Friday, December 31, 2010

Toilet di China, yaikksss!!

Toilet bagi saya kerap menjadi persoalan dalam traveling. Mulai dari toilet di hotel, hostel, toilet umum, hingga di bandara. Anda tentu sepakat, fungsi toilet luar biasa penting bukan? Tetapi bagaimana bila Anda darurat harus menggunakannya, dan kondisi toilet tidak layak pakai?

Hmmm, saya punya pengalaman itu. Saya memang belum traveling ke banyak negara. Namun dari lima negara yang sudah saya kunjungi, saya sepakat China adalah negara yang memiliki toilet terbusuk. Hahaha, so sorry. Tapi kalau mengingat penderitaan saya yang dalam kondisi darurat ingin ke toilet dan tidak ada toilet layak pakai, maka saya tidak menyesal memberikan penilaian itu.

Bayangkan, bahkan di bandara international pun, beberapa toilet yang tersedia super kotor, tidak di sentor setelah dipakai, dengan kotoran kemana-mana. Kebetulan saja? well, saya mengalaminya di toilet Chengdu Shuangliu International Airport, di Provinsi Sichuan, serta di Kunming Wujiaba International Airport. Sekali lagi saya tegaskan ya, ini bandara internasional, yang notabene kita berharap kebersihannya standarlah.

Di China, mereka menggunakan toilet duduk (western) serta jongkok. Jadi ada dua jenis. Nah, waktu itu saya akan melakukan penerbangan dari Chengdu menuju ke Kuala Lumpur. Penerbangan pagi, biasanya memang akan sedikit terganggu dengan berontaknya pencernaan. Nah, cari-cari toilet, saya sudah bergumam, untung saya di bandara. Saya bisa memastikan akan mendapatkan toilet yang bagus. Hahaha, bukan hari keberuntungan saya. Karena beberapa toilet yang saya buka, berceceran kotoran (maaf). Udah, pusing saja rasanya kalau sudah begini.

Akhirnya saya pilih menahan, dan segera check in, saya pikir, nanti lebih baik di toilet ruang tunggu sebelum boarding pass. Asumsinya, di ruang tunggu hanya ada calon penumpang yang bisa menggunakan toiletnya, dan itu tidak banyak, sehingga kemungkinan dapat yang bersih. Dan benar juga, saya akhirnya "melahirkan" di sana.

Sebelum itu, saya juga menemukan kondisi serupa di Kunming Wujiaba, bandara internasional ini pun dilengkapi dengan beberapa toilet jorok yang berlepotan kotoran di mana-mana. Khususnya toilet jongkoknya. Maklum, meskipun ada toilet jongkok, tetapi tidak ada fasilitas air untuk sentor kotoran, misalnya kran, ember dan gayung. Jadi asal tinggal aja. Yaiiksss.

Bukan monopoli bandara saja lho. Pengalaman saya menginap di Cloudland Youth Hostel di Kunming juga demikian. Jadi saya tinggal di dorm lantai dua. Di sini ada sekitar lima kamar, satu kamarnya diisi 4 orang. Jadi ada sekitar 20 orang di satu lantai. Nah, ada tiga toilet: satu toilet jongkok (tanpa fasilitas sentor, teteup), serta dua toilet duduk. Pagi hari, saya berencana menggelar "ritual". Masuklah saya ke toilet jongkok yang memang terbuka, nah saya kembali menemukan barang yang tidak saya harapkan hahaha. Pindah ke toilet duduk satunya, closetnya tertutup. Saat saya buka, hahaahhaha...saya tidak akan menceritakan kepada Anda. Dan otomatis tinggal satu toilet. Saat saya masuk, pintunya ternyata tidak bisa ditutup. Ya sudah, saya capek, kesal, dan hasrat "ritual" tiba-tiba musnah sudah.

Saya sendiri tidak pernah menemukan hal-hal jorok di negara-negara lain yang pernah saya kunjungi. Entah kenapa di China saya kerap mendapatkan pengalaman ini. Untungnya, saya tidak menemukan toilet terbuka, seperti yang diceritakan teman saya dari Italia yang telah lama tinggal di Guangzhou.
"Di daerah-daerah pinggiran, kamu akan menemukan toilet-toilet terbuka. Di mana, orang dewasa bisa buang hajat seenaknya, dan terlihat orang lain."

"Apa mereka tidak malu ya?" tanya saya heran.

"Oh tidak, semua akan berlangsung kilat. Mereka akan menggunakan toilet itu dalam keadaan yang sangat darurat, benar-benar sudah tidak tahan, barulah lari ke toilet. Apalagi bila mereka makan makanan pedas, dapat dipastikan buang hajat hanya berlangsung tak lebih dari lima menit..." ujar teman saya itu kalem.

Yaikkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkssssssssssssssss........!!!

Saturday, December 11, 2010

Cara jitu promosi wisata ala Thailand: Film!!

Well, sepanjang sebulan terakhir ini memang saya lagi seneng-senengnya berbicara tentang Thailand. Apalagi kalau bukan karena bersamaan dengan launching buku saya tentang perjalanan ke Thailand dari wilayah utara hingga selatan hehehehe.

Saya memang menggoda Anda untuk mengeksplorasi negara ini. Murah, eksotis, indah, serta didukung manajemen pariwisata yang top dari pemerintahnya, Thailand juga menawarkan kemudahan untuk para pemain industri perfilman dunia untuk shooting film di negara ini. Kita bisa melihat keindahan Thailand dari film-film Hollywood lho. Sejak awal pengampu pariwisata di sana sangat sadar sesadar-sadarnya bahwa menjadi lokasi film, apalagi film produksi Hollywood, apalagi filmnya meledak, pasti akan memberikan promosi gratis yang luar biasa.

Nah...stop, stop dulu. Pemikiran visioner semacam ini yang jarang dimiliki para pengampu wisata kita ataupun pembuat kebijakan di Indonesia. Yang ada justru mempersulit, birokrasi rangkap seribu dengan meja yang harus dilalui bisa sejuta. Hahaha...iya saya lebay. Jengkel soalnya bila melihat pemerintah tidak tanggap terhadap kesempatan-kesempatan emas yang muncul dari luar, demi promosi wisata kita yang tak kalah dari Thailand sebenarnya. Contoh kasus produksi film The Year of Living Dangerously, film Hollywood yang dibintangi aktor sekelas Mel Gibson, Sigourney Waver, Linda Hunt, dan meraih Oscar untuk pemeran pembantu terbaik yaitu Linda Hunt, ini berlatar situasi politik di Indonesia pada masa Soekarno dari kacamata jurnalis Australia yang diperankan Gibson. Menariknya, shooting-nya diadakan di Filipina, karena kesulitan ngurus izin di Indonesia hahahaha.

Baru sekarang aja beberapa pimpinan daerah melek. Ini bisa kita lihat dari film Eat, Pray, Love-nya Julia Robert yang katanya 30% ber-setting Bali. Hasilnya? semakin menjulangkan nama Bali bukan? Tapi telaaaat. Thailand sudah melakukannya bertahun-tahun lalu.


Thailand bahkan sudah memulainya sejak tahun 1920-an. Beberapa film Amerika diproduksi di sana. Hingga tahun 1970-an, beberapa film keren muncul dengan setting di Thailand. Beberapa yang mencuri perhatian misalnya adalah film Around The World in 80 Days, film garapan Michael Anderson pada tahun 1956, serta film The Man with The Golden Gun (1974), yang dibintangi Roger More sebagai James Bond. Mengambil shooting di Bangkok serta Phang Nga Bay, inilah mungkin salah satu film Hollywood yang bersetting di Thailand yang paling terkenal. Sampai-sampai salah satu pulau di Phang Nga Bay yang dulu jadi lokasi shooting, dinamakan James Bond Island dan saat ini menjadi pulau tujuan wisata yang terkenal. Kalau Anda melakukan perjalanan dari Bangkok-Surat Thani - Phuket, maka antara Surat Thani - Phuket, Anda akan melewati Phang Nga Bay. Indah? Tentunya.

Nah, di luar itu, masih ada sederet film-film keren lainnya. Untuk era kita, yang cukup terkenal misalnya, The Deer Hunter, film yang dibintangi aktor kelas Oscar, Robert De Niro, Christopher Walken dan John Cazale, yang antara lain mengambil setting di kawasan Patpong, Bangkok serta di Provinsi Kanchanaburi.


Belum lagi beberapa film yang bersetting Asia Tenggara namun mengambil shooting di Thailand. Misalnya film keren The Killing Fields (1984), yang seharusnya ber-setting Kamboja, namun mengambil shooting di Hua Hin dan Phuket.

Demikian juga film-film berlatar Vietnam seperti Rambo, First Blood Part II, Casualties of War, Good Morning Vietnam, Heaven and Earth, film komedi berlatar Vietnam Operation Dumbo Drop, hingga sekuel James Bond tahun 1997, Tomorrow Never Dies yang menjadikan Bangkok sebagai Kota Ho Chi Minh.

Masih belum kenal juga film-film itu saking lawasnya? Bagaimana kalau film keren Alexander karya Oliver Stone dengan bintang Colin Farrel? ini film mengambil lokasi shooting salah satunya di Ubon Ratchathani. Atau komedi Bridget Jones; The Edge of Reason yang mengambil lokasi di Bangkok dan Phuket. Selain itu masih ada American Gangster-nya Ridley Scott yang dibintangi Denzel Washington dan Russell Crowe, film tahun 2006 yang mengambil lokasi di Chiang Mai, atau lihatlah keindahan Provinsi Krabi di sekuel film Star Wars: Episode III Revenge of The Sith (2005). Dan yang sedikit lebih gres dalam ingatan saya adalah film tahun 2008 yang dibintangi Nicolas Cage, Bangkok Dangerous film laga yang menggambarkan keindahan Bangkok dengan hiruk pikuknya.

Dalam perjalanan dengan bus dari Surat Thani ke Phuket, saya barengan dengan banyak bule, dari yang solo traveler sampai yang berombongan. Beberapa turun di sudut jalan, katanya mau melanjutkan ke Krabi, ada seorang yang turun di sudut jalan lain, katanya mau ke Phang Nga Bay. Dalam hati saya kagum, daerah-daerah terpencil ini ternyata namanya sudah menelusup ke telinga para traveler dari belahan dunia yang lain.
Mungkin Indonesia sudah memulainya dengan Bali dan beberapa pulau besar lainnya. Tetapi semoga tidak berhenti di sini dan prosesnya tidak selamban ini. Bangga lho melihat Julia Robert naik sepeda onthel membelah pematang sawah di Bali. "Hey, itu shooting-nya di Bali lho, salah satu pulau tercantik di negara saya, Indonesia."

regards,

A

Friday, December 10, 2010

Bangkok Kota Paling Berbahaya, benarkah?

Radio Nederland Wereldomroep merilis 10 kota paling berbahaya di dunia. Dalam daftar tersebut, Bangkok Thailand menjadi satu-satunya kota di Asia yang masuk daftar. Berikut daftar lengkapnya:

1. Ciudad Juarez, Meksiko
2. San Pedro Sula, Honduras
3. Caracas, Venezuela
4. New Orleans, Amerika Serikat
5. Cape Town, Afrika Selatan
6. Moscow, Rusia
7. Port Moresby, Papua Nugini
8. Rio de Janeiro, Brasil
9. Bangkok, Thailand
10. Bagdad, Irak

Dalam daftar itu, tidak disebutkan secara spesifik kenapa Bangkok disebut berbahaya. Hanya disebutkan bahwa angka transaksi narkoba semakin besar. Asumsinya, biasanya kegiatan semacam ini akan diikuti dengan tindak kriminal lainnya.

Nah, apakah Bangkok seberbahaya itu? Saya sudah dua kali ke Bangkok, dan saya terbiasa jalan-jalan ke sudut kotanya sampai ke perkampungan, pindah dari satu MRT, Sky Train, bus kota super murah, hingga jalan kaki. Saya masuk ke wilayah-wilayah yang katanya disebut berbahaya pasca kerusuhan domestik terkait situasi politik di sana. Tetapi dalam pandangan saya, semua aman-aman saja.

Saya tidak terlalu banyak melihat polisi berlalu-lalang. Ada beberapa polisi di pos-pos polisi dan menurut saya jumlahnya tidak seberapa. Dalam pandangan saya, mungkin bukannya mereka tidak siaga, tetapi menyebarkan polisi di sudut kota secara berlebihan justru akan memberikan kesan kota itu tidak aman.

Paling telat, saya kembali ke penginapan jam 10 malam, dan saya merasakan semua aman-aman saja. Suatu malam, saya pernah menunggu bus kota dari kawasan Mo Chit, Bangkok, yang lumayan jauh dari penginapan. Malam itu hujan, dan saya berada di pinggir jalan yang sepi, ada beberapa orang yang menunggu juga. Namun, hingga malam, bus saya tidak tampak, akhirnya saya sendirian di sana karena semua sudah naik ke bus masing-masing. Sedikit agak waswas, tetapi saya akhirnya mendapatkan bus saya. Tidak ada masalah, dan semua sepertinya hanya perasaan saya saja. Di dalam bus, saya sendirian karena hari sudah malam. Karena tidak mau mengantar saya seorang, kondektur bus meminta saya turun di kawasan Chathucak, untuk mencari bus lain. Bukan dioper, karena mereka tidak mengembalikan uang saya atau mencarikan bus pengganti.

Apakah saya mengalami masalah? Tidak sama sekali. Saya hanya waswas, dan itu wajar. Kita memang harus waspada.

Justru pada siang hari, saya banyak melihat kriminal-kriminal kroco yang berkeliaran. Khususnya di kawasan-kawasan wisata. Mulai sopir tuktuk yang brengsek, penjual makanan yang brengsek, tukang tipu berkedok memberi makanan ke burung-burung di taman, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, menurut saya masih wajar. Hampir di semua tempat wisata pasti adalah orang curang semacam ini. Selebihnya, saya melihat Bangkok kota yang aman untuk berwisata, dengan catatan tentu saja ya. Catatanya apa? ya kalau dalam konteks kita traveling, tentu kita tidak traveling atau jalan-jalan pada dini hari bukan?

Kadang orang mencampur adukkan soal perasaan aman dengan perasaan nyaman. Saat kita berada di tempat sepi dan merasa takut (padahal kenyataannya tidak mengalami tindak kriminal sama sekali) maka kita berkesimpulan bahwa itu tidak aman. Menurut saya, ini perlu dibedakan ya. Saya jadi inget dengan apa kata Clifton Fadiman:

“When you travel, remember that a foreign country is not designed to make you comfortable. It is designed to make its own people comfortable.”

so, pack your backpack now ! selamat traveling.

regards,

A

Sunday, December 5, 2010

Waspada bila naik Tuk-Tuk di Bangkok


Di depan National Museum, Bangkok, Thailand, saya bertemu dengan orang yang pada akhirnya menipu saya.Awalnya, saya hanya ingin memotret bagian depan museum. Tiba tiba seorang laki-laki setengahbaya dengan bahasa Inggris bagus mendekati saya.

Dia memperkenalkan diri sebagai orang yang mengantar anak-anak sekolah ke museum ini. Dia lalu banyak bertanya tentang siapa saya dan dari mana. Bicaranya cepat tanpa sempat saya menjawab. Setelah itu, dia berbicara tentang suatu toko perhiasan yang dia sebut sangat murah. Dia menunjukkan cincin yang dia beli dan harganya separuh dari harga pasaran. Dia bercerita soal big sale yang hanya akan digelar hari itu saja.

Lalu, dia juga bercerita soal kuil Buddha yang tidak banyak turis datang, tetapi sangat indah. Dia menunjuk di peta tentang dua kuil ini. Sikap ramahnya membuat saya menyimak, meskipun dalam hati kecil saya merasa sedikit bertanya-tanya. Terus dia bercerita soal banyaknya Tuk-Tuk yang sering menipu. “Kalau pakai Tuk-Tuk, cari yang warna kuning hijau. Itu lebih murah,” kata dia dan tanpa saya sadari tiba-tiba dia sudah menghentikan satu Tuk-Tuk yang entah muncul dari mana. Lalu dia sudah menawar begitu saja, dari harga penawaran ฿80 (Rp22.400,00) mereka tiba tiba saja sudah sepakat dengan harga ฿20 (Rp5.600,00) untuk mengantar saya ke lokasi-lokasi yang dia sebut. Saya seperti kerbau dicucuk hidungnya, dan mau saja masuk ke Tuk-Tuk.

Hanya dalam beberapa menit kemudian, saya baru sadar ada yang tidak beres. Namun, saya kemudian memutuskan akan meladeni duo-partner in crime ini. Hayooo aja, lagian pertaruhan saya cuma uang Rp5.600,00. Benar saja, di tujuan pertama saya diantar ke sebuah kuil (lebih tepat menyebutnya rumah), dan benar-benar tidak ada apa-apanya. Pun tak ada seorang turis.
Saya coba masuk sebentar, berbincang- bincang dengan seseorang di dalam yang juga ngoceh panjang-lebar soal toko perhiasan yang harus saya kunjungi (wah … ini juga kaki-tangan).

Tak lebih dari lima menit saya keluar menuju Tuk-Tuk. Dan saya meminta pengemudi Tuk-Tuk mengantar saya balik ke National Museum. Tetapi dia berkeras tidak mau, dan tetap akan mengantar saya ke toko perhiasan.

Lho? Siapa yang bayar siapa, coba? Ya, sudah, saya ladeni. Begitu sampai depan toko perhiasan, perasaan tidak enak saya terbukti. Saya diantar ke depan sebuah toko perhiasan kecil, sangat kecil, hanya serupa rumah toko, tetapi tidak bertingkat. Saya bilang ke sopir Tuk-Tuk, saya tidak akan masuk ke dalamnya dan meminta dia mengantar saya balik seperti kesepakatan.

Pengemudi itu tidak mau mengantar saya. Kami berdebat sengit, dan dia berkeras tidak mau mengantar dan meminta saya masuk ke dalam sekitar 5 menit saja, supaya dia bisa mendapatkan kupon bensin. Gotchaa!! Akhirnya dia mengaku juga hanya ingin mencari kupon bensin.

Saya beri dia uang ฿50 (Rp14.000,00) dan meminta kembalian. Dia hanya memberikan kembalian ฿20 saja (Rp5.600,00), lebih ฿10 daripada yang kami sepakati. Saya sudah tidak peduli lagi, saya tinggalkan dia.

Di hari berbeda setelah itu, saya bertemu dengan teman dari Guatemala, Lucia, dia menceritakan kasus yang sama. Dan Lucia ini sempat menurut masuk ke toko perhiasan itu. Dan di sana dia tidak membeli apa pun, lalu sang penjual memperolok Lucia, “Kamu datang ke toko ini hanya untuk melihat lihat? Kamu tidak punya uang, tetapi masuk ke toko perhiasan?” Ouughhhh … pengin sekali menghajar orang-orang seperti ini.

Jangan percaya begitu saja kepada orang yang tiba-tiba datang kepada Anda dengan kata-kata manis. Pola pola penipuan semacam ini sebenarnya sudah terendus polisi. Itulah mengapa di peta yang dibagi gratis kepada turis di tourist information center booth juga tertera peringatan semacam ini, termasuk ke mana Anda harus melaporkan bila ada yang menghadapi kasus semacam ini.