Labels
Ho[S]tel
(29)
Jelajah Dunia
(58)
Jelajah Negeri
(57)
Kuliner
(17)
Tentang Ariy
(1)
Thoughts
(46)
Tips dan Tricks
(87)
Tuesday, December 30, 2014
Sunday, December 21, 2014
Gathering Backpacker Jogja-Solo-Semarang [Joglosemar]
Dear Journer,
Lama nggak update blog, ampuni saya hihiihi. Karena memang lagi ada banyak hal yang dilakukan di dunia nyata. By the way, salah satu oleh-oleh dunia nyata saya, akan saya bagi di posting kali ini. Jadi ceritanya setelah sekian lama saya membentuk grup di Facebook yaitu : Backpacker Joglosemar [Jogja-Solo-Semarang], saya ingin ngadain Kopdar lagi. Dulu pernah sih ketemu nggak resmi, sekitar tahun 2010. Tetapi setelah itu lama nggak ngadain Kopdar. Oya, grup ini tidak membatasi anggotanya asal Jogja, Solo dan Semarang saja lho. Malah banyak yang dari kota-kota lain.
Dengan jumlah member sekarang mencapai 4.650 lebih...and still counting, rasanya tak muluk-muluk ada keinginan kopdar. Sebelumnya sih emang banyak posting di wall yang nanya kapan diadain kopdar. Tetapi belum benar-benar ditanggapi. Tipikal orang Indonesia, lebih banyak keinginan tapi susah diajak mewujudkan hihihi.
Suatu saat saya iseng, ingin ngetes sejauh mana sih respons member untuk kopdar. Dan ini bukan hal yang mudah sodara-sodara. Ngajak meeting awal aja susah banget. Responsnya di wall sih banyak, tapi kalau sudah dicarikan hari atau tanggal, ada aja yang lepas. Sampai suatu saat saya udah tentukan hari, sudah saya private message yang pada respons, eh ternyata nggak mengerucut. Ya sudah, saya hampir nyerah. Tetapi kemudian tiba-tiba pas hari H meeting pra acara, ada yang ngabarin telah meluncur ke TKP meeting. Yang meluncur ini namanya Rakhmat asal Tangerang. Akhirnya, gara-gara Rakhmat pula terselenggara meeting pra gathering. Meeting ini hanya dihadiri saya, Rakhmat, Ika dan Mas Joko. Berempat kami sepakat bahwa gathering tetap harus dilaksanakan berapapun jumlah yang datang. Ika yang paling semangat. Thanks Ika hihihi.
Dari meeting pra acara itu, akhirnya jalan menuju gathering semakin terang. Berikutnya, secara dadakan saya undang beberapa teman yang berada di sekitar Solo untuk ngumpul suatu malam. Meski dadakan dan dihantui hujan, malam itu terkumpullah beberapa teman di Wedangan Gower, Stadion Sriwedari. Saya sangat mengapresiasi kehadiran mereka. Terima kasih: Yuli [Sukoharjo], Mbak Titin [Karanganyar], dan teman-teman dari Solo seperti Bayu, Mas Yosh, Mas Sen, dan tentu saja nggak ketinggalan Mas Joko, Rakhmat, dan Ika.
Meeting di Wedangan Gower ini menghasilkan kesepakatan bahwa acara akan dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2014, hari Sabtu, start jam 09.00 WIB. Awalnya mengagendakan city tour Kota Solo dengan mengggunakan Bus Wisata Werkudara, lalu piknik bareng di Taman Balekambang. Tetapi ternyata setelah kontak dengan pengelola Bus Wisata Werkudara, jam 09.00 WIB Bus Werkudara sudah fully booked, termasuk yang jam 12.00 WIB. Kami hanya bisa ikut yang jam 15.00 WIB. Melihat kondisi ini, agenda acara diubah, piknik dulu mulai jam 11.00 WIB, lalu sorenya city tour keliling Kota Solo dengan menggunakan Bus Wisata Werkudara.
Respons yang pengen ikut ternyata lumayan. Meski nggak luar biasa juga jumlahnya bila dibandingkan jumlah anggota yang ribuan itu hehehehe. Paling salut sama anak-anak Jogja yang semangat sekali, sehingga membuat kami yang di Solo tak kalah semangatnya untuk menyelenggarakan acara ini. Terima kasih buat anak-anak Jogja, seperti Ocie, Dita, Ayun, Widy, Ryndo, Tyas. Terima kasih juga untuk anak-anak yang lain seperti Mas Fauzi, Mas Toni, Ade, Bakti, Estoe. Maka siang itu, terkumpullah anak-anak yang doyan backpacking mewakili Solo, Jogja, Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, dll. Sayangnya tidak ada perwakilan dari Semarang, karena satu-satunya anak Semarang yang akan ikut, akhirnya batal datang.
Bagi saya, Ika dan Mas Joko, yang malem sebelum hari H ngumpul untuk membahas persiapan, jumlah yang datang sudah cukup melegakan. Kami bahkan awalnya mikir, "Jangan-jangan jumlah doorprize akan jauh lebih banyak dari jumlah yang datang" hahaha...eh tetapi emang benar, meski yang datang melebihi ekspektasi, tetapi doorprize yang kami sebar pun juga banyak. Jadi semua dapat hihihi.
Piknik siang itu di Taman Balekambang, yang alhamdulillah cerah banget padahal sehari sebelumnya hujan hampir 24 jam, berlangsung meriah. Banyak banget makanan lho. Dita yang sekolah masak dan Ocie, memasakkan kami chicken wing, nugget, nasi goreng, dan makanan lain. Terus Ayun bawa brownies. Belum lagi Ika khusus masak smoked beef, dan yang nggak disangka adalah Mas Toni yang bawa cemilan banyak, termasuk cemilan dari China. Oya, nggak lupa juga Mas Fauzi mewakili Solo membawa makanan khas Solo yang lezat yaitu....Serabi Nototsuman ;}
Ngomong-ngomong soal doorprize, emang banyak banget banget. Terutama sumbangan dari Mas Yosh yang bawa banyak banget gantungan kunci, kaos, tas, payung, sampai mug. Sementara saya bawa kaos, buku-buku karangan saya, dan teh dari Jepang. Terus masih ada doorprise buku karangan Ayun. Semua yang datang kebagian doorprize lho....seruuuu...
Kami banyak sharing tentang traveling. Tepatnya saya, Ryndo, Ika, sedikit tambahan dari Ayun dan Mas Toni, karena yang lain lebih banyak diem sih hahahaha. Lain kali sesi sharing harus banyak ngobrol ya kakak-kakak. Mungkin karena baru kenal, jadi masih pada malu. Dalam sesi itu, saya cerita awal berdirinya grup serta aturan nggak boleh buka lapak alias dagang di wall grup. Tetapi kalau pas Kopdar mau dagang boleh kok hihhihi. Selain itu, juga perkenalan masing-masing yang datang, serta berbagi pengalaman traveling. Siang itu, kami mendapatkan banyak teman dan tepatnya keluarga baru.
Setelah kenyang makan-makan dan sharing, tiba saatnya city tour Kota Solo. Rutenya adalah dari Taman Balekambang kami jalan dulu ke Kantor Dinas Perhubungan Kota Solo tempat garasi Werkudara. Lalu mulailah kami keliling, menyusuri Jl Slamet Riyadi sebagai jalan protokol, melewati beberapa spot wisata seperti Museum Radya Pustaka, Taman Sriwedari, Museum Batik Danar Hadi, lalu melewati kawasan Gladag di mana spot ini ada pusat kuliner Galabo, Keraton Kasunanan Surakarta, Pasar Klewer, Kampung Batik Kauman, lalu melewati titik nol di kawasan Pasar Gedhe, meluncur hingga ujung timur Kota Solo, tepatnya di Taman Satwa Taru Jurug. Di titik ini, penumpang yang duduk di bangku atas, wajib tukar dengan penumpang di bangku bawah.
Setelah kenyang makan-makan dan sharing, tiba saatnya city tour Kota Solo. Rutenya adalah dari Taman Balekambang kami jalan dulu ke Kantor Dinas Perhubungan Kota Solo tempat garasi Werkudara. Lalu mulailah kami keliling, menyusuri Jl Slamet Riyadi sebagai jalan protokol, melewati beberapa spot wisata seperti Museum Radya Pustaka, Taman Sriwedari, Museum Batik Danar Hadi, lalu melewati kawasan Gladag di mana spot ini ada pusat kuliner Galabo, Keraton Kasunanan Surakarta, Pasar Klewer, Kampung Batik Kauman, lalu melewati titik nol di kawasan Pasar Gedhe, meluncur hingga ujung timur Kota Solo, tepatnya di Taman Satwa Taru Jurug. Di titik ini, penumpang yang duduk di bangku atas, wajib tukar dengan penumpang di bangku bawah.
Bus Wisata Werkudara pun kembali melaju berbalik arah menuju ke titik nol lagi, lalu berhenti di Benteng Vastenburg. Di lokasi ini, penumpang dipersilakan turun untuk berfoto. Kami pun tidak menyia-nyiakan:
Dari Benteng Vastenburg, kami lalu menyusuri Jl Kapten Mulyadi - Jl Veteran - hingga balik menuju ke Dinas Perhubungan Kota Solo. Kelar city tour, masih lanjut dengan foto-foto dong. Oya, beberapa teman setelah foto-foto harus cabut pulang. Tetapi yang masih gabung, lanjut untuk makan di Cafe Wedangan 2, samping GOR Manahan sampai malem.
Habis dari sini, kayaknya udah kecapekan semua, jadi sepakat diakhiri setelah sebelumnya merencanakan untuk jalan lagi kapan-kapan, termasuk mau jalan bareng ke Sekaten, Semarang, Jogja, dan kota-kota lain. Bagi orang Solo sih gampang ya, habis itu pulang istirahat. Tetapi temen-temen Jogja harus berjuang lagi untuk pulang nunggu Prameks di stasiun hahahaha...terima kasih buat semangatnya ya...
Tidak sia-sia teman-teman Solo mempersiapkan semua. Cuaca juga sangat mendukung. Next time, kami berharap teman-teman Semarang dan kota lain akan bergabung. Tunggu ya cerita kumpul-kumpul kami berikutnya. Buat yang belum gabung, dan pengen gabung, join aja di grup Facebook: Backpacker Joglosemar. Saya tunggu yaaa...
Regards,
Ariy
Sunday, November 16, 2014
(Beberapa) Jurus Ngirit Traveling
photo: www.dribbble.com |
Dear Journer,
Sebenarnya banyak jurus untuk kita ngirit saat traveling. Saya termasuk yang doyan banget ngirit-ngiritan gini secara saya traveler modal dengkul. Beberapa sudah secara komplit saya posting di artikel lain, tetapi saya pengen sharing lagi gimana caranya ngirit selama traveling untuk beberapa aspek "kebutuhan pokok" selama traveling :), khususnya lagi kalau travelingnya nggak lama. Ini saya rangkum berdasarkan pengalaman, dan bukan tidak mungkin Anda juga sudah melakukannya :).
Penginapan:
Kalau travelingnya cuma weekend doang dan nggak jauh-jauh amat, saya biasa nggak ambil penginapan. Misalnya nih, saya nongkrong di Warnet semaleman, atau ngopi di coffeeshop kelas mahasiswa semaleman, atau sekarang minimarket macam Indomart pun punya tempat nongkrong 24 jam. Contoh gampangnya nih, kalau ke Jogja, saya biasanya begadang di Indomart Malioboro. Selain tempatnya enak, 24 jam, wifi-nya juga kenceng dan gratis buat pembeli. Di sini kita bisa beli kopi doang gak sampai Rp 10.000 udah dapet password wifi. Kalau nggak ya ke coffeeshop 24 jam yang secangkir kopinya nggak sampai Rp 15.000 tapi bisa internetan semaleman. Atau bisa juga nyari KFC atau McD 24 jam. Prinsipnya sama kok, nggak keluar duit lebih dari Rp 15.000. Beberapa yang pernah saya "tiduri" adalah: Indomart Jogja, KFC Jogja, McD Medan, Dunkin's Donuts Gambir Jakarta , Peacock Coffeeshop Jogja dan Semarang, serta sejumlah Warnet :)). Lumayan lho, nggak perlu bayar kamar. Atau setidaknya kalau travelingnya dalam jangka waktu lama, ngirit sehari dua hari habis itu tepar sepuasnya di hotel murah setelahnya :).
Mandi-Cuci-Kakus (MCK):
Nah, kalau begadangan macam gitu, terus gimana MCK-nya? Kalau mandi, tentu agak khusus ya...sejauh ini sih saya belum pernah mandi di tempat umum kecuali di LCCT - Kuala Lumpur waktu itu, karena memang ada toilet buat mandi. Cuma kalau mandi di toilet umum (misalnya di Indonesia) saya mikir juga. Paling cuma cuci muka gosok gigi, dilengkapi deodorant dan semprot sana semprot sini sedikit minyak wangi. Tetapi yang lebih krusial lagi sebenarnya adalah buang air besar (BAB). Beberapa orang tidak bisa BAB kalau toiletnya tidak sesuai dengan selera hati (jorok misalnya). Saya termasuk di dalamnya. Kalau nggak kepepet banget, mending nahan BAB. Cara lainnya yang selalu ampuh adalah, saya masuk lobby hotel bintang (lebih gede hotelnya lebih bagus). Pasang tampang pede, nggak usah celingukan, gaya santai kayak tamu hotel, masuk deh ke restroom atau toilet yang ada di area lobby. Itu udah jaminan bersih. Beberapa mall gede juga bisa jadi pilihan karena toiletnya juga bersih. Saya pernah melakukan ini di Horison Hotel Semarang, Grand Quality Hotel Jogja, Sahid Raya Hotel Solo, Hotel Sunan Solo (dulu Quality Hotel), Ambarukmo Plaza Mall Jogja, dll :)). Hotel yang bintangnya lebih banyak, biasanya lebih "ramah" karena nggak dicurigai macem-macem sih.
Cari Tumpangan:
Ini mah paling gampang. Telp temen, saudara, atau siapalah. Saya pun pernah nginap di tempat temen. Tetapi sejujurnya, saya kalau traveling jarang kontak temen (kecuali di Jakarta punya langganan shelter di Al's Apartment ). Saya nyaris tidak pernah ngontak saudara meskipun saya punya saudara juga di Jakarta. Saya ditumpangi orang nggak masalah (sejak saya ikut Couchsurfing dan Hospitality Club), tetapi saya numpang orang agak susah. Beberapa kali numpang di rumah teman baru kenal di luar negeri, itu karena kepepet duit cekak :). Kenapa sih nggak mau numpang? saya suka kepikiran karena ngerasa itu bakal merepotkan tuan rumah. Orang Indonesia kan selalu berprinsip tamu adalah raja. Padahal teman-teman saya dan keluarganya baik-baik dan welcome. Gak tau ya, saya suka bebas aja. Di Jogja, teman saya banyak, nggak cuma orang Indonesia, temen bule yang udah beranak pinak di Jogja pun sering nawari. Tetapi pada akhirnya saya pasti teronggok di Indomart Malioboro hahahaha. Intinya sih, kalau mau ngirit, numpang bisa menjadi salah satu cara. Nggak jarang malah pulangnya kita dibawain banyak oleh-oleh hahahaha...ngarep :p
Itu beberapa aspek yang bisa bikin kita ngirit saat traveling. Sebenarnya banyak aspek, tapi untuk sekarang itu yang keinget, gara-gara kemarin sempet di kultwit. Semoga berguna yaaaa :)
regards,
Ariy
Saturday, November 8, 2014
Kisah Hotel Rempong di Medan
Dear Journer,
Sejujurnya,
saya tidak terlalu suka dengan penggunaan kalimat “You got what you paid for” saat ada orang komplain atas transaksi
murah yang dilakukan. Kenapa? Karena seakan-akan saat kita membayar murah, kita
tidak berhak komplain atas hak yang sudah disepakati sebelum transaksi. Lalu
apakah saya harus diam dan pasrah saja saat saya membayar minim tapi tidak
mendapatkan hak saya sebagaimana mestinya? Maaf bila saya membuka paragraf
dengan nyinyir. Karena sesaat lagi Anda akan membaca komplain saya pada hotel yang
saya inapi di Medan.
Awalnya
begitu indah, saya googling dan
mencoba mencari info tentang hotel murah, bersih dengan fasilitas semaksimal
mungkin dan lokasi strategis. Ini adalah perjalanan saya pertama ke Medan dan
saya akan traveling bersama teman saya. Beberapa malam untuk hunting hotel, sampai kemudian saya
menemukan satu dua hotel yang menjadi target saya. Ada pilihan pertama, ada
juga backup.
Awalnya begitu indah. Saya tiba
malam hari selepas maghrib, setelah sebelumnya menelepon hotel kecil itu untuk booking kamar. Ini adalah hotel pilihan
pertama saya. Tiba di hotel bercat hijau itu, saya langsung menuju ke
resepsionis. “Hampir saja kami melepas kamar yang Anda booking,” kata sang resepsionis. Seorang laki-laki muda yang tidak
terlalu banyak berbicara.
Karyawan di hotel itu sepertinya tidak
terlalu diajari bagaimana cara bersikap layaknya bekerja di industri hospitality, misalnya mengucapkan
“Selamat malam”, “Ada yang bisa saya bantu?”, dan lain sebagainya. Kalau saya
tidak tanya, karyawannya cuma diam cengar-cengir. Atau mungkin karyawan satu
ini saja yang tidak menyerap pelajaran saat dia di-training. Saya maklum, ini hotel kecil. Saya dan teman memilih satu
kamar standar dengan kipas angin dan kamar mandi dalam. Harga per malam Rp
70.000. Ya? Tepat sekali ! alasan saya memilih hotel ini karena memang murah
dan mereka menambah embel-embel “syariah”. Baru sampai di situ saja saya sudah
berpikir, setidaknya kasurnya tidak pernah digunakan untuk perbuatan kotor.
Kalaupun iya, setidaknya tidak terlalu banyak digunakan seperti hotel murah
lainnya. Naif memang.
Saya dan teman masuk ke dalam kamar.
Pintu dibuka seketika bau pengap menyergap kami. Terang saja, ini kamar tanpa
ventilasi. Benar-benar sebuah kamar yang dikelilingi tembok tanpa ventilasi.
Kipas angin besar di langit-langit - yang saya yakin kalau disetel di posisi
paling maksimal mampu memenggal leher kami - hanya memutar udara panas di dalam
ruangan. Pintu kamar langsung berhadapan dengan kamar mandi. Twin beds kecil akan menjadi peraduan
kami. Saat itu, tidak ada pikiran lain selain menerima kamar itu untuk
istirahat karena memang sudah sangat capek.
Malam itu berlangsung tanpa banyak
masalah meski kami cukup kepanasan dengan kamar tanpa ventilasi. Paginya, kamar sebelah ternyata
kosong. Kamar itu adalah kamar dengan jendela, dan itu penting! Segera kami
meminta pengelola untuk mendapatkan kamar itu. Harganya sama, yang berbeda
hanyalah tempat tidur hanya satu tapi masih cukup untuk berdua, selain kamar
mandinya lebih bersih. Kami sepakat mengambil itu, dan berpikir itu adalah
pencapaian luar biasa karena kami lumayan cocok dengan kamarnya. Pagi itu,
setelah kamar dibenahi oleh staf hotel, kami langsung angkut-angkut barang
pindah kamar.
Medan cerah sekali hari itu. Secerah
angan-angan kami untuk menjelajah kota ini. Teman saya pun mandi terlebih
dahulu di kamar mandi bertoilet duduk dengan shower. Antrean kedua
setelah adalah saya. Matahari cerah dan cuaca panas Medan membuat saya berpikir
untuk mandi keramas….ouugh, pasti segar sekali. Ritual mandi dimulai. Gosok
gigi lancar…gosok badan tak kalah lancar…saya tuang sampo ke rambut dan mulai
bersenandung. Busa sampo membumbung di kepala saya dengan bau harum sampo
kesayangan. Semua lancar-lancar saja sampai saya menyadari…air di shower mati! Duh…bagaimana saya harus
membilas rambut dan badan saya?
Saya panik, teriak-teriak ke teman
saya untuk komplain ke bawah. Teman saya pun sigap lari ke lantai bawah untuk
lapor kalau air di kamar mandi mati. Gedebak-gedebuk suara teman saya masuk
kamar seperti membawa harapan indah.
“Sepuluh menit lagi air akan hidup…”
teriak teman saya dari luar.
God!
Tidak ada bak mandi. Ember kecil
yang ada di dalam kamar mandi itu pun sudah kosong. Sementara saya masih dalam
kondisi telanjang basah kuyup dengan busa sampo membumbung di kepala. Saya
mencoba sabar, teman saya mencoba menghibur saya. Kami ngakak mentertawakan nasib saya. Sepuluh menit pertama itu masih
terlihat lucu.
Dan saat lepas dari sepuluh menit
yang dijanjikan tapi ternyata air tidak mengucur juga, itu sudah tidak lucu
lagi. Teman saya kembali lari ke bawah. Sementara saya masih di dalam kamar
mandi, menghibur diri dengan bersenandung kecil, masih telanjang basah dengan
sampo di kepala.
“Mas…sebentar katanya. Tadi dimatiin
soalnya ada penghuni kamar lain yang membuka kran air tidak dimatikan sampai
airnya kemana-mana,” teriak teman saya dari luar kamar mandi. Duh…dalam kondisi
begini, saya masih harus menerima alasan tidak relevan dari matinya air. Jadi
orang lain yang bikin masalah, dan saya yang harus menanggung hukumannya?
Menit-menit berikutnya sudah tidak
lucu lagi. Lima belas menit lebih, bahkan air di badan saya sudah mulai kering
menguap. Hampir setengah jam…
“Mas…serius mau nunggu air?” tanya
teman saya yang sepertinya jauh lebih putus asa daripada saya. Benar juga,
akhirnya mungkin saya harus menyerah juga. Heroik sekali. Saya pun menghanduki
tubuh dan kepala saya. Tidak enak, tidak nyaman, badan lengket-lengket. Tetapi
akhirnya saya menyerah dan keluar dari kamar mandi dengan cengar-cengir. Seribu
umpatan keluar dari mulut saya…”Tidak lagi…tidak akan menginap di sini
lagi...cukup sudah,” rutuk saya, seakan itu problem terberat hidup saya. Teman
saya ngakak saja.
Sekitar satu jam-an, akhirnya air
menyala lagi. Tepat sebelum saya memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Duh…itu
semacam oase di padang tandus. Langsung saja saya copot baju dan balik masuk ke
kamar mandi. Seperti sebuah balas dendam yang tertuntaskan, hari itu saya mandi
dengan borosnya, seperti perasaan yang menyenangkan melihat air mengucur deras
dari shower jahanam itu.
Malamnya, kamar itu lebih nyaman
daripada kamar sebelumnya. Kami tidak butuh kipas angin, karena jendela yang
menghadap top roof untuk jemuran kami buka lebar-lebar. Panas
siang hari di Medan dibalas hujan malam itu. Tidur nyenyak ditemani air hujan
dan teman saya yang tidur dengan mengigau seru dalam bahasa Inggris. Duh, pasti
tidak gampang mengigau dalam bahasa Inggris J.
Oya, saya selalu membayar di muka
semua tarif kamar, saat menginap di hotel murah semacam ini. Demikian juga yang
saya lakukan dengan hotel ini. Pagi itu, selepas sarapan kami berniat sekaligus
check out. Semua barang tidak
ketinggalan, kami packing dengan
sangat rapi di masing-masing backpack, kemudian
kami turun tangga menuju resepsionis.
“Kami mau check out, Mas,” saya serahkan kunci dan meminta KTP saya kembali.
Resepsionis itu tersenyum sambil mencari KTP saya. “Mas…malam kedua belum
bayar, jadi kekurangannya Rp 70.000,” kata resepsionis cowok itu dengan kalem.
“Hahhh?” Saya kaget dan memandangi
teman saya. Teman saya sama bingungnya.
“Belum bayar? Nah, kami kan sudah
bayar di muka semua?” tanya saya heran.
“Malam kedua belum,” kata
resepsionis itu lagi masih dengan kalemnya.
No…Nooo…saya
sudah membayar dan saya ingat sekali. Saya tidak menerima begitu saja. Lagipula
saya masih ada kuitansi tanda terima pembayaran kok. Kuitansi? Duh…saya rogoh
saku celana, baju, daily bag…tidak
ketemu! Sial. Apakah saya harus membongkar lagi packing rapi di backpack saya?
Saya pandang teman saya.
“Saya tidak bawa Mas,” kata dia
seperti menjawab pandangan saya. Saya bisa memastikan bahwa teman saya tidak
membawanya, karena memang “bendahara” traveling ini saya. Pandangan saya
beralih ke resepsionis itu.
“Mas coba deh, cek dulu di catatan,”
lagian hari gini kok belum terkomputerisasi. Sebenarnya hotel ini tidak kuno
juga. Buktinya, restonya yang berada di samping resepsionis ini juga memiliki
fasilitas wifi. Sesusah apa sih
pasang komputer di bagian resepsionis? Dan benar juga, resepsionis itu mengambil
buku besar semacam buku tulis untuk pelajaran akuntansi dengan sampul depannya
motif batik parang itu.
Selembar, dua lembar, tiga lembar,
resepsionis itu membuka lembaran satu persatu, di setiap halamannya dia
menguliti tulisan cakar ayam dari atas hingga ke bawah. Tidak ditemukan nama
saya. Aduh, kuno sekali ini hotel. Sudah jelas saya benar-benar bayar lunas
semua. Saya bisa saja membayar Rp 70.000 lagi demi segera keluar dari masalah.
Tapi itu berarti saya menyerah kalah dong, padahal saya tidak salah.
“Mas…coba lagi deh, dicari. Saya
sudah benar-benar bayar semua di muka,” kata saya dengan nada tidak enak kali
ini.
Oke, masalah apalagi? Tidak cukup
membuat saya kedinginan terjebak di kamar mandi dengan mematikan air? Sekarang
saya dituduh tidak bayar? Jangan-jangan keluar dari hotel saya bakal disambut
sekuriti karena dituduh mencuri kipas angin yang bisa memenggal kepala kami
itu? Saya pandangi teman saya dengan memelas.
“Ya sudah…terima kasih,” tiba-tiba
terdengar suara itu.
Saya berpaling ke resepsionis.
Begitu saja? “Saya sudah bayar lho. Serius,” saya masih mencoba meyakinkan.
Saya tidak suka saja dengan nada bicara resepsionis itu yang seolah-olah dia
membiarkan saya pergi dan mengabaikan persoalan itu, dan tetap menganggap saya
salah. Huh.
“Ya sudah…sudah,” kata dia lagi
dengan kalem. Huuh…saya menunggu kata maaf dan penjelasan kenapa dia bilang
sudah. Saya tidak mendapatkan itu. Tidak mau menambah rusak mood traveling, saya berbalik dan
langsung meninggalkan hotel itu diiringi teman saya.
Satu
hal yang tidak diketahui resepsionis hotel itu, saya menginap di sana untuk
membuat tulisan yang me-review hotel-hotel
murah di Medan. Gotcha!!
* Cerita ini diambil dari buku The Ho[S]tel by Ariy & Sony.
Thursday, October 23, 2014
Kudeta di Kereta
Foto: www.kereta-api.co.id |
Kereta
api termasuk salah satu alat transportasi favorit saya. Apalagi untuk jarak jauh,
saya lebih memilih menggunakan kereta api daripada bus. Kalau naik kereta api,
berasa lapang dan lega saja. Belum lagi bisa jalan-jalan di gerbong kalau kaki
pegal. Tetapi karena saya termasuk traveler on budget, jadi naiknya pun kelas
ekonomi atau maksimal bisnis. Seumur-umur, baru sekali naik kereta eksekutif. Lagian,
harga tiket kereta eksekutif sekarang bersaing dengan pesawat, jadi kalau pun
ada duit lebih mending naik pesawat.
Sebagai pengguna kereta api sejak
jaman jebot, saya ngerasain gimana kereta api dulu -menurut saya- tidak manusiawi.
Desak-desakan, panas, kalau pun ada kipas angin ada aja yang nggak nyala,
dengan segala tetek bengek bawaan penumpang (plus kalau ada yang masuk angin, campuran bau rheumason dan aroma sarapan yang keluar lagi..yaiks). Sekarang banyak sekali kemajuan
yang dicapai pihak pengelola transportasi jenis ini di negeri kita. Beberapa
“produk” terbaru mereka pun selalu ingin saya coba. Waktu muncul kereta api
ekonomi ber-AC seperti KA Gajahwong atau KA Bogowonto, saya pun juga mencobanya.
Jauh lebih manusiawi. Ademnya dapet, bersihnya juga. Sejauh ini, penasarannya
cuma satu, naik KA Gajayana jurusan Jakarta – Malang via Yogyakarta yang kata
temen, itu paling mahal. Terakhir saya cek, harganya sampai Rp 560.000! *dadah-dadah*
Nah, kalau berbicara tentang
reformasi di bidang perkeretaapian yang mulai jalan, saya melihat persoalan
mendasar adalah mentalitas penumpang. Kalau bicara ini, udah pusing rasanya.
Kalau kata orang tua, ngurusi anake wong
akeh ki yo kudu sabar. Ngurusin anak orang banyak itu butuh kesabaran.
Nyaris sama dengan persoalan lain yang terkait antrean, susah ngajak orang
Indonesia antre tertib di loket. Antre masuk ke gerbong (ngapain rebutan kalau
kursi kita sudah bernomor?), dan lain sebagainya-dan lain sebagainya.
Soal kursi ini memang sangat
menjengkelkan. Pengalaman saya naik kereta api (beberapa kali dengan beberapa
jenis kereta) selalu kursi saya diserobot orang. Kok bisa? Ya karena saya pikir semua tiket sudah bernomor kursi, pastilah masuk ke gerbong kapan pun
nggak akan ada masalah. Saya paling males kalau mau naik gerbong harus
berebutan, sikut-sikutan, sampai ada yang kejengkang. Makanya, biasanya setelah
longgar, saya baru masuk. Tapi ternyata strategi ini salah. Selalu saja kursi saya
dipakai orang.
Kenapa kursi menjadi penting? Karena
ini menjadi kunci nyaman nggaknya perjalanan saya berkereta. Biasanya nyari kursi
yang dekat jendela, biar bisa merem dengan sukses, atau kalau lagi galau bisa
sok-sok menerawang ke luar jendela dengan iringan music mellow di headset
ala-ala scene film romantis hihihi. Kalau eksekutif, ambil seat A atau D. Tapi kalau
ekonomi, ambil aja seat A atau E.
Tetapi ya itu tadi, selalu ada orang yang main serobot. Satu kali pernah naik
KA Gaya Baru Malam Selatan (ekonomi) dan dapat kursi satu bangku bertiga. Waktu
liat tiket ternyata dapat kursi A, udah lega aja rasanya. Artinya, saya bakal
duduk di dekat jendela, meskipun harus empet-empetan sebangku bertiga dengan
dua penumpang lain. Masuklah saya ke gerbong, dan seperti sudah ketebak, ada
manusia sudah teronggok di kursi saya.
“Mas…ini 15 A? Kursi saya,” towel
saya ke seorang pemuda kurus item yang sok pura-pura tidur. Dia diem aja, nggak
mencoba buka mata.
“Mas…ini kursi saya,” kali ini saya
tepuk pundaknya.
Dia berlagak ngolet merenggangkan tangan. Yaelah, ini kereta kan baru mau
berangkat, bagaimana bisa dia sok udah nyenyak tidur.
“Sama saja, Mas,” jawab dia tanpa
memandang.
“Beda Mas, itu kursi saya yang Anda
pakai,” kata saya sambil menyodorkan tiket menunjukkan bukti bahwa dia udah
nyerobot. Eh dia langsung merem aja tanpa mendengarkan omongan saya.
Akhirnya dengan dongkol, saya banting pantat di samping dia. Sekarang saya
terpaksa duduk di kursi 15 B, karena tak berapa lama duduk penumpang lain di 15
C. Posisi saya diapit pemuda kurus belagu itu dan ibu-ibu gemuk. Sesak sekali secara
badan saya juga gede. Itu berlangsung selama 12 jam-an sampai saya terbebas di
Stasiun Purwosari Solo.
Peristiwa itu pelajaran banget.
Setelah itu, saya ikuti ritmenya. Ayo aja kalau memang mau sikut-sikutan masuk
gerbong. Asal bukan orang tua, ayo aja. Next
trip dengan kereta api ekonomi, saya berjuang sekuat tenaga untuk
mendapatkan kursi A tercinta. Setengah lari saya mencoba mendapatkan apa yang
menjadi hak saya. Giliran sampai di gerbong yang bener, yaelah…sudah ada yang
menduduki ! Sial.
Dan seperti dejavu, peristiwa di KA Gaya Baru Malam Selatan terjadi lagi. Saya
dengan bersungut-sungut harus merelakan kursi di samping jendela. Untungnya,
kursi ini bukan untuk bertiga tapi berdua saja. Kali ini yang menduduki adalah
laki-laki separuh baya dan pas saya datang gayanya sudah sok tidur lelap saja.
“Tidur” adalah modus yang sering digunakan biar tidak diusir. Ini justru
memunculkan ide untuk mengambilalih hak saya. Perjalanan panjang, saya
berharap dia sekali atau dua harus pergi ke toilet. Di saat itulah saya akan
melakukan pengambilalihan kekuasaan atas kursi A.
Benar juga, sepertiga perjalanan
saya lihat dia berdiri, minta jalan ke toilet. Saya singkirkan kaki yang
menghalangi jalannya dengan ogah-ogahan. Begitu dia berjalan ke toilet,
langsung saya merangsek ke kursi dia yang berada di dekat jendela. Setelah itu
pura-pura tidur nggak peduli setan lewat.
Pas orang itu balik dari toilet,
beberapa kali dia menowel pundak saya. Mungkin mau minta balik kursinya. Tapi sorry man…ini kursi yang telah kau
rebut. Saya diam dan pura-pura tertidur sampai perjalanan berakhir di Jakarta.
Pasti tuh orang gondok sekali dan nyesel udah ke toilet. Yes!! Kudeta berhasil !!
Labels:
Jelajah Negeri,
Thoughts,
Tips dan Tricks
Saturday, August 30, 2014
Tiket Menuju Mimpi
“My
mom told me to follow my dreams, so I took a nap”
Separah itu saya waktu
itu. Tipikal orang yang menghabiskan waktu untuk bekerja, pulang dan tidur.
Padahal saya sebenarnya punya banyak mimpi sejak saya SMA atau bahkan lebih
muda dari itu. Tapi saya tidak pernah percaya diri untuk mengejar mimpi saya,
lalu memilih tidur. Iya, tidur...literally.
Dalam keluarga saya,
tidak ada yang benar-benar sedang menjalani mimpi mereka. Tidak ada satupun. Saya bahkan sangsi
mereka punya mimpi. Saat itu, semua sibuk untuk mencari uang untuk
kelangsungan hidup. Kami tidak mengenal traveling dan hanya sekali dua ikut
rekreasi bareng warga kampung, itu pun maksimal ke Yogya. Saya mungkin
yang sering kelayapan ke luar kota sendiri atau bersama teman kalau ada sedikit uang sisa. Hampir sebagian
besar hidup kami dihabiskan untuk bekerja. Kami tidak pernah punya uang sisa
untuk traveling secara independen, karena bahkan bisa makan saja sudah bersyukur sekali. Bapak
saya almarhum hanya seorang pensiunan veteran yang mengandalkan uang pensiun
yang tidak seberapa dari pemerintah. Ibu saya (saya bangga dengan beliau) meski
sudah tua masih sibuk cari nafkah dengan jualan alat-alat rumah tangga di pasar
tradisional. Jadi jangan tanya apa kami punya uang untuk traveling, karena
bahkan waktu sisa kami pun hanya habis untuk tidur – bekerja – tidur lagi.
Dibanding adik dan
kakak-kakak, hanya saya mungkin yang memiliki banyak mimpi “liar”. Sejak
SMA, atau bahkan lebih muda dari itu, saya mempunyai dua cita-cita besar. Pertama, saya ingin menjadi penulis. Kedua, saya ingin naik pesawat terbang
ke luar negeri. Saya tidak pernah mengatakan mimpi saya kepada siapapun, karena
malu. Malu diejek, “Orang miskin aja banyak maunya!”
Soal menulis, memang
menjadi hobi saya sejak kecil. Sementara soal naik pesawat terbang ke luar
negeri, itu akibat racun dari kesukaan saya nongkrong di perpustakaan. Saya
bisa berjam-jam membaca aneka buku dan majalah luar negeri di Perpustakaan
Daerah, sampai petugas mengingatkan saya bahwa jam kunjung sudah habis.
Tetapi tahun demi
tahun, hidup saya mulai mengalami perbaikan. Pertengahan 2009, saat saya sudah
bekerja di sebuah koran lokal, mimpi saya untuk menulis buku dan terbang ke
luar negeri masih saya simpan rapat-rapat. Daripada uangnya untuk beli tiket pesawat
yang dalam benak saya waktu itu masih sangat mahal, saya memilih membeli motor
baru secara kredit.
Sampai suatu saat,
seorang teman di kantor menyodori saya sebuah tiket pulang pergi
Yogyakarta-Singapura dari Air Asia
bekerja sama dengan Singapore Tourism
Board. Saya seperti terjengkang dari kursi. Ini serius? Saya bahkan
belum punya paspor tapi langsung mengiyakan saja pemberian itu. Itu bakal
menjadi perjalanan luar negeri saya yang pertama. Saya urus semua
persyaratannya, dan semua sepertinya indah di awal. Sayangnya, ending-nya saya gagal berangkat karena
tidak memperoleh izin libur. Saat itu langsung nge-drop!
Tetapi tiket Air Asia yang hangus itu tidak
sepenuhnya mubazir. Itulah tiket saya sebenarnya untuk menuju impian saya. Dari
situ saya mulai mengenal Air Asia, mengikuti
setiap perkembangannya dan berjanji pada tahun itu juga saya harus terbang ke
luar negeri dengan biaya saya sendiri. Tiket Air Asia yang hangus itu membukakan mata saya bahwa semua orang
bisa terbang karena harganya memang tidak semahal perkiraan saya. Hanya sekitar
tiga bulan kemudian saya mampu mewujudkannya. Saya simpan gaji bulanan saya, ditambah
tunjangan hari raya, ditambah lagi menjelang akhir tahun itu saya mendapatkan
cuti besar satu bulan namun gaji tetap dibayar full di muka. Saya sudah kegirangan...berasa ingin teriak...I am King of The World !! :)
Alhamdulillah. Saat itu
juga saya booking tiket Air Asia rute Yogyakarta – Singapura,
Kuala Lumpur – Chiang Mai, Bangkok – Penang, Kuala Lumpur – Solo. Ini adalah perjalanan
sebenarnya yang menjadi titik balik dalam hidup saya. Saya menuliskan perjalanan backpacking ke empat negara itu (saya
sempat mampir ke Myanmar melalui jalur darat) dalam empat tulisan berseri di
koran lokal tempat saya bekerja. Tulisan itu mendapatkan respons bagus dari
pembaca, banyak yang terinspirasi dan ingin mewujudkan mimpinya ke luar negeri
dengan low budget seperti saya. Tulisan itu jugalah yang mengobarkan semangat saya untuk mewujudkan mimpi saya. Tidak
ada yang tidak mungkin kalau kita benar-benar punya keinginan kuat untuk
mewujudkannya.
Euforia
itu
baru awal, karena saya harus tetap fokus pada mimpi saya yang lain.
Keberhasilan perjalanan saya keliling empat negara dengan low budget membuat saya yakin, bahwa saya mampu melakukan
perjalanan lainnya. Tuhan menjawab mimpi saya. Sebuah kompetisi menulis yang
digelar sebuah penerbit nasional dan saya semangat sekali mengikuti. Saya harus membuat proposal untuk
perjalanan ke sebuah negara dengan budget
rendah. Tanpa adanya Air Asia, mustahil
saya bisa mewujudkan proposal itu. Saya membuat proposal perjalanan berbiaya
rendah ke China, dan lagi-lagi doa saya terkabul! Saya salah satu yang dipilih
penerbit untuk mewujudkan mimpi saya terbang ke China dan membuat buku saya
sendiri! Mimpi saya komplet dijawab serius oleh Tuhan satu persatu. Saya masuk ke China dari
Kuala Lumpur – Guangzhou dan keluar dari China dari Chengdu – Kuala Lumpur,
semua dengan harga tiket promo Air Asia.
Saya bahkan tidak percaya jalan saya sejauh ini.
Sejak itu, hidup saya
berubah total. Saya mengambil risiko untuk meninggalkan pekerjaan saya.
Menjalani hidup sebagai penulis perjalanan, sementara di waktu senggang saya
juga mencari duit dari menjadi travel
planner, membantu mereka yang ingin ke luar negeri dengan harga murah
karena hal itu bukan hal yang mustahil sejak ada Air Asia. Dalam hitungan jarak, sudah tidak terhitung berapa kilometer
saya terbang bersama Air Asia.
Bila ingat itu, dengan
latar belakang kehidupan keluarga yang secara finansial kacrut berat, siapa
sangka saya akan menjalani mimpi saya seperti sekarang ini? Keluarga saya
bangga dengan saya. Di keluarga kami, sampai saat tulisan ini saya buat, hanya
sayalah satu-satunya yang pernah naik pesawat (bahkan sudah tidak terhitung
lagi berapa kali saya terbang), dan...hanya saya pula satu-satunya yang pernah keluarga
negeri. Kebanggaan keluarga saya bertambah, karena sekarang ini saya sudah
menulis sebelas buku perjalanan, tulisan pernah
dimuat di media lokal maupun nasional, beberapa kali di wawancara media, hingga
menjadi pembicara dalam berbagai talkshow
untuk berbagi pengalaman saya.
Jadi kalau Anda
bertanya bagaimana Air Asia mengubah
hidup saya? Air Asia bukan lagi
mengubah hidup saya, tetapi sudah menjungkirbalikkan hidup saya...dari seorang
yang tidur dengan mimpinya, menjadi seorang yang sedang menjalani
mimpi-mimpinya.
So, when your mom told you to follow your dreams...pack your backpack and go catch your dreams !!
Subscribe to:
Posts (Atom)