luar beralas jas hujan beratap terpal, dingin, hingga seminggu penuh mencuci rumah. Ini luar biasa hebat untuk apa yang telah terjadi di keluarga kami. Bagaimana Bapak dan Ibu yang sudah tua harus menghadapi ini. Yeah, kami akan selalu menjaganya. Tetapi kami juga tahu, apapun yang kami lakukan, fisik dan mental mereka tetap saja ngedrop se-ngedropnya.

Rumah sangat dingin. Lantai keramik seperti freezer yang menempel di kaki dan tembok rumah. Ini yang mungkin membuat Bapak tidak kuat. Fisiknya terlalu lemah, sehingga suatu hari kena diare hebat. Beberapa hari berikutnya harus dievakuasi ke rumah sakit karena tidak ada sesuatu pun yang bisa masuk ke mulut.

Rumah sakit belum jawaban, karena meskipun secara fisik sudah ada pasokan ke tubuh bapak, tetapi mentalnya benar-benar tidak ada perbaikan. Di rumah sakit adanya marah terus. Bagaimana aku harus menenangkannya di dini hari saat tiba-tiba ngamuk karena pengen pulang. Valium tak mempan. Aku dan ibu hanya bisa berpandangan tak tahu harus bagaimana kecuali menjaganya untuk tetap berada di tempat tidur rumah sakit.

Bapak pulang paksa. Itu subjudulnya. Kami terpaksa membawa Bapak pulang karena ibu mengaku tak mungkin lagi bisa tahan dengan kondisi bapak yang selalu ngamuk di rumah sakit. Ya sudah, permintaan dipenuhi dengan mengisi form pulang paksa (ternyata ada lho form pulang paksa). Pfffhhh....

Untunglah, di rumah Bapak lebih tenang, dan mau makan dan minum. Obat jalan terus diberikan. Ibu sering berbicara tentang bagaimana kondisi Bapak yang sudah tua. Kami tidak pernah berbicara kematian, tetapi kami sadari bahwa Bapak terlalu tua. Apapun yang terjadi bagi Bapak, kami siap menerima, karena itu yang terbaik pastinya.

Untungnya lagi, aku memiliki ibu yang tangguh. Ibu ? beliau tak kalah tuanya dengan Bapak. Tapi jangan salah, ibu berfisik hebat. Dia juga pintar. Yang istimewa lagi, ibu itu sosok yang telaten terhadap anak dan suaminya.
Suatu hari di rumah sakit, aku sempat belajar satu hal dari ibu. Banyaknya pembezuk membuat makanan di rumah sakit berlimpah. Sangat banyak meskipun sebagian sudah dibawa pulang. Tidak tahu kenapa, suatu saat ibu meminta adikku untuk membawa sebagian makanan itu ke rumah salah seorang temannya yang dulu jadi tetangga kami. Namanya Pak Warsono. Usianya jauh di bawah ibu alias masih lebih muda. Tetapi fisiknya jauh juga di bawah ibu. Kesakitan dan kemiskinan menderanya.

Aku bahkan tak memikirkan hal itu. Karena Pak Warsono ini sudah pindah dari kampung sejak lama. Bahkan dia juga jarang bertemu dengan keluargaku. Dia tinggal bersama isterinya yang sakit juga dan anak perempuannya.

"Bawa ini ke Warsono," itu amanat ibu sambil menyerahkan tas berisi makanan.

Ibu lalu bilang ke aku. Bahwa kami lebih beruntung. Bapak sakit masih bisa dirawat di rumah sakit meskipun di kamar kelas 2. Kami juga beruntung banyak yang membezuk, bahkan beberapa saudara dekat memberi ibu uang. Bagaimana dengan Pak Warsono ? berobat saja tak mampu. Tidak bekerja, isteri juga sakit. Lalu makan apa ? jangan berpikir obat. Berpikirnya adalah makan apa ?

Tidak pernah terbersit bahwa ibu masih memikirkan kesakitan orang lain di saat Bapak sakit dan kami pontang-panting fisik dan hati. Tapi ini membuat aku bangga. Ibuku mungkin tidak lulus SD, tapi hatinya seperti hasil sekolah seumur hidup.

It's been a rollercoaster ride...

Karena dengan sepenuh hati, kami harus menata hati dan pikiran. Ini saatnya untuk keluarga, ini saatnya berpikir kerja, rutinitas hidup lain, cari makan, bayar tagihan listrik, telepon, mengurus pensiun bapak, dan tentu tak boleh lupa berpikir bagaimana mengendorkan sekrup-sekrup di otak dan hati. Ini sama saja bagi aku, adikku, ataupun kakak-kakakku. Mereka harus membagi pikiran sama beratnya. Ibu apalagi.

Tetapi, semua selalu ada hikmahnya. Seorang teman bilang, dia kagum cara kami sekeluarga melewatinya. Bahkan di facebook pun masih bisa berha-ha hihi. Aku, bahkan tak menyadari betapa kami sekeluarga menjadi semakin lebih dekat setelah saat-saat berat yang kami lalui dalam satu bulan terakhir. Ibu membuka mataku, seberat-beratnya hidup kami, kami masih sangat beruntung. Maka bersyukurlah.

regards,

A

Friday, February 13, 2009

Valetine atau tidak Valentine

Mulai bosen nih. Saban menjelang tanggal 14 Februari selalu muncul isu serupa. Bukan soal Valentinenya. Tetapi soal perdebatan valentine itu cocok atau tidak dengan budaya kita, valentine adalah ini, valentine adalah itu.
Lebih heran lagi, mosok anak TK dimobilisasi untuk demo menolak valentine ke SMA-SMA. Dan isu ini selalu dihembuskan setiap tahun, seperti tidak ada isu lebih penting lainnya yang bisa didemo saja. Lagian anak-anak TK, come on ????
Bisa ditebak, setelah tanggal 14 Februari, pasti semua akan balik seperti biasa. Lalu seperti tidak terjadi apa-apa, sampai kemudian tanggal 13 Februari atau menjelang valentine tahun depannya lagi akan muncul masalah serupa. Bosan, karena tidak progress apapun dari isu semacam ini. Progress lain? iyak, misalnya MUI keluarkan fatwa haram valentine gitu deh. Biar seru, biar bisa dibikin berita yang gak monoton. Hehehehe, nop, just kidding. Bukan usulan bagus itu, cuma merasa bosan aja orang mempersoalkan valentine.
Aku bukan orang yang merayakan dan mengenal valentine. Persoalan pro kontra sangat disadari sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, tapi pleaseeee...pake pendekatan baru deh...., pake argumen baru, pake apalah yang tak berhenti soal budaya. Kalo ngomongin budaya, yang namanya Lea-Wranglers juga bukan punya kita atuh. Lalu apa dong? ya itu hal yang harus dipikirkan oleh orang-orang yang mau kontra.
Kalo aku mah, bukan yang merayakan valentine, bukan penikmat valentine, tapi juga gak nolak dan gak mempersoalkan. Ini salah satu kenyataan besar, saat kita membuka mata, maka dunia bergerak, berkembang, tumbuh, tanpa kita bisa mencegahnya. Aku mencoba menikmati saja semuanya, menjadi bagian masyarakat internasional (mau tidak mau). Membiarkan orang dengan pikiran dan tindakan terbaik maupun terburuk mereka. Asal jangan ganggu aku aja.

Let people with their thoughts, their desires, which do not harm other people...

PS: boleh protes pendapat aku ini kok. :)
regards,

- a -

Sunday, January 25, 2009

Suatu petang di Pramex

Kisah lama, sekitar 2004, yang sengaja di-posting lagi. Hanya sekadar "mengingatkan" diriku pribadi dan mungkin berguna bagi orang lain.

Dari Jogja sekitar pukul 19.00 WIB, aku pulang ke Solo dengan Kereta Pramex terakhir. Saat itu Sabtu, Pramex penuh dengan mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di Jogja dan pulang ke Solo. Suasananya biasa saja, seperti layaknya hari-hari biasa, cuma agak lebih padat. Petang itu hujan sedikit demi sedikit luruh dari atas langit. Orang Jawa bilang hujan seperti ini -yang tidak deras dan tidak juga rintik-rintik- dianggap menyebalkan. Pasalnya, hujan kayak gini pasti lebih bisa bikin kepala kita pusing. Nggak tau orang-orang tua kita dapat teori dari mana soal itu. Yang pasti sebagian besar hal itu benar.
Aku duduk di sebelah pintu, berdampingan dengan seorang ibu-ibu usia setengah baya. Di depanku tampak seorang pemuda yang penampilannya seperti mahasiswa (tetapi aku sangsikan hal itu bila melihat tingkahnya), dia dengan nyamannya tidur menyelonjorkan kaki di satu bangku yang sebenarnya bisa untuk bertiga atau minimal berdua. Egois menurutku di saat banyak yang harus berdiri menyeimbangkan badan dengan berpegang pada ring yang tergantung di kereta.
Di tengah rasa kantuk, aku sempat menangkap suatu pembicaraan. Antara kondektur KA dengan seorang penumpang. Samar, tapi nyaris seperti ini kedengarannya.

"Kalau nggak punya uang jangan naik kereta !, gimana? mau bayar tidak ? kalau bayar berarti kena denda, satu lima ribu, kalau tiga lima belas ribu, dendanya satu kali harga tiket, jadi tiga puluh ribu," suara nyaring kondektur.

"Tapi Pak, saya nggak punya uang," jawab seorang laki-laki dengan logat Jawanya yang medhok.

Jawaban itu membangunkan aku, dan aku lihat ternyata semua penumpang di gerbong itu juga melayangkan pandangnya pada pembicaraan tersebut. Aku lihat laki-laki itu, dia menggendong satu anak laki-laki usia sekitar 3 tahunan, dan satu tangannya lagi menggandeng anak laki-laki pula usia 4 tahunan. Pakainya lusuh, dan membawa buntelan kain. Cara berpakaiannya menandakan dia orang dari suatu pondok pesantren tertentu, itu bisa dilihat dari celana panjangnya yang nyaris tiga perempat saja, dan kopiah yang dia kenakan.

Hebatnya, dan ini bikin sesak dada aku (dan mungkin penumpang lainnya), kondektur dengan sigap menyuruh laki-laki itu bangkit dari tempat duduknya, karena dianggap tidak berhak. Sebelum berlalu dari gerbong kami dan melanjutkan pemeriksaan ke gerbong lainnya, satu lontaran sempat dia ucapkan.

"Nanti kalau sampai di Ceper harus turun," tegasnya singkat. Kondektur pergi, semua penumpang hanya mampu melihat laki-laki itu, yang masih menggendong anaknya, sementara satu tangan bergelanyut di ring tempat pegangan, dan anaknya yang satu sekarang merengkuh kaki laki-laki itu untuk berpegangan. Mereka berdiri sekarang, dan kami hanya bisa memandang. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan penumpang lain. Tetapi pikiranku saat itu, aku masih punya uang seratus ribu lebih di kantong. Kalau cuma untuk membayar tiket bagi laki-laki itu dan anaknya, maka lebih dari cukup. Aku berpikir itu sepanjang sisa perjalanan. Bukan perhitungan soal uang yang aku pikirkan. Tetapi bagaimana caranya aku membantu dia tanpa harus dia merasa dikasihani. Perasaan aneh berkecamuk. Kalau bukan aku semoga ada orang lain yang segera bertindak, pikirku kala itu. Sekali lagi bukan persoalan uang bagiku. Tetapi posisi semacam ini sangat-sangat tidak biasa.

Sampai kemudian semua menjadi terlambat. Menjelang Stasiun Klaten, kondektur sudah memberikan aba-aba, menyuruh laki-laki itu segera siap untuk turun. Aku cuma terkesiap, dan mungkin penumpang lainnya. Dan mereka akhirnya benar-benar turun. Aku lihat dari jendela kereta, mereka membelah gelapnya malam dan mungkin berharap ada pertolongan untuk itu.

Hujan masih luruh, tidak begitu derasnya. Tetapi tetap saja menurut orang Jawa itu bisa bikin sakit kepala. Dan aku nggak tahu apakah si Bapak dan dua anaknya tadi sakit kepala juga karena kehujanan. Tetapi aku yakin mereka sakit hati. Sakit hati kepada si kondektur, sakit hati kepada kami semua yang hanya melihat, dan mungkin sakit hati pada hidup mereka....

Aku punya kesempatan menolong, dan aku tidak memanfaatkannya..

Tetapi kalau ada kesempatan kedua, aku akan melakukannya. Tidak hanya sekadar membayar tiket mereka...tetapi juga akan berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang berani menolong orang lain.Karena butuh jiwa besar untuk itu...Semoga saja tidak ada yang mengentengkan arti menolong kepada orang lain lagi seperti aku...walaupun untuk hal yang sederhana sekalipun...

regards,

A