Saturday, November 8, 2014

Kisah Hotel Rempong di Medan



 
Ilustrasi by Doni Kudjo

Dear Journer,
Sejujurnya, saya tidak terlalu suka dengan penggunaan kalimat “You got what you paid for” saat ada orang komplain atas transaksi murah yang dilakukan. Kenapa? Karena seakan-akan saat kita membayar murah, kita tidak berhak komplain atas hak yang sudah disepakati sebelum transaksi. Lalu apakah saya harus diam dan pasrah saja saat saya membayar minim tapi tidak mendapatkan hak saya sebagaimana mestinya? Maaf bila saya membuka paragraf dengan nyinyir. Karena sesaat lagi Anda akan membaca komplain saya pada hotel yang saya inapi di Medan.
Awalnya begitu indah, saya googling dan mencoba mencari info tentang hotel murah, bersih dengan fasilitas semaksimal mungkin dan lokasi strategis. Ini adalah perjalanan saya pertama ke Medan dan saya akan traveling bersama teman saya. Beberapa malam untuk hunting hotel, sampai kemudian saya menemukan satu dua hotel yang menjadi target saya. Ada pilihan pertama, ada juga backup.
            Awalnya begitu indah. Saya tiba malam hari selepas maghrib, setelah sebelumnya menelepon hotel kecil itu untuk booking kamar. Ini adalah hotel pilihan pertama saya. Tiba di hotel bercat hijau itu, saya langsung menuju ke resepsionis. “Hampir saja kami melepas kamar yang Anda booking,” kata sang resepsionis. Seorang laki-laki muda yang tidak terlalu banyak berbicara.
            Karyawan di hotel itu sepertinya tidak terlalu diajari bagaimana cara bersikap layaknya bekerja di industri hospitality, misalnya mengucapkan “Selamat malam”, “Ada yang bisa saya bantu?”, dan lain sebagainya. Kalau saya tidak tanya, karyawannya cuma diam cengar-cengir. Atau mungkin karyawan satu ini saja yang tidak menyerap pelajaran saat dia di-training. Saya maklum, ini hotel kecil. Saya dan teman memilih satu kamar standar dengan kipas angin dan kamar mandi dalam. Harga per malam Rp 70.000. Ya? Tepat sekali ! alasan saya memilih hotel ini karena memang murah dan mereka menambah embel-embel “syariah”. Baru sampai di situ saja saya sudah berpikir, setidaknya kasurnya tidak pernah digunakan untuk perbuatan kotor. Kalaupun iya, setidaknya tidak terlalu banyak digunakan seperti hotel murah lainnya. Naif memang.
            Saya dan teman masuk ke dalam kamar. Pintu dibuka seketika bau pengap menyergap kami. Terang saja, ini kamar tanpa ventilasi. Benar-benar sebuah kamar yang dikelilingi tembok tanpa ventilasi. Kipas angin besar di langit-langit - yang saya yakin kalau disetel di posisi paling maksimal mampu memenggal leher kami - hanya memutar udara panas di dalam ruangan. Pintu kamar langsung berhadapan dengan kamar mandi. Twin beds kecil akan menjadi peraduan kami. Saat itu, tidak ada pikiran lain selain menerima kamar itu untuk istirahat karena memang sudah sangat capek.
            Malam itu berlangsung tanpa banyak masalah meski kami cukup kepanasan dengan kamar tanpa ventilasi.            Paginya, kamar sebelah ternyata kosong. Kamar itu adalah kamar dengan jendela, dan itu penting! Segera kami meminta pengelola untuk mendapatkan kamar itu. Harganya sama, yang berbeda hanyalah tempat tidur hanya satu tapi masih cukup untuk berdua, selain kamar mandinya lebih bersih. Kami sepakat mengambil itu, dan berpikir itu adalah pencapaian luar biasa karena kami lumayan cocok dengan kamarnya. Pagi itu, setelah kamar dibenahi oleh staf hotel, kami langsung angkut-angkut barang pindah kamar.
            Medan cerah sekali hari itu. Secerah angan-angan kami untuk menjelajah kota ini. Teman saya pun mandi terlebih dahulu di kamar mandi bertoilet duduk dengan shower.  Antrean kedua setelah adalah saya. Matahari cerah dan cuaca panas Medan membuat saya berpikir untuk mandi keramas….ouugh, pasti segar sekali. Ritual mandi dimulai. Gosok gigi lancar…gosok badan tak kalah lancar…saya tuang sampo ke rambut dan mulai bersenandung. Busa sampo membumbung di kepala saya dengan bau harum sampo kesayangan. Semua lancar-lancar saja sampai saya menyadari…air di shower mati! Duh…bagaimana saya harus membilas rambut dan badan saya?
            Saya panik, teriak-teriak ke teman saya untuk komplain ke bawah. Teman saya pun sigap lari ke lantai bawah untuk lapor kalau air di kamar mandi mati. Gedebak-gedebuk suara teman saya masuk kamar seperti membawa harapan indah.
            “Sepuluh menit lagi air akan hidup…” teriak teman saya dari luar.
            God!
            Tidak ada bak mandi. Ember kecil yang ada di dalam kamar mandi itu pun sudah kosong. Sementara saya masih dalam kondisi telanjang basah kuyup dengan busa sampo membumbung di kepala. Saya mencoba sabar, teman saya mencoba menghibur saya. Kami ngakak mentertawakan nasib saya. Sepuluh menit pertama itu masih terlihat lucu.
            Dan saat lepas dari sepuluh menit yang dijanjikan tapi ternyata air tidak mengucur juga, itu sudah tidak lucu lagi. Teman saya kembali lari ke bawah. Sementara saya masih di dalam kamar mandi, menghibur diri dengan bersenandung kecil, masih telanjang basah dengan sampo di kepala.
            “Mas…sebentar katanya. Tadi dimatiin soalnya ada penghuni kamar lain yang membuka kran air tidak dimatikan sampai airnya kemana-mana,” teriak teman saya dari luar kamar mandi. Duh…dalam kondisi begini, saya masih harus menerima alasan tidak relevan dari matinya air. Jadi orang lain yang bikin masalah, dan saya yang harus menanggung hukumannya?
            Menit-menit berikutnya sudah tidak lucu lagi. Lima belas menit lebih, bahkan air di badan saya sudah mulai kering menguap. Hampir setengah jam…
            “Mas…serius mau nunggu air?” tanya teman saya yang sepertinya jauh lebih putus asa daripada saya. Benar juga, akhirnya mungkin saya harus menyerah juga. Heroik sekali. Saya pun menghanduki tubuh dan kepala saya. Tidak enak, tidak nyaman, badan lengket-lengket. Tetapi akhirnya saya menyerah dan keluar dari kamar mandi dengan cengar-cengir. Seribu umpatan keluar dari mulut saya…”Tidak lagi…tidak akan menginap di sini lagi...cukup sudah,” rutuk saya, seakan itu problem terberat hidup saya. Teman saya ngakak saja.
            Sekitar satu jam-an, akhirnya air menyala lagi. Tepat sebelum saya memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Duh…itu semacam oase di padang tandus. Langsung saja saya copot baju dan balik masuk ke kamar mandi. Seperti sebuah balas dendam yang tertuntaskan, hari itu saya mandi dengan borosnya, seperti perasaan yang menyenangkan melihat air mengucur deras dari shower jahanam itu.
            Malamnya, kamar itu lebih nyaman daripada kamar sebelumnya. Kami tidak butuh kipas angin, karena jendela yang menghadap top roof  untuk jemuran kami buka lebar-lebar. Panas siang hari di Medan dibalas hujan malam itu. Tidur nyenyak ditemani air hujan dan teman saya yang tidur dengan mengigau seru dalam bahasa Inggris. Duh, pasti tidak gampang mengigau dalam bahasa Inggris J.
            Oya, saya selalu membayar di muka semua tarif kamar, saat menginap di hotel murah semacam ini. Demikian juga yang saya lakukan dengan hotel ini. Pagi itu, selepas sarapan kami berniat sekaligus check out. Semua barang tidak ketinggalan, kami packing dengan sangat rapi di masing-masing backpack, kemudian kami turun tangga menuju resepsionis.
            “Kami mau check out, Mas,” saya serahkan kunci dan meminta KTP saya kembali. Resepsionis itu tersenyum sambil mencari KTP saya. “Mas…malam kedua belum bayar, jadi kekurangannya Rp 70.000,” kata resepsionis cowok itu dengan kalem.
            “Hahhh?” Saya kaget dan memandangi teman saya. Teman saya sama bingungnya.
            “Belum bayar? Nah, kami kan sudah bayar di muka semua?” tanya saya heran.
            “Malam kedua belum,” kata resepsionis itu lagi masih dengan kalemnya.
            No…Nooo…saya sudah membayar dan saya ingat sekali. Saya tidak menerima begitu saja. Lagipula saya masih ada kuitansi tanda terima pembayaran kok. Kuitansi? Duh…saya rogoh saku celana, baju, daily bag…tidak ketemu! Sial. Apakah saya harus membongkar lagi packing rapi di backpack saya? Saya pandang teman saya.
            “Saya tidak bawa Mas,” kata dia seperti menjawab pandangan saya. Saya bisa memastikan bahwa teman saya tidak membawanya, karena memang “bendahara” traveling ini saya. Pandangan saya beralih ke resepsionis itu.
            “Mas coba deh, cek dulu di catatan,” lagian hari gini kok belum terkomputerisasi. Sebenarnya hotel ini tidak kuno juga. Buktinya, restonya yang berada di samping resepsionis ini juga memiliki fasilitas wifi. Sesusah apa sih pasang komputer di bagian resepsionis? Dan benar juga, resepsionis itu mengambil buku besar semacam buku tulis untuk pelajaran akuntansi dengan sampul depannya motif batik parang itu.
            Selembar, dua lembar, tiga lembar, resepsionis itu membuka lembaran satu persatu, di setiap halamannya dia menguliti tulisan cakar ayam dari atas hingga ke bawah. Tidak ditemukan nama saya. Aduh, kuno sekali ini hotel. Sudah jelas saya benar-benar bayar lunas semua. Saya bisa saja membayar Rp 70.000 lagi demi segera keluar dari masalah. Tapi itu berarti saya menyerah kalah dong, padahal saya tidak salah.
            “Mas…coba lagi deh, dicari. Saya sudah benar-benar bayar semua di muka,” kata saya dengan nada tidak enak kali ini.
            Oke, masalah apalagi? Tidak cukup membuat saya kedinginan terjebak di kamar mandi dengan mematikan air? Sekarang saya dituduh tidak bayar? Jangan-jangan keluar dari hotel saya bakal disambut sekuriti karena dituduh mencuri kipas angin yang bisa memenggal kepala kami itu? Saya pandangi teman saya dengan memelas.
            “Ya sudah…terima kasih,” tiba-tiba terdengar suara itu.
            Saya berpaling ke resepsionis. Begitu saja? “Saya sudah bayar lho. Serius,” saya masih mencoba meyakinkan. Saya tidak suka saja dengan nada bicara resepsionis itu yang seolah-olah dia membiarkan saya pergi dan mengabaikan persoalan itu, dan tetap menganggap saya salah. Huh.
            “Ya sudah…sudah,” kata dia lagi dengan kalem. Huuh…saya menunggu kata maaf dan penjelasan kenapa dia bilang sudah. Saya tidak mendapatkan itu. Tidak mau menambah rusak mood traveling, saya berbalik dan langsung meninggalkan hotel itu diiringi teman saya.
Satu hal yang tidak diketahui resepsionis hotel itu, saya menginap di sana untuk membuat tulisan yang me-review hotel-hotel murah di Medan. Gotcha!!           

* Cerita ini diambil dari buku The Ho[S]tel by Ariy & Sony.

No comments: