Tuesday, November 1, 2011

Kena Sweeping di Thailand

*Tulisan ini dimuat dalam Anthology Blog The Naked Traveler, tanggal 23 Agustus 2011.

 Green Bus membawa saya keluar dari Chiang Mai Arcade Bus Station dengan tujuan ke Chiang Rai. Bus yang bagus, nyaman dengan kaca rendah, sehingga pemandangan di luar terekam sempurna. Menghajar wilayah utara Thailand yang berbatasan dengan Myanmar adalah misi saya. Bus cakep ini akan membawa saya ke Mae Sai, wilayah akhir sebelum mengakses kota kecil miskin dan kumuh yang berada di ujung selatan Myanmar, yaitu Tachileik. Bus pun melaju di jalan bebas hambatan yang bagus, halus dengan pemandangan kanan kiri hutan atau perbukitan, serta permukiman penduduk. Saya sengaja berangkat agak pagi, biar bisa puas melakukan tur sehari di Myanmar.
Semua serba lancar sampai kemudian dinginnya AC bus memaksa saya ke toilet di bus. Untung toiletnya bagus dan tidak bau. Bus belum masuk ke Mae Sai, saat saya memulai ritual buang air kecil. Pintu toilet pun saya tutup. Belum juga tetes terakhir, gedoran berulang di pintu membuat saya kaget. Dengan belum membetulkan ulang celana secara sempurna, saya bergegas membuka pintu. Dalam benak saya, mungkin pagi ini ada yang makan cabe terlalu banyak sehingga seperti kalap ingin menggunakan toilet. Perkiraan saya keliru. Di depan saya berdiri laki-laki berseragam hijau, dengan senjata entah jenis apa di tangan kanannya, dan topi ala tentara Jepang namun tanpa penutup telinga. Ekspresi wajahnya datar saja. Dia adalah tentara!
Chang wesuh kra be wos wus wes!” serentetan kalimat meluncur dengan nada tinggi dari tentara itu tanpa saya tahu artinya. Saya cuma bengong saja menatapnya. Belum juga beberapa detik bengong, dia kembali membentak. Mungkin dia pikir saya orang setempat. “I’m speaking English. I’m Indonesian, Sir,” ujar saya dengan lantang dan intonasi jelas. Seketika dia berhenti membentak. Lalu jarinya memberi kode untuk saya mengikutinya, beranjak dari toilet yang berada di bagian belakang bus. Saya baru sadar, bus ternyata berhenti di pinggir jalan. Di luar, tampak belasan tentara, dua di antaranya telah berada di dalam bus saya. 
Saya mendekati kursi, menatap harap pada teman saya yang orang Thailand untuk mengambil alih situasi. Menyadari situasi, teman saya pun langsung berdiri berbicara dengan tentara yang memepet saya. “Okay! Passport! Passport!” perintahnya begitu kelar berbicara dengan teman saya. Buru-buru saya ambil paspor dan menyerahkan ke tentara itu. Tiga kali dia memandang ke saya dan mencocokkan wajah saya dengan foto di paspor. Beberapa saat kemudian, dia menyerahkan paspor dan berkata sesuatu ke teman saya, sebelum akhirnya pergi, turun dari bus seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Pffh….saya lega bukan alang kepalang. Tetapi, sejujurnya saya tidak tahu situasi apa yang sedang saya hadapi. Saya cuma tidak ingin terlalu lama berurusan dengan tentara, di mana pun saya traveling. Gila apa?!
Saat bus melaju meninggalkan pemeriksaan tentara itu, teman saya bercerita bahwa apa yang baru saja terjadi adalah pemeriksaan tentara yang sweeping imigran gelap dari Myanmar. Bagi penduduk Thailand, tidak akan menjadi masalah, hanya akan dicek identitasnya. Tentara itu curiga kepada saya karena pada saat pemeriksaan saya berada di toilet, wilayah yang sangat mungkin digunakan imigran gelap untuk bersembunyi. “Tambah runyam karena kamu tidak bisa menjawab pertanyaan mereka,” ujar teman saya. “Bagi mereka, wajahmu tak berbeda dengan wajah orang Thailand atau Myanmar. Wajar kalau mereka curiga.”
Imigran gelap dari Myanmar memang menjadi persoalan serius bagi pemerintah Thailand. Organisasi kemanusiaan memperkirakan ada lebih dari 2 juta imigran gelap Myanmar di Thailand yang selalu diburu polisi. Situasi politik yang tidak stabil di wilayah selatan Myanmar juga membuat semakin banyak pelarian warga Myanmar ke Thailand.  Ini seperti sebuah “Impian Thailand”, melintas ke negeri gajah putih demi hidup yang lebih nyaman, meninggalkan kemiskinan dan konflik bersenjata yang mendera warga di wilayah Selatan Myanmar.
Sorenya, puas dengan tur satu hari di Tachileik, saya pun kembali ke Chiang Mai. Lagi-lagi saya bertemu para tentara di sejumlah titik. Mereka memeriksa dengan seksama setiap penumpang. Saya tidak mau berbicara banyak, langsung saja menyodorkan paspor ketika salah satu dari tentara mendekat. Malang bagi seorang gadis yang duduk di kursi depan saya. Dia tidak mampu menunjukkan identitas dan dibentak-bentak. Gadis yang pernampilan sangat sederhana itu tampak panik. Suara bersahutan antara si gadis dan tentara yang tak saya pahami berakhir pada diturunkannya gadis itu dari bus diikuti si tentara. Duh, saya berasa ikut syuting film perang! Sepanjang perjalanan itu pula saya selalu membayangkan, kira-kira apa yang terjadi dengan gadis yang diturunkan dari bus itu ya?

5 comments:

agustinriosteris said...

mmfhhh.. jadi apa yang buat kamu tetap tenang waktu tau disamperin tentara?

apa yang pertama-tama kamu pikir???

Ariy said...

Paspor! itu yang selalu membuat saya tenang, karena saya selalu membawa kemana pun saya pergi. Setau saya, pemerintah Thailand sangat-sangat menghormati wisatawan, karena mereka besar dari tourism industry.

Yg pertama kali terpikir: paspor dan teman thai saya.

Agustawangmangu said...

lain di Indonesia lain di Tahiland om...he...selamat "berbisnis" :)

Lydia Stevani said...

apakah agak bebas bagi org indonesia yg mnjadi imigran gelap di thai ??? dan apakah org indonesia tdk terlalu di cari - cari di thai klo menjadi imigran gelap ??? dapat kah imigran gelap dri indonesia di thai utk mendapatkan pkerjaan & surat2 / ktp ??

Ariy said...

Mbak Lydia,
menurut saya, yang namanya ilegal itu menyalahi hukum, jadi tidak ada istilah "agak" bebas. Lagian kalo jadi imigran gelap, hidup di sana pasti perasaannya gak tenang. Takut ketangkep dan lain sebagainya. Hidup dan kerja pun tidak tenang. Soal surat2, tentu kalo ilegal tdk bisa mendapatkannya.