Di depan National Museum, Bangkok, Thailand, saya bertemu dengan orang yang pada akhirnya menipu saya.Awalnya, saya hanya ingin memotret bagian depan museum. Tiba tiba seorang laki-laki setengahbaya dengan bahasa Inggris bagus mendekati saya.
Dia memperkenalkan diri sebagai orang yang mengantar anak-anak sekolah ke museum ini. Dia lalu banyak bertanya tentang siapa saya dan dari mana. Bicaranya cepat tanpa sempat saya menjawab. Setelah itu, dia berbicara tentang suatu toko perhiasan yang dia sebut sangat murah. Dia menunjukkan cincin yang dia beli dan harganya separuh dari harga pasaran. Dia bercerita soal big sale yang hanya akan digelar hari itu saja.
Lalu, dia juga bercerita soal kuil Buddha yang tidak banyak turis datang, tetapi sangat indah. Dia menunjuk di peta tentang dua kuil ini. Sikap ramahnya membuat saya menyimak, meskipun dalam hati kecil saya merasa sedikit bertanya-tanya. Terus dia bercerita soal banyaknya Tuk-Tuk yang sering menipu. “Kalau pakai Tuk-Tuk, cari yang warna kuning hijau. Itu lebih murah,” kata dia dan tanpa saya sadari tiba-tiba dia sudah menghentikan satu Tuk-Tuk yang entah muncul dari mana. Lalu dia sudah menawar begitu saja, dari harga penawaran ฿80 (Rp22.400,00) mereka tiba tiba saja sudah sepakat dengan harga ฿20 (Rp5.600,00) untuk mengantar saya ke lokasi-lokasi yang dia sebut. Saya seperti kerbau dicucuk hidungnya, dan mau saja masuk ke Tuk-Tuk.
Hanya dalam beberapa menit kemudian, saya baru sadar ada yang tidak beres. Namun, saya kemudian memutuskan akan meladeni duo-partner in crime ini. Hayooo aja, lagian pertaruhan saya cuma uang Rp5.600,00. Benar saja, di tujuan pertama saya diantar ke sebuah kuil (lebih tepat menyebutnya rumah), dan benar-benar tidak ada apa-apanya. Pun tak ada seorang turis.
Saya coba masuk sebentar, berbincang- bincang dengan seseorang di dalam yang juga ngoceh panjang-lebar soal toko perhiasan yang harus saya kunjungi (wah … ini juga kaki-tangan).
Tak lebih dari lima menit saya keluar menuju Tuk-Tuk. Dan saya meminta pengemudi Tuk-Tuk mengantar saya balik ke National Museum. Tetapi dia berkeras tidak mau, dan tetap akan mengantar saya ke toko perhiasan.
Lho? Siapa yang bayar siapa, coba? Ya, sudah, saya ladeni. Begitu sampai depan toko perhiasan, perasaan tidak enak saya terbukti. Saya diantar ke depan sebuah toko perhiasan kecil, sangat kecil, hanya serupa rumah toko, tetapi tidak bertingkat. Saya bilang ke sopir Tuk-Tuk, saya tidak akan masuk ke dalamnya dan meminta dia mengantar saya balik seperti kesepakatan.
Pengemudi itu tidak mau mengantar saya. Kami berdebat sengit, dan dia berkeras tidak mau mengantar dan meminta saya masuk ke dalam sekitar 5 menit saja, supaya dia bisa mendapatkan kupon bensin. Gotchaa!! Akhirnya dia mengaku juga hanya ingin mencari kupon bensin.
Saya beri dia uang ฿50 (Rp14.000,00) dan meminta kembalian. Dia hanya memberikan kembalian ฿20 saja (Rp5.600,00), lebih ฿10 daripada yang kami sepakati. Saya sudah tidak peduli lagi, saya tinggalkan dia.
Di hari berbeda setelah itu, saya bertemu dengan teman dari Guatemala, Lucia, dia menceritakan kasus yang sama. Dan Lucia ini sempat menurut masuk ke toko perhiasan itu. Dan di sana dia tidak membeli apa pun, lalu sang penjual memperolok Lucia, “Kamu datang ke toko ini hanya untuk melihat lihat? Kamu tidak punya uang, tetapi masuk ke toko perhiasan?” Ouughhhh … pengin sekali menghajar orang-orang seperti ini.
Jangan percaya begitu saja kepada orang yang tiba-tiba datang kepada Anda dengan kata-kata manis. Pola pola penipuan semacam ini sebenarnya sudah terendus polisi. Itulah mengapa di peta yang dibagi gratis kepada turis di tourist information center booth juga tertera peringatan semacam ini, termasuk ke mana Anda harus melaporkan bila ada yang menghadapi kasus semacam ini.
1 comment:
useful infos.keep it up,ariy!!
Post a Comment