Dear Journer,
Sejujurnya,
saya tidak terlalu suka dengan penggunaan kalimat “You got what you paid for” saat ada orang komplain atas transaksi
murah yang dilakukan. Kenapa? Karena seakan-akan saat kita membayar murah, kita
tidak berhak komplain atas hak yang sudah disepakati sebelum transaksi. Lalu
apakah saya harus diam dan pasrah saja saat saya membayar minim tapi tidak
mendapatkan hak saya sebagaimana mestinya? Maaf bila saya membuka paragraf
dengan nyinyir. Karena sesaat lagi Anda akan membaca komplain saya pada hotel yang
saya inapi di Medan.
Awalnya
begitu indah, saya googling dan
mencoba mencari info tentang hotel murah, bersih dengan fasilitas semaksimal
mungkin dan lokasi strategis. Ini adalah perjalanan saya pertama ke Medan dan
saya akan traveling bersama teman saya. Beberapa malam untuk hunting hotel, sampai kemudian saya
menemukan satu dua hotel yang menjadi target saya. Ada pilihan pertama, ada
juga backup.
Awalnya begitu indah. Saya tiba
malam hari selepas maghrib, setelah sebelumnya menelepon hotel kecil itu untuk booking kamar. Ini adalah hotel pilihan
pertama saya. Tiba di hotel bercat hijau itu, saya langsung menuju ke
resepsionis. “Hampir saja kami melepas kamar yang Anda booking,” kata sang resepsionis. Seorang laki-laki muda yang tidak
terlalu banyak berbicara.
Karyawan di hotel itu sepertinya tidak
terlalu diajari bagaimana cara bersikap layaknya bekerja di industri hospitality, misalnya mengucapkan
“Selamat malam”, “Ada yang bisa saya bantu?”, dan lain sebagainya. Kalau saya
tidak tanya, karyawannya cuma diam cengar-cengir. Atau mungkin karyawan satu
ini saja yang tidak menyerap pelajaran saat dia di-training. Saya maklum, ini hotel kecil. Saya dan teman memilih satu
kamar standar dengan kipas angin dan kamar mandi dalam. Harga per malam Rp
70.000. Ya? Tepat sekali ! alasan saya memilih hotel ini karena memang murah
dan mereka menambah embel-embel “syariah”. Baru sampai di situ saja saya sudah
berpikir, setidaknya kasurnya tidak pernah digunakan untuk perbuatan kotor.
Kalaupun iya, setidaknya tidak terlalu banyak digunakan seperti hotel murah
lainnya. Naif memang.
Saya dan teman masuk ke dalam kamar.
Pintu dibuka seketika bau pengap menyergap kami. Terang saja, ini kamar tanpa
ventilasi. Benar-benar sebuah kamar yang dikelilingi tembok tanpa ventilasi.
Kipas angin besar di langit-langit - yang saya yakin kalau disetel di posisi
paling maksimal mampu memenggal leher kami - hanya memutar udara panas di dalam
ruangan. Pintu kamar langsung berhadapan dengan kamar mandi. Twin beds kecil akan menjadi peraduan
kami. Saat itu, tidak ada pikiran lain selain menerima kamar itu untuk
istirahat karena memang sudah sangat capek.
Malam itu berlangsung tanpa banyak
masalah meski kami cukup kepanasan dengan kamar tanpa ventilasi. Paginya, kamar sebelah ternyata
kosong. Kamar itu adalah kamar dengan jendela, dan itu penting! Segera kami
meminta pengelola untuk mendapatkan kamar itu. Harganya sama, yang berbeda
hanyalah tempat tidur hanya satu tapi masih cukup untuk berdua, selain kamar
mandinya lebih bersih. Kami sepakat mengambil itu, dan berpikir itu adalah
pencapaian luar biasa karena kami lumayan cocok dengan kamarnya. Pagi itu,
setelah kamar dibenahi oleh staf hotel, kami langsung angkut-angkut barang
pindah kamar.
Medan cerah sekali hari itu. Secerah
angan-angan kami untuk menjelajah kota ini. Teman saya pun mandi terlebih
dahulu di kamar mandi bertoilet duduk dengan shower. Antrean kedua
setelah adalah saya. Matahari cerah dan cuaca panas Medan membuat saya berpikir
untuk mandi keramas….ouugh, pasti segar sekali. Ritual mandi dimulai. Gosok
gigi lancar…gosok badan tak kalah lancar…saya tuang sampo ke rambut dan mulai
bersenandung. Busa sampo membumbung di kepala saya dengan bau harum sampo
kesayangan. Semua lancar-lancar saja sampai saya menyadari…air di shower mati! Duh…bagaimana saya harus
membilas rambut dan badan saya?
Saya panik, teriak-teriak ke teman
saya untuk komplain ke bawah. Teman saya pun sigap lari ke lantai bawah untuk
lapor kalau air di kamar mandi mati. Gedebak-gedebuk suara teman saya masuk
kamar seperti membawa harapan indah.
“Sepuluh menit lagi air akan hidup…”
teriak teman saya dari luar.
God!
Tidak ada bak mandi. Ember kecil
yang ada di dalam kamar mandi itu pun sudah kosong. Sementara saya masih dalam
kondisi telanjang basah kuyup dengan busa sampo membumbung di kepala. Saya
mencoba sabar, teman saya mencoba menghibur saya. Kami ngakak mentertawakan nasib saya. Sepuluh menit pertama itu masih
terlihat lucu.
Dan saat lepas dari sepuluh menit
yang dijanjikan tapi ternyata air tidak mengucur juga, itu sudah tidak lucu
lagi. Teman saya kembali lari ke bawah. Sementara saya masih di dalam kamar
mandi, menghibur diri dengan bersenandung kecil, masih telanjang basah dengan
sampo di kepala.
“Mas…sebentar katanya. Tadi dimatiin
soalnya ada penghuni kamar lain yang membuka kran air tidak dimatikan sampai
airnya kemana-mana,” teriak teman saya dari luar kamar mandi. Duh…dalam kondisi
begini, saya masih harus menerima alasan tidak relevan dari matinya air. Jadi
orang lain yang bikin masalah, dan saya yang harus menanggung hukumannya?
Menit-menit berikutnya sudah tidak
lucu lagi. Lima belas menit lebih, bahkan air di badan saya sudah mulai kering
menguap. Hampir setengah jam…
“Mas…serius mau nunggu air?” tanya
teman saya yang sepertinya jauh lebih putus asa daripada saya. Benar juga,
akhirnya mungkin saya harus menyerah juga. Heroik sekali. Saya pun menghanduki
tubuh dan kepala saya. Tidak enak, tidak nyaman, badan lengket-lengket. Tetapi
akhirnya saya menyerah dan keluar dari kamar mandi dengan cengar-cengir. Seribu
umpatan keluar dari mulut saya…”Tidak lagi…tidak akan menginap di sini
lagi...cukup sudah,” rutuk saya, seakan itu problem terberat hidup saya. Teman
saya ngakak saja.
Sekitar satu jam-an, akhirnya air
menyala lagi. Tepat sebelum saya memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Duh…itu
semacam oase di padang tandus. Langsung saja saya copot baju dan balik masuk ke
kamar mandi. Seperti sebuah balas dendam yang tertuntaskan, hari itu saya mandi
dengan borosnya, seperti perasaan yang menyenangkan melihat air mengucur deras
dari shower jahanam itu.
Malamnya, kamar itu lebih nyaman
daripada kamar sebelumnya. Kami tidak butuh kipas angin, karena jendela yang
menghadap top roof untuk jemuran kami buka lebar-lebar. Panas
siang hari di Medan dibalas hujan malam itu. Tidur nyenyak ditemani air hujan
dan teman saya yang tidur dengan mengigau seru dalam bahasa Inggris. Duh, pasti
tidak gampang mengigau dalam bahasa Inggris J.
Oya, saya selalu membayar di muka
semua tarif kamar, saat menginap di hotel murah semacam ini. Demikian juga yang
saya lakukan dengan hotel ini. Pagi itu, selepas sarapan kami berniat sekaligus
check out. Semua barang tidak
ketinggalan, kami packing dengan
sangat rapi di masing-masing backpack, kemudian
kami turun tangga menuju resepsionis.
“Kami mau check out, Mas,” saya serahkan kunci dan meminta KTP saya kembali.
Resepsionis itu tersenyum sambil mencari KTP saya. “Mas…malam kedua belum
bayar, jadi kekurangannya Rp 70.000,” kata resepsionis cowok itu dengan kalem.
“Hahhh?” Saya kaget dan memandangi
teman saya. Teman saya sama bingungnya.
“Belum bayar? Nah, kami kan sudah
bayar di muka semua?” tanya saya heran.
“Malam kedua belum,” kata
resepsionis itu lagi masih dengan kalemnya.
No…Nooo…saya
sudah membayar dan saya ingat sekali. Saya tidak menerima begitu saja. Lagipula
saya masih ada kuitansi tanda terima pembayaran kok. Kuitansi? Duh…saya rogoh
saku celana, baju, daily bag…tidak
ketemu! Sial. Apakah saya harus membongkar lagi packing rapi di backpack saya?
Saya pandang teman saya.
“Saya tidak bawa Mas,” kata dia
seperti menjawab pandangan saya. Saya bisa memastikan bahwa teman saya tidak
membawanya, karena memang “bendahara” traveling ini saya. Pandangan saya
beralih ke resepsionis itu.
“Mas coba deh, cek dulu di catatan,”
lagian hari gini kok belum terkomputerisasi. Sebenarnya hotel ini tidak kuno
juga. Buktinya, restonya yang berada di samping resepsionis ini juga memiliki
fasilitas wifi. Sesusah apa sih
pasang komputer di bagian resepsionis? Dan benar juga, resepsionis itu mengambil
buku besar semacam buku tulis untuk pelajaran akuntansi dengan sampul depannya
motif batik parang itu.
Selembar, dua lembar, tiga lembar,
resepsionis itu membuka lembaran satu persatu, di setiap halamannya dia
menguliti tulisan cakar ayam dari atas hingga ke bawah. Tidak ditemukan nama
saya. Aduh, kuno sekali ini hotel. Sudah jelas saya benar-benar bayar lunas
semua. Saya bisa saja membayar Rp 70.000 lagi demi segera keluar dari masalah.
Tapi itu berarti saya menyerah kalah dong, padahal saya tidak salah.
“Mas…coba lagi deh, dicari. Saya
sudah benar-benar bayar semua di muka,” kata saya dengan nada tidak enak kali
ini.
Oke, masalah apalagi? Tidak cukup
membuat saya kedinginan terjebak di kamar mandi dengan mematikan air? Sekarang
saya dituduh tidak bayar? Jangan-jangan keluar dari hotel saya bakal disambut
sekuriti karena dituduh mencuri kipas angin yang bisa memenggal kepala kami
itu? Saya pandangi teman saya dengan memelas.
“Ya sudah…terima kasih,” tiba-tiba
terdengar suara itu.
Saya berpaling ke resepsionis.
Begitu saja? “Saya sudah bayar lho. Serius,” saya masih mencoba meyakinkan.
Saya tidak suka saja dengan nada bicara resepsionis itu yang seolah-olah dia
membiarkan saya pergi dan mengabaikan persoalan itu, dan tetap menganggap saya
salah. Huh.
“Ya sudah…sudah,” kata dia lagi
dengan kalem. Huuh…saya menunggu kata maaf dan penjelasan kenapa dia bilang
sudah. Saya tidak mendapatkan itu. Tidak mau menambah rusak mood traveling, saya berbalik dan
langsung meninggalkan hotel itu diiringi teman saya.
Satu
hal yang tidak diketahui resepsionis hotel itu, saya menginap di sana untuk
membuat tulisan yang me-review hotel-hotel
murah di Medan. Gotcha!!
* Cerita ini diambil dari buku The Ho[S]tel by Ariy & Sony.
No comments:
Post a Comment