Entah
bego, entah bodoh, teman saya yang satu ini bercerita tentang pengalamannya
jalan-jalan di satu kota. Dia dibuat malu berat oleh kebodohannya karena tidak
mengenal medan yang akan dijelajahinya. “Jadi aku sampai di tujuan pakai kereta
kan, cuma berbekal panduan SMS dari orang kantor. Ya udah, kayak kebo dicucuk
hidungnya gitu. Intinya, orang kantor bilang, setelah sampai di tujuan aku
musti ke hotel yang udah di-bookingin. Nyantai
deh akunya,” ujar dia semangat.
Saya cuma cengar-cengir menunggu
kejutan dari ceritanya. Setelah menghela napas, teman saya ini melanjutkan,
“Karena semua biaya ditanggung kantor, aku semakin nyantai, maunya traveling
cantik-lah. Ada taksi di depan stasiun tuh, dengan gaya sok yakin, aku langsung
stop dan masuk ke dalam tanpa ba-bi-bu,” lanjutnya lagi.
“Gak nanya itu pakai argo atau nggak?” sambarku. Dia menggeleng, “Ngapain juga, toh berapapun nanti juga diganti kantor. Pikirku gitu, sok yakin.”Giliran saya yang diam, masih menunggu dikejutkan. Lalu dia melanjutkan cerita, wajahnya juga mulai cengar-cengir. “Ke hotel dong aku. Pas aku bilang ke sopirnya, tuh sopir mengangguk saja…ya udah kan…jalan deh tuh taksi.”
Udah gitu? Batinku. “Belum kelar, taksi berjalan nih…aku udah mulai nyari posisi wueenak di dalam. Mana punggung pegalnya minta ampun. Panas juga kan di luar, jadi berasa surga saja di dalam taksi. Tapi eh tapi…belum juga nyantai, eh tuh taksi tiba-tiba berhenti…seetttt,” cerocosnya.
“Sudah sampai Pak. Kata si sopir. Kaget dong aku. Lho? kan aku baru masuk, taksi baru jalan, kok udah sampai saja? Si sopir cengar-cengir. Lalu nunjuk ke arah bangunan tempat kami berhenti di depannya. Astaganaga!! Aseeem!! Aku udah sampai di hotel itu, padahal jaraknya gak lebih dari 300 meter dari stasiun!”
Huahahahaha…kami berdua ngakak panjang. Teman saya ini pun harus rela menyerahkan Rp 15.000-nya untuk taksi yang dia tumpangi tidak lebih dari 3 menit saja. Nominal itu adalah tarif minimal taksi bila argo menunjukkan angka kurang dari Rp 15.000. Teman saya ini merutuk, kenapa dia tidak mencari informasi terlebih dahulu tentang hotel ini. Alamat di mana, seberapa jauh dari stasiun, kira-kira paling enak naik apa ke sana.
Saya jadi inget, beberapa teman saya bertanya, “Kamu kan nulis guide book. Apakah kamu traveling juga menggunakan guide book?” Pertanyaan bagus menurut saya. Jadi apakah seorang travel writer yang menulis buku-buku panduan perjalanan juga menggunakan buku serupa saat dia jalan-jalan? Saya sempat menanyakan hal ini kepada beberapa teman sesama travel writer. Jawabannya beragam, ada yang pakai, ada yang enggak, ada juga yang kadang pakai kadang enggak. Saya? Hmmm…bukannya sok ya, tapi saya tidak pernah pakai. Pun saat saya melakukan perjalanan pertama kali ke luar negeri pada tahun 2009 dengan tujuan empat negara sekaligus, yaitu Singapura – Malaysia – Thailand – Myanmar.
Saya tidak butuh panduan? Saya sangat butuh. Tetapi memang saya tidak mencarinya melalui buku panduan. Saya bukan nyinyir terhadap buku panduan ya, karena bahkan 5 dari 7 buku saya adalah buku panduan. Buku-buku semacam ini pasti berguna bagi orang. Tetapi, memang saya menggunakan sumber lain yang informasinya bisa saya dapatkan secara independen. Sebelum traveling, saat membuat itinerary, biasanya itulah saat di mana saya mempelajari medan, melakukan riset melalui internet.Google is my guide book.
Meng-update berita baru soal pariwisata |
Itu benar. Semua
saya dapatkan melalui google, melalui
proses komparasi antara satu info dengan info lainnya, lalu memilih mana yang
paling valid. Saya mempersiapkan pointer-pointer
hasil riset internet untuk saya bawa jalan. Itu yang biasanya membantu saya.
Silakan cari apa saja pasti ada, bagaimana cara ke sini, bagaimana cara ke
sana, nomer telepon taksi, cek harga tiket pesawat, cari hotel murah, memetakan
jarak, dan lain sebagainya. Jadi, kebegoan yang dialami teman saya, niscaya
bisa dihindari.
Itu dulu ya…sekarang mah, saya jalan ya jalan saja. Kadang tidak pakai riset detail melalui internet sebelum jalan dan tidak membuat itinerary rumit. Bahkan misalnya cari hotel, saya sudah mulai jarang melakukan booking in advance via internet. Sekarang lebih berani melakukan go show, hajar saja apapun yang terjadi di perjalanan. Cuma…ada cumanya nih…asal jalan itu boleh saja, tetapi harus smart ya. Saya yang selalu menerapkan traveling on budget alias traveling duit cekak, harus mengantisipasi supaya tidak tersesat. Karena tersesat bisa berarti keluar duit lebih…BIG NO! Itu yang terjadi dengan teman saya pada cerita di atas. Kalau dia mau sedikit check dan re-check, nggak bakal tuh melayang Rp 15.000-nya. Kalau memang tidak persiapan dari rumah, kan bisa tuh cek di “Mbah Google” pakai mobile internet. Ini lho, hotel dan stasiun berada di jalan yang sama kok ya tidak tahu huehehehe.
Bagi saya, internet tidak bisa lepas
dari kegiatan traveling saya. Tetapi jujur saja nih, saya menggunakan mobile internet hanya ketika traveling
di dalam negeri, karena saya masih mikir gimana caranya SIM Card saya bisa
digunakan internetan di luar negeri. Gaptek gak sih. Kalau di luar negeri, saya harus menjadi
“fakir wifi”, tergopoh-gopoh ke sana
ke mari mencari hotspot area. Pernah saya kelabakkan saat akan check in di sebuah hostel di Singapura
yang ternyata tidak memiliki resepsionis. Maksudnya? Jadi hostel ini menggunakan
proses reservasi online, lalu check in juga dilakukan secara online. Semua kebutuhan kita
dikomunikasikan via email. Sebenarnya saya sudah mengetahui itu, tetapi hingga
saya terbang ke Singapura, email jawaban tentang nomor kamar saya berapa belum
juga saya terima. Akhirnya, begitu saya tiba di sana, ribet deh mencari
internet…jangan bayangkan seperti di Indonesia di mana Warnet ada di mana-mana.
Untung di Changi Airport tersedia beberapa PC dengan jaringan internet gratis.
Cek email-lah saya begitu tiba, dan benar saja pengelola hostel sudah membalas
email saya, memberikan instruksi bagaimana cara saya membuka brankas kecil yang
ada di bagian depan hostel, yang isinya kunci kamar yang sudah saya pesan. Nah
lho, bagaimana kalau saya tidak bisa mengakses email saya? Untung ada internet
di Changi.
Intinya internet itu anugerah luar
biasa bagi para traveler, khususnya untuk berinternet mobile. Saya sudah
mencoba beberapa provider untuk aktivitas mobile
internet saya. Sekarang nih, lagi nyobain
Three, yang iklannya
“AlwaysOn” nendang banget itu. Awalnya sih, teman saya di Bandung yang cerita,
kalau dia internetan pakai Three. “Meskipun
kuota sudah habis, aku masih bisa pakai buat internetan, untuk 10 situs
gratis. Lumayan masih bisa FB-an,
YM-an,” kata dia. Teman saya ini memang racun, yang membuat saya akhirnya
mencoba Three. Yeap…it works.
Situs-situs yang
sering banget saya gunakan saat traveling adalah Google untuk sarana saya
mencari informasi supaya nggak kena sial macam teman saya huehehe, Facebook yang
biasanya saya gunakan untuk bikin iri teman-teman dengan memasang status sedang
mbolang kemana di mana (biasanya sih sukses
menuai komen banyak hihi), Ebuddy Messenger untuk aktivitas chat saya di YM, sisanya saya cuma browsing-browsing berita terbaru supaya saya lebih update meskipun sedang jalan. Kebutuhan
saya ini terpenuhi akan berita terpenuhi dengan kehadiran Detik, Kompas,
Vivanews, atau juga Okezone. Kadang iseng juga mengecek dagangan di lapak Toko
Bagus, yang juga disematkan di paket mobile
internet “ThreeAlwaysOn.”
FB-an mengusir bete. |
Demi semua itu, saya pun pakai Three. Bagi saya, keuntungan lainnya
adalah, paket “ThreeAlwaysOn” memberi fleksibilitas karena memiliki masa berlaku
hingga 12 bulan, full speed, dengan
hanya Rp 50.000, cocok dengan gaya traveling
on budget saya. Paket ini memungkinkan saya bebas berinternet tanpa
terkendala pemakaian batasan masa berlaku maupun volume kuota. “Bebas itu
nyata…” hueehehe.
Jadi
yang memang selama ini belum beraktivitas pakai mobile internet, sepertinya harus mulai memikirkan. Banyak aspek
dalam traveling yang bergerak di dunia maya sebagai langkah efisiensi atau
memberikan kemudahan. Yang saya dengar nih dari teman-teman di luar negeri,
sistem pengelolaan hostel tanpa resepsionis misalnya, itu mulai jamak lho di
luar negeri. Biasanya juga nih, Indonesia bakal mengadopsi sistem ini, demi
alasan irit tenaga kerja. Nah, kalau sampai kejadian, saya yakin mobile internet akan menjadi alat ampuh
bagi traveler untuk mempermudah aktivitas travelingnya. Selain itu, penggunaan mobile internet juga ampuh membunuh rasa
sepi…hadeuh. Penting banget buat yang sering solo traveling macam saya. Buat yang suka ngeteng kemana-mana
sendirian, saya kasih tahu satu rahasia ya…15 jam berjubel di dalam gerbong KA
Ekonomi Gaya Baru Malam Selatan rute Jakarta – Surabaya itu menyiksa banget
kalau tanpa ada FB. Percaya saya deh :).
6 comments:
Cool :-)
terima kasih sudah mampir :)
googling pun kdg msh ngebingungin. Ada yg bilang A, ada yg bilang B. Ane pilih suara terbanyak.
dari segi teknik juga bingung musti di gimanain hualah bingung bingung
kalo soal teknis mobile internet, bagi pemula akan lebih baik menuju ke counter cabang resmi operator seluler terdekat, biar di-setting-kan sekalian. Tetapi kayak Three, yang saya lakukan cuma mengaktifkan SIM Card, lalu proses setting internetnya akan otomatis masuk via SMS, ada panduannya. Lalu sudah bisa diaktifkan. Di counter-counter orang jual pulsa/hp, mereka juga biasanya bisa kok membantu sampai hp bisa buat online.
15 jam di atas KA Gayabaru Malam Selatan? Saya malah pernah 20 jam perjalanan Malang - Jakarta dengan KA Matarmaja, dan waktu itu HP saya blum bisa buat internet. Untungnya waktu itu rame2 bareng teman
Post a Comment