Perjalanan Kereta Api (KA) Senandung Malam No 12 ke Kuala Lumpur (KL) sangat membosankan. Saya ditemani dua orang traveler dari Solo dan Tasikmalaya, Popy dan Nila. Kondisi KA sangat menyiksa, karena ruangan sangat dingin. Menurut saya, KA Singapura-Malaysia ini tak sebagus yang digambarkan di situsnya. Tak lebih bagus dari KA Senjata Utama.
Senin (11/10) pukul 06.20 WIB, kami sudah tiba di KL Sentral. Saya di sini hanya untuk satu hari, karena pada Selasa (12/10), saya harus terbang ke Chiang Mai, Thailand. Popy dan Nila akan menginap di Paradiso Bed and Breakfast, di kawasan Bukit Bintang, KL. Saya ikut numpang sebentar sekadar buat mandi. Hukum pengiritan berlaku lagi. KL tidak terlalu menarik perhatian saya. Saya hanya tertarik untuk melihat Petronas Twin Tower. Di KL, saya disambut Azrai, backpacker setempat, yang juga member di www.couchsurfing.com (CS). Azrai orang yang murah hati. Dia rela menjadi "sopir" saya, Popy, dan Nila untuk berkeliling sejumlah tempat. Semua gratis...tis.
Kami mengunjungi Batu Caves, gua tempat peribadatan yang didekasikan untuk Dewa Murugan, dewa yang dipuja oleh pemeluk agama Hindu Tamil. Lokasinya berada di distrik Gombak, Selangor, atau sekitar 13 km di sebelah utara KL. Saya terpesona dengan patung Batumalai Sri Subramaniar atau Swamy Devasthanam, yang berada di luar gua. Tinggi patung 42,7 meter atau 140,09 kaki. Pembangunan patung ini sendiri menghabiskan 1.550 meter kubik beton, 250 ton besi dan 300 liter cat emas. Dan diperkirakan menelan biaya 24 juta Rupee. Untuk menuju gua, kita harus menaiki 272 anak tangga. Selama perjalanan hingga tangga akhir, kera-kera liar akan menjadi pemandangan menarik.
Malamnya, kami kembali ke Bukit Bintang. Di sinilah saya berpisah dengan Popy Nila dan Azrai. Tengah malam saya tiba di Low Cost Carrier Terminal (LCCT) KL, bandara tempat saya bertolak menuju Chiang Mai, Thailand. Pesawat bertolak dari KL ke Chiang Mai pukul 07.20 dan tiba pukul 09.00 waktu setempat. Tiba di Chiang Mai International Airport, lagi-lagi urusan imigrasi memusingkan saya. Kali ini saya tidak berhasil menghubungi Sakayawat Wongrattanakamon, backpacker Thailand yang akan menampung saya. Dia rencananya menjemput saya. Tetapi dapat dipastikan, imigrasi sudah mencegat saya sebelum saya bertemu dengan Sakayawat di bandara.
Tiba giliran saya di meja pemeriksaan, petugas seperti mengerti apa yang menjadi kekhawatiran saya. Dia menanyakan di mana saya akan tinggal. Saya menjawab saya lupa alamat teman. Saya kembali mencoba menerangkan dengan siapa nanti saya akan tinggal, dan untuk keperluan apa saya ke Chiang Mai. Tetapi, tampaknya itu tidak berhasil. Lalu saya punya ide, saya cantumkan nomor handphone Sakayawat. Petugas itu pun setuju, dan saya akhirnya lolos lubang jarum.
Sakayawat menjemput saya di bandara, dan langsung membawa saya ke Doi Suthep, sebuah kuil dan candi Buddha yang indah. Tetapi, target utama saya adalah segera menuju Myanmar. Menuju ke Myanmar dari Chiang Mai cukup mudah. Kami menuju Chiang Mai Arcade Bus Station dan mengambil bis jurusan Mae Sai Bus Station di perbatasan Thailand-Myanmar. Untuk mencapai Mae Sai, kami hanya butuh waktu empat jam, dengan bis yang bagus dan sangat nyaman, yaitu Green Bus. Tarif 212 bath untuk reguler (Rp 60.000), sangat murah untuk bus senyaman ini.
Menjelang masuk wilayah Mae Sai di perbatasan Thailand-Myanmar, perjalanan menyenangkan ini menjadi terganggu saat seorang dengan seragam hijau serupa tentara masuk ke bus. Saya tengah buang air kecil di toilet saat itu. Belum juga selesai saya cuci tangan, pintu toilet sudah digedor dari luar. Laki-laki itu berbicara kepada saya dengan bahasa Thailand. Saya tak paham. Buru-buru saya mengeluarkan paspor yang selalu siap dikantong celana saya.
"Huh...Indonesia?" lalu dia melanjutkan dengan kalimat panjang dan datar berbahasa Thailand. Lagi-lagi saya hanya menggelengkan kepala. Daripada bingung dan semakin salah paham, saya beranjak menuju kursi Sakayawat. Laki-laki itu mengikuti. Beberapa saat kemudian teman saya berbicara dengan laki-laki itu. Laki-laki itu kembali membuka paspor saya. Dan kembali berbicara panjang lebar ke teman saya, sambil sesekali melirik saya. Sesaat kemudian, paspor diserahkan ke saya. "Dia pikir kamu imigran gelap dari Myanmar," kata Sakayawat menjawab kebingungan saya. Mungkin dia tadi mengira saya bersembunyi di toilet.
Imigran gelap dari Myanmar memang menjadi persoalan bagi pemerintah Thailand. Organisasi-organisasi kemanusiaan memperkirakan ada lebih dari 2 juta imigran gelap Myanmar di Thailand yang selalu diburu polisi. Saya kemudian menjadi maklum atas kecurigaan aparat Thailand kepada saya dalam pemeriksaan di bus. Sepanjang perjalanan, setidaknya tiga kali saya harus mengalami pemeriksaan di atas bus. Dua lainnya adalah di Chiang Rai menuju Chiang Mai, serta di atas bus dari Chiang Mai menuju Bangkok.
PEREMPUAN BERLEHER PANJANG
Tiba di Mae Sai Bus Station, saya dan Sakayawat menuju ke perbatasan dengan naik semacam ojek bertarif 50 bath (sekitar Rp 14.000). Kami akhirnya tiba di pintu gerbang perbatasan. Saya harus membayar 500 bath (sekitar Rp 142.000). Untuk ini, saya rela membayar, karena di seberang sana, di sisi lain perbatasan ini, saya "diiming-imingi" akan bertemu dengan the long necked woman alias wanita-wanita berleher panjang di Regina Hill Tribe Village.
Perbatasan Thailand dan Myanmar ditandai dengan sungai. Masuk Tachileik, kota perbatasan di Myanmar, kita bakal disuguhi "kemiskinan". Pengemisnya banyak, pedagang asongannya berjibun. Bahkan ada pedagang asongan yang menawarkan cewek dengan menyodorkan foto. Sebelum menuju Regina Hill Tribe Village, saya mengunjungi Tachileik Market. Di sini adalah surganya barang palsu yang kebanyakan dari China. Anda bisa mendapatkan blackberry palsu hanya dengan Rp 300.000 rupiah saja. Setelah dari pasar, kami berkeliling Tachileik dengan menyewa kendaraan roda tiga dengan 50 bath, kami akan diantar kemana saja kami ingin. Di sini, selain kyat sebagai mata uang resmi, mereka sangat menghargai bath. Langsung kami menuju Regina Hill Tribe Village.
Dengan 40 bath, kami masuk ke sebuah area khusus. Begitu masuk, kami langsung bertemu dengan wanita-wanita itu. Saya sampai ternganga dengan kondisi mereka. Leher mereka begitu panjang dengan gelang-gelang berwarna keemasan dari tembaga melingkar bertumpuk-tumpuk. Mereka memasang itu sejak mereka masih di bawah lima tahun. Saya dikenalkan dengan Pheu Pheu, 70, dialah wanita tertua di desa itu. Ya ampun, lehernya membuat saya miris, panjaaaaang....
Konon berat logam ini bisa mencapai lebih dari empat kilo. Logam ini akan menekan pundak ke bawah dan memaksa kepalanya naik ke atas. Apakah bisa dilepas? Jangaaaan...sekali dilepas, mereka bisa mati. Karena tulang leher yang selama ini ditopang logam bisa menjadi lemah. Padahal leher itu sudah memanjang, akibatnya bisa kolaps, sesak napas yang berujung kematian. Sorenya kami keluar dari Myanmar dan kembali menuju Chiang Mai dengan bus. Saya tinggal beberapa hari di rumah neneknya Sakayawat. Keluarga ini sangat baik, menyediakan kamar buat saya, lengkap dengan makanan tanpa babi (yang agak susah dicari di Thailand), semuanya gratis.
Tanggal 17 Oktober, saya bergerak ke Bangkok dengan bus. Di sini keuangan saya sudah menipis karena saya baru sadar, rupiah yang saya bawa hanya dihargai separuh dari nilai aslinya. Saya tak habis pikir dengan ini. Di Bangkok, saya tidak memiliki tujuan khusus. Saya juga tak mengunjungi Grand Palace yang terkenal itu karena harus menghemat uang. Saya menghabiskan waktu dengan mengunjungi pasar-pasar tradisional, dan mengunjungi indahnya Ayuthaya. Kebetulan pada saat itu ada pertunjukan drama tradisional yang dilakukan di atas danau dan ini semua gratis. Mereka mendapatkan pemasukan dari berjualan makanan-makanan tradisional.
Di Bangkok, tak lupa saya mengunjungi Khaosan Road yang terkenal sebagai kawasan backpacker. Tanggal 20 Oktober saya meninggalkan Bangkok untuk menuju jalan pulang. Dengan sedikit utak-atik untuk mendapatkan tiket pesawat murah, saya putuskan transit dulu di Pulau Penang, Malaysia. Keputusan saya tepat. Saya menikmati sekali keindahan Penang yang masuk dalam daftar world heritage. Saya menikmati kota lamanya. Saya (lagi-lagi) beruntung, Sakayawat menghubungkan saya dengan Ricky, backpacker asli Penang. Di sini saya juga bertemu dengan Owen Tabbert, backpacker dari Kitchener, Ontario, Kanada. Bertiga kami mengeksplorasi keindahan Penang dalam satu hari. Prinsipnya, the more the merrier, semakin banyak teman semakin menyenangkan. Selain semakin murah tentu saja.
Tengah malam, saya sudah berada di Bayan Lapas International Airport, Penang. Saya memutuskan tidur di bandara ini karena pesawat saya berangkat pagi-pagi sekali menuju Kuala Lumpur (KL). Di sini saya bertemu dengan backpacker asal Italia, Alex Natali. Kami asyik ngobrol panjang lebar tentang perjalanan kami.
Tanggal 21 Oktober saya sudah berada di KL. Dan saya baru sadar uang di saku saya hanya tinggal sekitar 35 ringgit atau Rp 90.000. Sementara uang rupiah saya tinggal Rp 40.000. Untung saya sudah memiliki tiket pulang ke Solo. Uang yang tersisa ini akhirnya saya manfaatkan untuk makan dua kali, masing-masing sekitar 10 ringgit. Sisanya, saya beli kopi 5 ringgit. Masih ada 10 ringgit saya simpan. Tanggal 22 Oktober pagi saya terbang ke Solo dengan hanya menyisakan 10 ringgit dan Rp 40.000 di kantong. Tak apalah, bagi saya perjalanan Singapura, Malaysia, Thailand dan Myanmar ini berjuta kali lipat nilainya dari itu.
Senin (11/10) pukul 06.20 WIB, kami sudah tiba di KL Sentral. Saya di sini hanya untuk satu hari, karena pada Selasa (12/10), saya harus terbang ke Chiang Mai, Thailand. Popy dan Nila akan menginap di Paradiso Bed and Breakfast, di kawasan Bukit Bintang, KL. Saya ikut numpang sebentar sekadar buat mandi. Hukum pengiritan berlaku lagi. KL tidak terlalu menarik perhatian saya. Saya hanya tertarik untuk melihat Petronas Twin Tower. Di KL, saya disambut Azrai, backpacker setempat, yang juga member di www.couchsurfing.com (CS). Azrai orang yang murah hati. Dia rela menjadi "sopir" saya, Popy, dan Nila untuk berkeliling sejumlah tempat. Semua gratis...tis.
Kami mengunjungi Batu Caves, gua tempat peribadatan yang didekasikan untuk Dewa Murugan, dewa yang dipuja oleh pemeluk agama Hindu Tamil. Lokasinya berada di distrik Gombak, Selangor, atau sekitar 13 km di sebelah utara KL. Saya terpesona dengan patung Batumalai Sri Subramaniar atau Swamy Devasthanam, yang berada di luar gua. Tinggi patung 42,7 meter atau 140,09 kaki. Pembangunan patung ini sendiri menghabiskan 1.550 meter kubik beton, 250 ton besi dan 300 liter cat emas. Dan diperkirakan menelan biaya 24 juta Rupee. Untuk menuju gua, kita harus menaiki 272 anak tangga. Selama perjalanan hingga tangga akhir, kera-kera liar akan menjadi pemandangan menarik.
Malamnya, kami kembali ke Bukit Bintang. Di sinilah saya berpisah dengan Popy Nila dan Azrai. Tengah malam saya tiba di Low Cost Carrier Terminal (LCCT) KL, bandara tempat saya bertolak menuju Chiang Mai, Thailand. Pesawat bertolak dari KL ke Chiang Mai pukul 07.20 dan tiba pukul 09.00 waktu setempat. Tiba di Chiang Mai International Airport, lagi-lagi urusan imigrasi memusingkan saya. Kali ini saya tidak berhasil menghubungi Sakayawat Wongrattanakamon, backpacker Thailand yang akan menampung saya. Dia rencananya menjemput saya. Tetapi dapat dipastikan, imigrasi sudah mencegat saya sebelum saya bertemu dengan Sakayawat di bandara.
Tiba giliran saya di meja pemeriksaan, petugas seperti mengerti apa yang menjadi kekhawatiran saya. Dia menanyakan di mana saya akan tinggal. Saya menjawab saya lupa alamat teman. Saya kembali mencoba menerangkan dengan siapa nanti saya akan tinggal, dan untuk keperluan apa saya ke Chiang Mai. Tetapi, tampaknya itu tidak berhasil. Lalu saya punya ide, saya cantumkan nomor handphone Sakayawat. Petugas itu pun setuju, dan saya akhirnya lolos lubang jarum.
Sakayawat menjemput saya di bandara, dan langsung membawa saya ke Doi Suthep, sebuah kuil dan candi Buddha yang indah. Tetapi, target utama saya adalah segera menuju Myanmar. Menuju ke Myanmar dari Chiang Mai cukup mudah. Kami menuju Chiang Mai Arcade Bus Station dan mengambil bis jurusan Mae Sai Bus Station di perbatasan Thailand-Myanmar. Untuk mencapai Mae Sai, kami hanya butuh waktu empat jam, dengan bis yang bagus dan sangat nyaman, yaitu Green Bus. Tarif 212 bath untuk reguler (Rp 60.000), sangat murah untuk bus senyaman ini.
Menjelang masuk wilayah Mae Sai di perbatasan Thailand-Myanmar, perjalanan menyenangkan ini menjadi terganggu saat seorang dengan seragam hijau serupa tentara masuk ke bus. Saya tengah buang air kecil di toilet saat itu. Belum juga selesai saya cuci tangan, pintu toilet sudah digedor dari luar. Laki-laki itu berbicara kepada saya dengan bahasa Thailand. Saya tak paham. Buru-buru saya mengeluarkan paspor yang selalu siap dikantong celana saya.
"Huh...Indonesia?" lalu dia melanjutkan dengan kalimat panjang dan datar berbahasa Thailand. Lagi-lagi saya hanya menggelengkan kepala. Daripada bingung dan semakin salah paham, saya beranjak menuju kursi Sakayawat. Laki-laki itu mengikuti. Beberapa saat kemudian teman saya berbicara dengan laki-laki itu. Laki-laki itu kembali membuka paspor saya. Dan kembali berbicara panjang lebar ke teman saya, sambil sesekali melirik saya. Sesaat kemudian, paspor diserahkan ke saya. "Dia pikir kamu imigran gelap dari Myanmar," kata Sakayawat menjawab kebingungan saya. Mungkin dia tadi mengira saya bersembunyi di toilet.
Imigran gelap dari Myanmar memang menjadi persoalan bagi pemerintah Thailand. Organisasi-organisasi kemanusiaan memperkirakan ada lebih dari 2 juta imigran gelap Myanmar di Thailand yang selalu diburu polisi. Saya kemudian menjadi maklum atas kecurigaan aparat Thailand kepada saya dalam pemeriksaan di bus. Sepanjang perjalanan, setidaknya tiga kali saya harus mengalami pemeriksaan di atas bus. Dua lainnya adalah di Chiang Rai menuju Chiang Mai, serta di atas bus dari Chiang Mai menuju Bangkok.
PEREMPUAN BERLEHER PANJANG
Tiba di Mae Sai Bus Station, saya dan Sakayawat menuju ke perbatasan dengan naik semacam ojek bertarif 50 bath (sekitar Rp 14.000). Kami akhirnya tiba di pintu gerbang perbatasan. Saya harus membayar 500 bath (sekitar Rp 142.000). Untuk ini, saya rela membayar, karena di seberang sana, di sisi lain perbatasan ini, saya "diiming-imingi" akan bertemu dengan the long necked woman alias wanita-wanita berleher panjang di Regina Hill Tribe Village.
Perbatasan Thailand dan Myanmar ditandai dengan sungai. Masuk Tachileik, kota perbatasan di Myanmar, kita bakal disuguhi "kemiskinan". Pengemisnya banyak, pedagang asongannya berjibun. Bahkan ada pedagang asongan yang menawarkan cewek dengan menyodorkan foto. Sebelum menuju Regina Hill Tribe Village, saya mengunjungi Tachileik Market. Di sini adalah surganya barang palsu yang kebanyakan dari China. Anda bisa mendapatkan blackberry palsu hanya dengan Rp 300.000 rupiah saja. Setelah dari pasar, kami berkeliling Tachileik dengan menyewa kendaraan roda tiga dengan 50 bath, kami akan diantar kemana saja kami ingin. Di sini, selain kyat sebagai mata uang resmi, mereka sangat menghargai bath. Langsung kami menuju Regina Hill Tribe Village.
Dengan 40 bath, kami masuk ke sebuah area khusus. Begitu masuk, kami langsung bertemu dengan wanita-wanita itu. Saya sampai ternganga dengan kondisi mereka. Leher mereka begitu panjang dengan gelang-gelang berwarna keemasan dari tembaga melingkar bertumpuk-tumpuk. Mereka memasang itu sejak mereka masih di bawah lima tahun. Saya dikenalkan dengan Pheu Pheu, 70, dialah wanita tertua di desa itu. Ya ampun, lehernya membuat saya miris, panjaaaaang....
Konon berat logam ini bisa mencapai lebih dari empat kilo. Logam ini akan menekan pundak ke bawah dan memaksa kepalanya naik ke atas. Apakah bisa dilepas? Jangaaaan...sekali dilepas, mereka bisa mati. Karena tulang leher yang selama ini ditopang logam bisa menjadi lemah. Padahal leher itu sudah memanjang, akibatnya bisa kolaps, sesak napas yang berujung kematian. Sorenya kami keluar dari Myanmar dan kembali menuju Chiang Mai dengan bus. Saya tinggal beberapa hari di rumah neneknya Sakayawat. Keluarga ini sangat baik, menyediakan kamar buat saya, lengkap dengan makanan tanpa babi (yang agak susah dicari di Thailand), semuanya gratis.
Tanggal 17 Oktober, saya bergerak ke Bangkok dengan bus. Di sini keuangan saya sudah menipis karena saya baru sadar, rupiah yang saya bawa hanya dihargai separuh dari nilai aslinya. Saya tak habis pikir dengan ini. Di Bangkok, saya tidak memiliki tujuan khusus. Saya juga tak mengunjungi Grand Palace yang terkenal itu karena harus menghemat uang. Saya menghabiskan waktu dengan mengunjungi pasar-pasar tradisional, dan mengunjungi indahnya Ayuthaya. Kebetulan pada saat itu ada pertunjukan drama tradisional yang dilakukan di atas danau dan ini semua gratis. Mereka mendapatkan pemasukan dari berjualan makanan-makanan tradisional.
Di Bangkok, tak lupa saya mengunjungi Khaosan Road yang terkenal sebagai kawasan backpacker. Tanggal 20 Oktober saya meninggalkan Bangkok untuk menuju jalan pulang. Dengan sedikit utak-atik untuk mendapatkan tiket pesawat murah, saya putuskan transit dulu di Pulau Penang, Malaysia. Keputusan saya tepat. Saya menikmati sekali keindahan Penang yang masuk dalam daftar world heritage. Saya menikmati kota lamanya. Saya (lagi-lagi) beruntung, Sakayawat menghubungkan saya dengan Ricky, backpacker asli Penang. Di sini saya juga bertemu dengan Owen Tabbert, backpacker dari Kitchener, Ontario, Kanada. Bertiga kami mengeksplorasi keindahan Penang dalam satu hari. Prinsipnya, the more the merrier, semakin banyak teman semakin menyenangkan. Selain semakin murah tentu saja.
Tengah malam, saya sudah berada di Bayan Lapas International Airport, Penang. Saya memutuskan tidur di bandara ini karena pesawat saya berangkat pagi-pagi sekali menuju Kuala Lumpur (KL). Di sini saya bertemu dengan backpacker asal Italia, Alex Natali. Kami asyik ngobrol panjang lebar tentang perjalanan kami.
Tanggal 21 Oktober saya sudah berada di KL. Dan saya baru sadar uang di saku saya hanya tinggal sekitar 35 ringgit atau Rp 90.000. Sementara uang rupiah saya tinggal Rp 40.000. Untung saya sudah memiliki tiket pulang ke Solo. Uang yang tersisa ini akhirnya saya manfaatkan untuk makan dua kali, masing-masing sekitar 10 ringgit. Sisanya, saya beli kopi 5 ringgit. Masih ada 10 ringgit saya simpan. Tanggal 22 Oktober pagi saya terbang ke Solo dengan hanya menyisakan 10 ringgit dan Rp 40.000 di kantong. Tak apalah, bagi saya perjalanan Singapura, Malaysia, Thailand dan Myanmar ini berjuta kali lipat nilainya dari itu.
No comments:
Post a Comment