Hey Journer,
Ini penggalan cerita saya dan Ajie Hatadji saat jalan-jalan di Medan, yang kemudian kamu wujudkan dalam buku "Travelicious Medan". Kami akan bercerita tentang salah satu highlight Kota Medan yaitu Mansion Tjong A Fie, salah satu orang terkaya di Medan pada jamannya.
Pintu Depan Mansion |
Menapakkan kaki di kawasan Kesawan, kita akan disambut oleh gapura megah tepat di mulut jalan. Tak jauh dari sana terdapat tujuan pertama kami, yaitu rumah peninggalan tokoh di balik pesatnya perkembangan Medan hingga menjadi kota terbesar ketiga di Indonesia. Kami mengunjungi Mansion Tjong A Fie, seorang saudagar yang juga sahabat dekat Sultan Deli.
Nama besar Tjong A Fie sangat berpengaruh di Medan sehingga bila datang ke Medan, tak lengkap bila tak mengunjungi mansion ini. Berjalan lima menit dari gapura Kesawan, gerbang utama Mansion Tjong A Fie terlihat, menjulang megah dan cantik sore itu. Bagian utamanya adalah pintu kayu besar yang dijaga dua patung singa dan dipercantik dengan dua lampion merah tergantung dari atas gerbang. Kami seakan-akan mengunjungi kuil kungfu yang didiami para shaolin dan bukan sebuah rumah pembesar Kota Medan.
Halaman Depan |
Klik ... klik ... klik! Belum apa-apa kamera sudah jepret sana sini. Suara burung walet terdengar samar saat kami mengelilingi taman—penuh tumbuhan hijau dan pohon rindang—untuk mencapai loket masuk. Loket masuknya sederhana, hanya sebuah meja dengan brosur penjelasan mengenai mansion tersebut. Ternyata, mansion itu masih dimiliki dan ditinggali oleh keluarga besar Tjong A Fie. Sang penjaga loket, seorang gadis bersenyum manis, pun adalah keturunan Tjong A Fie. Setelah membayar tiket masuk seharga Rp35.000,00 kami dipandu secara singkat mengenai tata letak mansion.
Ruang Tamu |
Bangunan berlantai dua itu memiliki ruangan besar terbuka di tengah-tengah rumah, khas rumah-rumah China. Ruangan pertama setelah pintu masuk pengunjung adalah dua ruang tamu sederhana yang terpisah oleh sebuah dinding terbuka. Berbagai pajangan berbentuk poster yang menghiasi sisi-sisi ruangan menuliskan trivial knowledge seputar kehidupan sang empunya rumah. Ada beberapa kursi antik yang tertata rapi mengelilingi meja kopi di tengah ruangan. Dahulu, Tjong A Fie menjamu para petinggi dari kalangan Melayu di ruangan tersebut. O, iya, pemandu yang memandu kami melarang untuk mengambil foto di bagian-bagian yang terdapat dokumentasi Tjong A Fie baik dalam bentuk foto maupun gambar karena sebagian besar adalah milik pihak lain.
“Takut foto-foto tersebut disalahgunakan dan dianggap hasil dokumentasi sendiri,” ungkap pemandu kami yang ternyata juga salah seorang keturunan langsung Tjong A Fie.
Cantiknya Kamar Tidur Tjong A Fie |
Ruangan berikutnya adalah ruangan yang khusus memajang portofolio hidup Tjong A Fie. Dimulai dari kisah kakak Tjong A Fie, Tjong Yong Hian, yang terlebih dahulu merantau ke Medan dari Sungkow, sebuah desa kecil di China. Selang lima tahun, Tjong A Fie yang kala itu masih berusia 17–19 tahun kemudian menyusul kakaknya menuju Medan, ikut berkecimpung di dunia perkebunan. Foto-foto di ruangan itu seolah-olah menceritakan perjuangan Tjong A Fie semenjak dia masih seorang pemuda hingga menjadi salah satu tokoh legenda Medan. Foto-fotonya bersama keluarga besar, atau acara-acara penting yang melibatkan Tjong A Fie, terpampang rapi di ruangan itu—tentu dengan larangan mengambil foto.
Ruang Makan |
Ruang makan keluarga menarik minat kami untuk menjelajah lebih ke dalam mansion. Lemari-lemari menempel ke dinding, memberikan ruang yang cukup lapang untuk meja makan di tengah ruangan. Di atas meja makan tersebut tertata alat makan, lengkap dengan serbet merah yang dilipat sedemikian rupa, membuat nafsu makan membahana seketika. Tepat setelah ruang makan adalah kamar pribadi sekaligus ruang tidur Tjong A Fie. Saat itu hanya temaram lilin yang menerangi kamar yang luas.
Koleksi baju-baju Tjong A Fie dan istrinya terpampang di sana, di satu sudut kamar di sebelah meja rias kayu. Tempat tidur dari kayu ukiran, tertutup kelambu, berada tepat di tengah ruangan. Di seberang kamar tersebut, Tjong A Fie dahulu menjamu tamu tamu yang berasal dari Eropa. Ada pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa Tjong A Fie memisahkan ruang-ruang tamu tersebut?
Beranjak ke lantai dua, ada ruang pemujaan bagi para dewa. Bau hio menyebar di udara, kesan sakral terpancar dari altar sembahyang yang berada tepat di tengah ruangan. Altar itu bernuansa merah, serupa nuansa warna mansion, dengan patung dewa-dewa di tengah altar. Persinggahan kami di Tjong A Fie berakhir di aula besar yang langsung menghadap ke Jalan Kesawan.
Kami membayangkan aula besar itu dahulu digunakan Tjong A Fie untuk mengadakan ballroom party dan pesta dansa, lengkap dengan live music mengalun di udara. Foto-foto yang dipajang di ruangan memberikan gambaran yang semakin jelas tentang khayalan kami, menikmati jamuan dari sang Legenda Kota Medan di Mansion Tjong A Fie.
No comments:
Post a Comment