China, Februari 2010.
Memasuki Kota Guangzhou sebagai pintu pertama saya menuju China, saya tidak melihat sesuatu yang mencolok, khususnya dalam hal perbedaan kultur. Ini kota besar, dengan gedung-gedung pencakar langit, jembatan besar, bangunan megah, sistem transportasi cukup rapi, jalan-jalan yang lebarnya nggak ketulungan. Nggak ada keluhan soal Guangzhou, dan saya juga tidak terlalu menemukan banyak perbedaan, benturan kultur yang bisa menjadi oleh-oleh cerita saya.
Lalu berangkatlah saya menuju ke Nanning, kota kedua yang berada di Provinsi Guangxi. Saya naik kereta, kelas hard seat alias paling murah. Dan, hmmm...dan saya benar-benar menemukan suasana "hard" sebenar-benarnya hahaha...padahal seat-nya empuk lho.
Ini benar-benar padat. Sebagai gambaran, saat saya melakukan perjalanan itu, bertepatan dengan Chinese New Year. Silakan membayangkan suasana layaknya Lebaran di sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk 1,3 miliar jiwa. BBC menyebut, periode semacam ini adalah periode pergerakan jumlah manusia terbesar di bumi, di mana satu kali pergerakan terdapat 2 juta orang menggunakan transportasi darat. Dan tahun 2010, saya menjadi satu orang yang terlibat dalam "migrasi" besar-besaran itu.
Semuanya membawa semangat: pulang kampung, berkumpul bersama keluarga, menggelar makan malam mewah dan berdoa semoga semua berbahagia !!. Woww, saya harus bersaing dengan semangat itu untuk mendapatkan sedikit kenyamanan. Bagusnya, saya dapat satu kursi di kereta, di saat yang lain berdiri, atau meringkuk di kaki saya. :)
Lalu duduklah pemuda ini. Pemuda kurus, bermodel rambut kalau jaman dulu kita sering menyebut "mandarin kocak" hahaha. Dulu potongan model begini terkenal sekali. Belah tengah, depan agak panjang, dengan bagian belakang pendek. Tidak ada yang salah dengan pemuda ini, kecuali....dia meludah mungkin bisa lima menit sekali.
"Cuuuuh..." lalu, kakinya yang dibalut sepatu dengan lincah bergerak ke kanan dan kekiri seperti mematikan putung rokok.
Beberapa menit kemudian, setelah sesaat kereta berangkat, saya mulai sibuk menghitung berapa kali dia meludah. Hebatnya, posisi tempat duduk kami yang berada di ujung dekat toilet ini tergantung larangan "No Spitting"...Ougghh, saya pengin marah saja pada yang bikin larangan itu. Marah, karena kenapa larangan itu ditulis dalam bahasa Inggris? bukannya dengan karakter dan bahasa mandarin, sehingga pemuda sontoloyo ini tidak meludah terus di hadapan saya. Tahu sendiri, banyak orang China yang nggak paham bahasa Inggris, nekat aja kasih tulisan bahasa Inggris.
Saya bahkan berpikir, dia seperti meludah untuk alasan yang tidak jelas. Kalau ada bau busuk okelah, atau sedang pilek okelah. Tapi ini, haduuuuh. Saya berdoa kenceng, bila saya tidak memiliki keberanian menyerangnya, setidaknya kantuk yang harus menyerang dia...dshhhhh!!!
Oalah, ternyata oh ternyata, di tengah sesak kereta gerbong ekonomi kayak gini, bukan hanya pemuda sontoloyo itu saja yang meludah seenaknya. Di samping kanan saya, duduk di tengah lorong kereta, ibu-ibu dengan santainya juga meludah, menutupnya dengan koran, lalu dengan kalemnya duduk di atas koran itu. Hahahahhaa.
Pada perkembangannya, saya menemukan fakta, bahwa memang itu kultur mereka. Suka meludah. Entah untuk alasan apa. Saya menemukan kampanye besar-besaran di Kota Chengdu, Provinsi Sichuan, melarang meludah sembarangan. Kampanye ini dilakukan pemerintah daerah setempat dengan memasang neon box, papan reklame, dan lain sebagainya. Intinya memberikan edukasi kepada masyarakatnya untuk tidak meludah sembarangan karena berpotensi menyebarkan penyakit.
Lalu suatu malam, saya harus terjebak di Stasiun Kereta Api Kunming, Kota Kunming, Provinsi Yunnan. Saya baru saja tiba dengan bus malam dari Kota Tua Dali. Di Kunming, saya berusaha menelpon hostel yang pernah saya inapi. Namun, saya tidak mendapatkan kamar. Lalu saya mencari kamar di hotel di sekitar stasiun, karena saya berasumsi mungkin akan lebih mudah mendapatkannya. Tidak ada kamar. Dan nasib saya ternyata sama dengan ratusan calon penumpang kereta api yang akan menunggu kereta atau baru tiba. Tidak ada kamar sama sekali.
Cuaca dingin menusuk tulang. Malam itu suhu bahkan di bawah 10 derajat Celcius, dan saya teronggok di depan stasiun bersama ratusan penumpang. Tidur beralaskan kardus dan beberapa lembar koran. Berdesak-desakan. Meskipun menggigil, saya mencoba menikmatinya. dan sedang membayangkan suasana arus mudik Lebaran di Tanah Air hehehe Saat itu pun, suara "Caaah...Cuuuh..." kadang masih terdengar. Saya hanya bisa pasrah dengan situasi ini. Bahkan saat seseorang yang duduk tak lebih 1 meter dari saya mengeluarkan suara "Cuuuh..." saya pun hanya bisa pasrah. Yeaap, ludah itu gak sampai sepelemparan kolor dari saya...melas gak sih hahaha. Dan tidak ada yang menegur, bahkan tidak ada yang memberikan tatapan sinis kepada lelaki itu. Mungkin hanya saya yang melihat ke dia, supaya dia merasa bersalah saja.
Menjelang subuh, ratusan orang ini mulai bergerak, beberapa menghangat badan dengan berdiri jalan-jalan, lari-lari kecil. Beberapa meringkuk saja. Yang lain mengemasi koran atau alas yang mereka pakai. Lalu dimulailah simphoni indah itu.
"Hoeeekkkk...cuuuuuhh !!"
"Hkkkrrrkk....cuuuhhhh !!"
"Cuuuuuuuuh...................!!"
"Hoeeeeeeeeeeekkkkk....cuuuuuuuh !!"
Dan itu hampir dilakukan banyak orang di sana. Bak orkestra, suara mereka berlomba. Saya sudah prasangka buruk saja, habis ini pasti ada lomba siapa yang paling jauh meludah hahahaha. Ya Allah, maafkan mereka yang telah melakukan penistaan kepada lantai bersih di stasiun ini hahahaha...
regards,
A
foto: commons.wikimedia.org
Memasuki Kota Guangzhou sebagai pintu pertama saya menuju China, saya tidak melihat sesuatu yang mencolok, khususnya dalam hal perbedaan kultur. Ini kota besar, dengan gedung-gedung pencakar langit, jembatan besar, bangunan megah, sistem transportasi cukup rapi, jalan-jalan yang lebarnya nggak ketulungan. Nggak ada keluhan soal Guangzhou, dan saya juga tidak terlalu menemukan banyak perbedaan, benturan kultur yang bisa menjadi oleh-oleh cerita saya.
Lalu berangkatlah saya menuju ke Nanning, kota kedua yang berada di Provinsi Guangxi. Saya naik kereta, kelas hard seat alias paling murah. Dan, hmmm...dan saya benar-benar menemukan suasana "hard" sebenar-benarnya hahaha...padahal seat-nya empuk lho.
Ini benar-benar padat. Sebagai gambaran, saat saya melakukan perjalanan itu, bertepatan dengan Chinese New Year. Silakan membayangkan suasana layaknya Lebaran di sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk 1,3 miliar jiwa. BBC menyebut, periode semacam ini adalah periode pergerakan jumlah manusia terbesar di bumi, di mana satu kali pergerakan terdapat 2 juta orang menggunakan transportasi darat. Dan tahun 2010, saya menjadi satu orang yang terlibat dalam "migrasi" besar-besaran itu.
Semuanya membawa semangat: pulang kampung, berkumpul bersama keluarga, menggelar makan malam mewah dan berdoa semoga semua berbahagia !!. Woww, saya harus bersaing dengan semangat itu untuk mendapatkan sedikit kenyamanan. Bagusnya, saya dapat satu kursi di kereta, di saat yang lain berdiri, atau meringkuk di kaki saya. :)
Lalu duduklah pemuda ini. Pemuda kurus, bermodel rambut kalau jaman dulu kita sering menyebut "mandarin kocak" hahaha. Dulu potongan model begini terkenal sekali. Belah tengah, depan agak panjang, dengan bagian belakang pendek. Tidak ada yang salah dengan pemuda ini, kecuali....dia meludah mungkin bisa lima menit sekali.
"Cuuuuh..." lalu, kakinya yang dibalut sepatu dengan lincah bergerak ke kanan dan kekiri seperti mematikan putung rokok.
Beberapa menit kemudian, setelah sesaat kereta berangkat, saya mulai sibuk menghitung berapa kali dia meludah. Hebatnya, posisi tempat duduk kami yang berada di ujung dekat toilet ini tergantung larangan "No Spitting"...Ougghh, saya pengin marah saja pada yang bikin larangan itu. Marah, karena kenapa larangan itu ditulis dalam bahasa Inggris? bukannya dengan karakter dan bahasa mandarin, sehingga pemuda sontoloyo ini tidak meludah terus di hadapan saya. Tahu sendiri, banyak orang China yang nggak paham bahasa Inggris, nekat aja kasih tulisan bahasa Inggris.
Saya bahkan berpikir, dia seperti meludah untuk alasan yang tidak jelas. Kalau ada bau busuk okelah, atau sedang pilek okelah. Tapi ini, haduuuuh. Saya berdoa kenceng, bila saya tidak memiliki keberanian menyerangnya, setidaknya kantuk yang harus menyerang dia...dshhhhh!!!
Oalah, ternyata oh ternyata, di tengah sesak kereta gerbong ekonomi kayak gini, bukan hanya pemuda sontoloyo itu saja yang meludah seenaknya. Di samping kanan saya, duduk di tengah lorong kereta, ibu-ibu dengan santainya juga meludah, menutupnya dengan koran, lalu dengan kalemnya duduk di atas koran itu. Hahahahhaa.
Pada perkembangannya, saya menemukan fakta, bahwa memang itu kultur mereka. Suka meludah. Entah untuk alasan apa. Saya menemukan kampanye besar-besaran di Kota Chengdu, Provinsi Sichuan, melarang meludah sembarangan. Kampanye ini dilakukan pemerintah daerah setempat dengan memasang neon box, papan reklame, dan lain sebagainya. Intinya memberikan edukasi kepada masyarakatnya untuk tidak meludah sembarangan karena berpotensi menyebarkan penyakit.
Lalu suatu malam, saya harus terjebak di Stasiun Kereta Api Kunming, Kota Kunming, Provinsi Yunnan. Saya baru saja tiba dengan bus malam dari Kota Tua Dali. Di Kunming, saya berusaha menelpon hostel yang pernah saya inapi. Namun, saya tidak mendapatkan kamar. Lalu saya mencari kamar di hotel di sekitar stasiun, karena saya berasumsi mungkin akan lebih mudah mendapatkannya. Tidak ada kamar. Dan nasib saya ternyata sama dengan ratusan calon penumpang kereta api yang akan menunggu kereta atau baru tiba. Tidak ada kamar sama sekali.
Cuaca dingin menusuk tulang. Malam itu suhu bahkan di bawah 10 derajat Celcius, dan saya teronggok di depan stasiun bersama ratusan penumpang. Tidur beralaskan kardus dan beberapa lembar koran. Berdesak-desakan. Meskipun menggigil, saya mencoba menikmatinya. dan sedang membayangkan suasana arus mudik Lebaran di Tanah Air hehehe Saat itu pun, suara "Caaah...Cuuuh..." kadang masih terdengar. Saya hanya bisa pasrah dengan situasi ini. Bahkan saat seseorang yang duduk tak lebih 1 meter dari saya mengeluarkan suara "Cuuuh..." saya pun hanya bisa pasrah. Yeaap, ludah itu gak sampai sepelemparan kolor dari saya...melas gak sih hahaha. Dan tidak ada yang menegur, bahkan tidak ada yang memberikan tatapan sinis kepada lelaki itu. Mungkin hanya saya yang melihat ke dia, supaya dia merasa bersalah saja.
Menjelang subuh, ratusan orang ini mulai bergerak, beberapa menghangat badan dengan berdiri jalan-jalan, lari-lari kecil. Beberapa meringkuk saja. Yang lain mengemasi koran atau alas yang mereka pakai. Lalu dimulailah simphoni indah itu.
"Hoeeekkkk...cuuuuuhh !!"
"Hkkkrrrkk....cuuuhhhh !!"
"Cuuuuuuuuh...................!!"
"Hoeeeeeeeeeeekkkkk....cuuuuuuuh !!"
Dan itu hampir dilakukan banyak orang di sana. Bak orkestra, suara mereka berlomba. Saya sudah prasangka buruk saja, habis ini pasti ada lomba siapa yang paling jauh meludah hahahaha. Ya Allah, maafkan mereka yang telah melakukan penistaan kepada lantai bersih di stasiun ini hahahaha...
regards,
A
foto: commons.wikimedia.org
3 comments:
hahahahaha baru liat judulnya aja dah "ngerii " apalagi setelah baca tambah "ngueriiiiiii plus gelliiiiii"
mungkin kamu boleh kaitkan aktiviti meludah ini dengan budaya dan sejarah mereka?? mungkin terselit mitos atau lagenda. mungkin..
@Dini: geli mana sama diithik-ithik Mas Irfan? hahahaha
@Azrai: mungkin saja itu. Mungkin kebiasan buruk ini adalah hasil menjiplak satu individu dari generasi tertentu ke generasi sebelumnya. Mungkin juga ada cerita di balik kebiasaan ini.
Post a Comment