Hey Journer,
Seperti janji saya di postingan sebelumnya. Kali ini saya ingin menulis tentang aksi penerbit-penerbit nakal. Saya mungkin akan lebih ke pengalaman saya sendiri ya. Belum seserem itu, tetapi bisa jadi pelajaran bagi Anda yang mungkin ini masuk ke dunia penulisan sih.
Di awal saya masuk dunia penulisan, khusus menulis guide books dan catatan perjalanan, saya banyak mendengar tentang ulah para penerbit yang nakal. Saya juga banyak membaca pengalaman teman-teman yang baru mau masuk dunia penulisan, langsung patah hati karena kena tipu. Sejujurnya, saya belum mengalami seserem itu. Tetapi memang ada baiknya waspada. Beberapa hal yang sering saya dengar dan baca tentang perlakuan penerbit kepada penulis adalah:
1. Penulis mengirimkan naskah, lama nggak ada kabar (rata-rata nunggu nasib naskah kita sekitar 3 bulan, tapi bisa juga lebih). Kalau cuma nggak ada kabar sih mending ya. Lha bagaimana kalau tiba-tiba naskah yang kita kirim muncul jadi buku, dengan nama orang lain sebagai pengarangnya? waaaaaa.....serem banget. Amit-amit, semoga jangan sampai kejadian sama kita ya. Tapi...iya, ini bukan tidak mungkin terjadi. Biasanya dilakukan oleh penerbit yang nggak jelas. Atau bahkan hanya seseorang yang melakukan aksinya, membuat penerbitan tipu-tipu, dari dalam kamarnya. Duh. Salah satu antisipasinya adalah jangan mengirimkan naskah dalam bentuk soft copy (data di dalam komputer), tetapi pakai hard copy (naskah yang di-print). Menjamin aman? tidak juga. Tetapi setidaknya akan lebih susah untuk dijiplak. Selain itu, bisa juga mengirimkan bab beberapa contoh tulisan (tergantung penerbit mau atau tidak). Baru setelah disepakati hitam di atas putih, kirimkan sisa naskah.
2. Penulis dan penerbit ada kesepakatan akan menerbitkan suatu buku, lalu penulis menyelesaikan tugasnya menyerahkan naskah ke penerbit, tetapi hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tidak juga ada kepastian dari penerbit untuk menerbitkan. Penulis digantung. Kalau saya jadi penulis yang nasibnya begini, saya akan ambil inisiatif untuk kirim naskah itu ke penerbit lain. Peduli setan dengan penerbit yang menggantung nasib penulis. Selama nggak ada kontrak kerja sama dengan penerbit itu, saya akan ambil langkah mengirimkan ke penerbit lain.
3. Penulis mengirimkan naskah, lalu idenya dijiplak sebagian (hampir semua), diolah sedikit, lalu pasang nama baru sebagai pengarangnya. Duh....ini juga serem. Tapi kita bisa apa kalau hal itu terjadi? Kecuali kita punya bukti-bukti kuat untuk menggugat, kalau nggak...maka hanya akan ada omongan lawan omongan, susah untuk menggugat.
4. Penulis diminta mengirimkan naskah, tanda tangan kontrak atau surat perintah kerja (SPK) dijanjikan belakangan setelah buku terbit. Jangaaaaan mauuuu. Di mana-mana, yang namanya kerja sama dua belah pihak itu disepakati di awal, pahitnya sudah sama-sama tahu, manisnya siap dirasakan bersama. Selesaikan semua urusan di awal, baru deh kerja sama direalisasikan. Penulis harus tahu haknya apa, kewajibannya apa, ditandatangani bersama, sehingga memiliki kekuatan hukum.
5. Penerbit tidak transparan tentang penjualan buku. Bilang bahwa penjualan buku seret, sehingga royalti yang diberikan tidak banyak. Ini memang bukan persoalan mudah. Susah bagi penulis untuk mengecek satu persatu penjualan di toko kan? bahkan mustahil. Bagaimana kita tahu penjualan buku kita? minta laporan penjualan secara berkala. Bagaimana kita tahu penerbit tidak memanipulasi data penjualan buku kita? Demi Tuhan, saya tidak bisa menjawab itu. Antisipasinya ya carilah penerbit yang bisa dipertanggungjawabkan, punya kredibilitas bagus.
Itu setidaknya lima hal yang mungkin terjadi. Saya ingin berbagi pengalaman, yang hampir sama dengan point 2 dan 4. Pengalaman saya ini bikin saya bete setengah mampus sebagai penulis. Jadi begini, suatu hari, ada teman penulis menawari saya nulis untuk sebuah buku. Saya setuju. Lalu saya dihubungkan dengan editor buku itu. Kami berbalas email lama untuk mendiskusikan materi buku itu. Semua indah di awal. Beberapa bulan mendiskusikan, akhirnya sudah mulai mengerucut model tulisan apa yang harus saya buat. Kelar nulis, saya kirimkan deh tulisan via email, padahal saya belum pernah ketemu itu editor, gak ada nomor hape-nya, dan murni hanya percaya karena saya dikenalkan kepadanya oleh teman. (kebodohan pertama).
Setelah itu, komunikasi berhenti sama sekali. Saya berpikir, oh...mungkin masih proses editing atau yang lainnya. Ya sudah saya biarkan, dan saya lupa untuk beberapa saat karena kesibukan saya di hal lain (kebodohan kedua).
Suatu saat, pas nganggur, otak saya kembali ke tempat semula. Tiba-tiba mendadak pinter setelah goblok beberapa saat. Saya ulik lagi email-email saya dengan tuh editor (udah beberapa bulan lalu). Saya nanya deh, gimana nasib naskah saya? itu jadi terbit nggak? Beberapa hari kemudian dapat jawaban, kalau ditunda dulu dan akan diberitahu lebih lanjut. Habis itu, tidak berkomunikasi lagi!
Suatu saat (entah setelah jeda ke berapa kalinya), saya dan editor kembali berkomunikasi. Intinya akan segera diterbit. Saya belum bete sampai di sini. Lalu, saya minta deh Surat Perintah Kerja (SPK), semacam kesepakatan bahwa naskah saya ini akan diterbitkan. Termasuk minta kejelasan hak-hak saya, berapa uang yang saya terima. Perlu diketahui, naskah ini beli putus. Jadi seharusnya ketika saya kelar mengirimkan semua naskah dan materi yang dibutuhkan, ya saya harus mendapatkan uang yang menjadi hak saya.
Setelah perbincangan tentang rencana diterbitkan itu kelar, saya kembali kehilangan kontak dengan editor. Pertanyaan saya akan permintaan SPK atau kontrak tidak terjawab. Saya SMS tidak berbalas. Saya diam saja beberapa lama. (kebodohan ketiga).
Setelah sekian lama, otak saya kembali bisa bekerja lagi. Khususnya pas saya menemukan satu buku dengan nama saya sebagai salah satu penulisnya. Dan benar. Itu adalah buku yang naskahnya saya kirim sekitar setahun lalu. Bukannya saya senang, saya justru merasa sangat aneh yang luar biasa:
- Bagaimana mungkin sebuah naskah bisa terbit sementara antara penulis dan penerbit belum ada kesepakatan soal hak dan kewajiban penulis?
- Bagaimana mungkin sebuah naskah bisa terbit sementara si penulis belum pernah tanda tangan surat kerja sama di kertas mana pun?
- Bagaimana mungkin sebuah naskah bisa terbit setelah antara penulis dan penerbit (yang diwakili editor) tidak pernah komunikasi lagi untuk waktu lama?
- Bagaimana...bagaimana...dan bagaimana lainnya...duh bete.
Larilah saya ke toko buku. Pengen ngintip buku yang saya lihat di internet itu. Setelah mendapatkan kepastian bahwa memang ada naskah saya di situ, saya mulai bergerak. Saya kirim email ke editor. Beberapa saat tidak mempan, saya telpon si editor. Jawabnya santai sekali. Iya, santai kayak di pantai "Mohon maaf mas kalau lupa memberitahu. Saya kebetulan sibuk sekali." Waaaaa....jawaban macam apa itu? Meski tidak terima, saya masih sabar (tapi bete). Dijanjikan akan diselesaikan. Tapi lama kemudian nggak ada kabar. Nah, amarah saya mulai berloncatan lagi nih di ubun-ubun. Pas ada acara di kota di mana penerbit itu ada, saya hubungi deh editornya untuk ketemu. Apa jawabnya? "Mohon maaf, saya sibuk". :P
Pulang dari kota itu, saya sudah bete. Di rumah, saya kumpulin (untung gak saya deleted) email-email komunikasi saya dengan si penerbit sejak setahun lalu. Saya bikin kronologisnya dari A - Z, dari awal sampai posisi paling akhir nasib saya. Puanjaaang deh emailnya. Dan saya beri ultimatum yang sopan (duh, sudah sial masih saja sopan). Saya bilang, saya akan menempuh langkah yang diperlukan bila tidak ada niat baik dari penerbit untuk menyelesaikan hal yang menjadi hak saya. Sopan kan :).
Emang mempan? Tunggu dulu. Saya ingat sekali cerita teman saya yang bermasalah dengan sebuah perusahaan besar. Persoalan yang dialami teman saya kemungkinan karena kesalahan pejabat yang menangani proyek itu. Jadi kemungkinan besar para pengambil keputusan tidak tahu ada persoalan itu. Mentok gak ada solusi dari itu pejabat, si teman saya yang pinter ini lalu protes keras dan "MENGIRIMKAN EMAIL KE SEMUA PEJABAT TINGGI DI KANTOR ITU". Akhirnya...baru dapat perhatian.
Itulah yang saya lakukan. Saya merasa, ada sesuatu yang putus antara saya dengan penerbit itu. Di mana putusnya? di -editor-nya. Saya sudah capek untuk kirim email ke editornya, karena paling-paling kayak kemarin. Protes saya via email saya CC ke beberapa email, termasuk email resmi perusahaan penerbitan tersebut. Dan terbukti langsung mendapatkan respons. Saya ditelpon sekretaris redaksinya, dan berjanji akan segera selesai.
Selesai? belum atuh...bete saya masih berlanjut. Saya akan dibayar dengan harga tertentu, yang menurut saya tidak adil. Saya bilang ke mereka: sejak awal kerja sama aja sudah salah. Seharusnya disepakati dulu berapa harga tulisan saya, bukan langsung main terbit dong. Mereka bertanya saya minta berapa? Tetapi sebelumnya mereka bilang, bahwa mereka hanya bisa kasih saya harga C.
C = harga di bawah standar. Editor bilang, harga C ini dihitung untuk satu tulisan. Kenapa saya dibayar dengan nominal "C", karena saya dinilai tidak terkenal, dan dia membandingkan nama-nama lain yang mendapatkan harga di atas "C". Lalu saya cermati nama-nama lain yang disebutkan sebagai contoh oleh editor itu, dan....maaf, bukan saya takabur, saya sudah menulis beberapa buku, dan saya juga tidak melihat nama-nama lain itu lebih terkenal dari saya. Dududududu.....
Jujur saya capek. Saya nggak mau harga tinggi, tetapi saya juga tidak mau harga rendah. Saya harus menghargai diri saya sendiri. Akhirnya sepakat di harga B. Okelah. Selesai? beluuuuuuum....hahahahah. Capek kan bacanya? sama. Saya juga capek mengalaminya.
Setelah sepakat di harga B, saya tanya lagi..."Mas, harga B itu kan untuk satu naskah. Nah, saya kan lebih dari satu. Harusnya saya menerima B dikalikan dong..". Jawabnya : "Nggak, ya itu untuk semua." Mampus nggak tuh. Kayak lingkaran setan, nggak ada ujung dah. Mari belajar matematika:
- Satu butir telur harganya adalah Rp 1.000. Kalau Anda membeli tiga butir telur, berapa harga yang harus Anda bayar? Jawab: 3 x Rp 1.000 = Rp 3.000
Nah...apa perlu saya ajari matematika sederhana gitu? Lha wong saya ini selama sekolah, pelajaran matematika selalu dapat angka merah alias goblok aja masih bisa ngitung hal sederhana seperti itu. Saya pikir si editor juga gak bodoh deh. Dia hanya pura-pura bodoh untuk mencurangi saya. Setelah saya protes, baru deh dipenuhi, harga B dikalikan dengan jumlah naskah yang saya kirim. Kalau sekarang benar-benar selesai deh ceritanya.
Intinya, saya sudah tidak mau berurusan lebih lama dengan penerbit model beginian. Nggak deh, makan ati dan bikin kurus. Kalo kurus karena diet itu bisa saja sehat, tetapi kurus karena makan ati, bisa mati berdiri. Setelah itu saya tutup buku dengan tuh penerbit. Meskipun dalam hati kecil saya mengatakan, kemungkinan yang error adalah editornya.
Ya sudah, harus ada yang menjadi martir dalam hidup. Saya sudah menjadi martir, supaya saya bisa berbagi pengalaman untuk Anda para penulis-penulis baru yang ingin terjun di dunia penulisan profesional. Pesan terakhir, apapun persoalannya, jangan berhenti menulis.
When life bites you in the ass, bite back !!
Regards,
A