photo:dresscodeclothing.com |
Dua minggu lalu hingga saya menuliskan ini, saya memikirkan satu hal. Tentang email dari sahabat baik saya di Eropa. Subject di emailnya singkat saja: working/writing. Tanpa ada hujan dan angin, dia menuliskan ini dalam email itu:
After a while you may realize if it's better to have a real job or if you wanna go back traveling and writing only. Maybe you can work like others and in your spare time you keep writing?
Tidak ada pembicaraan sebelumnya soal pekerjaan. Dan tiba-tiba ide itu muncul dari sahabat yang selalu mendukung apapun langkah dan pilihan-pilihan saya. Dia adalah sahabat terdekat, di luar keluarga saya yang selalu mendukung saya untuk mengikuti kata hati saya, menulis...menulis...dan menulis. Saya tertegun membaca email itu. Ini kali pertama dia menawarkan sesuatu yang berbeda dan seperti meragukan apa yang saya lakukan.
Jauh sebelum itu,..saya sudah memutuskan untuk menjalani apa yang menarik, menyenangkan, dan pantas dilakukan bagi hidup saya. Saya sebut itu passion saya. Mudah menemukan apa yang menjadi passion saya. Seumur hidup saya, tidak pernah jauh-jauh dari menulis. Sejak SD saya juaranya menulis, meski cuma Porseni. SMP saya sudah ketak ketik mesin tik tua, menulis apa saja. SMA untuk pertama kalinya Cerpen saya menang sayembara dan dimuat di majalah lokal. Kuliah, saya memilih jurusan Sastra Indonesia dan saya mendengar "Huuuuuuuuu..." panjang dari orang sekitar saya atas pilihan itu.
"Mau jadi apa kuliah di Sastra Indonesia?"
"Oh pantesan lolos UMPTN, cuma Sastra Indonesia"
Saya bukan orang yang tahan dengan cemoohan sosial waktu itu, maklum umur saya baru 18 tahun. Saya gamang dengan pilihan. Di awal semester, saya ingat sekali, saat ditanya orang di dalam bus kota saat berangkat atau pulang kuliah, "Kuliah jurusan apa dek?" saya menjawab dengan "Desain Komunikasi Visual" - setidaknya tidak terlalu berbohong karena masih di lingkup Fakultas Sastra-. Paling parah adalah saat saya berbohong kepada ibu-ibu di bus kota yang sangat sok membanggakan anaknya yang kuliah di kedokteran, saya mantap berbohong "Saya kuliah di arsitektur". Saya hanya jengkel saja. Bagi saya, tidak ada risiko berbohong segede itu. Tahu apa ibu itu soal arsitektur, dan benar dia tidak menanyakan lebih lanjut soal kebohongan saya.
Saya bahkan baru menyadari sekarang, saya menemukan passion saya jauh sebelum saya menyadarinya. Bekerja pun saya tidak jauh-jauh dari menulis. Selepas bekerja di radio sejak semester 3 yang saya sebut sebagai masa hura-hura dan pura-pura saya, peruntungan saya tidak jauh dari nulis. Saya menjadi reporter lapangan selama 5 tahun, sebelum akhirnya satu tahun berikutnya menjadi Redaktur di sebuah harian.
Lalu 2009, saya memutuskan untuk mengikuti kata hati saya: menjadi penulis. Dan saya menyadari benar ini bukan hal mudah. Saya kagum dengan keluarga saya. Tidak ada sedikitpun yang menentang (atau saya tidak tahu?). Saya memiliki sahabat-sahabat yang mendukung saya. Hampir pasti, perjalanan saya mulus untuk mengubah diri saya dari anak kantoran dengan gaji per bulan dan memilih menjadi penulis dengan "gaji" per enam bulan (itu kalau bukunya laku).
Lalu email itu datang. Satu email yang membukakan mata saya bahwa mungkin orangtua saya, keluarga saya, mereka memiliki kekhawatiran serupa yang ditulis sahabat saya itu. Mungkin mereka berpikir, seharusnya saya balik lagi ke kantor, karena apa yang saya lakukan semu. Hidup normal bagi banyak orang adalah melakukan pekerjaan seperti apa yang dilakukan banyak orang. Ini tentang konvensi bersama. Kalau kita tidak ikut, maka kita aneh.
21 Juni 2012, hanya seminggu setelah saya terima email itu. Saya mendapatkan "teman" saat Managing Director Petak Umpet, M Arief Budiman, yang lekat dengan aktivitas "berbagi ide segar"-nya ini tampil dalam TED'x ITS yang bertajuk A Passionated Way, di Kampus PascaSarjana ITS, Surabaya. "Menjadi orang yang memiliki pilihan berbeda itu tidak mudah. Dan biasanya yang justru meminta kita 'kembali ke jalan yang benar' adalah orang-orang terdekat kita," tutur Arief kala itu. Lho kok tahu masalah yang saya hadapi? Kan saya belum curhat ke Mas Arief?
Dia seperti membaca apa yang saya rasakan. Mungkin dia merasakan hal sama dulu, sebelum dia mengalami sukses sebagai pembicara seperti sekarang ini. Dia mengajak kita untuk mendengarkan inner voice dan disregard the noise. Teman baik saya, penulis terkenal yang tampil dalam acara itu juga, Trinity "The Naked Traveler" memiliki pesan yang dikutipkan dari pikiran Kelly Cutrone, yang sampai ke dalam hati saya: Normal Gets You Nowhere. Begitu mendengar ini, saya sontak bangga "saya abnormal". Mendadak keluar dari Gedung Pascasarjana ITS usai acara, saya merasa kekar...kuat...dan siap menghadapi tantangan. Heroik sekali.
Tetapi semudah itukah? Apa yang saya ceritakan tentang kalimat-kalimat indah bagaimana follow your passion dan menjalaninya tidaklah seindah itu dalam kenyataannya. Ada banyak aspek dalam hidup yang akan membuat kita benar-benar harus mempertimbangkan saat kita ingin menjalani passion kita atau "kembali ke jalan yang benar". Benturan-benturan dahsyat akan kita alami. Saya yakin, Arief dan Trinity pernah mengalami fase di mana mereka seperti ingin menyerah saja.
Saya mengalami fase itu juga. Saat di mana saya berpikir, apakah saya sudah berada di jalur yang benar? apakah saya melakukan hal tepat? bagaimana dengan masa depan saya? apakah saya normal? Karena bahkan sahabat saya yang lain menyatakan "Saya capek melihat lompatan-lompatan yang kamu lakukan". Saya sempat patah hati mendengar itu, meskipun kemudian saya bisa mengabaikannya.
Pegangan saya saat ini adalah, saya menyukai apa yang saya lakukan. Saya bersuka cita saat buku pertama saya terbit. Dan sukacita itu menjadi rentetan moment yang muncul di buku kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, hingga buku ketujuh. Saya bergembira saat tulisan saya dimuat di majalah traveling keren, tepat di hari ulang tahun saya. Saya selalu semangat saat mengecek inbox banyak mendapatkan email dari orang yang menyatakan terinspirasi oleh tulisan-tulisan saya. Itu bahagia yang sederhana dan tidak butuh banyak uang. Itu yang selalu menguatkan saya.
Saya percaya, bagi beberapa orang uang akan menyelesaikan semua urusan. Saya percaya, bagi beberapa orang uang juga bisa membeli kebahagiaan. Tetapi saya percaya, kebahagiaan saya tidak ditentukan oleh uang. Saya juga percaya, hidup bisa tetap berlangsung dengan indah meskipun tanpa mobil mewah, rumah indah, dan gadget yang tidak murah atau ukuran-ukuran keduniawian lainnya. Saya tidak menolak jadi kaya. Tetapi miskin atau kaya, saya akan menjalani passion saya. Saya percaya, saat saya menjalani passion saya, maka saya melakukannya dengan perasaan bahagia, baik dibayar atau tidak.
Keyakinan itulah yang membuat saya percaya, risiko mengikuti passion dan menjalaninya tidaklah seseram kekhawatiran sahabat-sahabat saya. Saya hormat pada mereka dan saya tahu mereka melakukan itu karena mereka menyayangi saya.
Tulisan ini menanggapi banyaknya pertanyaan tentang passion dan kehidupan abnormal saya sebagai penulis. Banyak yang melihat dari sisi enaknya saja, bahwa saya enak tidak harus ngantor, bisa bangun siang, liburan sepanjang tahun tanpa mikir cuti, dapat duit dari jalan-jalan, tidak ada office politicking , etc. Saya pastikan kepada Anda, ini tidak semudah itu. Ada saat-saat di mana Anda ingin menyerah dengan keadaan.
After a while you may realize if it's better to have a real job or if you wanna go back traveling and writing only. Maybe you can work like others and in your spare time you keep writing?
Tidak ada pembicaraan sebelumnya soal pekerjaan. Dan tiba-tiba ide itu muncul dari sahabat yang selalu mendukung apapun langkah dan pilihan-pilihan saya. Dia adalah sahabat terdekat, di luar keluarga saya yang selalu mendukung saya untuk mengikuti kata hati saya, menulis...menulis...dan menulis. Saya tertegun membaca email itu. Ini kali pertama dia menawarkan sesuatu yang berbeda dan seperti meragukan apa yang saya lakukan.
Jauh sebelum itu,..saya sudah memutuskan untuk menjalani apa yang menarik, menyenangkan, dan pantas dilakukan bagi hidup saya. Saya sebut itu passion saya. Mudah menemukan apa yang menjadi passion saya. Seumur hidup saya, tidak pernah jauh-jauh dari menulis. Sejak SD saya juaranya menulis, meski cuma Porseni. SMP saya sudah ketak ketik mesin tik tua, menulis apa saja. SMA untuk pertama kalinya Cerpen saya menang sayembara dan dimuat di majalah lokal. Kuliah, saya memilih jurusan Sastra Indonesia dan saya mendengar "Huuuuuuuuu..." panjang dari orang sekitar saya atas pilihan itu.
"Mau jadi apa kuliah di Sastra Indonesia?"
"Oh pantesan lolos UMPTN, cuma Sastra Indonesia"
Saya bukan orang yang tahan dengan cemoohan sosial waktu itu, maklum umur saya baru 18 tahun. Saya gamang dengan pilihan. Di awal semester, saya ingat sekali, saat ditanya orang di dalam bus kota saat berangkat atau pulang kuliah, "Kuliah jurusan apa dek?" saya menjawab dengan "Desain Komunikasi Visual" - setidaknya tidak terlalu berbohong karena masih di lingkup Fakultas Sastra-. Paling parah adalah saat saya berbohong kepada ibu-ibu di bus kota yang sangat sok membanggakan anaknya yang kuliah di kedokteran, saya mantap berbohong "Saya kuliah di arsitektur". Saya hanya jengkel saja. Bagi saya, tidak ada risiko berbohong segede itu. Tahu apa ibu itu soal arsitektur, dan benar dia tidak menanyakan lebih lanjut soal kebohongan saya.
Saya bahkan baru menyadari sekarang, saya menemukan passion saya jauh sebelum saya menyadarinya. Bekerja pun saya tidak jauh-jauh dari menulis. Selepas bekerja di radio sejak semester 3 yang saya sebut sebagai masa hura-hura dan pura-pura saya, peruntungan saya tidak jauh dari nulis. Saya menjadi reporter lapangan selama 5 tahun, sebelum akhirnya satu tahun berikutnya menjadi Redaktur di sebuah harian.
Lalu 2009, saya memutuskan untuk mengikuti kata hati saya: menjadi penulis. Dan saya menyadari benar ini bukan hal mudah. Saya kagum dengan keluarga saya. Tidak ada sedikitpun yang menentang (atau saya tidak tahu?). Saya memiliki sahabat-sahabat yang mendukung saya. Hampir pasti, perjalanan saya mulus untuk mengubah diri saya dari anak kantoran dengan gaji per bulan dan memilih menjadi penulis dengan "gaji" per enam bulan (itu kalau bukunya laku).
Lalu email itu datang. Satu email yang membukakan mata saya bahwa mungkin orangtua saya, keluarga saya, mereka memiliki kekhawatiran serupa yang ditulis sahabat saya itu. Mungkin mereka berpikir, seharusnya saya balik lagi ke kantor, karena apa yang saya lakukan semu. Hidup normal bagi banyak orang adalah melakukan pekerjaan seperti apa yang dilakukan banyak orang. Ini tentang konvensi bersama. Kalau kita tidak ikut, maka kita aneh.
21 Juni 2012, hanya seminggu setelah saya terima email itu. Saya mendapatkan "teman" saat Managing Director Petak Umpet, M Arief Budiman, yang lekat dengan aktivitas "berbagi ide segar"-nya ini tampil dalam TED'x ITS yang bertajuk A Passionated Way, di Kampus PascaSarjana ITS, Surabaya. "Menjadi orang yang memiliki pilihan berbeda itu tidak mudah. Dan biasanya yang justru meminta kita 'kembali ke jalan yang benar' adalah orang-orang terdekat kita," tutur Arief kala itu. Lho kok tahu masalah yang saya hadapi? Kan saya belum curhat ke Mas Arief?
Dia seperti membaca apa yang saya rasakan. Mungkin dia merasakan hal sama dulu, sebelum dia mengalami sukses sebagai pembicara seperti sekarang ini. Dia mengajak kita untuk mendengarkan inner voice dan disregard the noise. Teman baik saya, penulis terkenal yang tampil dalam acara itu juga, Trinity "The Naked Traveler" memiliki pesan yang dikutipkan dari pikiran Kelly Cutrone, yang sampai ke dalam hati saya: Normal Gets You Nowhere. Begitu mendengar ini, saya sontak bangga "saya abnormal". Mendadak keluar dari Gedung Pascasarjana ITS usai acara, saya merasa kekar...kuat...dan siap menghadapi tantangan. Heroik sekali.
Tetapi semudah itukah? Apa yang saya ceritakan tentang kalimat-kalimat indah bagaimana follow your passion dan menjalaninya tidaklah seindah itu dalam kenyataannya. Ada banyak aspek dalam hidup yang akan membuat kita benar-benar harus mempertimbangkan saat kita ingin menjalani passion kita atau "kembali ke jalan yang benar". Benturan-benturan dahsyat akan kita alami. Saya yakin, Arief dan Trinity pernah mengalami fase di mana mereka seperti ingin menyerah saja.
Saya mengalami fase itu juga. Saat di mana saya berpikir, apakah saya sudah berada di jalur yang benar? apakah saya melakukan hal tepat? bagaimana dengan masa depan saya? apakah saya normal? Karena bahkan sahabat saya yang lain menyatakan "Saya capek melihat lompatan-lompatan yang kamu lakukan". Saya sempat patah hati mendengar itu, meskipun kemudian saya bisa mengabaikannya.
Pegangan saya saat ini adalah, saya menyukai apa yang saya lakukan. Saya bersuka cita saat buku pertama saya terbit. Dan sukacita itu menjadi rentetan moment yang muncul di buku kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, hingga buku ketujuh. Saya bergembira saat tulisan saya dimuat di majalah traveling keren, tepat di hari ulang tahun saya. Saya selalu semangat saat mengecek inbox banyak mendapatkan email dari orang yang menyatakan terinspirasi oleh tulisan-tulisan saya. Itu bahagia yang sederhana dan tidak butuh banyak uang. Itu yang selalu menguatkan saya.
Saya percaya, bagi beberapa orang uang akan menyelesaikan semua urusan. Saya percaya, bagi beberapa orang uang juga bisa membeli kebahagiaan. Tetapi saya percaya, kebahagiaan saya tidak ditentukan oleh uang. Saya juga percaya, hidup bisa tetap berlangsung dengan indah meskipun tanpa mobil mewah, rumah indah, dan gadget yang tidak murah atau ukuran-ukuran keduniawian lainnya. Saya tidak menolak jadi kaya. Tetapi miskin atau kaya, saya akan menjalani passion saya. Saya percaya, saat saya menjalani passion saya, maka saya melakukannya dengan perasaan bahagia, baik dibayar atau tidak.
Keyakinan itulah yang membuat saya percaya, risiko mengikuti passion dan menjalaninya tidaklah seseram kekhawatiran sahabat-sahabat saya. Saya hormat pada mereka dan saya tahu mereka melakukan itu karena mereka menyayangi saya.
Tulisan ini menanggapi banyaknya pertanyaan tentang passion dan kehidupan abnormal saya sebagai penulis. Banyak yang melihat dari sisi enaknya saja, bahwa saya enak tidak harus ngantor, bisa bangun siang, liburan sepanjang tahun tanpa mikir cuti, dapat duit dari jalan-jalan, tidak ada office politicking , etc. Saya pastikan kepada Anda, ini tidak semudah itu. Ada saat-saat di mana Anda ingin menyerah dengan keadaan.
- Kalau Anda memang benar-benar ingin mengikuti passion (apapun itu) sebagai bentuk ideal hidup yang ingin Anda jalani, maka pastikan Anda telah menyelesaikan pendidikan formal. Pendidikan adalah hal yang sangat penting, baik bagi Anda yang kerja kantoran atau hanya freelancer. Ini akan menolong Anda saat ada masalah di waktu tak terduga.
- Tanyakan benar-benar apakah yang Anda jalani adalah benar-benar passion Anda. Tanyakan hati Anda. Jangan sekali, dua kali, tiga kali. Tanyakan berkali-kali sampai Anda bosan dan tidak ingin menanyakan hal itu lagi. Saat tidak ingin menanyakan lagi, maka sejak itu tidak ada keraguan bahwa memang benar itu passion Anda.
- Kalau Anda bahagia menjalaninya dan tidak peduli apa kata orang dan apakah itu akan menghasilkan uang atau tidak, maka itulah passion Anda.
Saya bahagia. Semoga Anda juga.
regards,
-Ariy-