Hey, Journer !
Menjelang libur panjang akhir tahun ini, sebenarnya ada teman yang mengajak saya untuk jalan ke Bali. Tapi karena kondisi kaki saya yang cedera, sehingga saya khawatir akan menyusahkan di perjalanan, saya batalkan rencana backpacking ke Bali. Ternyata, teman saya itu pun batal ke Bali dan memilih jalan ke Yogya dan Solo saja.
Dalam waktu bersamaan, saya mendapatkan undangan dari sahabat saya dari Swiss yang sedang berada di Yogya, yaitu Sven Huber. Dia sedang mengunjungi pacarnya yang juga teman saya, Erna. Singkatnya, Erna mengajak saya dan Sven untuk mengunjungi Wildlife Rescue Centre (WRC) Jogja. Yang berada di Dusun Paingan, Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo. Di sinilah teman Erna bekerja dan kami diundang untuk berkunjung. Soal Jogja Orang Utan Centre, yang merupakan kawasan penyelamatan, rehabilitasi dan kawasan suaka margasatwa ini akan saya ceritakan di tulisan lainnya nanti.
Hari itu, Minggu, 23 Desember 2012, saya bersama teman dari Jakarta yaitu Arie, kemudian Erna dan Sven, berangkat naik bus dari Terminal Pasar Gamping menuju ke lokasi. Kami turun di Pasar Sentolo. Di sana kami bertemu dengan empat orang teman lain yang datang dengan naik motor. Dari Pasar Sentolo menuju ke lokasi, jaraknya lumayan jauh yaitu sekitar 5 km, tapi jalannya lebar dan mulus.
Singkat cerita, kami sampai dan langsung bertemu dengan teman Erna, Mbak Nancy, yang juga menjadi guide kami. Di WRC kami menemukan beberapa jenis binatang yang berhasil diselamatkan dari upaya-upaya perdagangan ilegal satwa liar.
Kawasan WRC cukup luas dengan pengamanan arealnya cukup bagus. Ini semacam kawasan hutan mini dengan kondisi tanah naik turun. Beberapa kandang tampak berjajar. Di sini tidak hanya kawasan penyelamatan untuk orang utan saja, namun juga ada beberapa binatang lain, berbagai jenis kera, burung, hingga beruang. Beberapa di antara binatang-binatang ini bisa sampai di kawasan ini setelah berhasil diselamatkan dari aksi perdagangan ilegal.
Di satu bangunan, semacam laboratorium, salah satu ruangannya tampak sebuah kandang cukup besar dan berisi seekor beruang muda. Namanya Bedu, kepanjangan dari Beruang Madu. Ini adalah salah satu binatang yang berhasil diselamatkan dari aksi perdagangan ilegal. Saat kami datang, sikap Bedu tiba-tiba tidak santai. Mondar-mandir dengan cepat dan mata menyapu pandangan ke mana-mana. Lalu dalam beberapa detik kemudian dia duduk di pojok kandang sambil mengulum (maaf) kelaminnya sendiri. Bedu melakukan itu sambil mengeluarkan suara-suara bergetar semacam rengekan.
Bedu yang malang |
Kami diberitahu, bahwa Bedu sedang stress berat. Sebenarnya lupa berapa umur Bedu, tetapi bayi beruang ini seharusnya masih dalam asuhan induknya dan biasanya di habitat aslinya lebih banyak bermain. Lalu dari mana sebenarnya Bedu berasal? Ini yang membuat miris mendengarnya.
Bedu diselamatkan dari upaya perdagangan hewan liar secara ilegal oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jateng yang kemudian dititipkan ke WRC Jogja. Rencana penjualan Bedu dilakukan oleh seorang anak berusia 16 tahun !! Bocah itu menawarkan Bedu melalui Kaskus dan dibuka dengan banderol Rp 21 juta. Saya kelu mendengarnya.
Upaya penjualan ini berhasil digagalkan. Saya sendiri lupa menanyakan di mana bocah itu mendapatkan Bedu. Tapi satu hal, bayi beruang ini telah dipisahkan dari induknya. Sedih mengetahui hal itu, bagaimana seorang bocah sudah mulai mengenal perdagangan hewan liar dan hukum tidak bisa bertindak apapun terhadapnya.
Saya jatuh hati kepada Bedu. Menurut saya, binatang ini memiliki hak sepenuhnya untuk hidup di habitat aslinya tanpa diganggu manusia. Dan sekarang di usianya yang masih muda, dia stress berat karena harus terpisah dari induknya dan tidak mampu hidup secara alami di habitat aslinya. Yang paling nyesek lagi adalah, pihak WRC tidak bisa memastikan kapan Bedu akan pulih dari stress yang dialaminya.
Mungkin banyak yang tidak peduli tentang keberlangsungan hidup satwa liar. Saya banyak mendengar kalimat seperti "Ah ngapain ngurusin penyelamatan satwa liar. Ngurusin hidup sendiri saja ribet kok." Tetapi bagi saya, hidup seperti Bedu pantas untuk diselamatkan. Keberlangsungan hidup Bedu dan satwa-satwa liar lainnya akan menjaga keseimbangan ekosistem. Kepunahan satwa liar adalah satu satu indikator kehancuran bumi. Lebih dari itu, saya berpikir lebih dari sekadar alasan-alasan itu. Saya berpikir soal "hati". Saya tidak akan pernah punya hati untuk membiarkan hewan selucu Bedu tersiksa untuk kemudian mati sia-sia.
Lain kali akan saya ceritakan kisah Joko dan Ucok. Dua ekor orang utan yang juga mengalami nasib tak kalah sialnya dari Bedu. Manusia lagi-lagi menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas nasib sial mereka.
"The greatness of a nation and its moral progress can be judged
by the way its animals are treated."
- Mahatma Gandhi -
2 comments:
jangankan di kaskus, di pasar hewan dongkelan saja pernah saya temui jual beli anak macan tutul yang jelas-jelas ilegal.
yup pastinya banyak kasus di luar sana. Semoga sedikit edukasi di blog bisa berarti. Mungkin tdk akan menyelamatkan semuanya.
Post a Comment